Anda di halaman 1dari 4

KERANGKA ACUAN

BIMBINGAN TEKNIS BADAN PENYELENGGARA


PEMILIHAN UMUM TAHUN 2014

I. LATAR BELAKANG

Pemilihan umum anggota DPR, DPD, dan DPRD (Pemilu Legislatif) merupakan salah satu bentuk
Pemilu di Indonesia sebagai manifestasi prinsip negara demokrasi berdasarkan UUD 1945. Dengan
sendirinya kualitas penyelenggaraan pemilu legislatif menentukan kualitas negara demokrasi yang
dijalankan. Dari sisi politik, pemilu legislatif mengawali agenda ketatanegaraan dan politik nasional.
Hasil pemilu legislatif memiliki pengaruh besar terhadap konstelasi pemilu presiden/ wakil presiden serta
menentukan peta kekuatan politik nasional lima tahun berikutnya. Karena itu, penyelenggaraan pemilu
legislatif merupakan agenda konstitusional yang harus dikawal oleh segenap komponen bangsa.

Pemilu merupakan proses panjang terdiri atas tahapan-tahapan yang saling terkait, mulai dari penentuan
agenda dan jadwal hingga penetapan hasil dan calon terpilih. Setiap tahapan pemilu telah diatur dengan
prosedur dan tata cara tertentu berdasarkan ketentuan undang-undang dan peraturan yang dibentuk oleh
KPU untuk memastikan bahwa pemilu akan diselenggarakan secara jujur dan adil, serta hasil pemilu nanti
benar-benar mencerminkan aspirasi rakyat. Dalam tahapan Pemilu Legislatif yang telah dilakukan
memang muncul beberapa persoalan. Pada tahap verifikasi partai politik peserta pemilu terdapat gugatan
dari partai politik yang dinyatakan tidak lolos. Putusan PTUN telah dijatuhkan dan KPU telah
melaksanakan putusan tersebut. Pada tahap verifikasi calon anggota legislatif, KPU sempat memutuskan
mencoret daftar calon yang diajukan partai politik di suatu daerah pemilihan karena tidak memenuhi
syarat. Namun, putusan ini dieliminasi oleh Bawaslu, sementara KPU juga telah melaksanakan itu. Pada
tahap pengumuman DPS, DPSHP, dan DPT berbagai masukan telah diberikan peserta pemilu dan publik
yang tentu akan ditindaklanjuti oleh KPU. Tentu saja wajar jika di dalam setiap tahapan pemilu selalu
ada persoalan, baik karena perbedaan penafsiran aturan main maupun karena persoalan teknis
penyelenggaraan.

Kompleksitas pemilu legislatif yang bersifat nasional, yang melibatkan ratusan juta pemilih, puluhan
peserta, dan ratusan ribu calon anggota legislatif tentu saja memiliki peluang besar memunculkan
berbagai persoalan. Karena itu, pada tahapan-tahapan pemilu selanjutnya permasalahan, baik dalam
bentuk perselisihan maupun pelanggaran pasti akan terjadi. Untuk menyelesaikan berbagai perselisihan
dan pelanggaran, hukum pemilu (electoral laws) telah menyediakan mekanisme yang dibuat dengan
tujuan untuk memastikan terpenuhinya asas konstitusional penyelenggaraan pemilu dan tercapainya
tujuan pemilu yang demokratis. Mekanisme hukum ini wujud dari prinsip bahwa demokrasi harus
dijalankan berdasarkan aturan hukum sesuai prinsip negara demokrasi berdasarkan hukum. Sepanjang
mekanisme hukum yang berorientasi pada asas dan tujuan pemilu dijalankan, kita percaya bahwa semua
persoalan yang ada akan dapat diselesaikan. Sebaliknya, jika terdapat pelanggaran terhadap mekanisme
hukum atau bahkan pelanggaran terhadap asas dan tujuan pemilu yang demokratis sebagaimana
diamanatkan oleh konstitusi, permasalahan akan berkembang dan berkelanjutan hingga mempengaruhi
konstitusionalitas hasil pemilu.

