Anda di halaman 1dari 12

PERKEMBANGAN NILAI,MORAL DAN SIKAP PESERTA DIDIK

Disusun Oleh

Kelompok 9 :

Dian (06101281924015)

Indah Khovivah (06101281924065)

Irvan Avandi (06101281924056)

Sella Devyanti (06101281924027)

UNIVERSITAS SRIWIJAYA

TAHUN AJAR 2020/2021


DAFTAR ISI

A. Pengertian Moral,Nilai dan Sikap...........................................................................................

B. Hubungan Nilai,Moral dan Sikap............................................................................................

C. Karakteristik Nilai,Moral dan Sikap Remaja...........................................................................

D. Faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Nilai,Moral dan Sikap.......................................

E. Perbedaan Individual dalam Perkembangan Nilai,Moral dan Sikap.......................................

F. Upaya Mengembangkan Nilai, Moral, danSikap Remaja Serta Implikasinya dalam


Penyelenggaran Pendidikan.........................................................................................................
A.    Pengertian Nilai, Moral dan Sikap

Ada tiga konsep yang masing-masing mempuyai makna, pengaruh, dan konsekuensi yang
besar terhadap perkembangan perilaku individu, termasuk juga perilaku remaja.

1)      Nilai

Dalam kamus bahasa Indonesia, nilai adalah harga, angka kepandaian. Adapun menurut
Spranger, nilai diartikan sebagai suatu tatanan yang dijadikan panduan oleh individu untuk
menimbang dan memilih alternatif keputusan dalam situasi sosial tertentu. 

Dalam perspektif Spranger, kepribadian manusia terbentuk dan berakar pada tatanan nilai-
nilai dan kesejahteraan. Meskipun menempatkan konteks social

sebagai dimensi nilai dalam kepribadian manusia, tetapi spranger tetap mengakui kekuatan
individual yang dikenal dengan istilah “ roh subjektif” (subjective spirit) dan kekuatan nilai-
nilai budaya merupakan “roh objektif” (objevtive spirit). Roh objektif akan berkembang
manakala didukung oleh roh subjektif, sebaliknya roh subjektif terbentuk dan berkembang
dengan berpedoman kepada roh objektif yang diposisikan sebagai cita-cita yang harus
dicapai.

Menurut Harrocks, Nilai merupakan sesuatu yang memungkinkan individu atau kelompok
sosial membuat keputusan mengenai apa yang dibutuhkan atau sebagai suatu yang ingin
dicapai.

Dalam buku psikologi perkembangan peserta didik oleh Prof. Sinolungan mengatakan nilai


adalah suatu yang diyakini kebenarannya, dipercayai dan dirasakan kegunaannya, serta
diwujudkan dalam sikap atau perilakunya. Jadi, nilai bersifat normatif, suatu keharusan yang
menuntut diwujudkan dalam tingkah laku, misalnya nilai kesopanan dan kesederhanaan.
Misalnya, seseorang yang selalu bersikap sopan santun akan selalu berusaha menjaga tutur
kata dan sikap sehingga dapat membedakan tindakan yang baik dan yang buruk. Dengan kata
lain, nilai-nilai perlu dikenal terlebih dahulu, kemudian dihayati dan didorong oleh moral,
baru kemudian akan terbentuk sikap tertentu terhadap nilai-nilai tersebut.

2)      Moral

Istilah moral berasal dari kata Latin Mores yang artinya tata cara dalam kehidupan, adat
istiadat, atau kebiasaan. Maksud moral adalah sesuai dengan ide-ide yang umum diterima
tentang tindakan manusia mana yang baik dan wajar. Moral merupakan kaidah norma dan
pranata yang mengatur perilaku individu dalam kehidupannya dengan kelompok sosial dan
masyarakat. Moral merupakan standar baik-buruk yang ditentukan bagi individu sebagai
anggota sosial. Moralitas merupakan aspek kepribadian yang diperlukan seseorang dalam
kaitannya dengan kehidupan sosial secara harmonis, adil, dan seimbang. Perilaku moral
diperlukan demi terwujudnya kehidupan yang damai penuh keteraturan, ketertiban, dan
keharmonisan.

