Anda di halaman 1dari 8

PERKEMBANGAN NILAI MORAL DAN SIKAP PADA

MASA REMAJA
3 12 2008

A. Pendahuluan

Akhir-akhir ini, remaja menjadi fenomenal untuk dikaji dan diteliti oleh banyak kalangan
khususnya dalam persoalan moral dan prilakunya, ada perbedaan moral dan sikap yang dimiliki
oleh remaja pada masa sekarang dengan remaja pada masa dahulu, inilah yang menjadikan
alasan kenapa remaja menjadi obyek yang fenomenal untuk diteliti dan dikaji. Remaja pada masa
dahulu lebih mengedepankan moral dan sikapnya dibandingkan dengan ego (nafsu), sehingga
muncul dalam pola tindaknya kesopanan dalam bergaul, menghormati orang yang lebih tua,
memiliki tutur kata yang lembut dan lain sebagainnya. Tetapi sebaliknya, remaja pada masa
sekarang lebih mengedepankan egonya dari pada nilai moral dan sikap, sehingga yang muncul
adalah sikap mau menang sendiri, tidak mau disalahkan meskipun dalam keadaan yang bersalah
dan tidak mau menghormati orang lain.

Terjadinya perbedaan pola sikap dan pola tindak remaja masa sekarang dengan remaja
masa dahulu tidak terlepas dari pengaruh globalisasi. Ronald Robertson, mengatakan dalam
Globalization, Social Theory and Global Culture, bahwa globalisasi merupakan karakteristik
hubungan antara penduduku bumi ini yang melampau batas-batas konvensional, seperti bangsa
dan negara. Dalam proses tersebut negara telah dimamfaatkan dan terjadi intensifikasi kesadaran
terhadap dunia sebagai kesatua utuh.[1] Dengan ini tidak ada lagi pembatas yang bisa dijadikan
batas oleh suatu negara dengan begitu maka akan terjadi akulturasi (pencampuran kebudayaan)
antara budaya Barat dengan budaya Indonesia yang memiliki perbedaan secara fundamintal.
Barat lebih kepada paham liberalisme (kebebasan), mereka menjunjung tinggi kebebasan,
termasuk kebebasan dalam mengekspresikan hidup, sedangkan Indonesia lebih berpegangteguh
kepada nilai-nilai atau norma-norma agama, yang diyakini sebagai pengangan hidup. Fatalnya
adalah remaja-remaja kita pada masa sekarang tidak dapat memfilter (menyaring) budaya-
budaya Barat yang dapat merusak kehidupannya, semua budaya Barat kita adopsi sebagai suatu
nilai atau norma dalam menjalankan kehidupan.

Sealain itu, Globalisasi biasanya ditandai oleh tiga hal, pertama, perkembangan informasi
dan telekomunikasi; kedua, perkembangan teknbologi; ketiga, liberalisasi. Perkembangan
telekomonikasi dan informasi yang seharusnya mempermudah kita untuk dapat menjangkau
dunia lebih dekat dan dengan cepat meperoleh informasi, malah menjadi bumerang bagi remaja
kita, mereka lebih mendapatkan informasi-informasi yang negatif yang dapat merusak
kehidupannya. Perkembangan teknolog yang katanya dapat mempermudah kita malah menjadi
megia imitasi (peniruan) dan edukasi (pendidikan) yang tidak baik.

Menjadi tugas kita semua untuk memperbaiki pola sikap dan pola tindak remaja kita,
maka kajian tentang “perkembangan nilai moral dan sikap pada masa remaja” menjadi hal yang
sangat penting, sebagai langkah awal untuk menciptakan suatu perubahan pada remaja, dengan
cara memberi wawasan tentang perkembangan nilai moral dan sikap pada masa remaja. Dengan
begitu yang akan kita kaji adalah, Bagaimana perkembangan nilai moral dan sikap pada masa
remaja? Dan bagaimana remaja dapat melaksanakan tahapan-tahapan perkembangan nilai moral
dan sikap tersebut?

