Anda di halaman 1dari 10

Reformasi Birokrasi Pemerintahan Sebagai Instrumen Pengendakian Korupsi di

Indonesia

Dibuat Untuk Memenuhi Tugas Reformasi Administrasi

Dosen Pengampu : Prof. Dr. Sumartono., M.S.

Disusun Oleh :

F.X. Yoga Pratomo 175030101111020


Safirah Syarafina 175030101111064
Adisti Rakhmasari Hardyani 175030107111059

PROGRAM STUDI ILMU ADMNINISTRASI PUBLIK

FAKULTAS ILMU ADMINISTRASI

UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG

2019
REFORMASI BIROKRASI PEMERINTAHAN SEBAGAI INSTRUMEN
PENGENDALIAN KORUPSI DI INDONESIA

Pendahuluan
DPR dan DPRD yang menjadi pusat kekuasaan baru sekarang ini menjadi salah satu
sumber korupsi yang utama di Indonesia. Langkah KPK tentu memiliki makna penting
karena dapat memberi signal pada masyarakat bahwa tidak ada lembaga dan perseorangan
yang kebal dari penegakan hukum. Apa yang dilakukan oleh KPK dengan melakukan
serangkaian penangkapan, penggeledahan, dan penyadapan untuk mengendalikan korupsi di
Indonesia tentu amat penting dan harus dihargai sebagai salah satu langkah maju. Apa yang
dilakukan KPK dan apparat penegak hukum lainnya dalam pemberantasan korupsi
sebenarnya baru pada taraf menangkap pelaku korupsi dan berharap penangkapan tersebut
menimbulkan efek jera, sehingga dapat menurunkan permintaan dan keinginan korupsi
(demand for corruption). Cara ini lebih banyak menyelesaikan kasus korupsi, daripada
mencegah jangan sampai muncul perilaku korupsi. Salah satu cara untuk menghentikan
operasional mesin pembentuk perilaku korupsi adalah dengan melakukan reformasi birokrasi.
Hal ini karena birokrasi sering berfungsi sebagai pasar, yang mempertemukan demand for
dan supply of corruption. Para anggota DPR yang meburu rente dengan menukarkan
rekomendasi atau izin yang menjadi kewenangannya dengan para pejabat birokrasi yang
ingin menyuap agar proyek dan kegiatannya dapat memperoleh izin atau rekomendasi dari
DPR/D.
Ketika kapasitas penegakan hukum dapat ditingkatkan maka pemerintah akan
mengalami kesulitan untuk memenjarakan para koruptor tersebut karena tidak ada lagi ruang
yang tersisa di penjara untuk menampung para koruptor. Apalagi dalam situasi seperti
sekarang ini, dimana proses penegakan hukum dinilai belum mampu menciptakan deterrent
effects, karena rendahnya hukuman yang diberikan kepada para koruptor oleh pengadilan.
Sehingga mengandalkan penegakan hukum jelas tidak cukup. Salah satu alternative yang
perlu dipikirkan adalah melakukan reformasi terhadap birokrasi pemerintah, agar birokrasi