3)      Sikap

Fishbein (1975) mendefenisikan sikap adalah predisposisi emosional yang dipelajari untuk
merespon secara konsisten terhadap suatu objek. Sikap merupakan variabel laten yang
mendasari, mengarahkan dan mempengaruhi perilaku. Sikap tidak identik dengan respons
dalam bentuk perilaku, tidak dapat diamati secara langsung tetapi dapat disimpulkan dari
konsistensi perilaku yang dapat diamati. Secara operasional, sikap dapat diekspresikan dalam
bentuk kata-kata atau tindakan yang merupakan respons reaksi dari sikapnya terhadap objek,
baik berupa orang, peristiwa, atau situasi.

Menurut Chaplin (1981) dalam Dictionary of Psychology menyamakan sikap dengan


pendirian. Chaptin menegaskan bahwa sumber dari sikap tersebut bersifat kultural, familiar,
dan personal. Artinya, kita cenderung beranggapan bahwa sikap-sikap itu akan berlaku dalam
suatu kebudayaan tertentu, selaku tempat individu dibesarkan. Jadi, ada semacam sikap
kolektif (collective attitude) yang menjadi stereotipe sikap kelompok budaya masyarakat
tertentu. Sebagian besar dari sikap itu berlangsung dari generasi ke generasi di dalam struktur
keluarga. Akan tetapi, beberapa darin tingkah laku individu juga berkembang selaku orang
dewasa berdasarkan pengalaman individu itu sendiri. Para ahli psikologi sosial bahkan
percaya bahwa sumber-sumber penting dari sikap individu adalah propaganda dan sugesti
dari penguasa-penguasa, lembaga pendidikan, dan lembaga-lembaga lainnya yang secara
sengaja diprogram untuk mempengaruhi sikap dan perilaku individu.

Sikap merupakan salah satu aspek psikologi individu yang sangat penting karena sikap
merupakan kecenderungan untuk berperilaku sehingga akan banyak mewarnai perilaku
seseorang. Sikap setiap orang berbeda atau bervariasi, baik kualitas maupun jenisnya
sehingga perilaku individu menjadi bervariasi. Pentingnya aspek sikap dalam kehidupan
individu, mendorong para psikolog untuk mengembangkan teknik dan instrumen untuk
mengukur sikap manusia. Beberapa tipe skala sikap telah dikembangkan untuk mengukur
sikap individu, kelompok, maupun massa untuk mengukur pendapat umum sebagai dasar
penafsiran dan penilaian sikap.

B.     Hubungan Antara Nilai, moral, dan Sikap

Nilai merupakan dasar pertimbangan bagi individu untuk sesuatu, moral merupakan perilaku
yang seharusnya dilakukan atau dihindari, sedangkan sikap merupakan predikposisi atau
kecenderungan individu untuk merespon terhadap suatu objek atau sekumpulan objek
bebagai perwujudan dari sistem nilai dan moral yang ada di dalam dirinya. Sistem nilai
mengarahkan pada pembentukan nilai-nilai moral tertentu yang selanjutnya akan menentukan
sikap individu sehubungan dengan objek nilai dan moral tersebut. Dengan sistem nilai yan
dimiliki individu akan menentukan perilaku mana yang harus dilakukan dan yang harus
dihindarkan, ini akan tampak dalam sikap dan perilaku nyata sebagai perwujudan dari sistem
nilai dan moral yang mendasarinya.