Terhadap perselisihan atau pelanggaran yang telah terjadi, terbuka kemungkinan untuk dipersoalkan
kembali di Mahkamah Konstitusi (MK) saat persidangan perselisihan hasil pemilu (PHPU) yang akan
datang. Dengan sendirinya ketika hal itu dipersoalkan, MK akan menilai dan memutus pelanggaran dan
penyelesaian yang telah dilakukan dalam tahapan-tahapan itu, apakah terdapat pelanggaran terhadap
konstitusi atau tidak. Ini konsekuensi dari jati diri MK sebagai peradilan konstitusi serta perkembangan
putusan-putusan MK dalam perkara PHPU yang menegaskan bahwa peran MK tidak lagi sekadar
memutus perselisihan hasil penghitungan suara, tapi memutus konstitusionalitas penyelenggaraan pemilu.
Putusan-putusan MK dalam perkara PHPU, baik PHPU Legislatif, PHPU Presiden, maupun PHPU
Kepala Daerah telah membentuk prinsip-prinsip hukum penyelenggaraan pemilu yang demokratis sesuai
konstitusi. Prinsip-prinsip hukum ini tafsiran yang harus dijalankan untuk mengawal konstitusionalitas
penyelenggaraan pemilu. Karena itu, putusan PHPU bersifat pseudo judicial review karena di dalamnya
terdapat penilaian dan penafsiran hukum pemilu. Dengan demikian, putusan dan prinsip hukum yang
dibentuk dalam putusan PHPU Kepala Daerah juga mengikat dan harus diperhatikan dalam
menyelesaikan persoalan yang muncul dalam penyelenggaraan pemilu legislatif. Sebagai contoh terkait
peserta pemilu, MK pada perkara PHPU Kepala Daerah telah memutus bahwa verifikasi persyaratan dan
penetapan peserta pilkada juga bagian dari konstitusionalitas penyelenggaraan pemilu.

Demikian pula halnya dengan kelengkapan persyaratan calon yang dapat diterapkan pada perkara
persyaratan calon anggota legislatif. Terkait dengan DPT, MK juga telah memutus bahwa administrasi
prosedural tidak boleh mengesampingkan substansi hak konstitusional sehingga DPS tidak boleh
menutup hak pilih warga negara yang memenuhi syarat untuk menggunakan haknya. MK telah memutus
bahwa pemilih yang tidak terdaftar pada DPT dapat menggunakan hak pilih dengan menggunakan KTP
atau paspor dan kartu keluarga. Pada tahapan selanjutnya juga telah terdapat putusan MK yang dapat
dijadikan acuan dan harus diperhatikan. Pada tahap kampanye misalnya agar tidak terjadi pelanggaran
terhadap asas-asas pemilu yang demokratis, harus dijaga supaya tidak terjadi pelanggaran yang bersifat
terstruktur, sistematis, dan masif (TSM) yang mempengaruhi hasil pemilu. Walaupun kategori TSM
muncul dalam perkara pilkada, potensi TSM dalam pemilu legislatif juga sangat besar. Karena itu, untuk
mengawal konstitusionalitas penyelenggaraan pemilu legislatif dan mencegah pelanggaran konstitusi
dalam penyelenggaraan pemilu legislatif, penyelenggara dan peserta pemilu legislatif sudah seharusnya
senantiasa mengikuti, memahami, dan menjadikan putusan-putusan MK sebagai pertimbangan dalam
menyelenggarakan dan mengikuti tahapan pemilu legislatif.

