Anda di halaman 1dari 5

LATAR BELAKANG

Penyakit paru obstruktif kronik merupakan salah satu penyakit tidak menular yang sering
dijumpai di Indonesia.6 Global Burden of Disease Study melaporkan prevalensi PPOK pada
tahun 2016 sebanyak 251 juta kasus dan 3,17 juta kematian akibat PPOK.7 Faktor risiko untuk
terjadinya PPOK antara lain genetik, hiperresponsif jalan nafas, asap rokok, polusi tempat kerja
(bahan kimia, zat iritasi, gas beracun), polusi udara, infeksi saluran nafas bawah berulang, dan
kondisi sosial ekonomi. Meningkatnya jumlah perokok dan polusi udara menyebabkan jumlah
penyakit tersebut juga akan meningkat (Kemenkes RI, 2008)

PENGERTIAN
PPOK merupakan salah satu penyakit kronik yang ditandai dengan terbatasnya aliran
udara yang terdapat di dalam saluran pernapasan. Penderita PPOK di dunia memiliki jumlah
yang sangat tinggi sehingga pada tahun 2020 PPOK diperkirakan menempati urutan kelima
penyakit yang akan diderita di seluruh dunia. Peningkatan angka kejadian PPOK disebabkan
karena penuaan penduduk serta paparan factor resiko PPOK (Black J, 2019)
Penyakit paru obstruksi kronis (PPOK) adalah penyakit paru yang ditandai dengan
obstruksi aliran udara yang persisten dan progresif karena respon inflamasi kronis pada jalan
napas dan parenkim paru yang disebabkan gas atau partikel beracun. Gejala klinis PPOK antara
lain batuk, produksi sputum, sesak nafas dan keterbatasan aktivitas. Sesak napas merupakan
masalah utama pada PPOK yang bersifat persisten serta progresif. Tahap lanjut, PPOK
mengakibatkan toleransi aktivitas terganggu, kelelahan, kehilangan nafsu makan dan gangguan
tidur. Gangguan tidur pada pasien PPOK dapat mempengaruhi kualitas tidur (Umi Yatun, 2016)

PENCEGAHAN
Untuk mengatasi masalah kesehatan termasuk penyakit dikenal tiga tahap pencegahan:
1) Pencegahan primer: promosi kesehatan (health promotion) dan perlindungan khusus
(specific protection).
2) Pencegahan sekunder: diagnosis dini dan pengobatan segera (early diagnosis and prompt
treatment), pembatasan cacat (disability limitation)
3) Pencegahan tersier: rehabilitasi (Rivai, 2005)
1. Pencegahan Primer (Primary Prevention)
Pencegahan primer merupakan upaya untuk mempertahankan orang yang sehat agar tetap
sehat atau mencegah orang yang sehat menjadi sakit. Tujuan dari pencegahan primer adalah
untuk mengurangi insidensi penyakit dengan cara mengendalikan penyebab-penyebab penyakit
dan faktor-faktor resikonya.
Pecengahan primer meliputi:
a) Kebiasaan merokok harus dihentikan
b) Memakai alat pelindung seperti masker di tempat kerja (pabrik) yang terdapat asap
mesin, debu
c) Membuat corong asap di rumah maupun di tempat kerja (pabrik)
d) Pendidikan tentang bahaya-bahaya yang ditimbulkan PPOK.
Pada tahap pencegahan primer, perawat berfokus pada peningkatan pertahanan tubuh melalui
identifikasi faktor-faktor resiko yang potensial dan aktual terjadi akibat stresor tertentu.
Pencegahan primer dapat dilakukan oleh perawat untuk mengurangi resiko terjadinya PPOK.
Menurut Asmadi (2005) pencegahan primer ini berupa promosi kesehatan berupa edukasi dan
perlindungan khusus.
a) Promosi kesehatan salah satunya adalah pendidikan kesehatan.
b) Edukasi yang dilakukan di fokuskan pada kelompok umur usia remaja tentang bahaya dari
rokok hingga gangguan yang dapat di timbulkan.
c) Salah satu perlindungan khusus berupa perlindungan bahaya penyakit, dalam kasus
perilaku merokok dimaksudkan untuk para perokok pasif yang memiliki resiko lebih besar
terkena PPOK. Sehingga perlindungan yang dapat dilakukan oleh perawat seperti
menganjurkan perokok aktif untuk merokok di area tertentu hingga larangan untuk
merokok di area pelayanan kesehatan.

