Anda di halaman 1dari 51

KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH III

“LAPORAN PENDAHULUAN”

Disusun Oleh :

Nama : Sri Winarta

NIM : 1814201220

Prodi : S1 Keperawatan

Dosen Pembimbing :

Ns. Muhammad Arif, M.Kep

UNIVERSITAS PERINTIS INDONESIA

FAKULTAS ILMU KESEHATAN

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN

T.A 2020/2021
“RANGE OF MOTION (ROM)”

A. Definisi
Range of Motion merupakan prosedur dan usaha untuk memenuhi kebutuhan fisik
terutama aktivitas gerak (mobilisasi) untuk pasien dengan keterbatasan gerak (Suratun,
2008). Latihan yang dilakukan untuk mempertahankan atau tingkat kesempurnaan
kemampuan menggerakan persendian secara normal dan lengkap untuk meningkatkan
massa otot dan tonus otot (Potter & Perry, 2005).

B. Tujuan
1. Memelihara dan mempertahankan kekuatan otot
2. Memelihara mobilitas persendian
3. Menstimulasi persendian
4. Mencegah kontraktur dan kekakuan sendi
5. Memperbaiki tonus otot
6. Meningkatkan massa otot
7. Memperlancar sirkulasi darah

C. Jenis – Jenis
1. ROM Pasif
ROM pasif   : latihan ROM yang di lakukan pasien dengan bantuan perawat setiap-
setiap gerakan. Kekuatan otot 50 %. Latihan ROM pasif adalah latihan ROM yang di
lakukan pasien dengan bantuan perawat setiap-setiap gerakan. Indikasi latihan fasif
adalah pasien semikoma dan tidak sadar, pasien dengan keterbatasan mobilisasi tidak
mampu melakukan beberapa atau semua latihan rentang gerak dengan mandiri, pasien
tirah baring total atau pasien dengan paralisis ekstermitas total (suratun, dkk, 2008).
Rentang gerak pasif ini berguna untuk menjaga kelenturan otot-otot dan persendian
dengan menggerakkan otot orang lain secara pasif misalnya perawat mengangkat dan
menggerakkan kaki pasien.

2. ROM Aktif
ROM aktif   :    Perawat memberikan motivasi, dan membimbing klien dalam
melaksanakan pergerakan sendi secara mandiri sesuai dengan rentang gerak sendi
normal (klien aktif). (Potter and Perry, 2006). Latihan ROM aktif adalah Perawat
memberikan motivasi, dan membimbing klien dalam melaksanakan pergerakan sendi
secara mandiri sesuai dengan rentang gerak sendi normal. Hal ini untuk melatih
kelenturan dan kekuatan otot serta sendi dengan cara menggunakan otot-ototnya
secara aktif.

D. Indikasi
1. Pasien tirah baring lama
2. Pasien yang mengalami penurunan tingkat kesadaran
3. Pasien dengan kasus fraktur, stroke
4. Pasien dengan kelemahan otot, kekakuan sendi
5. Nyeri otot, persendian atau tulang, nyeri pinggang, tenggkuk, lutut, bahu

E. Kontra Indikasi
1. Hypermobilitas
2. Inflamasi
3. Kelainan sendi atau tulang
4. Nyeri hebat
5. Sendi kaku atau tidak dapat bergerak
6. Trauma baru yang kemungkinan ada fraktur yang tersembunyi

F. Latihan Gerak Aktif dan Pasif 


1. Latihan Pasif

a. Gerakan menekuk dan meluruskan pergelangan tangan:


- Pegang lengan bawah dengan tangan satu, tangan lainnya memegang pergelangan
tangan pasien
- Tekuk pergelangan tangan ke atas dan ke bawah
b. Gerakan menekuk dan meluruskan siku :
- Pegang lengan atas dengan tangan satu, tangan lainnya menekuk dan meluruskan siku
c. Pronasi dan supinasi siku
Posisi lengan fleksi, tangan kiri perawat memegang pergelangan yangan kanan pasien,
dan tangan kanan perawat memegang telapal tangan pasien. Pronasi siku memutar
lengan bawah ke arah luar, telapak tangan diarah luar. Gerakan supinasi perawat
memutar lengan pasien kearah dalam, telapak tangan menghadap tubuh pasien.
d. Gerakan menekuk dan meluruskan sendi bahu :
- Tangan satu penolong memegang siku, tangan lainnya memengang lengan.
- Luruskan siku naikan dan turunkan legan dengan siku tetap lurus
e. Fleksi dan ekstensi bahu
luruskan dan gerakkan tangan ke arah atas kemudian kembali ke posisi semula.

f. Fleksi dan eksensi jari-jari kaki


Pegang pergelangan kaki pasien dengan tangan kiri dan kaki pasien dengan tangan
kanan, lakukan gerakan fleksi jari kedepan ke bawah kearah tempat tidur lalu
melakukan ekstensi. Lalu merlakukan gerakan dorso pedis dengan menarik kearah
belakang

g. Inversi dan eversi kaki


Pegang pergelangan kaki pasien dengan tangan kiri dan telapak tangan dengan tangan
kanan, perawat menggerakan telapak kaki kea rah dalam , lalu menggerakkan kaki kea
rah luar.
h. Gerakan menekuk dan meluruskan pangkal paha
Pegang lutut dengan tangan satu, tangan lainnya memegang tungkai. Naikkan dan
turunkan kaki dengan lutut yang lurus
i. Rotasi pangkal paha
Dekatkan kaki pasien pada pelatih, kemudian putar ke arah dalam
j. Adduksi dan abduksi pangkal paha
Perawat mengangkat kaki pasien setinggi 8 cm, lalu melakukan gerakan adduksi, yaitu
menjauhi kaki salah satu pasien ke arah perawat. Lalu abduksi, mengangkat kaki lalu
mendekati kearah pasien

2. Latihan Pasif
a. Latihan ROM aktif pada leher: fleksi, ekstensi, hiperkestensi, fleksi kanan kiiri, serta
rotasi kanan kiri
b. Latihan ROM aktif pada bahu: fleksi ke atas, ekstensi, hiperkestensi, fleksi depan
menyilang, ke belakng, sirkumduksi, abduksi, adduksi, rotasi
c. Latihan ROM aktif pada siku; fleksi, ekstensi, supinasi, dan pronasi
d. Latihan ROM aktif pada pergelangan tangan: fleksi, ekstensi, hiperektensi, abduksi,
adduksi.

e. Latihan ROM aktif pada jari-jari tangan: fleksi, ekstensi, hiperektensi, abduksi,
adduksi
f. Latihan ROM pada kaki: fleksi, ekstensi, abduksi, adduksi, eversi dan inverse
DAFTAR PUSTAKA

Perry, Peterson dan Potter. 2005. Buku Saku Keterampilan dan Prosedur Dasar ;
Alihbahasa, Didah Rosidah, Monica Ester ; Editor bahasa Indonesia, Monica Ester –
Edisi 5. Jakarta, EGC

Suratun, SKM, Heryati, S.Kp, M.Kes, Santa Manurung, SKM, M.Kep & Dra. Een Raenah, SMIP. Klien
gangguan system musculoskeletal: seri asuhan keperawatan. Jakarta: EGC. 2008.
“AMBULASI MOBILISASI”

1. Pengertian
Menurut Potter dan Perry (2003) mobilitas adalah kemampuan seseorang untuk
berpindah secara bebas. Sedangkan menurut Wahit Iqbal Mubarak (2007) mobilitas
adalah kemampuan untuk bergerak secara bebas, mudah, dan teratur yang bertujuan
untuk memenuhi hidup sehat.
Dari beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa mobilisasi adalah
kemampuan seseorang untuk bergerak secara bebas, mudah dan teratur dan
mempunyai tujuan dalam rangka pemenuhan kebutuhan hidup sehat, hal ini penting
untuk kemandirian.

2. Jenis Mobilitas
a. Mobilitas penuh adalh kemampuan individu untuk bergerak secara penuh dan bebas
sehingga dapat melakukan interaksi social dan peran sehari-hari.
b. Mobilitas sebagian adalah kemampuan seseorang untuk bergerak dengan batasan
jelas dan tak mampu bergerak secara bebas karena dipengaruhi oleh gangguan saraf
motorik dan sensorik.
1) Mobilitas sebagian temporer adalah kemampuan seseorang untuk bergerak
dengan batasan yang sifatnya sementara, kemungkinan disebabkan oleh trauma
pada muskuloskeletal. Contohnya : adanya dislokasi sendi dan tulang.
2) Mobilitas sebagian permanen adalah kemampuan seseorang untuk bergerak
dengan batasan yang sifatnya menetap. Hal tersebut disebabkan rusaknya sistem
saraf yang reversibel. Contohnya hemiplegia akibat stroke, paraplegi karena
cedera tulang belakang.

3. Faktor yang mempengaruhi mobilitas


a. Gaya Hidup
1) Belajar tentang nilai dari aktivitas dari lingkungan keluarga
2) Pengaruh factor budaya terhadap aktivitas
b. Ketidakmampuan
Kelemahan fisik dan mental yang menghalangi seseorang untuk melaksanakan
aktivitas kehidupan, dibagi menjadi dua:
1) Ketidakmampuan primer: disebabkan langsung karena penyakit atau trauma.
Contohnya paralisis oleh karena injuri spinal cord.
2) Ketidakmampuan sekunder: dampak akibat ketidakmampuan primer.
Contohnya kelemahan otot, bed sores.
c. Tingkat Energi
1) Bervariasi diantara individu
2) Seseorang menghindar dari stressor untuk mempertahankan kesehatan fisik dan
psikologis
d. Usia
Mempengaruhi tingkat aktivitas, dikaitkan dengan tingkat perkembangan dari sejak
lahir sehubungan dengan usia lanjut.
e. Kebudayaan
Kemampuan melakukan mobilitas dapat juga dipengaruhi kebudayaan. Contohnya
orang yang memiliki budaya sering berjalan jauh, memiliki kemampuan mobilitas
yang kuat dibandingkan dengan orang karena adaptasi budaya tertentu dibatasi
aktivitasnya.

4. Kondisi patologi yang mempengaruhi mobilitas


a. Ketidaknormalan postur
Mempengaruhi efisiensi dari system muskuloskeletal seperti body alignment,
keseimbangan, dan penampilan. Selama pengkajian perawat mengobservasi body
alignment dan ROM ketidaknormalan postur dapat disebabkan oleh nyeri, posisi
yang salah, dan mobilitas atau keduanya. Pengetahuan tentang karakteristik,
penyebab dan pengobatan dari ketidaknormalan postur dalam pemenuhan
kebutuhan mengangkat, memindah dan memposisikan. Beberapa ketidaknormalan
postur menyebabkan keterbatasan ROM.
b. Gangguan perkembangan otot
Luka dan penyakit dapat menunjukkan untuk mengubah fungsi muskuloskeletal.
Penyakit otot adalah kelompok ketidaknormalan yang disebabkan oleh degerasi
otot tulang fibrous.
c. Kerusakan system saraf pusat
Kerusakan beberapa komponen seperti pada pengaturan gerak sadar
mengakibatkan gangguan body alignment dan mobilitas. Motorik di cerebrum bisa
dirusak oleh trauma dari cidera kepala, iskemia dari kecelakaan cerebrovascular
(stroke) atau infeksi bakteri dari meningitis.
d. Trauma langsung pada system musculoskeletal
Trauma sistem muskuloskeletal dapat mengakibatkan memar, keseleo dan fraktur.
Fraktur adalah gangguan pada jaringan tulang penyambung. Fraktur diakibatkan
oleh trauma eksternal, tapi juga bias terjadi karena kelainan bentuk tulang
(misalnya osteoporosis, paget’s disease atau osteogenesis imperfekta). Kondisi
cacat lahir dapat mempengaruhi struktur muskuloskeletal atau sistem saraf,
mengganggu body alignment atau gerakan sendi. Sifatnya bisa sementara atau
permanen.