Kita tentu berharap tidak ada pemungutan suara ulang, penghitungan suara ulang, diskualifikasi calon,
atau diskualifikasi partai politik peserta pemilu. Namun, jika memang telah terjadi pelanggaran yang
memenuhi unsur TSM, mencederai demokrasi dan asas pemilu, MK memiliki kewenangan konstitusional
untuk memutus sesuai fungsinya mengawal konstitusi dan melindungi demokrasi. Komisi pemilihan
umum (KPU) baik ditingkat Provinsi maupun kabupaten/kota dan seluruh jajaran PPK, PPS, serta KPPS,
harus menyatukan persepsi terkait pentingnya mengawal konstitusionalisme dalam Pemilu 2014.
Khususnya terkait mekanisme penyelesaian sengketa, baik sengketa di Badan Pengawas Pemilu
(Bawaslu), di Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP), di Pengadilan Tata Usaha Negara
(PTUN), maupun di MK. Melalui kesadaran inilah, jajaran penyelenggara pemilu mampu memetakan
tahapan-tahapan yang krusial dan rawan gugatan sehingga bisa mempersiapkan seluruh ketentuan atau
barang bukti yang dibutuhkan pada saat penyelesaian di Bawaslu, DKPP, PTUN, dan MK. Terkait
dengan ketentuan hukum, penyelenggara pemilu harus hati-hati dalam mengambil keputusan karena
berpotensi untuk disengketakan baik oleh partai politik maupun calon legislative (Caleg). Karena
keputusan atau tindakan seorang penyelenggara pemilu tidak hanya diukur dengan legalitas hukum tetapi
juga dilihat dari sisi etik bagaimana keputusan tersebut diambil.

Ketentuan atau regulasi hukum tentang perlengkapan pemilu, pemungutan dan perhitungan suara,
memerlukan pencermatan karena memiliki implikasi teknis dan hukum dalam penyelenggaraan pemilu.
Adanya pengaturan tentang pemilih tambahan, pemilih dalam daftar khusus dan pemilih yang langsung
memilih dengan menggunakan KTP atau paspor, maka keberadaan pemilih ini harus bisa dilihat jika
mereka menggunakan hak pilihnya. Oleh karena itu direkomendasikan agar format dalam berita acara
pemungutan suara bisa memuat jumlah pemilih dari 3 kelompok ini.

Ada dua masalah yang penting dikaji, yaitu terkait proses penyelesaian pemungutan dan penghitungan
suara di TPS dan masalah perbaikan berita acara tingkat sebelumnya jika ditemukan terjadi kesalahan
pada saat pleno di tingkat atasnya. Ketentuan UU yang mengatur tentang penghitungan suara harus
selesai pada hari pemungutan suara sering dimaknai bahwa kegiatan di TPS harus selesai dan tidak
melewati pukul 24:00, karena setelah pukul 24:00 hari sudah berganti. Tetapi, fakta di lapangan ketentuan
ini sering tidak bisa dilaksanakan, terutama penulisan BA penghitungan suaranya yang memerlukan
ketelitian dan kehati-hatian, selain jumlah rangkapnya juga banyak. Selanjutnya, kegiatan rekapitulasi di
tingkat PPS, PPK dan KPU Kabupaten/Kota, masalah yang perlu dicermati adalah proses dan mekanisme
pembetulan jika ditemukan ada kesalahan dalam Berita Acara di tingkat bawahnya. Pembetulan itu
disarankan untuk dapat menghadirkan penyelenggara di bawah yang Berita Acara terjadi kesalahan.

Ada beberapa prasyarat yang harus dipenuhi agar pemilu benar-benar menghasilkan pemerintahan yang
demokratis secara substantif dan bukan sekedar prosesi ritual. Prasyarat tersebut antara lain adalah :
tersedianya aturan main yang jelas dan adil bagi semua peserta, adanya penyelenggara yang independen
dan tidak diskriminatif, pelaksanaan aturan yang konsisten, dan adanya sanksi yang adil kepada semua
pihak. Hukum pemilu adalah seperangat peraturan yang bertujuan menjamin penyelenggaraan pemilu
berjalan sesuai dengan asas pemilu: langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil. Secara operasional,
hukum pemilu mencegah dan memberikan sanksi agar tidak terjadi pelanggaran peraturan pemilu. Hukum
pemilu juga mengatur penyelesaian kasus-kasus sengketa atau perselisihan pemilu yang melibatkan para
pihak.