B. Pembahasan

Sebelum membahas tentang perkembangan nilai moral dan sikap pada masa remaja, ada
dua istilah yang sangat penting untuk kita ketahui, pertama, “pertumbuhan dan kedua
“perkembangan”. Ada beberapa pendapat yang berbeda untuk memberi arti dua istilah tersebut,
Maka hal ini perlu kita bahas untuk menghindari penafsiran yang berbeda tentang kedua istilah
tersebut.

Prof. Dr. Sunarto, dalam bukunya Perkembangan Peserta Didik, membedakan kedua
istilah tersebut, beliau mengatakan bahwa pertumbuhan selalu berkaitan dengan perubahan
kuantitatif yang menyangkut peningkatan ukuran dan struktur biologis. Maka beliu menjelaskan
bahwa pertumbuhan adalah perubahan secara fisiologis sebagai hasil dari proses pematangan
fungsi-fungsi fisik yang berlangsung secara normal pada anak yang sehat, dalam perjalanan
waktu tertentu.[2] Sedangkan mengenai perkembangan Prof. Dr. Sunarto mengutip pendapatnya
Bijou dan Baer (1961) yang mengemukakan bahwa perkembangan adalah perubahan progresif
yang menunjukkan cara organisme bertingkah laku dan berintraksi dengan lingkungan. Interaksi
yang dimaksud di sini adalah apakah suatu jawaban tingkah laku akan diperlihatkan atau tidak,
tergantung dari perangsang-perangsang yang ada dilingkugannya.[3] Jadi pertumbuhan adalah
peningkatan fisik dalam keadaan tertentu, sedangkan perkembangan lebih kepada pola sikap dan
pola tindak.

Tetapi dalam makalah ini kami tidak akan membedakan antara pertumbuhan dan
pengembangan, tetapi kami akan menggabungkan kedua istilah tersebut baik pertumbuhan
ataupun perkembangan pada masa remaja. Pertumbuhan secarafisik dan perkembangan secara
sikap dan prilaku pada masa remaja akan kami satukan dalam makalah ini.

Perkembangan Nilai Moral dan Sikap

Menurut Danel Susanto, pertumbuhan ataupun perkembangan pada masa remaja biasanya
ditandai oleh beberapa perubahan-perubahan, seperti dibawah ini:[4]

1. Perubahan fisik

Pada masa remaja terjadi pertumbuhan fisik yang cepat dan proses kematangan seksual.
Beberapa kelenjar yang mengatur fungsi seksualitas pada masa ini telah mulai matang dan
berfungsi. Disamping itu tanda-tanda seksualitas sekunder juga mulai nampak pada diri
remaja.

2. Perubahan intelek

Menurut perkembangan kognitif yang dibuat oleh Jean Piaget, seorang remaja telah beralih
dari masa konkrit-operasional ke masa formal-operasional. Pada masa konkrit-operasional,
seseorang mampu berpikir sistematis terhadap hal-hal atau obyek-obyek yang bersifat
konkrit, sedang pada masa formal operasional ia sudah mampu berpikir se-cara sistematis
terhadap hal-hal yang bersifat abstrak dan hipotetis. Pada masa remaja, seseorang juga sudah
dapat berpikir secara kritis.

3. Perubahan emosi

Pada umumnya remaja bersifat emosional. Emosinya berubah menjadi labil. Menurut aliran
tradisionil yang dipelopori oleh G. Stanley Hall, perubahan ini terutama disebabkan oleh
perubahan yang terjadi pada kelenjar-kelenjar hor-monal. Namun penelitian-penelitian ilmiah
selanjutnya menolak pendapat ini. Sebagai contoh, Elizabeth B. Hurlock menyatakan bahwa
pengaruh lingkungan sosial terhadap per-ubahan emosi pada masa remaja lebih besar artinya
bila dibandingkan dengan pengaruh hormonal.