A. Konsep Dasar Ambulasi


1. Pengertian
Ambulasi adalah usaha yang dikoordinir dari muskuloskeletal dan sistem saraf
untuk mempertahankan keseimbangan postur dan body aligment selama
pengangkatan, pergerakan, dan penyelenggaraan kegiatan atau aktivitas kehidupan
sehari-hari (Perry dan Potter).
Pergerakan tubuh yang terkoordinir melibatkan fungsi skeletal, otot, dan sistem
saraf. Karena ketiga sistem ini berhubungan erat dalam mendukung ambulasi,
sehingga sistem tersebut sering disebut sebagai unit fungsi tunggal. Sistem skeletal
menjalankan lima fungsi di dalam tubuh yaitu sebagai pendukung, perlindungan,
pergerakan, penyimpanan mineral dan hematopoiesis (pembentukan sel darah).
Dalam ambulasi, fungsi tulang sebagai pendukung dan pergerakan adalah paling
penting. Tulang menjalankan fungsi sebagai kerangka dan menyokong bentuk, postur
dan posisi bagian tubuh. Dalam pergerakan ditimbulkan oleh tarikan otot pada tulang
yang berperan sebagai pengungkit dan sendi berperan sebagai tumpuan atau
penompang.

2. Anatomi dan Fisiologi


a. Tulang
Tulang terdiri dari sel-sel yang berada pada bagian intraseluler, tulang berasal dari
embrionik hyaline cartilage yang mana melalui proses osteogenesis menjadi tulang.
Proses ini dilakukan oleh sel-sel yang disebut osteoblas. Proses mengerasnya
tulang garam kalsium.
Tulang mempunyai fungsi sebagai:
1) Mendukung jaringan tubuh dan memberikan bentuk tubuh
2) Melindungi organ tubuh dan jaringan lunak
3) Memberikan pergerakan (otot yang berhubungan dengan kontraksi dan
pergerakan)
4) Membentuk sel-sel darah merah di dalam sumsum tulang (hematopoiesis)
5) Menyimpan garam-garam mineral. Misalnya kalsium dan fosfor
b. Otot
Otot dibagi dalam tiga kelompok dengan fungsi utama untuk kontraksi dan
menghasilkan pergerakan dari bagian tubuh atau seluruh tubuh. Pergerakan
ditimbulkan oleh tarikan otot pada tulang yang berperan sebagai pengungkit dan
sendi berperan sebagai tumpuan atau penopang.
c. Ligamen
Ligamen adalah sekumpulan dari jaringan fibrous yang tebal dimana merupakan
akhir dari suatu otot dan berfungsi mengikat suatu tulang.
d. Persendian
Pergerakan tidak akan mungkin terjadi bila kelenturan dalam rangka tulang tidak
ada. Kelenturan dimungkinkan karena adanya persendian atau letak dimana tulang
berada bersama-sama. Adapun gerakan yang dapat dilakukan oleh sendi-sendi
antara lain:
1) Fleksi
2) Ektensi
3) Adduksi
4) Abduksi
5) Rotasi
6) Sirkumduksi
7) Pergerakan khusus: supinasi, pronasi, inversion, eversio, protacsio

3. Prinsip Ambulasi
a. Gravitasi
Memandang gravitasi sebagai sumbu dalam pergerakan tubuh.
1) Pusat gravitasi, titik yang ada di pertengahan tubuh
2) Garis gravitasi, merupakan garis imajiner vertical melalui pusat gravitasi
3) Dasar tumpuan, merupakan dasar tempat seseorang dalam posisi istirahat untuk
menopang atau menahan tubuh
b. Keseimbangan
Keseimbangan dicapai dengan mempertahankan posisi garis gravitasi diantara
pusat gravitasi dan dasar tumpuan.

4. Pergerakan Dasar dalam Ambulasi


a. Gerakan (ambulating)
Gerakan yang benar dapat membantu mempertahankan keseimbangan tubuh.
Contohnya keseimbangan orang saat berdiri dan saat berjalan akan berbeda. Orang
yang berdiri akan lebih mudah stabil dibandingkan dengan posisi jalan. Dalam
posisi jalan akan terjadi perpindahan dasar tumpuan dari sisi satu ke sisi yang lain
dan posisi gravitasi akan selalu berubah pada posisi kaki.
b. Menahan (squaling)
Dalam melakukan pergantian, posisi menahan selalu berubah. Contohnya posisi
orang duduk akan berbeda dengan orang jongkok dan tentunya berbeda dengan
posisi membungkuk. Gravitasi adalah hal yang perlu diperhatikan untuk
memberikan posisi yang tepat dalam menahan. Dalam menahan diperlukan dasar
tumpuan yang tepat.
c. Menarik (pulling)
Menarik dengan benar akan memudahkan untuk memindahkan benda. Yang perlu
diperhatikan adalah ketinggian, letak benda, posisi kaki dan tubuh dalam menarik,
sodorkan telapak tangan dan lengan atas dipusat gravitasi pasien, lengan dan siku
diletakkan pada permukaan tempat tidur. Pinggul, lutut dan pergelangan kaki
ditekuk lalu dilakukan penarikan.
d. Mengangkat (lifting)
Mengangkat merupakan pergerakan daya tarik. Menggunakan otot-otot besar dari
tumit, paha bagian atas, kaki bagian bawah,perut dan pinggul untuk mengurangi
rasa sakit pada daerah tubuh bagian belakang.
e. Memutar (pivoting)
Merupakan gerakan untuk memutar anggota tubuh dan bertumpu pada tulang
belakang. Gerakan memutar yang baik memperhatikan ketiga unsur gravitasi agar
tidak berpengaruh buruk pada postur tubuh.
5. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Ambulasi
a. Status kesehatan
b. Nutrisi
Kekurangan nutrisi dapat menyebabkan kelemahan otot dan memudahkan terjadi
penyakit. Contohnya tubuh yang kekurangan kalsium akan lebih mudah fraktur.
c. Emosi
Kondisi psikologi seseorang dapat memudahkan perubahan perilaku yang dapat
menurunkan kemampuan ambulasi yang baik.
d. Situasi dan kebiasaan
Situasi dan kebiasaan yang dilakukan seseorang misalnya sering mengangkat
benda-benda yang berat.
e. Gaya hidup
Perubahan pola hidup seseorang dapat menyebabkan stress dan kemungkinan besar
akan menyebabkan kecerobohan dalam beraktivitas.
f. Pengetahuan
Pengetahuan yang baik dalam penggunaan ambulasi akan mendorong seseorang
untuk mempergunakannya dengan benar, sehingga tenaga yang dikeluarkan tidak
sia-sia.

6. Dampak Ambulasi yang Salah


a. Terjadi ketegangan sehingga memudahkan timbulnya kelelahan dan gangguan
dalam sistem muskuloskeletal.
b. Resiko terjadi kecelakaan pada sistem muskuloskeletal. Seseorang salah berdiri
akan mudah terjadi kelainan pada tulang vertebra.

7. Keadaan Patologi yang Berpengaruh Pada Ambulasi


Beberapa kondisi patologi mempengaruhi body alignment dan mobilisasi. Kondisi
tersebut meliputi:
a. Cacat sejak lahir
Abnormalitas cacat bawaan mempengaruhi efisiensi sistem muskuloskeletal dalam
body alignment, keseimbangan dan penampilan, osteogenesis imperfect adalah
gangguan yang bersifat bawaan atau keturunan yang mempengaruhi tulang.
b. Gangguan pada sendi, tulang dan otot
Osteoporosis adalah gangguan metabolism tulang sehingga masa tulang menurun,
komponen matrik yaitu mineral dan protein berkurang. Osteomalacia adalah
penyakit metabolic yang memiliki karakteristik berupa ketidakmampuan dalam
proses pengerasan kapur dan pengeluaran mineral. Kerusakan pada pergerakan
sendi dapat dibedakan menjadi dua yaitu inflamatori dan non inflamatori joint
desease. Inflamatori joint desease (contohnya: artritis) memiliki karakteristik
berupa peradangan atau merusak membrane synovial. Sedangkan non inflamatori
tidak memiliki karakteristik seperti itu, cairan synovial adalah normal.
c. Kerusakan sistem saraf pusat
Kerusakan pada berbagai komponen system saraf pusat yang mengatur pergerakan
dapat mengakibatkan gangguan pada body alignment dan mobilisasi. Sebagai
contohnya trauma pada kepala dapat mengganggu pusat motorik dalam cerebrum.
d. Trauma muskuloskeletal
Trauma sistem muskuloskeletal sangat bervariasi mulai yang sederhana sampai
yang kompleks (multiple bone fracture) dengan kerusakan jaringan lunak
disekitarnya. Fraktur adalah patah atau gangguan kontinuitas tulang.
“PEMERIKSAAN FISIK MUSKULOSKELETAL”

A. Perubahan Terkait Usia pada Fungsi Sistem Muskuloskeletal


Massa tulang kontinu sampai mencapai puncak pada usia 30-35 tahun setelah itu
akan menurun karena disebabkan berkurangnya aktivitas osteoblas sedangkan aktivitas
osteoklas tetap normal. Secara teratur tulang mengalami turn over yang dilaksanakan
melalui 2 proses yaitu; modeling dan remodeling, pada keadaan normal jumlah tulang
yang dibentuk remodeling sebanding dengan tulang yang dirusak. Ini disebut positively 
coupled jadi masa tulang yang hilang nol. Bila tulang yang dirusak lebih banyak terjadi
kehilangan masa tulang ini disebut negatively  coupled yang terjadi pada usia lanjut.
Dengan bertambahnya usia terdapat penurunan masa tulang secara linier yang
disebabkan kenaikan turn over pada tulang sehingga tulang lebih pourus. Pengurangan
ini lebih nyata pada wanita, tulang yang hilang kurang lebih 0,5 sampai 1% per tahun
dari berat tulang pada wanita pasca menopouse dan pada pria diatas 80 tahun,
pengurangan tulang lebih mengenai bagian trabekula dibanding dengan kortek. Pada
pemeriksaan histologi wanita pasca menopouse dengan osteoporosis spinal hanya
mempunyai trabekula kurang dari 14%. Selama kehidupan laki-laki kehilangan 20-30%
dan wanita 30-40% dari puncak massa tulang.
Pada sinofial sendi terjadi perubahan berupa tidak ratanya permukaan sendi terjadi
celah dan lekukan dipermukaan tulang rawan. Erosi tulang rawan hialin menyebabkan
pembentukan kista di rongga sub kondral. Ligamen dan jaringan peri artikuler
mengalami degenerasi Semuanya ini menyebabkan penurunan fungsi sendi, elastisitas
dan mobilitas hilang sehingga sendi kaku, kesu¬litan dalam gerak yang rumit.
Perubahan yang jelas pada sistem otot adalah berkurangnya masa otot terutama
mengenai serabut otot tipe II.Penurunan ini disebabkan karena otropi dan kehilangan
serabut otot.Perubahan ini menyebabkan laju metabolik basal dan laju komsumsi oksigen
maksimal berkurang.Otot menjadi mudah lelah dan kecepatan laju kontraksi
melambat.Selain penurunan masa otot juga dijumpai berkurangnya rasio otot dan
jaringan lemak.