Bagi Sigmund Freud (Gerald Corey, 1989), yang telah menjelaskan melalui teori
Psikoanalisisnya, antara nilai, moral, dan sikap adalah satu kesatuan dan tidak dibeda-
bedakan. Dalam konsep Sigmund Freud, struktur kepribadian manusia itu terdiri dari tiga,
yaitu:

1)      Id atau Das Es, Id berisi dorongan naluriah, tidak rasional, tidak logis, tak sadar,
amoral, dan bersifat memenuhi dorongan kesenangan yang diarahkan untuk mengurangi
ketegangan atau kecemasan dan menghindari kesakitan.

2)      Ego atau Das Ich, Ego merupakan eksekutif dari kepribadian yang memerintah,


mengendalikan dan mengatur kepribadian individu. Tugs utama Ego adalah mengantar
dorongan-dorongan naluriah dengan kenyataan yang ada di dunia sekitar.

3)      Super Ego atau Da Uber Ich, Superego adalah kode moral individu yang tugas
utamanya adalah mempertimbangkan apakah suatu tindakan baik atau buruk, benar atau
salah. Superego memprestasikan hal-hal yang ideal bukan hal-hal yang riil, serta mendorong
ke arah kesempurnaan bukan ke arah kesenangan.

 
Dalam konteksnya hubungan antara nilai, moral, dan sikap jika ketiganya sudah menyatu
dalam superego dan seseorang yang telah mampu mengembangkan superegonya dengan baik,
sikapnya akan cenderung didasarkan atas nilai-nilai luhur dan aturan moral tertentu sehingga
akan terwujud dalam perilaku yang bermoral. Ini dapat terjadi karena superego yang sudah
berkembang dengan baik dapat mengontrol dorongan-dorongan naluriah dari id yang
bertujuan untuk memenuhi kesenangan dan kepuasan. Berkembangnya superego dengan
baik, juga akan mendorong berkembang kekuatan ego untuk mengatur dinamika kepribadian
antara id dan superego, sehingga perbuatannya selaras dengan kenyataannya di dunia
sekelilingnya.

C.     Karakteristik Nilai, Moral dan Sikap Remaja.

Nilai-nilai kehidupan yang perlu diinformasikan dan selanjutnya dihayati oleh para remaja
tidak terbatas pada adat kebiasaan dan sopan santun saja, namun juga seperangkat nilai-nilai
yang terkandung dalam Pancasila, misalnya nilai-nilai keagamaan, nilai-nilai
perikemanusiaan dan peri keadilan, nilai-nilai estetik, nilai-nilai etik, dan nilai-nilai
intelektual, dalam bentuk-bentuk sesuai dengan perkembangan remaja.

Salah satu, tugas perkembangan yang harus dikuasai remaja adalah mempelajari apa yang
diharapkan oleh kelompok pari padanya dan kemudian bersedia membentuk perilakunya agar
sesuai dengan harapan sosial/ masyarakat tanapa terus dibimbing, diawasi, didorong, dan
diancam hukuman seperti yang dialami waktu anak-anak. Remaja diharapkan mengganti
konsep-konsep moral yang berlaku umumdan merumuskannya ke dalam kode moral yang
akan berfungsi sebagai pedoman bagi perilakunya. Michel meringkaskan lima perubahan
dasar dalam moral yang harus dilakukan oleh remaja (Hurlock alih bahasa Istiwidiyanti dan
kawan-kawan, 1980: 225) sebagai berikut:

1.      Pandangan moral individu makin lama makin menjadi lebih abstrak.

2.      Keyakinan moral lebih terpusat pada apa yang benar dan kurang pada apa yang salah.
Kadilan muncul sebagai kakuatan moral yang dominan.

3.      Penilaian moral menjadi semakin kognitif. Hal ini mendorong remaja lebih berani
mengambil keputusan terhadap berbagai masalah moral yang dihadapinya.

4.      Penilaian moral menjadi kuang egosentris


5.      Penilaian moral secara psikologis menjadi lebih mahal dalam arti bahwa penilaian
moral merupakan bahan emosi dan menimbulkan ketegngan emosi.