tidak lagi menciptakan pasar korupsi, yang mempertemukan pemburu rente dengan pengguna
layanan dan pemangku kepentingan yang ingin mencari jalan pintas dari kerumitan birokrasi.
Mengapa Reformasi Birokrasi
Institusi dan mekanisme birokrasi sering menciptakan aktor-aktor pemburu rente
karena terdapat peluang adanya pertukaran antara penggunaan kewenangan birokrasi dengan
uang, fasilitas, dan sumber kenikmatan lainnya. Para pejabat birokrasi dan intermediares
yang melihat previleges tertentu seperti: kewenangan, pelayanan dan fasilitas pemerintah dan
birokrasinya memiliki nilai yang tinggi bagi warga dan pemangku kepentingannya, akan
menjadikannya sebagai peluang mencari rente. Sebaliknya, warga dan pemangku
kepentingan yang merasa proses memperoleh previleges tersebut secara wajar amat sulit dan
penuh dengan ketidakpastian merasa bahwa membayar rente jauh lebih menguntungkan
daripada membiarkan dirinya penuh dengan ketidakpastian.
Beberapa kasus yang menggambarkan birokrasi yang buruk merupakan pasar untuk
transaksi diantaranya seperti korupsi pembebasan lahan, dan yang paling sering ditemukan
adalah dalam penyelenggaraan pelayanan publik yang dibutuhkan oleh warga seperti
pelayanan perizinan, KTP, akte kelahiran, passport, dan SIM. Membiarkan keburukan
birokrasi berlanjut sama dengan membiarkan praktik korupsi terus berkelanjutan. Dari
perspektif ini maka mereformasi birokrasi pemerintah adalah keniscayaan bagi pemberantas
korupsi di Indonesia. Apapun yang dilakukan oleh KP, penegak hukum, dan aktivis anti
korupsi untuk memberantas korupsi tanpa menghilangkan sumber dari terjadinya korupsi,
yaitu birokrasi yang buruk, tidak akan dapat menyelesaikan masalah korupsi. Dari perspektif
internal birokrasi masalah yang menonjol diantaranya adalah struktur kelembagaan birokrasi
yang masih sangat Weberian. Hal ini tercermin dari strukturnya yang sangat hirarkhis, terbagi
dalam kotak yang sempit dan tidak terkoneksi dengan baik (fragmented), dan orientasinya
pada prosedur yang berlebihan (rule driven). Dari sisi apparat birokrasi, masalah muncul
karena selama ini birokrasi mengembangkan mindset, sosok, dan perilaku yang salah karena
cenderung menempatkan dirinya lebih sebagai agen kekuasaan daripada agen pelayanan.
Mengingat kompleksnya masalah yang dihadapi oleh birokrasi pemerintah di Indonesia dan
keterkaitan antara satu masalah dengan masalah lainnya, maka upaya membangun birokrasi
harus dilakukan secara menyeluruh (holisctic).

