Anda di halaman 1dari 7

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Tujuan Percobaan
1. Mempelajari pengaruh waktu pengadukan, kecepatan pengadukan, laju
pemanasan dan temperatur sintering terhadap sifat fisika keramik
berpori.
2. Menentukan persentase penyusutan volum (shrinkage) keramik berpori.
3. Menentukan densitas dan porositas keramik berpori.

1.2 Dasar Teori


1.2.1 Keramik
Keramik pada awalnya berasal dari bahasa Yunani, keramikos yang
artinya suatu bentuk dari tanah liat yang telah mengalami proses pembakaran.
Kamus dan ensiklopedia tahun 1950-an mendefinisikan keramik sebagai suatu
hasil seni dan teknologi untuk menghasilkan barang dari tanah liat yang dibakar,
seperti gerabah, genteng, porselin dan sebagainya. Tetapi sekarang ini tidak
semua keramik berasal dari tanah liat. Definisi pengertian keramik terbaru
mencakup semua bahan bukan logam dan anorganik yang berbentuk padat.
Pada prinsipnya keramik terbagi menjadi keramik tradisional dan keramik
teknik. Keramik tradisional adalah keramik yang dibuat dengan menggunakan
bahan alam, seperti kuarsa dan kaolin. Contoh keramik ini adalah barang pecah
belah (dinnerware) keperluan rumah tangga (tile and bricks) serta untuk industry
(refractory). Keramik teknik adalah keramik yang dibuat dengan menggunakan
oksida-oksida logam, seperti Al2O3ZrO2 dan MgO. Penggunaannya terdapat pada
elemen pemanas, semi konduktor dan elemen turbin.
Dewasa ini, beberapa keramik teknik telah diaplikasikan dalam
bidang medis (biomedical). Tri kalsium fosfat dan hidroksiapatit berpori
merupakan keramik yang digunakan dalam implantasi tulang. Hal ini dikarenakan
keramik tersebut memiliki similaritas kimia dengan jaringan tulang. Tulang
merupakan jaringan hidup yang tersusun mineral, matriks, sel, substansi lemak,
polimer alam (polisakarida, kolagen dan polifosfat) dan substansi lain. Jaringan
tulang terdiri dari 69% fase mineral, 9% air dan 22% matriks organik (90-96%
kolagen). Komponen utama dalam fase mineral tulang adalah kalsium fosfat yang
terdiri dari HA, dikalsium fosfat (Ca2P2O7), dibasic kalsium fosfat (DCP,
CaHPO4) dan trikalsium fosfat (TCP, Ca3(PO4)2) (Park, 1984).
Bagian-bagian tulang dapat dilihat pada Gambar 1.1.

Gambar 1.1 Bagian-bagian tulang (Vallet-Regi & Gonzalez-Calbet, 2004)

1.2.2 Fabrikasi Keramik Berpori


Pori keramik dapat dibentuk dengan beberapa metode. Perbedaan metode
dalam fabrikasi keramik berpori akan mempengaruhi derajat porositas, kuat tekan
dan ukuran pori yang dihasilkan. Ukuran pori keramik dapat diklasifikasikan
menjadi mikro, meso dan makro pori. IUPAC merekomendasikan mikro pori
mempunyai ukuran pori <2 nm, meso pori 2-50 nm dan makro pori berukuran >50
nm Keramik berpori dapat difabrikasi melalui ceramic foaming technique,
solvent casting, microwave vacuum sintering, polymeric sponge method dan
starch consolidation (Sing dkk, 1985).

1. Ceramic Foaming Technique


Teknik foaming ini dilakukan dengan penambahan zat foamer. Foaming
agent yang umumnya digunakan adalah hidrogen peroksida, garam karbonat dan
baking powder. Zat-zat tersebut dicampurkan ke dalam TCP kemudian dikalsinasi
(Woyansky dkk, 1992).
Ukuran pori TCP yang dihasilkan bervariasi dari 30-600 mikron.
Kelemahan metode ini terletak pada interkoneksi antar pori yang lemah dan
ukuran pori yang tidak seragam. Tamai dkk (2002) mengembangkan teknik
ceramic foaming dengan adanya ikatan silang polimerisasi yang disebut gel-
casting. Gel-casting telah diterapkan oleh He dkk (2009) dalam fabrikasi alumina
berpori menggunakan protein. Protein yang dipakai adalah protein putih telur
(EWP) dan protein whey yang terisolasi (WPI). Alumina yang dihasilkan
mempunyai derajat porositas 86,5-87% dengan kuat tekan 6,36-7,87 MPa. Hasil
SEM alumina berpori yang diperoleh dapat dilihat pada Gambar 1.2.