      Dari hasil penyelidikan-penyelidikannya Kohleberg mengemukakan enam tahap


(stadium) perkembangan moral yang berlaku secara universal dan dalam urutan tertentu. Ada
tiga timgkat perkembangan moral menurut Kohleberg, yaitu tngkat:

1.      Prakonvesional, yang terdi dari stadium 1 dan 2

      Pada stadium 1, anak berorientasi kepada kepatuhan dan hukuman. Anak menganggap
baik dan bruk atas dasar akibat yang ditimbulkannya. Anak hanya mengetahui bahwa aturan-
aturan ditentukan oleh adanya kekuasaan yang tidak bisa diganggu gugat. Ia harus menurut
atau kalau tidak, akan memperoleh hukuman.

      Pada stadium 2, berlaku prinsip Relativistik-Hedonism. Pada tahap ini, anak tidak lagi
secara mutlak bergantung kepada aturan yang ada di luar dirinya, atau ditentukan oleh orang
lain, tetapi mereka sadar bahwa setiap kejadian mempunyai beberapa segi. Jadi, ada
relativisme. Relativisme ini artinya bergantung pada kebutuhan dan kesanggupan seseorang
(hedonistik). Misalnya mencuri ayam karena kelaparan. Karena perbuatan “mencuri” untuk
memenuhi kebutuhannya (lapar) maka mencuri dianggap sebagai perbuatan yang bermoral,
meskipun perbuatan mencuri itu sendiri diketahui sebagai perbuatan yang salah karena ada
akibatnya, yaitu hukuman.

2.      Konvensional

      Stadium 3, menyangkut orientasi mengenai anak yang baik. Pada stadium ini, anak mulai
memasuki umur belasan tahun, dimana anak memperlihatkan orintasi perbuatan-perbuatan
yang dapat dinilai baik atau tidak baik oleh orang lain. Masyarakat adalah sumber yang
menentukan, apakah perbuatan seseorang baik atau tidak. Menjadi “anak yang manis” masih
sangat penting dalam stadium ini.

      Stadium 4, yitu tahap mempertahankan norma-norma sosial dan otoritas. Pada stadium
iniperbuatan baik yang diperlihatkan seseorang bukan hanya agar dapat diterima oleh
lingkungan masyarakatnya, melainkan bertujuan agar dapat ikut mempertahankan aturan-
aturan atau norma-norma sosial. Jadi perbuatan baik merupakan kewajiban untuk ikut
melaksanakan aturan-aturan yang ada, agar tidak timbul kekacauan.

3.      Pasca- Konvensional
      Stadium 5, merupakan tahap orientasi terhadap perjanjian antara dirinya dan lingkungan
sosial. Pada stadium ini ada hubugan timbal balik antara dirinya dan lingkungan sosial.
Dengan masyarakat. Seseorang harus memerlihatkan kewajibannya, harus sesuai dengan
norma-norma sosial karena sebaliknya, lingkungan sosial atau masyarakat akan memberi
perlindungan kepadanya.

      Stadium 6, tahap ini disebut Prinsiapal Universal. Pada tahap ini ada norma etik
disamping norma pribadi dan subjektif. Dalam hubngan dan perjanjian antara seseorang
dengan masyarakatnya ada unsur-unsur subjektif yang menilai apakah suatu perbuatan itu
baik atau tidak baik. Subjektivisme ini berarti ada perbedaan penilaian antara seseorang
dngan orang lain . dalam hal in, unsur etika akan menentukan apa yang boleh dan baik
dilakukan atau sebaliknya. Remaja mengadakan pengimternalisasian moral yaitu remaja
melakukan tingkah laku-tingkah laku moral yang kemudikan oleh tanggung jawab batin
sendiri. Tingkat perkembangan konvevsional harus dicapai selama masa remaja.

