Anda di halaman 1dari 3

Dipolisikan

Satu tahun terakhir ini, surat kabar di Tanah Air kerap memuat kalimat-kalimat yang
mencantumkan kata 'dipolisikan'. Bak virus ganas, kata itu pun menyebar dan mewabah dari
satu media ke media lain. Lihat saja kalimat-kalimat berikut: 'Tembaki kucing dan diunggah
ke Facebook, warga Sleman dipolisikan', 'Gelapkan mobil rental, warga Surabaya kembali
dipolisikan', dan 'Karyawan koperasi dipolisikan'.
      Intensitas kemunculan kata 'dipolisikan' pun kian jamak, dianggap sudah lumrah, atau
terkadang menjadi diksi yang sayang untuk dilewatkan. Seperti primadona, kata itu pun akan
dipilih bila sudah menyangkut berita kriminal yang sedang ditangani polisi. Sebenarnya,
gejala bahasa apa yang ada pada kata 'dipolisikan' itu?
      Bila dikaitkan dengan makna, kata 'dipolisikan' berarti suatu masalah atau kasus yang
sudah dilaporkan kepada pihak polisi. Kalaupun belum rampung, paling tidak, kasus itu
sedang menjadi domain kepolisian. Analogi inilah yang mendasari penulis lebih memilih kata
itu, ketimbang berpanjang kata seperti kalimat 'Masalah itu sudah dilaporkan kepada polisi'.
Sekarang tentu lebih singkat bila melihat kalimat 'Masalah itu sudah dipolisikan'.  
      Akan tetapi, munculnya kata 'dipolisikan' seperti itu mengganggu kaidah bahasa, terutama
kaitannya dalam proses afiksasi bahasa Indonesia. Alasan penganalogian seperti di atas tidak
serta-merta membuat pemakai bahasa kalap dalam menurun kata.
      Sekarang keluarkan kata 'polisi' dari 'dipolisikan'. Kata itu merupakan kata dasar yang
berkelas nomina. Dalam lema Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata 'polisi' berarti (1) badan
pemerintah yg bertugas memelihara keamanan dan ketertiban umum (menangkap orang yg
melanggar undang-undang dsb); 2  anggota badan pemerintah (pegawai negara yg bertugas
menjaga keamanan dsb). Bila mengacu pada arti kamus tersebut, pengimbuhan pada kata
'dipolisikan' terkesan aneh dan serampangan.
      Kemunculan kata 'dipolisikan' merupakan paradigmatik yang menyimpang: terjebak pada
bentukan kata 'dirumahkan', 'dimejahijaukan, atau juga 'dipenjarakan'. Tentu saja berbeda.
Kata dasar 'rumah', 'meja hijau', dan 'penjara' menunjukkan benda yang bermakna bangunan
atau tempat. Tidak senapas dengan kata 'polisi' walaupun sama-sama berkelas kata nomina.
      Kata 'dirumahkan' berarti seseorang dicutikan atau diistirahatkan dari pekerjaan yang
dijalaninya sehingga diyakini akan banyak tinggal di rumah. Begitu pula kata
'dimejahijaukan', yang berarti seseorang dibawa ke pengadilan karena tersangkut masalah
tertentu. Adapun kata 'dipenjarakan', karena sudah divonis bersalah, seseorang akan ditahan
di penjara.
      Kalau dicermati, penguraian kata 'dirumahkan', 'dimejahijaukan, atau juga 'dipenjarakan'
di atas semuanya mengacu pada makna dasar, yakni bangunan. Sebaliknya, kata 'dipolisikan'
melenceng dari makna leksikal kata dasarnya, yakni 'polisi'.   
      Untuk pengilustrasian yang berbeda, lihat pula kata 'dibangkucadangkan' atau
'dipetieskan'. Cerabutan dari imbuhan di-/-kan itu akan memunculkan kata dasar 'bangku
cadang' dan 'peti es'. Lagi-lagi kedua bentukan majemuk itu mengacu tempat, yakni secara
harfiah berati bangku untuk pemain cadangan dan mesin pendingin. Kedua sama-sama
merujuk tempat, berwujud benda, dan lokasi. Kalaupun ada makna lain yang mewakili kata
majemuk, yakni 'diistirahatkan' dan 'dibekukan', tetap saja kedua kata itu masih terkait
dengan medan makna 'tempat'. 
      Secara morfologi, pembentukan kata yang diturunkan dari lema berkelas nomina memang
sudah lumrah dilakukan. Hanya saja bentukan kata baru itu harus ajek dan berparadigmatik
dengan bentukan kata sebelumnya yang berterima. Kemunculan kata 'dipolisikan' merupakan
pembiaran yang menjauhkan dari normatif berbahasa. Bila tanpa kendali, bisa saja berikutnya
akan muncul kata 'didosenkan', 'diibukan', atau 'diistrikan.

Komentar

Mengapa disebut gula merah padahal warnanya cokelat


Gula merah merujuk pada gula kelapa atau gula jawa. Disebut merah karena mungkin
kata gula cokelat agak ambigu, cokelat sendiri bisa merujuk kewarna atau tanaman cokelat
sehingga mungkin masyarakat dulu lebih memilih kata gula merah dari pada gula cokelat
karena kalau disebut gula cokelat bisa diartikan gula tersebut bersumber dari tanaman
cokelat.
Mengapa disebut lampu merah
Lampu merah dalam KBBI memiliki arti lampu lalu lintas yang berwarna merah,
mengisyaratkan kendaraan tidak boleh jalan; isyarat ada bahaya; ki isyarat untuk
menghentikan kegiatan; cak lampu lalu lintas. Lebih sering disebut lampu merah daripada
lampu lalu lintas mungkin karena orang lebih terfokus kepada lampu yang berwarna merah
karena saat lampu berwarna merah menyala orang fokus untuk melihat lampu tersebut untuk
menunggu lampu kuning dan hijau menyala dan lampu berwarna merah sendiri diletakan
dipaling atas dalam urutan lampu lalu lintas karena supaya dapat dilihat orang lebih jelas.
Mengapa disebut air putih
Air putih dalam KBBI memiliki makna air tawar yang dapat diminum/ air yang masih
asli dan belum dicampur apa-apa. Padahal jika kedua kata tersebut diartikan secara terpisah
yang lebih cocok dikatakan air putih adalah susu karena kata putih sendiri memiliki arti
warna dasar yang serupa dengan warna kapas: baju dinas perawat – warnanya; a mengandung
atau memperlihatkan warna yang serupa warna kapas; a ki murni; suci; tidak ternoda; a ki
pucat (tentang wajah). Mungkin kata air putih termasuk definisi bahasa sebagai arbiter
dimana kata tersebut muncul tapi dapat diterima oleh masyaraat luas.
Mengapa disebut sayur bening
Sayur bening dalam KBBI memiliki makna sayur yang tidak dicampur asam dan tidak
bersantan. Sayur bening identik dengan kuahnya yang berwarna bening dan memiliki rasa
yang mendasar sehingga masyarakat menyebutnya sayur bening seperti contohnya sayur
bening bayam, labu siam, dll. Berbeda halnya dengan sayur asam yang berasal dari
penambahan asam dalam sayur tersebut sehingga menghasilkan rasa asam.

Anda mungkin juga menyukai