4. Perubahan sosial

Pada masa remaja, seseorang memasuki status sosial yang baru. Ia dianggap bukan lagi anak-
anak. Karena pada masa remaja terjadi perubahan fisik yang sangat cepat sehingga
menyerupai orang dewasa, maka seorang remaja juga sering diharapkan bersikap dan
bertingkahlaku seperti orang dewasa. Pada masa remaja, seseorang cenderung untuk meng-
gabungkan diri dalam ‘kelompok teman sebaya’. Kelompok so-sial yang baru ini merupakan
tempat yang aman bagi remaja. Pengaruh kelompok ini bagi kehidupan mereka juga sangat
kuat, bahkan seringkali melebihi pengaruh keluarga. Menu-rut Y. Singgih D. Gunarsa &
Singgih D. Gunarsa, kelompok remaja bersifat positif dalam hal memberikan kesempatan
yang luas bagi remaja untuk melatih cara mereka bersikap, bertingkahlaku dan melakukan
hubungan sosial. Namun kelompok ini juga dapat bersifat negatif bila ikatan antar mereka
menjadi sangat kuat sehingga kelakuan mereka menjadi “overacting’ dan energi mereka
disalurkan ke tujuan yang bersifat merusak.

5. Perubahan moral

Pada masa remaja terjadi perubahan kontrol tingkahlaku moral: dari luar menjadi dari dalam.
Pada masa ini terjadi juga perubahan dari konsep moral khusus menjadi prinsip moral umum
pada remaja. Karena itu pada masa ini seorang remaja sudah dapat diharapkan untuk
mempunyai nilai-nilai moral yang dapat melandasi tingkahlaku moralnya. Walaupun
demikian, pada masa remaja, seseorang juga mengalami kegoyahan tingkah laku moral. Hal
ini dapat dikatakan wajar, sejauh kegoyahan ini tidak terlalu menyimpang dari moraliatas
yang berlaku, tidak terlalu merugikan masyarakat, serta tidak berkelanjutan setelah masa
remaja berakhir.

Khusus mengenai perubahan nilai moral dan sikap pada masa remaja ada tiga tahap, hal
ini dari hasil penyelidikan-penyelidikan yang dilakukan oleh Kohlberg, yang disebut dengan
teori perkembangan kognitif, sebagai berikut:[5]

Tingkat 1 (Pra-Konvensional)

1. Orientasi kepatuhan dan hukuman


2. Orientasi minat pribadi

Tingkat 2 (Konvensional)

1. Orientasi keserasian interpersonal dan konformitas

( Sikap anak baik)

1. Orientasi otoritas dan pemeliharaan aturan sosial

( Moralitas hukum dan aturan)

Tingkat 3 (Pasca-Konvensional)

1. Orientasi kontrak sosial


2. Prinsip etika universal

( Principled conscience)

Pra-Konvensional

Tingkat pra-konvensional dari penalaran moral umumnya ada pada anak-anak, walaupun
orang dewasa juga dapat menunjukkan penalaran dalam tahap ini. Seseorang yang berada dalam
tingkat pra-konvensional menilai moralitas dari suatu tindakan berdasarkan konsekuensinya
langsung. Tingkat pra-konvensional terdiri dari dua tahapan awal dalam perkembangan moral,
dan murni melihat diri dalam bentuk egosentris.

Dalam tahap pertama, individu-individu memfokuskan diri pada konsekuensi langsung


dari tindakan mereka yang dirasakan sendiri. Sebagai contoh, suatu tindakan dianggap salah
secara moral bila orang yang melakukannya dihukum. Semakin keras hukuman diberikan
dianggap semakin salah tindakan itu. Sebagai tambahan, ia tidak tahu bahwa sudut pandang
orang lain berbeda dari sudut pandang dirinya. Tahapan ini bisa dilihat sebagai sejenis
otoriterisme.