D.    Faktor Yang Mempengaruhi Perkembangan Nilai, Moral dan Sikap

Faktor lingkungan yang berpengaruh terhadap perkembangan nilai, moral, dan sikap individu
mencakup aspek psikologis, sosial, budaya, dan fisik kebendaan, baik yang terdapat dalam
lingkungan keluarga, sekolah, maupun masyarakat. Kondisi psikologis, pola interaksi, pola
kehidupan beragama, berbagai sarana rekreasi yang tersedia dalam lingkungan keluarga,
sekolah, dan masyarakat akan mempengaruhi perkembangan nilai, moral dan sikap individu
yang tumbuh dan berkembang di dalam dirinya.

1.      Lingkungan Keluarga

Keluarga sebagai lingkungan pertama yang mempengaruhi perkembangan nilai, moral dan
sikap seseorang. Biasanya tingkah laku seseorang berasal dari bawaan ajaran orang tuanya.
Orang-orang yang tidak memiliki hubungan yang harmonis dengan orang tuanya di masa
kecil, kemungkinan besar mereka tidak mampu mengembangkan superegonya sehingga
mereka bias menjadi orang yang sering melakukan pelanggaran norma.

2.      Lingkungan Sekolah

Di sekolah, anak-anak mempelajari nilai-nilai norma yang berlaku di masyarakat sehingga


mereka juga dapat menentukan mana tindakan yang baik dan boleh dilakukan. Tentunya
dengan bimbingan guru. Anak-anak cenderung menjadikan guru sebagai model dalam
bertingkah laku, oleh karena itu seorang guru harus memiliki moral yang baik.

3.      Lingkungan Pergaulan

Dalam pengembangan kepribadian, factor lingkungan pergaulan juga turut mempengaruhi


nilai, moral dan sikap seseorang. Pada masa remaja, biasanya seseorang selalu ingin mencoba
suatu hal yang baru. Dan selalu ada rasa tidak enak apabila menolak ajakan teman. Bahkan
terkadang seorang teman juga bisa dijadikan panutan baginya.

4.      Lingkungan Masyarakat

Masyarakat sendiri juga memiliki pengaruh yang penting terhadap pembentukan moral.
Tingkah laku yang terkendali disebabkan oleh adanya control dari masyarakat itu sendiri
yang mempunyai sanksi-sanksi tersendiri untuk pelanggar-pelanggarnya.

5.      Teknologi

Pengaruh dari kecanggihan teknologi juga memiliki pengaruh kuat terhadap terwujudnya
suatu nilai. Di era sekarang, remaja banyak menggunakan teknologi untuk belajar maupun
hiburan. Contoh: internet memiliki fasilitas yang menwarkan berbagai informasi yang dapat
diakses secara langsung.

Nilai positifnya, ketika remaja atau siswa mencari bahan pelajaran yang mereka butuhkan
mereka dapat mengaksesnya dari internet. Namun internet juga memiliki nilai negative
seperti tersedianya situs porno yang dapat merusak moral remaja. Apalagi pada masa remaja
memiliki rasa keingintahuan yang besar dan sangat rentan terhadap informs seperti itu.
Mereka belum bisa mengolah pikiran secara matang yang akhirnya akan menimbulkan
berbagai tindak kejahatan seperti pemerkosaan dan hamil di luar nikah/hamil usia dini.

E.     Perbedaan Individual Dalam Perkembangan Nilai, Moral Dan Sikap.

Sesuatu yang dipandang bernilai dan bermoral serta dinilai positif oleh suatu kelompok
masyarakat sosial tertentu belum tentu dinilai positif oleh kelompok masyarakat lain. Sama
halnya, sesuatu yang dipandang bernilai dan bermoral serta dinilai positif oleh suatu keluarga
tertentu belum tentu dinilai positif oleh keluarga lain. Ada suatu keluarga yang mengharuskan
para anggota berpakaian muslimah dan sopan karena cara berpakaian seperti itulah dipandang
bernilai dan bermoral. Akan tetapi, ada keluarga lain yang lebih senang dan memandang
lebih bernilai jika anggotanya berpakaian modis, trendi, dan mengikuti tren mode yang
sedang merak dikalangan selebritis.