Restrukrisasi Kelembagaan
Struktur birokrasi pemerintah di Indonesia masih cenderung Weberian. Hal tersebut
tercermin dari sifatnya yang masih hirarkis, terkotak-kotak pada satuan yang kecil, sempit,
dan gagal membangun interkoneksi yang efektif, orientasi pada kontrol dan proseduralisme
yang berlebihan. Struktur yang sedemikian rupa membuat birokrasi gagal dalam merespon
dinamika sosial dan ekonomi yang terjadi di masyarakat. Seiring berjalannya waktu,
kehidupan masyarakat menjadi semakin kompleks dan kebutuhan masyarakat semakin
beragam. Hal tersebut menciptakan suatu tekanan pada birokrasi untuk merespon dengan
cepat dan tepat. Kegagalan birokrasi dalam merespon tekanan tersebut kemudian mendorong
masyarakat mencari jalan pintas agar dapat memenuhi kebutuhan.
Aparat birokrasi yang melihat adanya keinginan masyarakat mengambil jalan pintas
demi memenuhi kebutuhan melihat hal tersebut sebagai peluang. Bagi masyarakat, jalan
pintas tersebut memiliki nilai yang tinggi dan pantas dibayar dengan uang, fasilitas, dan
sumber kenikmatan lainnya yang mereka kuasai. Dalam kondisi seperti ini, birokrasi
membuat peluang terjadinya transaksi anatara aktor birokrasi dan aktor diluar birokrasi yang
mencari previleges.
Untuk mengatasi hal tersebut pemerintah perlu memikirkan alternatif rancang bangun
birokrasi pemerintah yang sesuai dengan peran dan mandat yang akan diberikan, berbasis
pada nilai dan praktik yang terbukti mampu mendorong perubahan yang lebih baik dan
meningkatkan kesejahteraan publik. Rancang bangun birokrasi yang selama ini dipakai
bersifat Weberian dinilai sudah tidak cocok dengan tantangan yang dijadapi oleh bangsa
Indonesia.
Struktur birokrasi hirarkis dan fragmented, yang hanya mengenal hubungan yang
bersifat vertikal cenderung memperkecil optimalisasi pemanfaatan informasi karena
menghambat akses birokrasi untuk memanfaatkan informasi yang tersedia di satuan birokrasi
lainnya. Dalam konteks pemberantasan korupsi, rancangan bangun birokrasi yang seperti ini
cenderung menghalangi transparansi proses kerja karena antar satuan dan interkoneksi antar
satuan birokrasi. Peluang untuk menyembunyikan onformasi dalam rangka memburu rente
lebih terbuka dalam organisasi hirarkis daripada organisasi matriks.
Struktur birokrasi harus dirubah menjadi matriks, matriks dapat mengendorkan sekat-
sekat birokrasi yang rigid dan kompleks. Pada hubungan yang selama ini hanya bersifat
vertikal dapat diperkuat melalui pengembangan organisasi matriks. Arus informasi menjadi
lebih cair dan meluas melewati sekat-sekat seksi, bagian, kantor, dan dinas sehingga
mendorong adanya keterbukaan dan keterkaitan fungsional antar satuan dalam birokrasi dan
antar birokrasi itu sendiri. Birokrasi dapat lebih merespon perubahan dan dinamika. Kinerja
birokrasi dalm melayani masyarakat akan menjadi lebih baik sehingga keinginan masyarakat
mencari jalan pintas dapat dikurangi.
Oraganisasi matriks dapat menciptakan kebersamaan dan memperjelas komitmen
pada organisasi. Dalam organisasi matriks, orientasi terhadap pencapaian misi organisasi
dapat diperkuat melampaui komitmennya pada tugasnya sendiri. Sebaliknya, birokrasi
Weberian cenderung melakukan spesialisasi yang rinci dan membagi tugas pada
perseorangan. Birokrasi Weberian mengajarkan adanya deskripsi pekerjaan yang berbasis
pada perseorangan yang mengakibatkan komitmen pada pekerjaan sering melebihi komitmen
pada nasib organisasi secara keseluruhan. Di negara barat yang masyarakatnya
individualistis, pembagian tugas kepada perseorangan secara rinci memungkinkan fungsional
karena sesuai dengan nilai yang berkembang di negara barat yang sangat individualistis.
Berbeda dengan nilai yang berkembang di Indonesia yaitu menghargai kebersamaan dan
memiliki kolektivisme yang tinggi.
Dalam membangun struktur kelembagaan birokrasi Indonesia, model matriks yang
berbasis pada kelompok mungkin lebih cocok untuk dipergunakan. Matriks lebih cocok
karena dapat mendorong pengembangan orientasi pada kebersamaan dan budaya kelektivitas
yang sesuai dengan nilai yang berkembang di Indonesia. Dalam birokrasi Weberian yang
berlaku di Indonesia, deskripsi pekerjaan bersifat individual, hubungan yang berlaku adalah
hubungan antar orang dan pertanggungjawaban bersifat perseorangan. Kompetisi cenderung
berbasis pada kompetisi antar perseorangan. Hubungan kekeluargaan dan kebersamaan
menjadi minim dalam birokrasi Weberian.
Organisasi matriks dapat memperkuat interkoneksi dari unit-unit sehingga walaupun
terjadi spesialisasi dan departementalisasi orientasi pada misi dan tujuan yang lebih besar
tetap dapat dipertahankan. Monopoli terhadap informasi oleh satu unit atau pejabat dapat
dihindari dan mengurangi peluang untuk terjadinya rent seeking behavior. Matriks dapat
memperbaiki proses kerja dalam birokrasi dan membuat proses pelayanan lebih lancar dan
sederhana sehingga dapat mengurangi korupsi baik melalui berkurangnya peluang aktor
birokrasi berburu rente atau kebutuhan maysrakat untuk membayar suap dan melakukan
kolusi dengan birokrasi.