Tahap dua menempati posisi apa untungnya buat saya, perilaku yang benar didefinisikan
dengan apa yang paling diminatinya. Penalaran tahap dua kurang menunjukkan perhatian pada
kebutuhan orang lain, hanya sampai tahap bila kebutuhan itu juga berpengaruh terhadap
kebutuhannya sendiri, seperti “kamu garuk punggungku, dan akan kugaruk juga punggungmu.”
Dalam tahap dua perhatian kepada oranglain tidak didasari oleh loyalitas atau faktor yang berifat
intrinsik. Kekurangan perspektif tentang masyarakat dalam tingkat pra-konvensional, berbeda
dengan kontrak sosial (tahap lima), sebab semua tindakan dilakukan untuk melayani kebutuhan
diri sendiri saja. Bagi mereka dari tahap dua, perpektif dunia dilihat sebagai sesuatu yang bersifat
relatif secara moral.

Konvensional
Tingkat konvensional umumnya ada pada seorang remaja atau orang dewasa. Orang di
tahapan ini menilai moralitas dari suatu tindakan dengan membandingkannya dengan pandangan
dan harapan masyarakat. Tingkat konvensional terdiri dari tahap ketiga dan keempat dalam
perkembangan moral.

Dalam tahap tiga, seseorang memasuki masyarakat dan memiliki peran sosial. Individu
mau menerima persetujuan atau ketidaksetujuan dari orang-orang lain karena hal tersebut
merefleksikan persetujuan masyarakat terhadap peran yang dimilikinya. Mereka mencoba
menjadi seorang anak baik untuk memenuhi harapan tersebut, karena telah mengetahui ada
gunanya melakukan hal tersebut. Penalaran tahap tiga menilai moralitas dari suatu tindakan
dengan mengevaluasi konsekuensinya dalam bentuk hubungan interpersonal, yang mulai
menyertakan hal seperti rasa hormat, rasa terimakasih, dan golden rule. Keinginan untuk
mematuhi aturan dan otoritas ada hanya untuk membantu peran sosial yang stereotip ini. Maksud
dari suatu tindakan memainkan peran yang lebih signifikan dalam penalaran di tahap ini;
‘mereka bermaksud baik…’.

Dalam tahap empat, adalah penting untuk mematuhi hukum, keputusan, dan konvensi
sosial karena berguna dalam memelihara fungsi dari masyarakat. Penalaran moral dalam tahap
empat lebih dari sekedar kebutuhan akan penerimaan individual seperti dalam tahap tiga;
kebutuhan masyarakat harus melebihi kebutuhan pribadi. Idealisme utama sering menentukan
apa yang benar dan apa yang salah, seperti dalam kasus fundamentalisme. Bila seseorang bisa
melanggar hukum, mungkin orang lain juga akan begitu – sehingga ada kewajiban atau tugas
untuk mematuhi hukum dan aturan. Bila seseorang melanggar hukum, maka secara ia salah
secara moral, sehingga celaan menjadi faktor yang signifikan dalam tahap ini karena
memisahkan yang buruk dari yang baik.

Pasca-Konvensional

Tingkatan pasca konvensional, juga dikenal sebagai tingkat berprinsip, terdiri dari tahap
lima dan enam dari perkembangan moral. Kenyataan bahwa individu-individu adalah entitas
yang terpisah dari masyarakat kini menjadi semakin jelas. Perspektif seseorang harus dilihat
sebelum perspektif masyarakat. Akibat ‘hakekat diri mendahului orang lain’ ini membuat
tingkatan pasca-konvensional sering tertukar dengan perilaku pra-konvensional.