Perubahan Fisik Sistem muskuloskeletal pada lansia :


1. Tulang kehilangan densikusnya yaitu rapuh.
2. Resiko terjadi fraktur.
3. Kyphosis.
4. Persendian besar & menjadi kaku.
5. Pada wanita lansia > resiko fraktur.
6. Pinggang, lutut & jari pergelangan tangan terbatas.
7. Pada diskus intervertebralis menipis dan menjadi pendek ( tinggi badan berkurang ).
a. Gerakan volunter yaitu gerakan berlawanan.
b. Gerakan reflektonik yaitu  Gerakan diluar kemauan sebagai reaksi terhadap
rangsangan    pada lobus.
c. Gerakan involunter yaitu Gerakan diluar kemauan, tidak sebagai reaksi terhadap
suatu    perangsangan terhadap lobus
d. Gerakan sekutu yaitu Gerakan otot lurik yang ikut bangkit untuk menjamin
efektifitas dan ketangkasan otot volunter.
Perubahan pada sistem muskuloskeletal antara lain sebagai berikut :
1. Tulang
Tulang menyediakan kerangka untuk semua sistem muskuloskelethal dan
bekerja berhubungan dengan sistem otot untuk memfasilitasi pergerakan.Fungsi
tambahan tulang pada tubuh manusia adalah penyimpanann calcium, produksi sel
darah, dan mendukung serta melindungi jaringan dan organ tubuh.Tulang terbentuk
dari lapisan luar yang keras disebut cortical atau tulang padat, dan di bagian dalm
terdapat spongy berlubang yang disebut trabecular.Bagian cortical terhadap
komponen tabecular berubah berdasrkan tipe tulang.Tulang panjang misalnya, radius
dan femur, mengandung sebanyak 90% corticol, sedangkan tulang vertebrata
susunan utamanya adalah sel trabecular.Corticol dan trabecular merupakan
komponen tulang yang berpengaruh pada lansia.
Pada lansia terdapat perubahan pada susuanan pembentukan tulang yaitu :
a. Tulang cortikal
Mulai umur 40 tahun, terjadi perubahan penurunan sejumlah tulang cortical 3 %
perdecade pada laki-danwanitaberlanjut terus sampai akhir dewasa.
Setelah menopause, wanita terjadi penambahan penurunan/ kehilangan tulang
cortical, sehingga jumlah rata-rata penurunan mencapai 9% sampai 10 %
perdecade pada umur 45-75 tahun. Penurunan tulang corticl berakhir pada umur
70- 75 .Hasil akhir perubahan ini seumur hidup kira-kira 35%-23% pada wanita
dan laki-laki berturut-turut.
b. Tulang trabecular
Serangan hilangnya tulang trabecular lebih dulu dari serangan kehilangan cortical
pada wanita dan laki-laki. Rata-rata hilangnya tulang trabecular kira-kira 6%-8%
perdecade setelah menopause, wanita terjadi kehilangan tulang trabecular secara
cepat Hasil akhir kehilangan seumur hidup kira-kira 50%- 33% pada wanita dan
laki-laki seumur hidup.
c. Peningkatanreabsorpsi tulang oleh tubuh.
d. Penurunan penyerapan kalsium
e. Serum parathyroid  hormone meningkat
f. Gangguan regulasi aktivitas osteoblast.
g. Gangguan pembentukan tulang, sekunder untuk mengurangi matriks tulang.
h. Jumlah fungsi sel marrow yang digantikan oleh jaringan sel lemak
2. Otot
Semua kegiatan sehari-hari (ADL) langsung dipengaruhi oleh fungsi otot, yang di
kendalikan oleh saraf motorik. Perubahan yang berhubungan dengan usia berdampak
besar pada fungsi otot, yaitu :
a. Hilangnya masa otot sebagai hasil penurunan dalam ukuran dan jumlah serat
otot
b. Penurunan serat otot dengan penggantian selanjutnya oleh jaringan penghubung
dan akhirnya oleh jaringan lemak.
c. Penurunan membran sel otot dan keluarnya cairan dan pota.
Dengan umur 80 tahun, kira-kira masa otot hilang (Tonna, 1987). Pada
penjumlahan, terdapat kehilangan saraf motorik yang berhubungan dengan usia,
dan ini mempengaruhi fungsi otot. Dan pada akhirnya perubahan yang
berhubungan dengan usia adalah kemunduran fungsi motorik dan hilangnya
kekuatan dan ketahanan otot.
3. Persendian
Pada persendian perubahan  yang terjadi adalah :
a. Penurunan viskositas cairan synovial
b. Terbentuknya jaringan perut dan adanya kalsifikasi pada persendian.
c. Jaringan penghubung (kolagen dan elastis)
Kolagen sebagai protein pendukung utama pada kulit, tendon, tulang,
kartilago, dan jaringan ikat mengalami perubahan menjadi bentangan cross
linking yang tidak teratur.Bentangan yang tidak teratur dan penurunan
hubungan tarikan linear pada jaringan kolagen merupakan salah satu alasan
penurunan mobilitas pada jaringan tubuh.Setelah kolagen mencapai puncak
fungsi atau daya mekaniknya karena penuaan, tensile strenght dan kekakuan
dari kolagen mulai menurun.
Kolagen dan elastin yang merupakan jaringan ikat pada jaringan
penghubung mengalami perubahan kualitatif dan kuantitatif sesuai penuaan.
Perubahan pada kolagen itu merupakan penyebab turunnya fleksibilitas pada
lansia sehingga menimbulkan dampak berupa nyeri, penurunan kemampuan
untuk meningkatkan kekuatan otot, kesulitan bergerak dari duduk ke berdiri,
jongkok dan berjalan, dan hambatan dalam melaksanakn aktivitas sehari-hari
d. Kartilago
Jaringan kartilago pada persendian menjadi lunak dan mengalami granulasi
dan akhirnya permukaan sendi menjadi rata.Selanjutnya kemampuan kartilago
untuk regenerasi berkurang dan degenerasi yang terjadi cenderung ke arah
progresif.Proteoglikan yang merupakan komponen dasar matriks kartilago
berkurang atau hilang secara bertahap.Setelah matriks mengalami deteriorasi,
jaringan fibril pada kolagen kehilangan kekuatannya dan akhirnya kartilago
cenderung mengalami fibrilasi.Kartilago mengalami kalsifikasi di beberapa
tempat, seperti pada tulang rusuk dan tiroid.Fungsi kartilago menjadi tidak
efektif, tidak hanya sebagai peredam kejut, tetapi juga sebagai permukaan sendi
yang berpelumas.Konsekuensinya kartilago pada persendian menjadi rentan
terhadap gesekan.Perubahan tersebut sering terjadi pada sendi besar penumpu
berat badan.Akibat perubahan itu sendi mudah mengalami peradangan,
kekakuan, nyeri, keterbatasan gerak dan terganggunya aktivitas sehari-hari.
B. Faktor-Faktor Resiko
Adapun sebab-sebab gangguan muskuloskeletal pada lansia dapat dikelompokkan sebagai
berikut :
1. Mekanik : penyakit sendi degeneratif (osteoarthritis), stenosis spinal.
2. Matabolik : osteoporosis, myxedema, penyakit paget.
3. Berkaitan dengan keganasan : dermatomyositis, neuromiopati.
4. Radang : polymyalgia rhematica, temporal arthritis, gout.
5. Pengaruh obat.
Faktor Penyebab Keluhan Pada Sistem Muskuloskeletal Peter Vi (2000)
menjelaskan bahwa terdapat beberapa faktor yang dapat menyebabkan terjadinya
keluhan sistem muskuloskeletal yakni, antara lain:
1. Peregangan Otot yang Berlebihan.
Peregangan otot yang berlebihan pada umumnya sering dikeluhkan oleh pekerja yang
aktivitas kerjanya menuntut pengerahan tenaga yang besar seperti aktivitas
mengangkat, mendorong, menarik dan menahan beban yang berat. Hal ini terjadi
karena pengerahan tenaga yang diperlukan melampaui kekuatan optimum otot dan
bila sering dilakukan maka dapat mempertinggi resiko terjadinya keluhan otot,
bahkan dapat menyebabkan terjadinya cedera otot skeletal.
2. Aktivitas Berulang Aktivitas berulang adalah pekerjaan yang dilakukan secara terus-
menerus seperti pekerjaan mancangkul, membelah kayu besar, angkat-angkat dan
sebagainya. Keluhan otot terjadi karena otot menerima tekanan akibat beban kerja
secara terus-menerus tanpa memperoleh kesempatan untuk relaksasi.
3. Sikap Kerja Tidak Alamiah.
Sikap kerja tidak alamiah adalah sikap kerja yang menyebabkan posisi bagian-bagian
tubuh bergerak menjauhi posisi alamiah, misalnya pergerakan tangan terangkat,
punggung terlalu membungkuk, kepala terangkat dan sebagainya. Umumnya karena
karakteristik tuntutan tugas, alat kerja dan stasiun kerja tidak sesuai dengan
kemampuan dan keterbatasan pekerja (Grandjean, 1993; Anis & McConville, 1996;
Waters & Anderson, 1996 & Manuaba, 2000). Di Indonesia, sikap kerja tidak
alamiah ini lebih banyak disebabkan oleh adanya ketidaksesuaian antara dimensi alat
dan stasiun kerja dengan ukuran tubuh pekerja. Sebagai negara berkembang,
Indonesia masih tergantung pada perkembangan teknologi negara-negara maju
khususnya dalam pengadaan peralatan industri. Sebagai contoh, pengoperasian
mesin-mesin produksi di suatu pabrik yang diimpor dari Amerika dan Eropa akan
menjadi masalah bagi sebagian besar pekerja di Indonesia. Hal tersebut disebabkan
karena Negara pengekspor di dalam mendesain mesin-mesin hanya didasarkan pada
antropometri dari pekerja mereka, yang pada kenyataannya ukuran tubuh mereka
lebih besar dibandingkan dengan pekerja di Indonesia. Dapat dipastikan kondisi
tersebut akan menyebabkan sikap paksa pada waktu pekerja mengoperasikan mesin.
Apabila terjadi dalam kurun waktu yang lama, maka akan terjadi akumulasi keluhan
yang pada akhirnya dapat menyebabkan terjadinya cidera otot.
4. Faktor Penyebab Sekunder
a. Tekanan: Terjadinya tekanan langsung pada jaringan otot yang lunak. Sebagai
contoh, pada saat tangan harus memegang alat, maka jaringan otot tangan yang
lunak akan menerima tekanan langsung dari pegangan alat dan apabila hal ini
sering terjadi dapat menyebabkan rasa nyeri otot yang menetap.
b. Getaran: Getaran dengan frekuensi tinggi akan menyebabkan kontraksi otot
bertambah. Kontraksi statis ini menyebabkan peredaran darah tidak lancar,
penimbunan asam laktat meningkat dan akhirnya timbul rasa nyeri otot
c. Mikroklimat: Paparan suhu dingin yang berlebihan dapat menurunkan
kelincahan, kepekaan dan kekuatan pekerja sehingga gerakan pekerja menjadi
lamban, sulit bergerak yang disertai dengan menurunnya kekuatan otot. Demikian
juga dengan paparan udara yang panas. Beda suhu lingkungan dengan suhu tubuh
yang terlampau besar menyebabkan sebagian energi yang ada dalam tubuh akan
termanfaatkan oleh tubuh untuk beradaptasi dengan lingkungan tersebut. Apabila
hal ini tidak diimbangi dengan pasokan energi yang cukup, maka akan terjadi
kekurangan suplai oksigen kerja otot. Akibatnya, peredaran darah kurang lancar,
suplai oksigen kerja otot menurun, proses metabolisme karbohidrat terhambat dan
terjadi penimbunan asam laktat yang dapat menimbulkan rasa nyeri otot.
d. Penyebab Kombinasi.
Resiko terjadinya keluhan otot skeletal akan semakin meningkat apabila melakukan
tugasnya, pekerja dihadapkan pada beberapa faktor resiko dalam waktu yang
bersamaan misalnya pekerja harus melakukan aktivitas angkat angkut dibawah
tekanan panas sinar matahari seperti yang dilakukan para pekerja bangunan.
Di samping kelima faktor terjadinya keluhan sistem muskuloskeletal tersebut diatas,
beberapa ahli menjelaskan bahwa faktor individu seperti umur, jenis kelamin,
kebiasaan merokok, aktivitas fisik, kekuatan fisik dan ukuran tubuh juga dapat
menjadi penyebab terjadinya keluhan otot skeletal.
C. Konsekuensi Fungsional
Konsikuensi fungsional yang ditimbulkan yaitu:
1. Nyeri
2. Hambatan mobilitas fisik
3. Resiko jatuh
“PERAWATAN GIPS DAN TRAKSI”

1. Definisi Traksi
Traksi adalah Suatu pemasangan gaya tarikan pada bagian tubuh. Traksi digunakan
untuk meminimalkan spasme otot ; untuk mereduksi, mensejajarkan, dan
mengimobilisasi fraktur ; untuk mengurangi deformitas, dan untuk menambah ruangan
diantara kedua permukaan patahan tulang. Traksi harus diberikan dengan arah dan
besaran yang diinginka untuk mendapatkan efek terapeutik. Faktor-faktor yang
mengganggu keefekktifan tarikan traksi harus dihilangkan (Smeltzer & Bare, 2001 ).