Akuntabilitas tanggung-rentang
Dalam birokrasi Weberian yang individualistis, akuntabilitas cenderung dipahami
secara sederhana sebagai hubungan antara atasan dan bawahan. Model akuntabilitas seperti
pada birokrasi Weberian membuat hubungan kolegial, kerjasama dan pertanggungjawaban
kepada kelopmpok, dan kepedulian mereka terhadap kepentingan dan misi organisasi
menjadi rendah.
Pemerintah Indonesia gagal memanfaatkan nilai dan kekayaan lokal yang berbasis
kolektivitas seperti ramah, peduli, kebersamaan, dan solidaritas sosial dikarenakan penerapan
birokrasi Weberian. Akulturasi niali-nilai lokal yang berbasis kolektivitas dengan nilai-nilai
birokrasi Weberian akan menjadi perpaduan yang menguntungkan bagi birokrasi di
Indonesia. Birokrasi pemerintah yang selama ini cenderung mengembangkan instrumen
individual dan tradisi kompetisi untuk mewujudkan kinerja dapat memperkaya dirinya
dengan instrumen berbasis kelompok dan tradisi kerjasama. Tradisi akuntabilitas tanggung-
renteng yang ada dalam kehidupan komunitas di luar birokrasi dapat ditransfer kedalam
kehidupan birokrasi pemerintah. Dalam akuntabilitas tanggung-renteng, ketika seseorang
kelompok gagal memenuhi kewajiban maka kelompok akan ikut bertanggungjawab terhadap
apa yang menjadi tanggungjawab anggotanya sehingga pertanggungjawaban seseorang tidak
hanya kepada pemimpin tapi juga kepada kelompoknya.
Pengembangan akuntabilitas tanggung-renteng memiliki implikasi konstruksi
tatalaksana yang berbeda dengan model akuntabilitas berbasis perseorangan. Pertama,
akuntabilitas tanggung-renteng menuntut cara berbeda dalam melakukan pembagian kerja.
Pembagian kerja tidak lagi bersifat perseorangan tapi menambahkan pembagian kerja secara
kelompok. Kedua, pola hubungan dalam birokrasi yang selama ini hanya bersifat vertikal
perlu diperkaya dengan hubungan yang bersifat horizontal. Dalam pembagian kerja secara
berkelompok maka aparat birokrasi akan didorong untuk membangun kerjasama antar
perseorangan. Pola hubungan tersebut akan membuat informasi menjadi lebih terbuka dan
mempersulit terjadinya moral hazards. Ketiga. Akuntabilitas tanggung-renteng menuntut
adanya perubahan sisten insentif dari berbasis individual menjadi berbasis kelompok. Sistem
insentif yang berlaku sekarang dalam birokrasi dibangun untuk menghargai kinerja
perseorangan dan cenderung bersifat elitis. Misalnya, dalam pelaksanaan proyek yang ada
dalam birokrasi honorarium hanya diberikan kepada pimpinan, bendahara, dan
penanggungjawab proyek, sedangkan keberhasilan suatu proyek ditentukan oleh keterlibatan
dan kinerja banyak orang dalam birokrasi tersebut. Dalam akuntabilitas tanggung-renteng
insentif didistribusikan depada semua anggota kelompok sesuai dengan kinerjanya. Sistem
insentif yang berlaku sekarang hanya menguntungkan mereka yang menduduki jabatan
struktural. Seseorang yang menduduki jabatan struktural secara otomatis menjadi
penanggungjawab dari semua kegiatan yang ada dibawah kewenangannya. Semakin tinggi
jabatan strukturalnya makan semakin tinggi pengahasilan tambahannya karena semakin
banyak aktivitas yang ada di bawah kewenangannya. Oleh karena itu, sistem insentif berbasis
kelompok relatif lebih aman dapat mengurangi orientasi pada kekuasaan yang berlebihan.
Keempat, mekanisme pengawasan yang sekarang berlaku cenderung bersifat vertikal dan
elitis, harus direkonstruksi menjadi bersifat menyeluruh yang mencakup pengawan vertikal
dan horizontal. Konsep pengawasan harus digeser menjadi pengawasan yang bersifat kolegial
dan terbuka. Selain bersifat elitis, mekanisme pengawasan yang sedang berlaku cenderung
tidak efektif karena tidak memberi peluang kepada semua orang di dalam birokrasi untuk
saling mengawasi satu dengan lainnya. Dengan mekanisme tersebut, memungkinkan adanya
pengendalian korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan. Selain itu, setiap orang dalam
kelompok memiliki kepentingan mengawasi untuk memastikan bahwa semua kegiatan dalam
rangka pencapaian tujuan kelompok dapat tercapai karena pertanggungjawaban bersifat
kelompok. Tidak hanya atasan yang mengawasi bawahan, tetapi bawahan juga mengawasi
atasannya.
Akuntabilitas tanggung-renteng dapat mengurangi korupsi. Akuntabilitas tanggung-
renteng dapat menciptakan hubungan kolegial dan saling peduli antar anggota dalam
birokrasi sehingga monopoli informasi oleh seseorang dapat dihindari.Selain itu, mekanisme
pengawasan dalam birokrasi menjadi efektif karena pengawasan bersifat menyeluruh,
terbuka, dan partisipatif.

