TINJAUAN PUSTAKA
1
Gambar 1.1.2 Klasifikasi Sindrom Nefrotik 2
1.1.3 Patofisiologi
Reaksi antigen – antibodi menyebabkan permeabilitas membran basalis
glomerulus meningkat diikuti oleh kebocoran protein (albumin).
Proteinuri merupakan kelainan dasar SN. Proteinuri sebagian besar berasal dari
kebocoran glomerulus (proteinuri glomerular) dan hanya sebagian kecil berasal
dari sekresi tubulus (proteinuri tubular). Perubahan integritas membrana basalis
glomerulus menyebabkan peningkatan permeabilitas glomerulus terhadap protein
plasma dan protein utama yang diekskresikan dalam urin adalah albumin. Protein
lain yang diekskresi IgG, IgA, antitrombin III dan protein pengikat vitamin D. 1,2,3
Derajat proteinuri tidak berhubungan langsung dengan keparahan
kerusakan glomerulus. Pada nefropati lesi minimal, proteinuri disebabkan
terutama oleh hilangnya charge selectivity sedangkan pada nefropati membranosa
disebabkan terutama oleh hilangnya size selectivity. 1,2,3,4,5
Keadaan hipoalbuminemiai disebabkan oleh kehilangan sejumlah protein
tubuh melalui urine (proteinuria) dan usus (protein loosing enteropathy),
katabolisma albumin, pemasukan protein yang kurang kerana nafsu makan yang
menurun dan utilisasi asam amino yang menyertai penurunan faal ginjal. Jika
kompensasi hepar dalam mensintesa albumin tidak adekuat, akan terjadi
hipoproteinemi. 1,2,3
Konsentrasi albumin plasma ditentukan oleh asupan protein, sintesis
albumin hati dan kehilangan protein melalui urin. Pada SN, hipoalbuminemia
2
disebabkan oleh protenuria massif dengan akibat penurunan tekanan onkotik
plasma. Oleh itu, untuk mempertahankan tekanan onkotik plasma, maka hati
berusaha meningkatkan sintesis albumin. Peningkatan sintesis albumin hati tidak
berhasil menghalangi timbulnya hipoalbuminemia. Diet tinggi protein dapat
meningkatkan sintesis albumin hati. Akan tetapi tetap dapat mendorong
peningkatan ekskresi albumin melalui urin. Hipoalbuminemia dapat pula terjadi
akibat peningkatan reabsorbsi dan katabolisme albumin oleh tubulus proksimal. 2,,3
Teori underfil menjelaskan bahwa hipoalbuminemia merupakan factor
utama terjadinya edema pada SN. Hipoalbuminemia menyebabkan penurunan
tekanan onkotik plasma sehingga cairan bergeser dari intravascular ke jaringan
interstisium dan terjadi edema. Oleh kerana itu, ginjal melakukan kompensasi
dengan meningkatkan retensi natrium dan air. Mekanisma kompensasi ini akan
memperbaiki volume intravascular tetapi juga akan mengeksaserbasi terjadinya
hipoalbuminemia sehingga edema semakin berat. Teori overfill menjelaskan
bahwa retensi natrium sebagai defek renal utama. Retensi natrium oleh ginjal
menyebabkan cairan ekstraselular meningkat sehingga terjadi edema. Penurunan
laju filtrasi glomerulus akibat kerusakan ginjal akan menambah terjadinya retensi
natrium dan edema. Kedua mekanisma tersebut ditemukan pada pasien SN. 1,2,3
3
Gambar 1.1.3.1 Patofisiologi Teori Underfill dan Overfill pada SNclin review Neph
4
pengeluaran lipoprotein, VLDL, kilomikron dan intermediate density lipoprotein
dari darah). Peningkatan sintesis lipoprotein lipid distimulasi oleh penurunan
albumin serum dan penurunan tekanan onkotik. Lemak bebas (oval fat bodies)
sering ditemukan pada sedimen urin. Sumber lemak ini berasal dari filtrat
lipoprotein melalui membrana basalis glomerulus yang permeabel.