2. Tujuan Traksi
1. Tujuan dari pemasangan traksi pada klien yang mengalami gangguan muskuloskeletal
adalah mobilisasi tulang belakang servikal, reduksi dislokasi / subluksasi, distraksi
interforamina vertebrae, mengurangi deformitas, dan mengurangi rasa nyeri.
2. Untuk meminimalkan spasme otot
3. Untuk mengurangi dan mempertahankan kesejajaran tulang yang tepat
4. Untuk menambah ruangan diantara kedua permukaan patahan tulang
5. Tujuan lain dari pemasangan traksi adalah untuk dapat mempertahankan panjang
ekstermitas kegarisan (aligment) maupun keseimbangan (stability) pada patah tulang,
memungkinkan pergerakan sendi dan mempertahankan kesegarisan fragmen- fragmen
patah tulang.
6. Mencegah cedera pada jaringan lunak
7. Untuk merawat kondisi inflamasi dengan imobilisasi sendi (mis. Arthritis atau
tuberkulosis

3. Klasifikasi Traksi
a. Menurut jenisnya traksi meliputi :
1. Traksi lurus atau langsung, memberikan gaya tarikan dalam satu garis lurus
dengan bagian tubuh berbaring di tempat tidur. Traksi ekstensi Buck dan traksi
pelvis merupakan contoh traksi lurus.
2. Traksi suspensi seimbang memberi dukungan pada ekstrimitas yang sakit di atas
tempat tidur sehingga memungkinkan mobilisasi klien sampai batas tertentu tanpa
terputusnya garis tarikan. Traksi ini memberi dukungan pada ekstremitas yang
sakit di atas tempat tidur, sehingga memungkinkan mobilisasi pasien sampai batas
tertentu tanpa terputusnya gaya tarikan.
b. Menurut cara pemasangan traksi, sebagai berikut:
Traksi dapat dilakukan pada kulit (traksi kulit) atau langsung ke skelet tubuh
(traksi skelet). Traksi dapat dipasang dengan tangan (traksi manual), dan merupakan
traksi sementara yang bisa digunakan pada saat pemasangan gips.

1. Traksi kulit
Traksi kulit digunakan untuk mengontrol spasme kulit dan memberikan
imobilisasi. Bila dibutuhkan beban traksi yang berat dan dalam waktu yang lama,
sebaiknya gunakan traksi skelet. Traksi kulit terjadi akibat beban menarik tali, spon
karet atau bahan kanvas yang diletakkan ke kulit. Traksi pada kulit meneruskan
traksi ke struktur musculoskeletal. Beratnya beban yang dipasang sangat terbatas,
tidak boleh melebihi toleransi kulit, tidak lebih dari 2-3 kg. traksi pelvis umumnya
4,5-9 kg, tergantung berat badan klien (Smeltzer, 2001).

Beban tarikan pada traksi kulit tidak boleh melebihi 5 kg, karena bila beban
berlebih kulit dapat mengalami nekrosis akibat tarikan yang terjadi karena iskemia
kulit. Pada kulit yang tipis, beban yang diberikan lebih kecil lagi dan pada orang tua
tidak boleh dilakukan traksi kulit. Traksi kulit banyak dipasang pada anak-anak
karena traksi skelet pada anak dapat merusak cakram epifisis. Jadi beratnya beban
traksi kulit antara 2-5 kg. dikarenakan traksi kulit diaplikasikan ke kulit kurang
aman , batasi kekuatan tahanan traksi.

Lama traksi, baik traksi kulit maupun traksi skelet bergantung pada tujuan
traksi. Traksi sementara untuk imobilisasi biasanya hanya beberapa hari, sedangkan
traksi untuk reposisi beserta imobilisasi lamanya sesuai dengan lama terjadinya kalus
fibrosa. Setelah terjadi kalus fibrosa, ekstremitas diimobilisasi dengan gips.

Traksi kulit yang berperekat digunakan untuk traksi continue, sementara yang
tidak berperekat digunakan secara intermitten, traksi tersebut dapat dengan
mudahdilepaskan dan dipasang kembali. Hal ini bisa dilakukan dengan cara yang
bervariasi : ekstensi adhesive dan non adhesive kulit, splint, sling, sling pelvis, dan
halter cervical.
Traksi kulit apendikuler (hanya pada ekstremitas) digunakan pada orang
dewasa, termasuk traksi ekstensi Buck, traksi Russel, dan traksi Dunlop.

A. Traksi Buck, ekstensi Buck (unilateral atau bilateral) adalah bentuk traksi kulit di
mana tarikan diberikan pada satu bidang bila hanya imobilisasi parsial atau temporer
yang diinginkan (Smeltzer, 2001). Traksi Buck digunakan untuk memberikan rasa
nyaman setelah cedera pinggul sebelum dilakukan fiksasi bedah. Sebelumnya inspeksi
kulit dari adanya abrasi dan gangguan peredaran darah. Kulit dan peredaran darah
harus salam keadaan sehat agar dapat menoleransi traksi. Kulit harus bersih dan
kering sebelum boot spon atau pita traksi dipasang. Traksi buck merupakan traksi
kulit yang paling sederhana, dan paling tepat bila dipasang untuk anak muda dalam
jangka waktu yang pendek.
B. Traksi Russel, traksi Russel dapat digunakan untuk fraktur pada plato tibia,
menyokong lutut yang fleksi pada penggantung dan memberikan gaya tarikan
horizontal melalui pita traksi dan balutan elastis ke tungkai bawah. Bila perlu, tungkai
dapat disangga dengan bantal agar lutut benar-benar fleksi dan menghindari tekanan
pada tumit. Walaupun traksi rangka seimbang dapat digunakan untuk menangani
hampir semua fraktur femur, reduksi untuk fraktur panggul mungkin lebih sering
diperoleh dengan memakai traksi Russell dalam keadaan ini paha disokong oleh
beban. Traksi ini diperuntukan 3-12 tahun. Traksi longitudinal diberikan dengan
menempatkan pin dengan posisi tranversal melalui tibia dan fibula diatas lutut. Efek
dari rancangan ini adalah memberikan kekuatan traksi ( berasal dari gaya tarik
vertikal beban paha dan gaya tarik horizontal dari kedua tali pada kaki ) yang segaris
dengan tulang yang cidera dengan kekuatan yang sesuai. Jenis traksi paling sering
digunakan untuk memberi rasa nyaman pada pasien yang menderita fraktur panggul
selama evaluasi sebelum operasi dan selama persiapan pembedahan. Meskipun traksi
Russell dapat digunakan sebagai tindakan keperawatan yang utama dan penting untuk
patah tulang panggul pada penderita tertentu tetapi pada penderita usia lanjut dan
lemah biasanya tidak dapat mengatasi bahya yang akan timbul karena berbaring
terlalu lama ditempat tidur seperti dekubitus, pneumonia, dan tromboplebitis
(Smeltzer, 2001).
C. Traksi Dunlop adalah traksi yang digunakan pada ekstremitas atas. Traksi horizontal
diberikan pada humerus dalam posisi abduksi, dan traksi vertikal diberikan pada
lengan bawah dalam posisi fleksi. Untuk menjamin traksi kulit tetap efektif, harus
dihindari adanya lipatan dan lepasnya balutan traksi dan kontraksi harus tetap terjaga.
Posisi yang benar harus dipertahankan agar tungkai atau lengan tetap dalam posisi
netral. Untuk mencegah pergerakan fragmen tulang satu sama lain, klien dilarang
memiringkan badannya namun hanya boleh bergeser sedikit. Traksi kulit dapat
menimbulkan masalah risiko, seperti kerusakan kulit, tekanan saraf, dan kerusakan
sirkulasi.
D. Traksi Kulit Bryant
Disebut juga Gallow’s traction. Traksi bryan merupakan adaptasi dari Buck ekstention
untuk menstabilkan fraktur femur atau memperbaiki dislokasi pinggul congenital pada
anak yang masih muda dengan berat dibawah 1,7 kg. Traksi ini sering digunakan
untuk merawat anak kecil yang umurnya < 1 tahun yang mengalami patah tulang paha
(dislokasi sendi panggul). Traksi Bryant sebaiknya tidak dilakukan pada anak-anak
yang berat badannya lebih dari 30 kg. kalau batas ini dilampaui maka kulit dapat
mengalami kerusakan berat.

2. Traksi Skelet
Metode ini sering digunakan untuk menangani fraktur femur, tibia, humerus,
dan tulang leher. Traksi dipasang langsung ke tulang dengan menggunakan pin metal
atau kawat (missal Steinman’s pin, Kirchner wire) yang dimasukkan ke dalam tulang
di sebelah distal garis fraktur, menghindari saraf, pembuluh darah, otot, tendon, dan
sendi. Tong yang dipasang di kepala (missal Gardner-Wells tong) difiksasi di kepala
untuk memberikan traksi yang mengimobilisasi fraktur leher (Smeltzer, 2001).

Traksi skelet biasanya menggunakan beban 7-12 kg untuk mencapai efek


terapi. Beban yang dipasang biasanya harus dapat melawan daya pemendekan akibat
spasme otot yang cedera. Ketika otot rileks, beban traksi dapat dikurangi untuk
mencegah terjadinya dislokasi garis fraktur dan untuk mencapai penyembuhan
fraktur. Beban traksi untuk reposisi tulang femur dewasa biasanya 5-7 kg, pada
dislokasi lama panggul bisa sampai 15-20 kg.

Kadang-kadang traksi skelet bersifat seimbang, yang menyokong ekstremitas


terkena, memungkinkan klien dapat bergerak sampai batas-batas tertentu, dan
memungkinkan kemandirian klien maupun asuhan keperawatan, sementara traksi
yang efektif tetap dipertahankan. Bebat Thomas dengan pengait Pearson sering
digunakan dengan traksi kulit dan aparatus suspense seimbang lainnya.
A. Traksi Rangka Seimbang
Traksi rangka seimbang ini terutama dipakai untuk merawat patah tulang pada korpus
femoralis orang dewasa. Sekilas pandangan traksi ini tampak komplek, tetapi
sesunguhnya hanyalah satu pin rangka yang ditempatkan tranversal melalui femur
distal atau tibia proksimal. Dipasang pancang traksi dan tali traksi utama dipasang
pada pancang tersebut.
B. Traksi 90-90-90
Traksi 90-90-90 sangat berguna untuk merawat anak- anak usia 3 tahun sampai dewasa
muda. kontrol terhadap fragmen – fragmen pada fraktur tulang femur hamper selalu
memuaskan dengan traksi 90-90-90 penderita masih dapat bergerak dengan cukup
bebas diatas tempat tidur.
C. Traksi manual menunjukkan tahanan dorongan yang diaplikasikan terhadap seseorang
di bagian tubuh yang terkena melalui tangan mereka. Dorongan ini harus constant dan
gentle. Traksi manual digunakan untuk mengurangi fraktur sederhana sebelum
aplikasi plester atau selama pembedahan. Hal ini juga digunakan selama pemasangan
traksi dan jika ada kebutuhan secara temporall melepaskan berat traksi.