Gambar 1.2 Hasil SEM alumina berpori (He dkk, 2009)

2. Salt-Solvent Casting
Metode ini menggunakan garam seperti natrium klorida dan pelarut
polimer sebagai pembentuk pori. Campuran zat-zat tersebut ditambahkan ke
dalam TCP dan dicetak (pressing), kemudian dilarutkan dalam air hingga
kristal garam terlepas. Skema salt-solvent casting dapat dilihat pada Gambar
1.3. Metode ini menghasilkan kalsium fosfat dengan diameter makro pori
100-500 µm, interkonektivitas antar pori yang baik dan derajat porositas
berkisar 87-91% (Walsh dkk, 2008).
Gambar 1.3 Skema salt-solvent casting (Abdurrahim & Sopyan, 2008)

3. Polymeric Sponge Method


Penggunaan polimer berpori dapat menghasilkan TCP berpori
dengan interkonektivitas antar pori yang baik. Impregnasi polimer dan proses
sintering pada TCP akan menghasilkan TCP berpori dengan porositas + 45%.
Polymeric sponge method ditunjukkan oleh Gambar 1.4. Ramay & Zhang
(2003) telah mengkombinasikan polymeric sponge method dengan metode
gel-casting. Penggabungan metode ini menghasilkan TCP berpori dengan ukuran
pori 200-400 µm, mechanical strength yang meningkat, struktur mikro yang
homogen dan seragam serta interkonektivitas antar pori yang baik.

Gambar 1.4 Diagram alir polymeric sponge method (Haugen dkk, 2004)
4. Starch Consolidation Method
Starch merupakan zat pati yang terdiri dari jagung, sorgum, kentang, ubi
dan wheat. Umumnya starch berwarna putih dan tidak larut dalam air pada
temperatur ruang. Starch consolidation merupakan metode pembentukan pori
dengan menambahkan pati pada keramik. Campuran tersebut lalu ditambahkan air
hingga membentuk suspensi dan dimasukkan ke furnace untuk sintering.
Metode ini menghasilkan porositas 45-70% dengan kuat tekan 2-15 MPa
(Abdurrahim & Sopyan, 2008).
Mekanisme penggabungan starch dengan material keramik dapat dilihat
pada Gambar 1.5.

Gambar 1.5 Mekanisme starch consolidation (Mahata dkk, 2012)

1.2.3 Drying dan Sintering


Dua proses penting dalam fabrikasi keramik adalah drying dan sintering.
Drying merupakan proses pemisahan air dari campuran. Dalam fabrikasi keramik,
drying dibutuhkan untuk melepaskan air dari slurry. Selama proses berlangsung,
molekul air berdifusi ke permukaan dimana proses evaporasi terjadi. Tahapan
proses pelepasan molekul air dapat dilihat pada Gambar 1.6. Gambar tersebut
menunjukkan bahwa selama proses drying, material akan mengalami penyusutan.
Penyusutan yang terjadi dikarenakan air telah terevaporasi keluar bahan sehingga
ukuran material semakin kecil. Material yang telah melewati proses ini disebut
green bodies.
Gambar 1.6 Pelepasan air selama drying (a) keramik basah, (b) sebagian air telah
hilang dan (c) keramik kering

Sintering merupakan proses pemanasan pada temperatur tinggi


untuk meningkatkan kekuatan mekanik material. Proses ini juga dapat
didefinisikan sebagai proses produksi suatu material dengan mikro struktur dan
porositas yang terkontrol. Sintering dapat diklasifikasikan menjadi sintering fasa
padat dan fasa cair. Sintering fasa padat terjadi jika material berada dalam fasa
padat pada temperatur sintering sedangakan sintering fasa cair terjadi apabila
terdapat cairan selama sintering berlangsung. Selama sintering berlangsung,
struktur partikel material akan tumbuh (coarsening) dan menyatu membentuk
kesatuan massa (densifikasi) (Kang, 2005). Hal ini merupakan fenomena
dasar dari proses sintering dan dapat diilustrasikan seperti pada Gambar 1.7.
Selama coarsening dan densifikasi berlangsung, terjadi pergerakan
partikel material. Pergerakan tersebut terjadi secara kompleks dan dikarenakan
adanya difusi permukaan (Ds), difusi gas (Dg), difusi kisi (Dl), difusi boundary
(Db), perbedaan viskositas (η) dan perbedaan tekanan uap (Δp) partikel. Gambar
1.8 menunjukkan mekanisme pergerakan partikel dalam sintering.

Gambar 1.7 Fenomena dasar yang terjadi selama sintering (Kang, 2005)
Gambar 1.8 Mekanisme pergerakan partikel material
dalam sintering (Kang, 2005)

Pergerakan partikel material berkaitan erat dengan laju densifikasi (laju


sintering). Pergerakan ini dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti pada Gambar
1.9. Laju densifikasi akan meningkat apabila temperatur semakin tinggi, tekanan
semakin besar, ukuran partikel semakin kecil dan waktu sintering yang semakin
lama.

Gambar 1.9 Pengaruh variabel sintering terhadap densifikasi (T, temperatur; P,


tekanan dan L, ukuran partikel) (Kang, 2005)

Anda mungkin juga menyukai