5
Keadaan hiperkoagubilitas ini disebabkan oleh hilangnya antitrombin (AT)
III, protein S, C dan plasminogen activating factor dalam urin dan meningkatnya
faktor V, VII, VIII, X, trombosit, fibrinogen, peningkatan agregasi trombosit,
perubahan fungsi sel endotel serta menurunnya faktor zimogen (faktor IX, XI).3
6
menegakkan diagnosis trombosis vena yang dapat terjadi akibat
hiperkoagulabilitas. Pada SN primer untuk menentukan jenis kelainan
histopatologi ginjal yang menentukan prognosis dan respon terhadap terapi,
diperlukan biopsi ginjal.4,5,6
1.1.5 Tatalaksana Sindroma Nefrotik
Pengobatan SN terdiri dari pengobatan spesifik yang ditujukan terhadap
penyakit dasar dan pengobatan non-spesifik untuk mengurangi protenuria,
mengontrol edema dan mencegah timbulnya komplikasi. Etiologi sekunder dari
sindrom nefrotik harus dicari dan diberi terapi, dan obat-obatan yang bersifat
Nephrotoksik harus dihindari. (1,2,3,4)
1.1.5.1 Diet
Diet untuk pasien SN adalah 35 kal/kgbb./hari, sebagian besar terdiri dari
karbohidrat. Diet rendah garam (2-3 gr/hari), rendah lemak harus diberikan.
Penelitian telah menunjukkan bahwa pada pasien dengan penyakit ginjal tertentu,
asupan yang rendah protein adalah aman, dapat mengurangi proteinuria dan
memperlambat hilangnya fungsi ginjal, mungkin dengan menurunkan tekanan
intraglomerulus. Derajat pembatasan protein yang akan dianjurkan pada pasien
yang kekurangan protein akibat sindrom nefrotik belum ditetapkan. Pembatasan
asupan protein 0,8-1,0 gr/ kgBB/hari dapat mengurangi proteinuria. Tambahan
vitamin D dapat diberikan kalau pasien mengalami kekurangan vitamin ini. 1,2,3,7
1.1.5.2 Diuretik
Diuretik ansa henle (loop diuretic) misalnya furosemid (dosis awal 20-40
mg/hari) atau golongan tiazid dengan atau tanpa kombinasi dengan potassium
sparing diuretic (spironolakton) digunakan untuk mengobati edema dan
hipertensi. Penurunan berat badan tidak boleh melebihi 0,5 kg/hari. 1,2,3
1.1.5.3 TatalaksanaTromboemboli
Bila didiagnosis adanya peristiwa tromboembolisme, terapi antikoagulan
dengan heparin harus dimulai. Jumlah heparin yang diperlukan untuk mencapai
waktu tromboplastin parsial (PTT) terapeutik mungkin meningkat karena adanya
penurunan jumlah antitrombin III. Setelah terapi heparin intravena , antikoagulasi
oral dengan warfarin dilanjutkan sampai sindrom nefrotik dapat diatasi. 1,2,3,5
7
1.1.5.4 Obat Anti proteinuria dan Imunosupresan
Menurut KDIGO 2020 merekomendasikan target tekanan darah dibawah
130/80 mampu mencegah progresifitas penyakit ginjal.ACE inhibitor /
Angiotensin Receptor Blocker (ARB) merupakan pilihan utama pada kasus
Sindrom Nefrotik. Kombinasi Ace Inhibitor dengan ARB memiliki efek potensial
terhadap penurunan proteinuria, namun kombinasi kedua obat tidak lazim
digunakan mengingat timbulnya efek samping yang besar seperti
Hiperkalemia.1,2,3,8
Terapi khusus untuk sindroma nefrotik adalah pemberian kortikosteroid
yaitu prednisone 1 – 1,5 mg/kgBB/hari dosis tunggal pagi hari selama 4 – 6
minggu. Kemudian dikurangi 5 mg/minggu sampai tercapai dosis maintenance (5
– 10 mg) kemudian diberikan 5 mg selang sehari dan dihentikan dalam 1-2
minggu. Bila pada saat tapering off, keadaan penderita memburuk kembali
(timbul edema, protenuri), diberikan kembali full dose selama 4 minggu kemudian
tapering off kembali. Obat kortikosteroid menjadi pilihan utama untuk menangani
sindroma nefrotik (prednisone, metil prednisone) terutama pada minimal
glomerular lesion (MGL), focal segmental glomerulosclerosis (FSG) dan sistemik
lupus glomerulonephritis. Obat antiradang nonsteroid (NSAID) telah digunakan
pada pasien dengan nefropati membranosa dan glomerulosklerosis fokal untuk
mengurangi sintesis prostaglandin yang menyebabkan dilatasi. Ini menyebabkan
vasokonstriksi ginjal, pengurangan tekanan intraglomerulus, dan dalam banyak
kasus penurunan proteinuria sampai 75 %. Sitostatika diberikan bila dengan
pemberian prednisone tidak ada respon, kambuh yang berulang kali atau timbul
efek samping kortikosteroid. Dapat diberikan siklofosfamid 1,5 mg/kgBB/hari.