D. Jenis-jenis traksi tulang

Traksi pada tulang biasanya menggunakan kawat Krischner (K-wire) atau


batang dari Steinmann lokasi-lokasi tertentu, yaitu :

a. Proksimal tibia.
b. Kondilus femur.
c. Olekranon.
d. Kalkaneus (jarang dilakukan karena komplikasinya).
e. Traksi pada tengkorak.
f. Trokanter mayor.
g. Bagian distal metakarpal.
- Traksi tulang dengan menggunakan kerangka dari Bohler Braun pada fraktur orang
dewasa

- Thomas splint dengan pegangan lutut atau alat traksi dari Pearson.

- Traksi tulang pada olekranon, pada fraktur humerus.

- Traksi yang digunakan pada tulang tengkorak misalnya Gradner Well Skull Calipers
E. Jenis- Jenis Traksi dalam Oterpedi

1. Weber Extensionsapparat

•Traksi kulit dan traksi skeletal

•Fraktur batang femur pada anak-anak.

2. Cotrel traction

•Untuk terapi skoliosis (kelainan tulang punggung)

•Tindakan pendahuluan sebelum operasi

dan pemasangan gips.

3.Ducroquet extension

•Pada skoliosis

•Sebagai persiapan untuk operasi

4. Cervical traction

•Untuk traksi leher

•Pada pasien duduk atau tiduran

•Secara continous atau secara intermittent

5. Halo-Femoral traction

•Traksi berlawanan pada kepala dan femur

•Digunakan alat Crutchfield Tongs

6. Well-Leg traction

•Gips pada kedua kaki dengan batang yang menghubungkan keduanya.

•Digunakan pada fraktur femur

7. Fisk traction
•Digunakan pada fraktur supracondylair femur

•Dengan bantuan Thomas Splint yang dimodifikasi

•Traksi skeletal

4. Indikasi
a. Nyeri dan spasme otot
b. Hipermobilitas yang reversible : keterbatasan gerak yang progresif
c. Imobilitas yang fungsional : traksi yang digunakan pada berbagai macam fraktur,
indikasi traksi antara lain adalah:
• Traksi rusell : digunakan pada pasien fraktur pada plato tibia
• Traksi buck : indikasi yang paling sering untuk jenis traksi ini adalah untuk
mengistirahatkan sendi lutut pasca trauma sebelum lutut tersebut diperiksa dan
diperbaiki lebih lanjut
• Traksi Dunlop : merupakan traksi pada ektermitas atas. Traksi horizontal diberikan pada
humerus dalam posisi abduksi, dan traksi vertical diberikan pada lengan bawah dalm
posisi flexsi.
• Traksi kulit Bryani : sering digunakan untuk merawat anak kecil yang mengalami patah
tulang paha
• Traksi rangka seimbang ini terutama dipakai untuk merawat patah tulang pada korpus
pemoralis orang dewasa
• Traksi 90-90-90 pada fraktur tulang femur pada anak-anak usia 3 thn sampai dewasa
muda.
1. Indikasi Traksi Kulit
a. Anak-anak
b. Traksi temporer- hanya untuk beberapa hari, missal pre operasi
c. Tahanan kecil dibutuhkan untuk menjaga reduksi 5kg
d. Kerusakan kulit atau adanya sepsis diarea tersebut
e. Traksi kulit merupakan terapi pilihan pada fraktur femur dan beberapa fraktur
suprakondiler humeri anak-anak.
f. Fraktur-fraktur yang sangat bengkak dan tidak stabil misalnya fraktur
suprakondiler humeri pada anak-anak.
2. Indikasi Traksi Skeletal
a. Orang dewasa membutuhkan > 5kg traksi
b. Kerusakan kulit membutuhkan dressings
c. Jangka panjang
3. Untuk traksi pada kelainan-kelainan tulang belakang seperti hernia nukleus pulposus
(HNP) atau spasme otot-otot tulang belakang.
4. Indikasi Traksi Tulang
Indikasi penggunaan traksi tulang :

§ Apabila diperlukan traksi yang lebih berat dari 5 kg pada orang dewasa.
§ Traksi pada anak-anak yang lebih besar.
§ Pada fraktur yang bersifat tidak stabil, oblik atau komunitif.
§ Fraktur-faktur tertentu pada daerah sendi.
§ Fraktur terbuka dengan luka yang sangat jelek dimana fiksasi eksterna tidak dapat
dilakukan.
§ Jangka panjang desinfeksi kulit, penutup steril, anastesi lokal
§ Dipergunakan sebagai traksi langsung pada traksi yang sangat berat misalnya dislokasi
panggul yang lama sebagai persiapan terapi definitif.

5. Kontraindikasi
1) Hipermobilitas
2) Efusi Sendi
3) Inflamasi
4) Fraktur humeri dan osteoporosis

a. Kontraksi pada traksi kulit meliputi:

- nekrosis kulit,
- obstruksi vaskuler,
- oedem distal,
- serta peroneal nerve palsy pada traksi tungkai.
b.Kontraindikasi pada traksi tulang : anak

6. Komplikasi Traksi
Komplikasi Traksi secara umum:
1. Dekubitus

2. Kongesti Paru dan Pneumonia

3. Konstipasi dan Anoreksia

4. Stasis dan Infeksi Saluran Kemih

5. Trombosis Vena Profunda

6. Pressure Ulcer

7. Konstipasi

6. Infeksi, misalnya infekis melalui kawat/pin yang digunakan.

7. Kegagalan penyambungan tulang (nonunion) akibat traksi yang berlebihan.

8. Luka akibat tekanan misalnya Thomas splint pada tuberositas tibia.

9. Parese saraf akibat traksi yang berlebihan (overtraksi) atau bila pin mengenai saraf.

Komplikasi Traksi menurut jenis:


a. Traksi kulit yaitu :
- penyakit trombo emboli , abersi, infeksi, alergi pada kulit, perban elastic dapat
menggangu ssirkulasi, timbul ulserasi akibat tekanan pada maleolus, pada lansia ,
traksi yang berlebihan dapat merusak kulit yang rapuh.
b. Traksi Russell’s yaitu:
- Perlu bedrest yang mengakibatkan dekubitus dan pneumoni, penderita bergerak
akibatnya beban turun sehingga traksi tidak adekuat,dan infeksi.
c. Cervical Traksin yaitu :
- Ganggguan integritas kulit, alergi, dank lien tidak nyaman dan meleleahkan.

7. Persiapan alat
Persiapan alat:

 Skin traksi kit


 k/p pisu cukur
 k/p balsam perekat
 k/p alat rawat luka
 katrol dan pulley
 beban
 K/p Bantalan conter traksi
 k/p bantal kasur
 gunting
 bolpoint untuk penanda/ marker

 Persiapan alat pada traksi kulit :


o Bantal keras (bantal pasir )
o Bedak kulit
o Kom berisi air putih
o Handuk
o Sarung tangan bersih

 Persiapan Alat Traksi


Peralatan yang dibutuhkan untuk pemasangan traksi adalah
o Tali, katrol, dan beban
o Adhesive tape
o Skin traction straps/tensocrepe
o Bantal/kantung pasir
o Foam rubber
o Metal block spreader

 Persiapan alat pada traksi skeletal :


o Zat pembersih untuk perawatan pin
o Set ganti balut
o Salep anti bakteri (k/p)
o Kantung sampah infeksius
o Sarung tangan steril
o Lidi kapas
o Povidone Iodine (k/p)
o Kassa steril
o Piala ginjal

8. Persiapan pasien
Pre Interaksi

 Mengucapan salam terapiutik


 Memperkenalkan diri
 Menjelaskan kepada klien dan keluarga prosedur tindakan, komplikasi, serta tujuan
tindakan pada pasien
 Penjelasan yang disampaikan dimengerti klien / keluarga
 Membuat kontrak (waktu, tempat, dan tindakan)
 Selama komunikasi digunakan bahasa yang jelas , sistematis dan tidak mengancam
 Diberikan kesempatan bertanya kepada klien dan keluarga untuk klarifikasi
 Mengatur posisi tidur pasien supinasi atau sesuai kebutuhan
 Atur posisi pasien nyaman dan rapikan
 Bila ada luka dirawat dan ditutup kassa
 Bila banyak rambut k/p di cukur
 Beri tanda batas pemasangan plester gips menggunakan bolpoint

Persiapan Pasien Traksi Buck

Sebelum memasang traksi kulit perlu diingat


o Traksi kulit tidak bisa dipasang pada kulit yang mengalami luka terbuka
o Lakukan pengkajian seksama terhadap pasien yang akan dipasang traksi. Hal ini
penting karena dalam beberapa kondisi, dokter tidak memiliki kesempatan untuk
melakukan pengkajian secara lengkap. Pengkajian meliputi :
 Adanya nyeri (lokasi nyeri, intensitas, durasi, faktor pencetus dan pereda nyeri).
 Kaji posisi pasien, pastikan posisinya mendukung pemasangan traksi.
 Kaji kesejajaran dalam mengurangi nyeri dan menyokong ektremitas
 Kaji kondisi pada bagian yang cidera, catat adanya perubahan warna kulit, edema,
erythema(kemerahan) atau adanya kelepuhan. Kaji juga sirkulasi, sensasi, dan
pergerakan dari ektremitas yang mengalami cedera. Pengkajian ini penting
sebagai parameter dasar sebelum dan selama pemasangan traksi
o Kaji adanya alergi terhadap bahan perekat.
o Jangan menggunakan kembali (reuse) tali traksi, karena dimungkinkan tali tersebut
telah rusak atau terkontaminasi oleh bakteri
o Lakukan lubrikasi katrol dengan spray silicon atau minyak, sebelum mengikatkan tali
traksi ke katrol.
Perhatian Khusus
 Jangan melakukan lubrikasi katrol ketika seluruh sistem traksi telah diatur secara
lengkap kecuali didampingi oleh dokter yang akan mengatur ulang berat traksi.
Lubrikasi akan mengubah friksi yang selanjutnya akan mempengaruhi tenaga
yang menyeimbangkan traksi.
 Pasien lansia beresiko tinggi mengalami stasis vena. Oleh karena itu mereka
memerlukan perawatan ekstra untuk memastikan bahwa pasien bebas dari resiko
thrombosis/emboli
 Konstipasi masalah yang sering terjadi pada lansia dengan traksi sebagai akibat
dari penurunan motilitas, penurunan nafsu makan, dan penurunan intake cairan.
Perawat perlu mengidentifikasi kebiasaan BAB pasien dan memberikan tindakan
untuk memastikan eliminasi adekuat.
o Cuci tangan
o Jelaskan pada pasien mengenai prosedur yang akan dilakukan
o Lakukan premedikasi dengan analgesic jika diperlukan sesuai dengan order dokter.
9. Persiapan Lingkungan
o Pastikan lingkungan dalam keadaan nyaman bagi pasien
o Berikan ruangan yang menjaga privasi pasien

