Anda di halaman 1dari 3

NAMA : Melsiyana Laurita

NIM : P21341119042
KELAS : D3-4B
MATA KULIAH : Bahasa Indonesia
DOSEN PENGAMPU : Suprianto Annaf, M.Pd.

Dipolisikan
Satu tahun terakhir ini, surat kabar di Tanah Air kerap memuat kalimat-kalimat yang
mencantumkan kata 'dipolisikan'. Bak virus ganas, kata itu pun menyebar dan mewabah dari satu
media ke media lain. Lihat saja kalimat-kalimat berikut: 'Tembaki kucing dan diunggah ke
Facebook, warga Sleman dipolisikan', 'Gelapkan mobil rental, warga Surabaya kembali
dipolisikan', dan 'Karyawan koperasi dipolisikan'.
Intensitas kemunculan kata 'dipolisikan' pun kian jamak, dianggap sudah lumrah, atau
terkadang menjadi diksi yang sayang untuk dilewatkan. Seperti primadona, kata itu pun akan
dipilih bila sudah menyangkut berita kriminal yang sedang ditangani polisi. Sebenarnya, gejala
bahasa apa yang ada pada kata 'dipolisikan' itu?
Bila dikaitkan dengan makna, kata 'dipolisikan' berarti suatu masalah atau kasus yang
sudah dilaporkan kepada pihak polisi. Kalaupun belum rampung, paling tidak, kasus itu sedang
menjadi domain kepolisian. Analogi inilah yang mendasari penulis lebih memilih kata itu,
ketimbang berpanjang kata seperti kalimat 'Masalah itu sudah dilaporkan kepada polisi'.
Sekarang tentu lebih singkat bila melihat kalimat 'Masalah itu sudah dipolisikan'.  
Akan tetapi, munculnya kata 'dipolisikan' seperti itu mengganggu kaidah bahasa,
terutama kaitannya dalam proses afiksasi bahasa Indonesia. Alasan penganalogian seperti di atas
tidak serta-merta membuat pemakai bahasa kalap dalam menurun kata.
Sekarang keluarkan kata 'polisi' dari 'dipolisikan'. Kata itu merupakan kata dasar yang
berkelas nomina. Dalam lema Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata 'polisi' berarti (1) badan
pemerintah yg bertugas memelihara keamanan dan ketertiban umum (menangkap orang yg
melanggar undang-undang dsb); 2 anggota badan pemerintah (pegawai negara yg bertugas
menjaga keamanan dsb). Bila mengacu pada arti kamus tersebut, pengimbuhan pada kata
'dipolisikan' terkesan aneh dan serampangan.
Kemunculan kata 'dipolisikan' merupakan paradigmatik yang menyimpang: terjebak pada
bentukan kata 'dirumahkan', 'dimejahijaukan, atau juga 'dipenjarakan'. Tentu saja berbeda. Kata
dasar 'rumah', 'meja hijau', dan 'penjara' menunjukkan benda yang bermakna bangunan atau
tempat. Tidak senapas dengan kata 'polisi' walaupun sama-sama berkelas kata nomina.
Kata 'dirumahkan' berarti seseorang dicutikan atau diistirahatkan dari pekerjaan yang
dijalaninya sehingga diyakini akan banyak tinggal di rumah. Begitu pula kata 'dimejahijaukan',
yang berarti seseorang dibawa ke pengadilan karena tersangkut masalah tertentu. Adapun kata
'dipenjarakan', karena sudah divonis bersalah, seseorang akan ditahan di penjara.
Kalau dicermati, penguraian kata 'dirumahkan', 'dimejahijaukan, atau juga 'dipenjarakan'
di atas semuanya mengacu pada makna dasar, yakni bangunan. Sebaliknya, kata 'dipolisikan'
melenceng dari makna leksikal kata dasarnya, yakni 'polisi'.   
Untuk pengilustrasian yang berbeda, lihat pula kata 'dibangkucadangkan' atau
'dipetieskan'. Cerabutan dari imbuhan di-/-kan itu akan memunculkan kata dasar 'bangku cadang'
dan 'peti es'. Lagi-lagi kedua bentukan majemuk itu mengacu tempat, yakni secara harfiah berati
bangku untuk pemain cadangan dan mesin pendingin. Kedua sama-sama merujuk tempat,
berwujud benda, dan lokasi. Kalaupun ada makna lain yang mewakili kata majemuk, yakni
'diistirahatkan' dan 'dibekukan', tetap saja kedua kata itu masih terkait dengan medan makna
'tempat'. 
Secara morfologi, pembentukan kata yang diturunkan dari lema berkelas nomina
memang sudah lumrah dilakukan. Hanya saja bentukan kata baru itu harus ajek dan
berparadigmatik dengan bentukan kata sebelumnya yang berterima. Kemunculan kata
'dipolisikan' merupakan pembiaran yang menjauhkan dari normatif berbahasa. Bila tanpa
kendali, bisa saja berikutnya akan muncul kata 'didosenkan', 'diibukan', atau 'diistrikan'.  