Mekanisme penyelesaian permasalahan hukum pemilu yang efektif diperlukan untuk menjaga pemilihan
umum yang jujur dan adil (free and fair election). Mekanisme itu penting, tidak sekedar untuk menjaga
demokratisasi pemilu, namun jauh lebih penting bagaimana mekanisme itu mampu melindungi hak pilih
masyarakat dari tindakan manipulatif dan curang. Oleh karena itu, mekanisme hukum pemilu harus
mampu memproyeksikan permasalahan yang akan terjadi. Mekanisme itu tidak hanya memprioritaskan
adanya kepastian akan bunyi ketentuan perundang-undangan, namun lebih dari itu adalah kepastian akan
kekuatan makna aturan main itu sendiri. Dengan kata lain, mekanisme hukum pemilu tidak hanya bersifat
prosedural sehingga berpeluang besar meminggirkan pencarian keadilan.

Praktik pemilu di Indonesia selama ini menunjukkan bahwa persoalan ketaatan hukum dan penegakan
peraturan pemilu masih banyak kekurangan dan kelamahan. Oleh sebab itu, perlu dibangun suatu sistem
penegakan hukum pemilu yang lebih baik dan sesuai dengan standar pemilu demokratis. Di sisi lain,
sebagai penyelenggara pemilu penting memiliki pengetahuan tentang persoalan-persoalan hukum pemilu.
Misalnya, mengetahui klasifikasi permasalahan hukum. Masalah hukum dalam pemilu dapat
diklasifikasikan ke tindak pidana pemilu, pelanggaran administrasi pemilu, perselisihan administrasi
pemilu, perselisihan hasil pemilu, dan pelanggaran kode etik penyelenggara pemilu.

Kode etik bertujuan untuk memastikan terciptanya penyelenggara pemilu yang independent, berintegritas
dan kredibel. Di dalam kode etik tersebut termaktub serangkaian pedoman perilaku penyelenggara
pemilu, KPU, Pengawas Pemilu, serta aparat sekretariat KPU dan Panwaslu, di semua tingkatan dalam
menjalankan tugas dan kewajibannya. Kode Etik ini untuk memastikan bahwa perilaku semua anggota
penyelenggara pemilu sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang ada.

Satu tahapan krusial yang melibatkan peserta pemilu adalah kampanye. Kampanye pemilu adalah
kegiatan peserta pemilu untuk meyakinkan para pemilih dengan menawarkan visi, misi, program peserta
pemilu dan atau informasi lainnya. Kampanye peserta pemilu dilakukan sebagai sarana partisipasi politik
warga negara dan bentuk kewajiban peserta pemilu dalam memberikan pendidikan politik.Kampanye
peserta pemilu dilakukan dalam rangka membangun komitmen antara warga negara dengan peserta
pemilu dengan cara menawarkan visi, misi, program dan/atau informasi lainnya untuk meyakinkan
pemilih dan mendapatkan dukungan sebesar-besarnya. Sebagai bagian dari pendidikan politik masyarakat
kampanye dilakukan secara bertanggung jawab. Bertanggung jawab tentu tidak sekedar dalam skala
waktu terbatas saat melakukan kampanye, namun dampak dari pelaksanaan kampanye juga harus dapat
dipertanggung jawabkan. Melalui pendididikan politik ini pada akhirnya bermuara pada pelaksanaan
kehidupan berbangsa dan bernegara yang bertanggung jawab, sebab pada hakekatnya kehidupan
berbangsa dan bernegara adalah penerapan dari produk pendidikan politik itu sendiri. Salah satu bentuk
kampanye yang sering menjadi diskusi publik adalah pemasangan alat peraga kampanye. KPU melalui
regulasinya telah melakukan pembatasan alat peraga kampanye sebagai perwujudan kampanye sehat.
Pembatasan tidak dimaksudkan untuk mempersempit hak rakyat untuk mengenal calon anggota legislatif.
Ada dua ruang alat peraga kampanye yang kami batasi, yakni baliho dan spanduk, tapi ada alat peraga
lain yang tidak dibatasi.