10. Langkah- langkah/ Prosedur


Pelaksanaan prosedur

 Mencuci tangan
 Memakai handschoen
 Mengatur posisi tidur pasien supinasi
 Bila ada luka dirawat dan ditutup kassa
 Bila banyak rambut k/p di cukur
 Beri tanda batas pemasangan plester gips menggunakan bolpoint
 k/p beri balsam perekat
 Ambil skintraksi kit lalu rekatkan plester gips pada bagian medial dan lateral kaki secara
simetris dengan tetap menjaga immobilisasi fraktur
 Pasang katrol lurus dengan kaki bagian fraktur
 Masukkan tali pada pulley katrol
 Sambungkan tali pada beban ( 1/7 BB = maksimal 5 kg
 k/p pasang bantalan contertraksi atau bantal penyangga kaki
 Atur posisi pasien nyaman dan rapikan
 Beritahu pasien bahwa tindakan sudah selesai dan pesankan untuk manggil perawat bila
ada keluhan
 Buka tirai/ pintu
 Alat dikembalikan, dibersihkan dan dirapikan
 Sarung tangan dilepas
 Mencuci tangan

A. TRAKSI KULIT
 Cuci tangan dan pasang sarung tangan
 Cuci, keringkan dan beri bedak kulit sebelum traksi dipasang kembali
 Lepas sarung tangan
 Anjurkan klien untuk menggerakkan ekstremitas distal yang terpasang traksi
 Berikan bantalan dibawah akstremitas yang tertekan
 Berikan penyokong kaku (foot plates) dan lepaskan setiap 2 jam lalu anjurkan klien
latihan ekstremitas bawah untuk fleksi, ekstensi dan rotasi
 Lepas traksi setiap 8 jam atau sesuai instruksi

B. Langkah – langkah prosedur Traksi Buck


a. Posisikan tempat tidur dan pasien. Pasien harus diposisikan dalam posisi supine dengan
bagian kaki dari tempat tidur dinaikkan ± 10o .pastikan posisi pasien sejajar.
b. Pastikan alat traksi dipasang dengan aman di tempat tidur. Batang katrol harus diletakkan
pada posis yang tepat, sehingga garis tarikan mensejajarkan bagian distal dan proksimal.
c. Lakukan pemasangan skin traction straps dan lakukan pembalutan. Yakinkan bahwa
pembalutan tidak terlalu ketat melintasi bagian punggung kaki. Penekanan yang terlalu
kuat dapat mengakibatkan komplikasi yang serius.Penggunaan skin traction straps
bertujuan untuk menutupi kulit sebanyak mungkin yang dapat dilakukan, sehingga
tenaga tegangan dari traksi dapat didistribusikan ke kulit sebanyak kulit yang dilingkupi
oleh straps ini. Akan tetapi, karena tujuan dari pemasangan traksi sebagai terapi fraktur
adalah untuk memberikan tarikan di jaringan sekitar fraktur, maka penggunaan straps ini
seharusnya tidak lebih banyak di area proksimal dari fraktur. Pemasangan straps tidak
boleh overlapping, setidaknya ada jarak 2,5 cm diantara straps.
d. Tekanan di daerah tumit dapat mengakibatkan iritasi dan kerusakan pada kulit. Yakinkan
tumit tidak menekan tempat tidur, jika perlu letakkan foam kecil di bawah tumit
sepanjang calf untuk menjaga agar tumit tidak menempel di tempat tidur.
e. Yakinkan bahwa tekanan tidak mengenai area personal nerve sehingga tidak terjadi
footdrop.
f. Dukung pasien untuk beraktivitas sesuai dengan yang dapat ia toleransi, termasuk latihan
aktif atau pasif. Pasien dapat menggunakan trapeze untuk bergerak menjauhi tempat
tidur.
g. Hubungkan bagian footplate dengan kawat atau tali traksi. Kemudian hubungkan tali
dengan katrol dan beban. Lakukan pengikatan pada beban dengan simpul atau
gantungkan beban terhadap tempat yang disediakan. Pastikan beban tergantung bebas,
tidak menyentuh lantai atau tempat tidur.

PERAWATAN TRAKSI

Perawatan pasien dengan traksi

1) Posisikan pasien pada posisi yang tepat


Pasien harus diposisikan dalam posisi supine dengan bagian kaki dinaikkan sekitar
10o.Posisikan pasien dibagian tengah tempat tidur.
2) Pastikan keefektifan Countertraction
Untuk menjaga traksi tetap efektif, perlu adanya countertraction. Jika beban yang menekan
traksi lebih besar daripada countertraction yang diberikan oleh berat tubuh, pasien akan
mengarah ke tenaga traksi atau taksi dapat mengenai katrol traksi.
3) Monitor Adanya Friksi
Berbagai tipe friksi akan mengurangi efisiensi traksi dan mengganggu tarikan. Implikasi
terhadap aspek keperawatan termasuk mengecek untuk melihat bahwa:
i. Spreader atau footplate tidak menyentuh ujung tempat tidur.
ii. Beban diposisikan pada level yang sesuai dari lantai. Jarak yang sesuai dibawah
katrol, tergantung bebas dari temapt tidur dan jauh dari pasien.
iii. Seluruh simpul harus jauh dari katrol
iv. Tidak terdapat hambatan pada tali traksi dari linen tempat tidur atau dari berbagai alat
traksi.
v. Tumut pasien tidak menekan pada matras
Jika ditemukan adanya kondisi diatas, maka diperlukan tindakan koreksi.
4) Lakukan Pengecekan Secara Berkala 1-2 jam
Secara umum, agar traksi tetap efektif, maka traksi harus dicek secara berkelanjutan. Jangan
pernah mengubah tanpa order dari dokter. Pengecekan meliputi :
a. Pengecekan posisi pasien untuk memastikan countertraction tetap efektif.
b. Pengecekan untuk meyakinkan bahwa pengikat tidak tergelincir dan katrol bekerja
secara tepat dan komponen dari alat traksi tersusun secara tepat dan kuat.
c. Pengecekan beban
 Jangan pernah menambah atau mengurangi berat beban tanpa order spesifik dari
dokter.
 Jangan membiarkan beban menyentuh lantai atau menyentuh bagian tempat tidur,
atau menyentuh sistem beban lainnya. Kondisi ini dapat mengurangi beban yang
dipberikan oleh traksi dan mengakibatkan alat traksi tidak bekerja sebagaimana
mestinya. Pertahankan seluruh beban bebas menggantung.
 Jangan membiarkan beban traksi menyentuh tubuh pasien. Tali traksi seringkali
rusak atau tergelincirsehingga perawat perlu mencegah beban traksi melukai
pasien. Beberapa tipe alat traksi yang tua perlu tambahan besi atau katrol sehingga
traksi dapat tepat bebas tergantung jauh dari pasien.
 Pastikan tali tetap berada di katrol
 Pastikan simpul tidak mengenai katrol
 Pastikan linen tempat tidur tidak mengganggu beban traksi.
d. Pengecekan garis tarikan traksi dan kesejajaran pasien
e. Setelah dapat traksi dapat disusun secara tepat, maka garis tarikan harus dipertahankan.
Berikan bantal/kantong pasir untuk mempertahankan kesejajaran pasien.
5) Lindungi Sistem Cardiovascular
Pasien yang dimobilisasi beresiko mengalami trobosis vena atau emboli paru.Tujuan
perawatan adalah untuk memonitor toleransi ortostatik dan mencegah statis vena.
Intervensi untuk mencegah statis vena meliputi :
a. Monitor adanya tanda – tanda deep vein thrombosis seperti pembengkakan dan
tenderness pada area calf.
b. Instruksikan pasien untuk melakukan latihan rotasi, fleksi, dan ekstensiankle setiap 1-
2 jam
c. Hindari atau minimalkan posisi yang mengakibatkan tekanan eksternal di dinding
vena seperti melekuk lutut atau menyilangkan kaki.
d. Gunakan stoking anti emboli atau pneumatic sleeves pada kaki yang tidak cedera
6) Pertahankan status neurovascular
Gangguan neurovaskuar dapat dicegah dengan menggunakan intervesinsi berikut ini :
a. Monitor status neurovaskuler secara berkelanjutan setiap 30 menit setelah traksi
dipasang, jika tidak terjadi perubahan neurovascular, maka selanjutnya dapat dicek
setiap 1-2 jam dengan perhatian khusus terhadap area distal dari traksi dan area
tekanan. Pengkajian status neurovascular meliputi adanya edema, kualitas nadi perifr,
temperature, warna kulit, CRT. Bandingkan hasil yang diperoleh di area cedera dan
area sehat.
b. Monitor adanya nyeri yang berlebihan, ketidakmampuan menggerakkan bagian distal
tubuh yang ditraksi, sensasi abnormal (kesemutan, kebas, atau rasa dingin pada
ekstremitas yang cedera).
c. Ubah posisi pasien dengan keterbatasan akibat traksi setiap 2 jam, seperti miring
kiri/kanan. Sokong tubuh pasien dengan bantal ketika miring
d. Ajarkan pada pasien mengenai tanda dan gejala perubahan neurovascular seperti
peningkatan intensitas nyeri, kesemutan, kebas, atau rasa dingin pada ekstremitas
yang cedera. Minta pasien untuk melaporkan jika menemui tanda dan gejala tersebut.
e. Laporkan tanda dan gejala gangguan neurovascular kepada dokter.
7) Lakukan perawatan kulit
Posisi yang statis dalam traksi dapat mengakibatkan tekanan yang menghambat aliran kapiler
ke kulit yang mengakibatkan nekrosis jaringan dan luka tekanan. Integritas kulit dapat
dipertahankan dengan :
a. Monitor integritas kulit di tonjolan tulang dan berbagai area tubuh yang diliputi oleh
alat traksi
Untuk mencegah luka akibat tekanan, maka perlu perhatian khusus pada lokasi – lokasi
berikut ini :
Ekstremitas Atas
 Tonjolan tulang disiku
 Jaringan lunak anterior di sendi siku
 Tonjolan tulang di pergelangan tangan
 Permukaan palmar pergelangan tangan

Ekstremitas Bawah

 Peroneal nerves dibagian leher fibula


 Tendon hamstring di bagian belakang lutut
 Tonjolan tulang di ankle
 Bagian belakang tumit
 Jaringan lunak di bagian depan ankle dan bagian atas kaki
 Greater trochanter (bagian terluar dari paha atas)

Batang Tubuh

 Tonjolan dari tulang belakang


 Tepi scapula
 Puncak ilium (tepi teratas dari pelvic blades)
 Area sacrum (tulang ekor)

Penekanan pada sendi siku, telapak tangan, lutut dan tumit dapat
diminimalkan dengan pemasangan balutan yang cukup banyak mengguanakan bahan
yang lembut dan lebar untuk mendistribusikan berat dari ekstremitas ke area yang
luas.Elevasi ankle mungkin dibutuhkan untuk mengangkat ujung tungkai dari tempat
tidur.Mencegah luka akibat tekanan lebih mudah daripada mengobatinya.

b. Memberikan pijatan pada area yang berpotensi mengalami luka tekanan setiap 2
sampai 4 jam
c. Gunakan alat untuk mengurangi tekanan atau kasur dengan tekanan yang rendah
(kasur udara). Jika terjadi luka pada kulit, maka pemijatan harus dihentikan untuk
mencegah kerusakan kulit yang lebih lanjut. Adhesive straps yang digunakan pada
traksi kulit dapat meningkatkan resiko terhadap kulit, sehingga pemilihan bahan
penggunannya harus dimonitor secara berhati – hati
8) Pertahankan Sistem Muskuloskeletal
Imobilitas dapat mengurangi kekuatan otot, merusak kekuatan otot dan menghambat
mobilitas sendi. Masalah ini dapat diminimalkan dengan
a. Ajarkan pasien melakukan latihan isomerikm dan atau isotonic pada ekstremitas yang
tidak cedera dan pada ekstremitas yang cedera sebagaimana disarankan dokter.
b. Secara periodic posisikan pasien ke posisi fully extended
c. Anjurkan pasien melakukan aktivitas harian sebanyak yang ia mampu.