Dalam tahap lima, individu-individu dipandang sebagai memiliki pendapat-pendapat dan


nilai-nilai yang berbeda, dan adalah penting bahwa mereka dihormati dan dihargai tanpa
memihak. Permasalahan yang tidak dianggap sebagai relatif seperti kehidupan dan pilihan jangan
sampai ditahan atau dihambat. Kenyataannya, tidak ada pilihan yang pasti benar atau absolut –
‘memang anda siapa membuat keputusan kalau yang lain tidak’? Sejalan dengan itu, hukum
dilihat sebagai kontrak sosial dan bukannya keputusan kaku. Aturan-aturan yang tidak
mengakibatkan kesejahteraan sosial harus diubah bila perlu demi terpenuhinya kebaikan
terbanyak untuk sebanyak-banyaknya orang. Hal tersebut diperoleh melalui keputusan
mayoritas, dan kompromi. Dalam hal ini, pemerintahan yang demokratis tampak berlandaskan
pada penalaran tahap lima.
Dalam tahap enam, penalaran moral berdasar pada penalaran abstrak menggunakan
prinsip etika universal. Hukum hanya valid bila berdasar pada keadilan, dan komitmen terhadap
keadilan juga menyertakan keharusan untuk tidak mematuhi hukum yang tidak adil. Hak tidak
perlu sebagai kontrak sosial dan tidak penting untuk tindakan moral deontis. Keputusan
dihasilkan secara kategoris dalam cara yang absolut dan bukannya secara hipotetis secara
kondisional (lihat imperatif kategoris dari Immanuel Kant). Hal ini bisa dilakukan dengan
membayangkan apa yang akan dilakukan seseorang saat menjadi orang lain, yang juga
memikirkan apa yang dilakukan bila berpikiran sama (lihat veil of ignorance dari John Rawls).
Tindakan yang diambil adalah hasil konsensus. Dengan cara ini, tindakan tidak pernah menjadi
cara tapi selalu menjadi hasil; seseorang bertindak karena hal itu benar, dan bukan karena ada
maksud pribadi, sesuai harapan, legal, atau sudah disetujui sebelumnya. Walau Kohlberg yakin
bahwa tahapan ini ada, ia merasa kesulitan untuk menemukan seseorang yang menggunakannya
secara konsisten. Tampaknya orang sukar, kalaupun ada, yang bisa mencapai tahap enam dari
model Kohlberg ini.

Melakukan Tahapan-tahapan Dengan Baik

Setelah kita mengetahui dari uraian di atas tentang tahapan-tahapan perkembangan nilai moral
dan sikap, maka sangatlah penting pendidikan moral untuk suksesnya remaja melakukan
tahapan-tahapan nilai moral tersebut. Pendidikan tersebut dapat dilakukan di rumah tangga,
sekolah, dan masyarakat.[6]

1. Pendidikan moral dalam rumah tangga

a. pertama-tama yang harus diperhatikan adalah penyelamatan hubungan ibu-bapak,


sehingga pergaulan dan kehidupan mereka dapat menjadi contoh bagi anak-anaknya.
b. Pendidikan moral yang paling baik, terdapat dalam agama, karena nilai moral yang dapat
dipatuhi dengan sukarela, tanpa ada paksaan dari luar, hanya dari kesadaran sendiri,
datangya dari keyakinan sendiri.
c. Orang tua harus memperhatikan pendidikan moral serta tingkah laku anak-anaknya.
d. Pendidikan dan perlakuan orang tua terhadap anaknya hendaknya menjamin segala
kebutuhannya, baik fisik ataupun psikis ataupun sosial.

2. Pendidikan moral dalam sekolah

a. Hendaknya dapat diusahakan supaya sekolah menjadi lapangan yang baik bagi
penumbuhan dan pengembangan mental dan moral anak didik.
b. Pendidikan agama, haruslah dilakukan secara intensif
c. Hendaknya segala sesuatu yang berhubungan dengan pendidikan dan pengajaran (baik
guru, pegawai , buku, peraturan dan alat-alat) dapat membawa anak didik kepada
pembinaan mental yang sehat.

3. Pendidikan moral dalam masyarakat

a. sebelum menghadapai pendidikan anak, maka masyarakat yang telah rusak moralnya
diperbaiki terlebih dahulu.
b. Mengusahakan supayamasyarakat, termasuk pemimpin dan penguasanya menyadari
betapa pentingnya masalah pendidikan moral anak.
c. Supaya segala mas media , terutama siaan radio dan TV., memperhatikan setiap macam
uraian, petunjukan, kesenian dan ungkapa tidak boleh bertentangan dengan agama.