Komentar :
Kata “Dipolisikan” bukanlah bahasa Indonesia yang tepat dan juga tidak terdapat dalam kamus
besar. Meskipun tujuan dari tulisan Dipolisikan tersebut sudah populer dalam masyarakat, yakni
berarti dilaporkan kepada Polisi. Ditinjau dari aspek bahasa Indonesia yang baik, imbuhan “di”
dan “kan” serta kata awalnya “polisi” merupakan dua hal yang berbeda. Kata ‘polisi’ merupakan
kata nomina yang menunjukkan jabatan atau pekerjaan seseorang. Kata nomina yang tepat untuk
diberi imbuhan ‘di-kan’ adalah kata nomina yang menunjukkan suatu tempat, seperti ‘taman’,
‘penjara’, ataupun ‘meja bundar’. Bila yang dimaksud penambahan imbuhan “di” dan “kan”
dalam kata “dipolisikan” berarti “dilaporkan” maka bersifat pasif sedangkan kata “polisi”
merupakan suatu subyek. Karena, jika saja imbuhan “di” dan “kan” dalam kata “di-polisi-kan”
dilegalkan sebagai bentuk penghematan kata yang maksudnya “dilaporkan” maka secara
otomatis imbuhan “di” dan “kan” dapat disisipkan pada kata atau subjek kalimat lain misalnya
pada kata Wartawan, Presiden, Gubernur, Bupati, Wali Kota, sehingga menjadi “di-wartawan-
kan, di-presiden-kan, di-gubernur-kan, di-bupati-kan, di-wali kota-kan”. Menurut saya, jika ingin
membuat sebuah kalimat lebih ringkas dengan penggunaan kata yang benar, mungkin kata
‘dipolisikan’ dapat diganti dengan ‘dikantor polisikan’ atau ‘memolisikan’ yang dapat bermakna
seseorang dibawa ke kantor polisi.
MENGAPA DISEBUT GULA MERAH?
Menurut saya, karena warna merah merupakan warna dasar (primer). Dan masyarakat pada
zaman dahulu hanya mengenali warna-warna dasar (primer) seperti merah, kuning, dan biru.
Karena jika dilihat warna coklat serupa dengan warna merah, sehingga masyarakat menyebut
dengan istilah ‘gula merah’. Karena merah adalah warna dasar yang serupa dengan warna
darah (juga menurut KBBI). Walaupun demikian, KBBI tetap mencantumkan gula merah
sebagai entri. Artinya frasa itu tidak ditolak.

MENGAPA DISEBUT LAMPU MERAH?

Menurut saya, disebut Lampu Merah adalah karena lampu merah merupakan lampu yang
paling sering dilihat oleh pengendara dibandingkan dengan lampu yang lain (kuning dan
hijau), karena pengendara akan berhenti jika lampu merah menyala sehingga pandangan
pengendara banyak tertuju untuk melihat lampu merah dibandingkan lampu kuning dan hijau
ketika menyala. Maka dari itu, warna merah lebih menarik perhatian sehingga masyarakat
akan lebih mengingat dengan sebutan lampu merah. Dan posisi warna merah yang diatas
seakan menjadi pusat perhatian.

MENGAPA DISEBUT AIR PUTIH?

Istilah “air putih” merupakan kata serapan dari Bahasa Mandarin, bai kai shui (bai = putih).
Kata air putih ini lahir tanpa kesepakatan bersama, kemudian diterima masyarakat tanpa
keberatan atau catatan. Pada dasarnya putih dan bening adalah suatu kata yang berbeda dari
segi objektifitasnya. Kata putih lebih cenderung mengarah pada warna. Sedangkan kata
bening lebih mengarah pada objek yang bisa terlihat tembus pandang oleh mata. Akan tetapi
ada perspektif lain jika yang disebut air putih bukan air yang berwarna putih atau air yang
ada di dalam gelas putih, melainkan air bening yang sudah matang dan siap diminum. Karena
kalau menyebut air bening saja itu bisa berarti banyak hal, seperti air hujan atau air laut.

MENGAPA DISEBUT SAYUR BENING?

Menurut saya kata “sayur bening” lahir karena tampilan kuahnya yang sesuai dengan makna
kata “bening” lebih mengarah pada objek yang terlihat tembus pandang oleh mata atau
menggambarkan keadaan objek yaitu kuahnya. Dalam KBBI “sayur bening” yaitu bening
sayur yang tidak memakai asam dan tidak bersantan. Hal ini selaras dengan cara
pemasakannya tidak memakai asam, tidak memakai santan dan tidak memakai bumbu yang
banyak sehingga tidak terjadi perubahan warna pada kuah.

Anda mungkin juga menyukai