Obat penurun lemak golongan statin seperti simvastatin, pravastatin dan lovastatin
dapat menurunkan kolesterol LDL, trigliserida dan meningkatkan kolesterol HDL.
1,2,3,4,7
1.1.6 Komplikasi
Hiperlipidemia merupakan keadaan yang sering menyertai SN. Kadar
kolesterol pada umumnya meningkat sedangkan trigliserida bervariasi dari normal
sampai sedikit tinggi. Peningkatan kadar kolesterol disebabkan oleh
meningkatnya LDL (low density lipoprotein) yaitu sejenis lipoprotein utama
8
pengangkut kolesterol. Tingginya kadar LDL pada SN disebabkan oleh
peningkatan sintesis hati tanpa gangguan katabolisme hati. Mekanisma
hiperlipidemia pada SN dihubungkan dengan peningkatan sintesis lipid dan
lipoprotein hati dan menurunnya katabolisme. 1,2
Lipiduria sering ditemukan pada SN dan ditandai oleh akumulasi lipid
pada debris sel dan cast seperti badan lemak berbentuk oval (oval fat bodies) dan
fatty cast. Lipiduria lebih dikaitkan dengan protenuria daripada dengan
hiperlipidemia.3
Komplikasi tromboemboli sering ditemukan pada SN akibat peningkatan
koagulasi intravascular. Pada SN kecenderungan terjadinya trombosis vena renalis
cukup tinggi. Emboli paru dan trombosis vena dalam (deep vena trombosis) sering
dijumpai pada SN. Terjadinya infeksi oleh kerana defek imunitas humoral, selular,
dan gangguan system komplemen. Oleh itu bacteria yang tidak berkapsul seperti
Haemophilus influenzae and Streptococcus pneumonia boleh menyebabkan
terjadinya infeksi. Penurunan IgG, IgA dan gamma globulin sering ditemukan
pada pasien SN oleh kerana sintesis yang menurun atau katabolisme yang
meningkat dan bertambah banyaknya yang terbuang melalui urine. Gagal ginjal
akut disebabkan oleh hypovolemia. Oleh kerana cairan berakumulasi di dalam
jaringan tubuh, kurang sekali cairan di dalam sirkulasi darah. Penurunan aliran
darah ke ginjal menyebabkan ginjal tidak dapat berfungsi dengan baik dan
timbulnya nekrosis tubular akut. 1,2,3,8
9
dewasa. Pilihan terapi imunosupresan sampai saat ini tidak ada yang lebih
superior 1 dengan lainnya.
Gambar 1.2.1 Beberapa Pilihan Terapi Sindrom Nefrotik Resistensi Steroid lancet
10
Gambar 1.2.2.1 Pilihan Tatalaksana pada Sindrom Nefrotik lesi Fokal
11
merupakan SC tidak tergantung ACTH, yang disebabkan oleh hyperplasia
adrenokortikal bilateral atau tumor adrenokortikal yang menghasilkan kortisol
berlebihan, dan akan menekan ACTH. 9,10
12
test), atau uji supresi deksametason semalam (1-mg overnight dexamethasone
suppression test [DST]). Prinsipnya, uji ini untuk mendeteksi peningkatan kadar
kortisol di dalam urine atau saliva atau menunjukkan kelainan umpan balik aksis
HPA. Oleh karena kadar kortisol sangat bervariasi dan sensitivitas dan spesifisitas
uji-uji diatas suboptimal, maka Endocrine Society di Amerika mengusulkan
paling sedikit 2 uji positif sebelum menegakkan diagnosis SC. 9,10,11
13
adrenalektomi bilateral maka biasanya diperlukan substitusi hormonal
glukokortikoid dan mineralokortikoid terus menerus pasca operasi.2
Penatalaksanaan dilakukan dengan titrasi dosis kortikosteroid yang akan
berlangsung lama. Penghentian secara tiba – tiba penggunaan kortikosteroid
setelah penggunaan jangka panjang dapat menyebabkan krisis adrenal. Titrasi
kortikosteroid secara perlahan bisa membantu menahan efek dari atropi kelenjar
adrenal.
14
15