Jika pasien akan menggunakan cruthes setelah traksi selesai digunakan maka ia harus
melakukan latihan untuk menguatkan quadricepsnya dengan cara :

a. Menarik jari kakinya ke arah hidung sambil menekan lututnya kea rah tempat tidur
b. Duduk di tempat tidur dan menekan tangannya melawan tempat tidur untuk
mengangkat pantatnya menjauhi tempat tidur
9) Jika pasien harus dipindahkan ketika menggunakan traksi, dokter atau tenaga kesehatan
yang berwenang mengatur traksi harus menyertai. Kegagalan dalam menyetel ulang traksi
ke konfigurasi yang tepat setelah pemindahan dapat mengakibatkan ketidaksejajaran
tulang yang berakibat serius.
10) Jangan pernah mengabaikan complain pasien
11) Setelah selesai penggunaan, seluruh alat traksi harus dibersihkan dengan beberapa tipe
larutan sterilisasi (seperti 10% larutan pemutih)

C. TRAKSI SKELETAL
 Cuci tangan
 Atur posisi klien dalam posisi lurus di tempat tidur untuk mempertahankan tarikan traksi
yang optimal
 Buka set ganti balut, cairan pembersih dan gunakan sarung tangan steril
 Bersihkan pin serta area kulit sekitar pin, menggunakan lidi kapas dengan teknik
menjauh dari pin (dari dalam ke luar)
 Beri salep anti bakteri jika diperlukan sesuai protokol RS
 Tutup kassa di lokasi penusukan pin
 Lepas sarung tangan
 Buang alat – alat yang telah dipakai ke dalam plastik khusus infeksius
 Cuci tangan
 Anjurkan klien menggunakan trapeze untuk membantu dalam pergerakan di tempat tidur
selama ganti alat dan membersihkan area punggung/ bokong
 Berikan posisi yang tepat di tempat tidur

11. Evaluasi
Evaluasi Traksi

Hasil yang diharapkan dari pasien yang terpasang traksi buck adalah pasien dapat
mempertahankan posisi tubuh yang baik dengan terpasang traksi dan mempertahankan
tarikan yang optimal. Parameter lain yang dapat digali adalah pasien secara verbal
menyatakan nyeri berkurang dan pasien bebas dari cidera.

Pencatatan dan Dokumentasi


Dokumentasi waktu, tanggal, tipe, beban yang digunakan, dan di sisi mana traksi
dipasang.Termasuk juga hasil pengkajian kulit dan perawatan yang dilakukan saat traksi mau
dipasang.Dokumentasikan respon pasien terhadap terhadap traksi dan status neurovaskuler
ekstremitas pasien.
Temuan yang tidak diharapakan dan intervensi yang dapat dilakuakan

Temuan yang tidak diharapakan Intervensi yang bisa dilakuakan


Pasien menyatakan nyeri pada tumit kaki  Lepaskan traksi dan lakukan
yang terpasang skin traksi pengkajian kulit dan status
neurovaskuler
 Pasang kembali skin traksi dan
kaji ulang status neurovascular
tiap 15-20 menit
 Beritahu dokter jika pasien masih
terus merasa nyeri

Pertimbangan khusus
 Kecuali kontraindikasi, ajarkan pasien untuk melakukan latihan fleksi dan ekstensi
ankle dan pemompaan betis secara teratur untuk menghindari statis vena.
 Hati – hati penekanan pada nervus perifer yang terpasang traksi. Hati – hati dengan
pasien terpasang buck traksi terhadap penekanan pada penekanan nervus peroneal.
 Kaji pasien yang terpasang traksi buck dalam periode lama terhadap ketergantung,
isolasi, dan hilang control
 Hati – hati pada lansia yang dipasang traksi busk .lansia beresiko terhadap perubahan
integrias kulit karena penurunan ketebalan lemak subcutan dan lebih tipis, kering, dan
mudah rusak.

1. Definisi Gips
1.1 Gips dalam bahasaa latin disebut kalkulus, dalam bahasa ingris disebut plaster of paris
, dan dalam belanda disebut gips powder. Gips merupakan mineral yang terdapat di
alam berupa batu putih yang mengandung unsur kalsium sulfat dan air.
1.2 Gips adalah imobilisasi eksternal yang kaku yang dicetak sesuai kontur tubuh tempat
gips dipasang ( Brunner & Suddart, 2001 )
1.3 Jadi gips adalah alat imobilisasi eksternal yang terbuat dari bahan mineral yang
terdapat di alam dengan formula khusus dengan tipe plester atau fiberglass.
2. Tujuan Pemasangan Gips
Untuk menyatukan kedua bagian tulang yang patah agar tak bergerak
sehingga dapat menyatu dan fungsinya pulih kembali dengan cara mengimobilisasi
tulang yang patah tersebut dalam posisi tertentu dan memberikan tekanan yang
merata pada jaringan lunak yang terletak didalamnya.

a. Imobilisasi kasus pemasangan dislokasia sendi.


b. Fiksasai fraktur yang telah direduksi.
c. Koreksi cacat tulang (mis., skoliosis ).
d.Imobilisasi pada kasus penyakit tulang satelah dilakukan operasi (mis. spondilitis)
e. Mengoreksi deformitas.
f. Menyongkong jaringan cedera selama proses penyembuhan
g. Sebagai pembalut darurat
3. Jenis-jenis Gips
a. Gips lengan pendek. Gips ini dipasang memanjang dari
bawah siku sampai lipatan telapak tangan, dan melingkar erat didasar ibu jari.
b. Gips lengan panjang. Gips ini dipasang memanjang. Dari
setinggi lipat ketiak sampai disebelah prosimal lipatan telapak tangan. Siku biasanya
di imobilisasi dalam posisi tegak lurus.
c. Gips tungkai pendek. Gips ini dipasang memanjang dibawah
lutut sampai dasar jari kaki, kaki dalam sudut tegak lurus pada posisi netral
d. Gips tungkai panjang, gips ini memanjang dari perbatasan
sepertiga atas dan tengah paha sampai dasar jari kaki, lutut harus sedikit fleksi.
e. Gips berjalan. Gips tungkai panjang atau pendek yang dibuat
lebih kuat dan dapat disertai telapak untuk berjalan
f. Gips tubuh. Gips ini melingkar di batang tubuh
g. Gips spika. gips ini melibatkan sebagian batang tubuh dan
satu atau dua ekstremitas (gips spika tunggal atau ganda)
h. Gips spika bahu. Jaket tubuh yang melingkari batang tubuh,
bahu dan siku
i. Gips spika pinggul. Gips ini melingkari batang tubuh dan satu
ekstremitas bawah (gips spika tunggal atau ganda)
Bentuk – Bentuk Pemasangan Gips

a. Bentuk lembaran sehingga gips menutup separuh atau dua pertiga lingkaran
permukaan anggota gerak.
b. Gips lembaran yang dipasang pada kedua sisi antero-posterior anggota gerak sehingga
merupakan gips yang hampir melingkar.
c. Gips sirkuler yang dipasang lengkap meliputi seluruh anggota gerak dan biasanya
pada keadaan dimana memerlukan imobilisasi atau fiksasi yang lebih stabil.
d. Gips plaster : gips ini dapat kering setelah 12-48 jam tergantung ukuran
e. Gips plastic : kering 8-10 jam . dalam udara kering (tidak lembab) akan lebih cepat
dan efesien dalam proses pengeringan gips
f. Gips silinder : kering dalam waktu 12-24 jam , tetapi badan gips biasanya ,mencapai
48 jam baru kering.

4. Indikasi
 Pasien dislokasi sendi
 Fraktur
 Penyakit tulang spondilitis TBC
 Pasca operasi
 Skliosis
 CTEV ( Conginetal Talipes Equino Varus)

5. Kontraindikasi : Frakture terbuka

6. Komplikasi
Menurut Suzzanne C. Smeltzer (2001)
 Sindrom kompartemen
Sindrom kompartemen dapat terjadi apabila terjadi peningkatan tekanan jaringan dalam
rongga yang terbatas (missal: gips, kompartemen otot) yang akan memperburuk
peredaran darah dan fungsi jaringan dalam rongga yang tertutup tadi.
 Luka tekan (dekubitus)
Tekanan gips pada jaringan lunak mengakobatkan anoksia jaringan dan ulkus. Ekstrimitas
bawah yang merupakan tempat paling rentan terhadap tekanan adalah tumit,
punggung kaki, kaput fibula, dan permukaan anterior patella.
Pada ekstrimitas atas, tempat tekanan utama terletak pada epikondilus medialis humeri
dan prosesus stiloideus ulnae.
Umumnya pasien dengan luka tekan mengeluh nyeri dan rasa kencang di tempat itu. Bila
tekanan tidak dihilangkan, daerah yang nekrotik akan meleleh, menodai gips, dan
mengeluarkan bau. Ketidaknyamanan mungkin tidak dirasakan ketika ulkus sedang
terjadi. Kehilangan jaringan yang ekstensif dapat terjadi bila tanda dan gejala ulkus
tekanan tidak terpantau dan tidak dilaporkan.
 Sindrom disuse
Selama digips, pasien diajari untuk menegangkan atau melakuakan kontraksi otot (missal
kontraksi otot isometric) tanpa menggerakan bgian itu, ini dapat membantu
mengurangi atrofi otot dan memeperatahankan kkuatan otot. Pasien dengan gips di
tungkai, diminta “meluruskan” lutut. Pasien dengan gips di lengan didorong untuk
“mengepalkan” tangan. Latihan penegangan otot (missal: latihan penegangan otot
kuadrisep dan gluteus) penting untuk menjaga otot yang penting untuk untuk berjalan.