II. DASAR HUKUM


1. Undang-undangNomor 15 Tahun 2011 Tentang Penyelenggara Pemilihan Umum;
2. Undang-undangNomor 8 Tahun 2012 Tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat,
Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah;
3. Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 03 Tahun 2013 tentang Pembentukan dan Tata Kerja
Panitia Pemilihan Kecamatan, Panitia Pemungutan Suara dan Kelompok Penyelenggara Pemungutan
Suara dalam Penyelenggaraan Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan
Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Tahun 2014
4. Peraturan KPU Nomor 21 Tahun 2013 Tentang Perubahan Keenam Atas Peraturan KPU Nomor 07
Tahun 2012 Sebagaimana Diubah Terakhir Dengan Peraturan KPU Nomor 07 Tahun 2013;
5. Peraturan Bersama Komisi Pemilihan Umum, Badan Pengawas Pemilihan Umum dan Dewan
Kehormatan Penyelenggara Pemilihan Umum Nomor 13 Tahun 2012, Nomor 11 tahun 2012, Nomor 1
Tahun 2012 tentang Kode Etik Penyelenggara Pemilihan Umum;
III. NAMA KEGIATAN , WAKTU DAN TEMPAT
Kegiatan ini dinamakan Bimbingan Teknis Penyelenggara Pemilu Tahun 2014 bertempat di Hotel Grand
Cokro, Klaten pada hari Sabtu, tanggal 25 Januari 2014.

IV. TUJUAN
1. Peserta memahami dan menjadikan Kode Etik Penyelenggara Pemilu sebagai acuan dan pedoman
dalam berperilaku dan bertindak;
2. Memberikan pemahaman dan penyadaran kepada para peserta tentang tahapan Pemilu yang rawan
gugatan dan persoalan hukum;
3. Peserta memiliki pengetahuan dan kemampuan untuk mempersiapkan alat bukti, khususnya terkait
dengan kesiapan dalam perselisihan hasil pemilu (PHPU) di Mahkamah Konstitusi;
4. Peserta memahami regulasi dan keweanangannya dalam tahapan Kampanye Pemilu 2014;
5. Peserta memahami secara utuh tentang seluruh tahapan penyelenggaraan Pemilu 2014;

V. PESERTA
Peserta Bimbingan Teknis adalah seluruh Ketua, Anggota, dan Sekretaris PPK se-Kabupaten Klaten,
berjumlah 156 orang.

VI. JADWAL KEGIATAN

NO. WAKTU MATERI/KEGIATAN NARASUMBER


1. 08.00 – 09.00 WIB Registrasi dan Pembukaan Panitia
2. 08.30 – 09.00 WIB Pembukaan Panitia
3. 09.00 – 10.30 WIB Konsolidasi Pelaksanaan Tahapan KPU Provinsi Jawa Tengah
Penyelenggaraan Pemilu Tahun
2014
4. 10.30 – 12.00 WIB Pemetaan dan Antisipasi Persoalan Fajar S.A.K.A, SH, MH
Hukum dalam Penyelenggaraan
Pemilu 2014
5. 12.00 – 13.00 WIB ISHOMA Panitia
6. 13.00 - 14.30 WIB Kampanye Pemilu Legislatif Tahun Nuswantoro Dwiwarno, SH, MH
2014
7. 14.30 – 14.45 WIB Coffe break Panitia
8. 14.45 – 15.30 WIB Kode Etik Penyelenggara Pemilu Ketua KPU Kabupaten Klaten
dan Persiapan Pembentukan KPPS
9. 15.30 – 16.00 WIB Penutup Panitia

VII. PEMBIAYAAN
Kegiatan Bimbingan Teknis dibiayai oleh APBN Bagian Anggaran 076 Tahun Anggaran 2014.

VIII. PENUTUP
Demikian kerangka acuan Bimbingan Teknis Penyelenggara Pemilu Tahun 2014 untuk dipergunakan
sebagaimana mestinya.

Klaten, 20 Januari 2014

KOMISI PEMILIHAN UMUM


KABUPATEN KLATEN
KETUA,

TTD

SITI FARIDA

Anda mungkin juga menyukai