Setiap individu mempunyai perbedaan dalam menyikapi nilai, moral dan sikap, tergantung
dimana individu tersebut berada. Pada anak-anak terdapat anggapan bahwa aturan-aturan
adalah pasti dan mutlak oleh karena diberikan oleh orang dewasa atau Tuhan yang tidak bisa
diubah lagi (Kohlberg, 1963). Sedangkan pada anak-anak yang berusia lebih tua, mereka bisa
menawar aturan-aturan tersebut kalau disetujui oleh semua orang.

Pada sebagian remaja dan orang dewasa yang penalarannya terhambat, pedoman mereka
hanyalah menghindari hukuman. Sedangkan untuk tingkat kedua sudah ada pengertian bahwa
untuk memenuhi kebutuhan sendiri seseorang juga harus memikirkan kepentingan orang lain.
Perbedaan perseorangan juga dapat dilihat pada latar belakang kebudayaannya. Jadi, ada
kemungkinan terdapat individu atau remaja yang tidak mencapai perkembangan nilai, moral
dan sikap serta tingkah laku yang diharapkan padanya.

Oleh sebab itu, hal yang wajar jika terjadi perbedaan individual dalam suatu keluarga atau
kelompok masyarakat tentang sistem nilai, moral, maupun sikap yang dianutnya. Perbedaan
individual didukung oleh fase, tempo, dan irama perkembangan masing-masing individu.
Dalam teori perkembangan pemikiran moral dari Kohlberg juga dikatakan bahwa setiap
individu dapat mencapai tingkat perkembangan moral yang paling tinggi, tetapi kecepatan
pencapaiannya juga ada perbedaan antara individu satu dengan lainnya meskipun dalam suatu
kelompok sosial tertentu. Dengan demikian, sangat dimungkinkan individu yang lahir pada
waktu yang relatif bersamaan, sudah lebih tinggi dan lebih maju tingkat pemikirannya.     

F.      Upaya Mengembangkan Nilai, Moral, danSikap Remaja Serta Implikasinya dalam


Penyelenggaran Pendidikan

      Perwujudan nilai, moral dan sikap tidak terjadi dengan sendirinya. Proses yang di lalui
seseorang dalam pengembangan nilai-nilai hidup tertentu adalah sebuah proses yang belum
seluruhnya dipahami oleh para ahli (Surakhmad, 1980 : 17). Apa yang terjadi di dalam diri
pribadi seseorang hanya dapat di dekati melalui cara-cara tidak langsung, yakni dengan
mempelajari gejala dan tingkah laku seseorang tersebut, maupun membandingkannya dengan
gejala serta tingkah laku orang lain. Di antara proses kejiwaan yang sulit untuk dipahami
adalah proses terjadinya dan terjelmanya nilai-nilai hidup dalam diri individu, yang mungkin
di dahului oleh pengenalan nilai secara intelektual,disusul oleh penghayatan nilai tersebut,
dan yang kemudian tumbuh di dalam diri seseorang sedemikian rupa kuatnya sehingga
seluruh jalan pikiran, tingkah lakunya, serta sikapnya terhadap segala sesuatu di luar dirinya,
bukan saja diwarnai tetapi juga dijiwai oleh nilai tersebut.

Karena itu, ada kemungkinan bahwa ada individu yang tahu tentang suatu nilai tetap menjadi
pengetahuan.Tidak semua individu mencapai tingkat perkembangan moral seperti yang
diharapkan, maka kita di hadapkan dengan masalah pembinaan. Ada penuh paya-upaya yang
dapat dilakukan dalam megembangkan nilai, moral, dan sikap remaja adalah :

a.       Menciptakan Komunikasi

Dalam komunikasi di dahului dengan pemberian informasi tentang nilai-nilai dan moral.
Anak tidak pasif mendengarkan dari orang dewasa bagaimana seorangharus bertingkah laku
sesuai dengan norma dan nilai-nilai moral, tetapi anak-anak harus dirangsang supaya lebih
aktif. Hendaknya ada upaya untuk mengikut sertakan remaja dalam beberapa pembicara anda
dalam pengambilan keputusan keluarga, sedangkan dalam kelompok sebaya, remaja turut
serta secara aktif dalam tanggung jawab dan penentuan maupun keputusan kelompok.