7. Persiapan alat
Persiapan alat –alat untuk pemasangan gips:

1. Bahan gips dengan ukuran sesuai ekstremitas tubuh yang akan di gips
2. Baskom berisi air biasa (untuk merendam gips)
3. Baskom berisi air hangat
4. Gunting perban
5. Bengkok
6. Perlak dan alasnya
7. Waslap
8. Pemotong gips
9. Kasa dalam tempatnya
10. Alat cukur
11. Sabun dalam tempatnya
12. Handuk
13. Krim kulit
14. Spons rubs ( terbuat dari bahan yang menyerap keringat)
15. Padding (pembalut terbuat dari bahan kapas sintetis)

8. Persiapan pasien
1. Siapkan pasien dan jelaskan kepada pasien tentang perencanaan pemasangan gips,
prosedur yang akan dikerjakan, guna, serta tujuan dari pemasangan gips.
2. Siapkan alat-alat yang akan digunakan untuk pemasangan gips
3. Daerah yang akan di pasang gips dicukur, dibersihkan,dan di cuci dengan sabun,
kemudian dikeringkan dengan handuk dan di beri krim kulit
4. Sokong ekstremitas atau bagian tubuh yang akan di gips.
5. Posisikan dan pertahankan bagian yang akan di gips dalam posisi yang di tentukan
dokter selama prosedur

9. Persiapan lingkungan
o Pastikan lingkungan dalam keadaan nyaman bagi pasien
o Berikan ruangan yang menjaga privasi pasien

10. Langkah-langkah/ Prosedur


10.1 Pemasangan Gips
Prosedur Rasional
 Siapkan klien dan jelaskan pada o Membuat pasien mengerti akan
prosedur yang akan dikerjakan. prosedur tindakan yang akan
 Siapkan alat-alat yang akan dilakukan sehingga dapat
digunakan untuk pemasangan gips mengurangi cemas.
 Daerah yang akan di pasang gips o Membantu agar tindkana berjalan
dicukur, dibersihkan,dan di cuci dengan mudah.
dengan sabun, kemudian o Membuat permukaan yang akan
dikeringkan dengan handuk dan di dipasang gips lembab, bersih,
beri krim kulit (bila perlu). sehingga pemasangan gips tidak
 Sokong ekstremitas atau bagian akan merusak integritas kulit
tubuh yang akan di gips. klien.
 Posisikan dan pertahankan bagian o Meminimalkan gerakan,
yang akan di gips dalam posisi mempertahankan reduksi dan
yang di tentukan dokter selama kesegarisan, meningkatkan
prosedur. kenyamanan.
 Pasang duk pada klien. o Memungkinkan pemasangan gips
 Pasang spongs rubs(bahan yang yang baik, mengurangi insidensi
menyerap keringat) pada bagian komplikasi (mis : malunion,
tubuh yang akan di pasang gips, nonunion, kontraktur)
pasang dengan cara yang halus dan o Menghindari pajanan yang tidak
tidak mengikat. perlu, melindungi bagian badan
 Balutkan gulungan bantalan tanpa lain terhadap kontak dengan
rajutan dengan rata dan halus bahan gips.
sepanjang bagian yang di gips. o Melindungi kulit dari bahan gips,
Tambahkan bantalan didaerah melindingi dari tekanan, lipatan
tonjolan tulang dan pada jalur saraf diatas tepi gips; menciptakan tepi
(mis: caput fibula) bantalan lembut, melindungi kulit
 Pasang gips secara merata pada dari abrasi.
bagian tubuh. Pembalutan gips o Melindungi kulit dari tekanan
secara melingkar mulai dari distal gips, melindungi kulit pada
ke proksimal tidak terlalu kendor tonjolan tulang, dan melindungi
atau ketat. Pada waktu membalut, saraf superfissial.
lakukan dengan gerakan o Membuat gips menjadi lembut,
bersinambungan agar terjaga solid dengan kontur yang baik,
ketumpangtidihan lapisan gips. memungkinkan pemasangan yang
Lakukan dengan gerakan yang lembut. Membuat gips yang
bersinambungan agar terjaga lembut, solid, dan
kontak yang konstan dengan mengimobilisasi. Serta membuat
bagian tubuh. gips sedemikian rupa sehingga
 Setelah pemasangan, haluskan dapat memberi dukungan yang
tepinya, potong serta bentuk adekuat serta dapat memperkuat
dengan pemotong gips. gips.
 Bersihkan Partikel bahan gips dari o Melindungi kulit dari abrasi.
kulit yang terpasang gips. Menjamin kisaran gerakan sendi
 Sokong gips selama pergeseran dan disekitarnya.
pengeringan dengan telapak o Menjaga agar partikel tidak lepas
tangan. Jangan diletakkan pada dan masuk kebawah gips.
permukaan keras atau pada tepi o Bahan gips mengeras dalam
yang tajam dan hindari tekanan beberapa menit. Kekerasan
pada gips. maksimal gips sintesis terjadi
 Tanyakan pada klien jika hal ini dalam beberapa menit. Kekerasan
menyebabkan ketidak nyamanan maksimal pada gips terjadi
atau nyeri. bersama pengeringan (24-72 jam)
 Mendokumentasikan prosedur dan bergantung pada tebalnya gips
respons klien pada catatan klien dan lingkungan. Mencegah
(Perry, 2005). lekukan dan daerah tekanan.
o Mengobservasi adakah efek yang
ditimbulkan gips pada pasien
yang mengganggu kenyamanan
pasien, sehingga dapat melakukan
intervensi.
o Sebagai catatan/pegangan untuk
perawat (Perry, 2005).
Terminasi

o Rapikan pasien
o Rapikan alat
o Cuci tangan
o Dokumentasi
10.2 Pelepasan Gips
a. Pengertian
Adalah tindakan yang bertujuan melepaskan gips yang bertujuan untuk benar-benar
melepaskan gips adalah untuk gips yang baru (setalah pemasangan 6 minggu).
b. Tujuan
- Melepaskan gips untuk mengkaji kulit yang mengalami iritasi atau dalam proses
penyembuhan luka
- Melepaskan gips ketika sudah tidak diperlukan lagi
- Melepaskan gips yang lama dalam mengganti gips yang baru
c. Indikasi
1. Meringankan kerusakan neurovascular yang diakibatkan disekitar dari tekanan
oleh gips
2. Merawat area yang tertutup gips sehingga tekanan disekitar luka dapat dikurangi
3. Melepaskan gips ketika sudah tidak lagi di perlukan
d. Kontraindikasi
1. Harus indari tindakan pemotongan langsung pada area yang terdapat penonjolan
tulang
2. Waspada terhadap terjadi abrasi atau laserasi pada permukaan kulit pasien ketika
dilakukan tindakan pelepasan
3. Bahan gips yang terbuat dari fiberglass memiliki tingkat kesulitan yang tinggi
untuk dilakukan pelepasan
4. Saat melonggarkan gips, potong juga lapisan dalam gips yang bertekstur lembut.
e. Komplikasi
- Lasserasi atau abrasi pada kulit akibat dari pemotongan yang terlalu dalam
- Pergeseran fragmen fraktur yang belum tersambung secara sempurna

f. Alat yang di gunakan untuk pelepasan gips


1. Kain pengalas
2. Pemotong gips atau gregaji
3. Kacamata pelindung
4. Perban elastic
5. Gunting
6. Pisau bedah
7. Air hangat
8. Washlap
9. Handuk
10. Krim kulit
11. Bengkok dan plastic untuk tempat gips yang dibuka
g. Persiapan Pasien
1. Jelaskan pada pasien kenapa tindakan pembukaan /perlonggaran gips dilakukan
2. Jelaskan bahwa tindakan pemotongan gips akan menimbulkan sensasi panas
akibat gesekan, dan menimbulkan sedikit getaran. Hentikan tindakan bila perlu
mengurangi intensitas panas
3. Peragakan penggunaan gergaji, gunting dan prosedur pemotongan gips tersebut
4. Jelaskan pada pasien bahwa aka nada efek limb setelah gips dilepas, kulit
kelihatan pucat, sedikit lebih kurus, mungkin rambut akan tampak lebih tebal dan
akan tampak penumpukan sel kulit yang mati
5. Jelaskan kepada pasien bahwa arean bekas pemasangan gips akan tampak lebih
lembut dan ototnya mengalami sedikit kelemahan
6. Review kembali instruksi pemasangan gips , diskusikan dengan pasien bila ada
perawatan yang salah selama ini
7. Selama penyembuhan pada fase awal manipulasi pada pemasangan gips akan
menyebabkan nyeri, diskusikan pada pasien tentang teknik mengontrol nyeri,
meninggukan organ yang cidera dan membatasi pergerakan.
10.2 Prosedur Pelepasan Gips

Prosedur Rasional
 Cuci tangan o Meningkatkan kerja sama dan
 Perkenalan diri pada pasien mengurangi kecemasan akan prosedur.
 Kaji neurovaskuler o Mengurangi ansietas (pisau berosilasi

 Jelaskan pada klien prosedur untuk memotong gips).


yang akan dilakukan. o Membelah gips, mencegah rasa

 Siapkan peralatan dan terbakar akibat kontak lama antara


dekatkan pada posisi pasien pisau osilasi dan bantalan.

 Siapkan pasien dan o Melindungi mata dari bakteri gips yang


lingkungan bertebaran. Dan melindungi cedera

 Tempatkan kain pengalas mata dari hasil potongan gips yang

untuk tetap dpat melihat mungkin ada.

prosedur pelepasan gips dan o Membebaskan semua bahan gips.


area bekas pemasangan o Mengurangi stres pada bagian tubuh
 Yakinkan klien bahwa gergaji yang telah di imobilisasi.
listrik atau pemotong gips o Mengangkat kulit mati yang telah
tidak akan mengenai kulit menumpuk selamam imobilisasi.
 Gips akan di belah dengan Menjaga kulit agar tetap kenyal.
menggunakan tekanan o Mencegah kerusakan kulit.
berganti-ganti dan gerakan o Melindungi bagian yang menjadi lemah
linear pisau sepanjang garis akibat stres yang berlebihan. Latihan
potongan. progresif dapat mengurangi kekakuan
 Gunakan pelindung mata pada serta mengembalikan kekuatan dan
klien dan petugas pemotong fungsi otot.
gips. o Memperbaiki peredaran darah
 Potong bantalan gips dengan (misalnya aliran vena balik) dan
gunting mengontrol penggumpalan cairan
 Sokong bagian tubuh ketika (Perry, 2005).
gips di lepas
 Lihat lapisan pada bekas
pemasangan gips, bersihkan
dengan air hangat dan
keringkan menggunakan
handuk, dan oleskan minyak
pelumas , anjurkan pasien
untuk tidak boleh menggosok
ataupun menggaruk kulit
 Berikan balutan pendukung
untuk organ yang cedera
(elastic bandage) sebagai
pengganti gips sampai tulang
benar-benar sudah dalam
kondisi stabil
 Cuci dan keringkan bagian
yang habis di gips dengan
lembut oleskan krim atau
minyak.
 Berikan informasi pada klien
untuk tidak menggosok dan
menggaruk kulit.
 Ajarkan klien secara bertahap
melakukan aktifitas tubuh
sesuai program terapi.
 Ajarkan klien untuk
mengontrol pembengkakan
dengan meninggikan
ekstremitas atau
menggunakan balutan elastis
bila perlu (Perry, 2005).

Terminasi

o Rapikan pasien
o Rapikan alat
o Cuci tangan
o Dokumentasi

11. Evaluasi
Evaluasi adalah penilaian dengan cara membandingkan peruubahan keadaan
pasien (Hasil yang diamati) dengan tujuan dan kriteria hasil yang dibuat pada tahap
perencanaan.

Evaluasi hasil yang diharapkan

1. Pasien scr aktif berpartisipasi dlm program terapi :

a. meninggikan eksterimitas yang terkena


b. berlatih sesuai intruksi
c. Menjaga gips tetap kering
d. Melaporkan setiap masalah yg timbul
e. Tetap melakukan tindak lanjut atau mengadakan perjanjian dgn dokter

2. Melaporkan berkurangnya nyeri

a. meninggikan ekstremitas yang digips


b. meroposisi sendiri
c. menggunakan analgetik oral k/p

3. Memperlihatkan peningkatan kemampuan mobilitas

a. mempergunakan alat bantu yg aman


b. berlatih untuk meningkatkan kekuatan
c. Mengubah posisi sesering mungkin
d. melakukan lat. sesuai kisaran gerakan sendi yg tdk tertutup gips

4. Berpartisipasi dalam aktivitas perawatan diri

a. Melakukan aktivitas higiene dan kerapihan scr mandiri


b. makan sendiri secara mandiri

5. Memperlihatkan penyembuhan abrasi dan laserasi

a. tidak memperlihatkan tanda dan gejala infeksi


b. Memperlihatkan kulit yang utuh saat gips dibuka

6. Terjaganya peredaran darah yang adekuat pada ekstremitas

a. Memperlihatkan warna kulit yang normal


b. Mengalami pembengkakan minimal
c. Mampu memperlihatkan pengisian kapiler yang adekuat
d. Memperlihatkan gerakan aktif jari tangan dan kaki
e. Melaporkan sensasi normal pada bagian yang digips
f. Melaporkan bahwa nyeri dapat dikontro

Anda mungkin juga menyukai