2. Pencegahan Sekunder
Merupakan upaya manusia untuk mencegah orang yang sakit agar sembuh, menghambat
progresifitas penyakit, menghindarkan komplikasi dan mengurangi ketidakmampuan.
Pencegahan sekunder dapat dilakukan dengan cara mendeteksi penyakit secara dini dan
pengadaan pengobatan yang cepat dan tepat.
Langkah – langkah :
a) Diagnosa dini dan pengobatan segera (early diagnosis and prompt treatment), tujuan
utama dari tindakan ini ialah 1) mencegah penyebaran penyakit bila penyakit ini
merupakan penyakit menular, dan 2) untuk mengobati dan menghentikan proses
penyakit, menyembuhkan orang sakit dan mencegah terjadinya komplikasi dan cacat.
b) Pembatasan cacat (disability limitation) pada tahap ini cacat yang terjadi diatasi, terutama
untuk mencegah penyakit menjadi berkelanjutan hingga mengakibatkan terjadinya cacat
yang lebih buruk lagi (Rivai, 2005)
Upaya sekunder bertujuan deteksi dini dan pengobatan dini masalah kesehatan yang muncul,
contohnya dengan upaya sebagai berikut:

1. Mengenali gejala atau keluhan paru dan pernapasan yang timbul. Perhatian pada kelompok
rentan seperti anak-anak, orang tua dan orang dengan penyakit sebelumnya (penyakit jantung,
asma, PPOK dan penyakit paru lainnya), mengenali tanda-tanda terjadinya perburukan atau
serangan. Hal ini sebagai upaya deteksi dini sehingga pengobatan awal dapat segera dilakukan.
2. Bila mencium bau gas, matikan mesin dan cek kendaraan apakah terjadi kebocoran gas ke
dalam kabin.
3. Kenali gejala dan tanda keracunan gas CO ataupun CO2 sedini mungkin seperti sakit kepala,
pusing,  mual-mual. Bila hal itu terjadi segera keluar kendaraan, cari tempat teduh dan cari
pertolongan medis segera.
4. Mempersiapkan obat-obatan untuk pertolongan awal. Bagi yang mempunyai penyakit
sebelumnya, pastikan bahwa obat-obatan yang dikonsumsi rutin cukup banyak tersedia selama
perjalanan mudik maupun arus balik. Contohnya bagi penderita asma dan PPOK, bawalah obat-
obat rutin yang biasa dikonsumsi.
5. Segera ke dokter/pelayanan kesehatan terdekat atau posko kesehatan terdekat apabila terjadi
masalah kesehatan yang timbul atau terjadi perburukan/serangan pada orang yang mempunyai
penyakit jantung atau paru sebelumnya.

3. Pencegahan Tersier
Pencegahan tersier merupakan pencegahan yang dilakukan untuk keterbatasan penderita
Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) dan mengadakan rehabilitasi. Hal – hal yang dapat
dilakukan adalah :
a) Latihan Fisik
Penderita PPOK akan mengalami penurunan kemampuan aktivitas fisik serta diikuti oleh
gangguan pergerakan yang mengakibatkan kondisi inaktif dan berakhir dengan keadaan
yang tidak terkondisi.
Latihan ini bermanfaat untuk meningkatkan daya tahan tubuh terutama otot pernapasan
pada saat beraktivitas sehingga penderita tetap aktif.
b) Terapi Psikososial
Terapi ini meliputi dukungan dari pihak keluarga kepada penderita, konsultasi masalah
yang dialami penderita, karena penderita PPOK biasanya mengalami depresi dan
kecemasan sehingga perlu diberikan motivasi oleh orang-orang yang dekat dengan
penderita.
c) Terapi Nutrisi
Penurunan berat badan dan pengecilan otot terjadi pada 20-35% penderita PPOK. Pada
tahap lanjut akan terjadi gangguan keseimbangan energy dengan protein. Hal yang perlu
dilakukan adalah pengaturan pola makan bagi penderita. Akan tetapi diikuti dengan
berolahraga.
d) Rehabilitasi Pekerjaan
Rehabilitasi pekerjaan dilakukan untuk menyelaraskan pekerjaan yang dapat dilakukan
penderita sesuai dengan gejala dan fungsi paru penderita. Diusahakan menghindari
pekerjaan yang memiliki risiko terjadi perburukan penyakit.
SUMBER :
Adillah elza, (2017). Hubungan perilaku merokok ketika usia remaja dengan kejadian PPOK
pada lansia di RS TK II dr. SOEPRAOEN, Malang.
Kemenkes RI 2008. Pedoman Pengendalian Paru Obstruktif Kronik Menteri Kesehatan RI
2008.Jakarta
Menteri Kesehatan Republik Indonesia. Keputusan menteri kesehatan Republik Indonesia nomor
1022/MENKES/SK/XI/2008 tentang pedoman pengendalian penyakit paru obstruksi
kronik. Jakarta: Kemenkes RI; 2008.
Pia, (2014). Analisis praktik klinik keperawatan kesehatan masyarakat perkotaan dengan
penerapan latihan otot pernapasan pada pasien PPOK di Rsud Fatmawati, Depok.
Rivai. 2005. Ilmu Kesehatan Masyarakat Dan Kedokteran Pencegahan Jurnal Mutiara Kesehatan
Indonesia : Volume 1
Singh D, Agusti A, Anzueto A, Barnes PJ, Bourbeau J, Celli BR, Et Al. Global Strategy For The
Diagnosis, Management, And Prevention Of Chronic Obstructive Lung Disease: The
GOLD Science Committee Report 2019. The European Respiratory Journal : Volume 5
Umi Yatun, R. dkk. 2016. Hubungan Nilai Aliran Puncak Ekspirasi (APE) dengan Kualitas
Tidur pada Pasien PPOK di Poli Spesialis Paru B Rumah Sakit Paru Jember. Jurnal Pustaka
Kesehatan : Volume 4

KEMENKES RI 2016

Anda mungkin juga menyukai