Di sekolah para remaja hendaknya di beri kesempatan berpartisi untuk mengembangkan


aspek moral misalnya dalam kerja kelompok, sehinggadiabelajartidakmelakukansesuatu yang
akanmerugikan orang lain karena hal ini tidak sesuai dengan nilai atau norma-norma moral.

Kita mengetahui bahwa nilai-nilai hidup yang dipelajari memerlukan satu kesempatan untuk
diterima dan diresapkan sebelum menjadi bagian integral dari tingkah laku seseorang. Dan
kita ketahui pula bahwa nilai-nilai hidup yang dipelajari barulah betul-betul berkembang
apabila telah dikaitkan dalam konteks kehidupan bersama.

b.      Menciptakan Iklim Lingkungan yang Serasi

Seseorang yang mempelajari nilai hidup tertentu dan moral, kemudian berhasil memiliki
sikap dan tingkah laku sebagai pencerminan nilai hidup itu umumnya adalah seseorang yang
hidup dalam lingkungan yang secara positif, jujur, dan konsekuen senantiasa mendukung
bentuk tingkah laku yang merupakan pencerminan nilai hidup tersebut. Ini berarti antara lain,
bahwa usaha pengembangan tingkah laku nilai hidup hendaknya tidak hanya mengutamakan
pendekatan-pendekatan intelektual semata-mata tetapi juga mengutamakan adanya
lingkungan yang kondusif di mana faktor-faktor lingkungan itu sendiri merupakan
penjelmaan yang konkret dari nilai-nilai hidup tersebut. Karena lingkungan merupakan faktor
yang cukup luas dan sangat bervariasi, maka tampaknya yang perlu diperhatikan adalah
lingkungan social terdekat yang terutama terdiri dari mereka yang berfungsi sebagai
pendidikdan Pembina yaitu orang tua dan guru.

Para remaja sering bersikap kritis, menentang nilai-nilai dan dasar-dasar hidup orang tua dan
orang dewasa lainnya. Ini tidak berarti mengurangi kebutuhan mereka akan suatu sistem nilai
yang tetap dan memberi rasa aman kepada remaja. Mereka tetap menginginkan suatu sistem
nilai yang akan menjadi pegangan dan petunjuk bagi perilaku mereka. Karena itu, orang tua
dan guru serta orang dewasa lainnya perlu memberi model-model atau contoh perilaku yang
merupakan perwujudan nilai-nilai yang diperjuangkan.

Untuk remaja, moral merupakan suatu kebutuhan tersendiri oleh karena mereka sedang dalam
keadaan membutuhkan pedoman atau petunjuk dalam rangka mencari jalannya sendiri.
Pedoman ini juga untuk menumbuhkan identitas dirinya, menuju kepribadian yang matang
dan menghindarkan diri dari konflik-konflik peran yang selalu terjadi dalam masa transisi ini.

Nilai-nilai keagamaan perlu mendapat perhatian, karena agama juga mengajarkan tingkah
laku yang baik dan buruk, sehingga secara psikologis berpedoman kepada agama termasuk
dalam final. Akhirnya perlu juga diperhatikan bahwa satu lingkungan yang lebih banyak
bersifat mengajak, mengundang, atau member kesempatan, akan lebih efektif dari pada
lingkungan yang ditandai dengan larangan-larangan dan peraturan-peraturan yang serba
membatasi.

Anda mungkin juga menyukai