C. Penutup

Kesimpulan

Masa remaja adalah masa peralihan dari masa kanak-kanak menuju masa dewasa. Masa
ini biasanya dimulai pada saat seseorang mencapai kamatangan seksual dan diakhiri pada saat ia
mencapai kedewasaan.

Lamanya masa peralihan ini ditentukan berbeda-beda oleh para ahli, tergantung dari
sudut pandang mereka masing-masing. Sebagai contoh, Y. Singgih D. Gunarsa & Singgih D.
Gunarsa membatasi masa remaja pada usia: 12-22 tahun. Menurut mereka, masa remaja yang
cukup panjang ini masih dapat dibagi lagi dalam 3 tahap, yaitu: (1) masa persiapan fisik, antara
umur 11-15 tahun, (2) masa persiapan diri, antara umur 15-18 tahun, dan (3) masa persiapan
dewasa, antara umur 18-21 tahun.

Pada masa persiapan fisik, yang paling menyolok pada diri remaja adalah perubahan fisik
yang sedang dialaminya. Pada saat remaja memasuki masa persiapan diri, pada umumnya
kematangan tubuh dan kedewasaan seksual sudah tercapai. Pada masa ini ia sedang menyiapkan
diri menuju pembentukan pribadi yang dewasa. Pada masa persiapan dewasa, remaja diharapkan
sudah mencapai status kedewasaan dalam lingkungan keluarga. Pada masa ini ia harus
menyiapkan masa depan, peran dan penempatan dirinya dalam masyarakat.

Adapun tahapan tahapan perkembangan nilai moral dan sikap untuk menciptakan
kedewasaan pada diri remaja sebagai berikut:

Tingkat 1 (Pra-Konvensional)

1. Orientasi kepatuhan dan hukuman

2. Orientasi minat pribadi

Tingkat 2 (Konvensional)

1. Orientasi keserasian interpersonal dan konformitas

( Sikap anak baik)

2. Orientasi otoritas dan pemeliharaan aturan sosial

( Moralitas hukum dan aturan)


Tingkat 3 (Pasca-Konvensional)

1. Orientasi kontrak sosial

2. Prinsip etika universal

( Principled conscience)

Sedangkan untuk mencapai tahapan-tahapan perkembangan nilai moral dan sikap di atas
membeutuhkan pendidikan moral, sebagai berikut

1. pendidikan moral di rumah


2. pendidikan moral di sekolah
3. pendidikan moral di masyarakat

Saran

Adapun saran yang dapat kami sampaikan, setelah kami mengkasi tentang perkembangan nilai
moral dan sikap pada masa remaja adalah:

1. orang tua di dalam rumah harus bertanggung jawab untuk mendidika moral anaknya
2. guru di sekolah juga bertanggungjawab untuk mendidik moral anak didiknya, tidak hanya
sekedar pintar dalam keilmuan tetapi harius pentar dalam bertindak dan bersikap
(berakhlak).
3. masyarakat harus ikut serta mencegah anak yang amoral dan mendukung anak yang
bermoral.

[1]Ahmad Gunawan, Muammar Romadhan (Penyuting), Menggagas Hukum Progresif


Indonesia, Pustaka Pelajar, 2006, hlm. 177. Giddens, mengibaratkan bahwa saat ini kita semua
hidup dalam satu dunia, yang tampa batas dan jarak.

[2] Sunarto, Perkembangan Peserta Didik, Rineka Cipta, 2002, hlm. 35.

[3] Ibid, hlm. 39.

[4] Lihat di www. Google.com.

[5] Op. Cit. Sunarto, hlm. 172. dan lihat juga di www. Wikipedia.com.

[6] Zakiah Daradjat, Membina Nilai-nilai Moral di Indonesia, Bulan Bintang, 1968, hlm. 19.

Anda mungkin juga menyukai