Redefinisi Peran Birokrasi

Dalam perjalanan sejarah birokrasi di Indonesia sosok birokrasi sebagai penguasa


sangat menonjol. Hal ini karena selama ini birokrasi dan aparatnya cenderung ditempatkan
lebih sebagai agen dan alat kekuasaan daripada sebagai agen pelayanan. Birokrasi dibentuk
dan dikelola untuk mencapai tujuan dari kekuasaan, meliputi: menjaga keamanan dan
ketertiban, mengendalikan perilaku warga dan memastikan mereka mematuhi peraturan dan
perundangan, termasuk mempertahankan kelangsungan kekuasaan.
Perkembangan birokrasi sebagai alat kekuasaan tampak dari dikembangkannya
bahasa, nilai-nilai dan perilaku yang merepresentasikan sosok birokrasi sebagai penguasa.
Misalnya, pada zaman Orde Baru bahasa yang dipakai untuk menyebut seorang kepala
wilayah seperti Camat adalah penguasa tunggal. Sosoknya sebagai penguasa yang harus
berwibawa, tegas, dan keras bukan sebagai seorang pelayan masyarakat yang lembut, ramah,
friendly, helpful, dan peduli kepada warganya.
Pelembagaan bahasa, nilai, dan simbol, dan perilaku birokrasi dan aparatnya sebagai
alat kekuasaan tentu memiliki pengaruh sikap dan perilaku birokrasi ketika berhubungan
dengan warganya. Mereka cenderung gagal menempatkan warga negara sebagai subyek
pelayanan yang perlu didengar kebutuhan dan aspirasinya dan dilayani dengan baik sesuai
dengan keinginan. Sebaliknya, birokrasi pemerintah cenderung menempatkan warga sebagai
objek pelayanan yang harus tunduk pada ketentuan dan prosedur yang mereka buat sesuai
dengan kepentingannya.
Dalam keadaan seperti ini, peluang birokrasi untuk melakukan rent-seeking
behaviour menjadi terbuka luas. Mereka menyadari bahwa mereka memiliki kekuasaan yang
jika digunakan akan dapat mempengaruhi kehidupan warganya. Sebaliknya, warga yang
membutuhkan pelayanan birokrasi hanya memiliki kekuasaan yang terbatas untuk
mengontrol perilaku birokrasi. Situasi seperti ini menjadi lahan yang sangat subur bagi
berkembangnya perilaku korupsi.
Untuk menghindari hal seperti ini berkelanjutan, maka redefinisi peran dan sosok
birokrasi diperlukan. Agar birokrasi dapat berperan secara optimal maka peran birokrasi
sebagai agen pelayanan bagi warga yang berdaulat perlu segera dikembangkan. Birokrasi dan
aparatnya harus mampu berperan sebagai instrumen pelayanan untuk meningkatkan
kesejahteraan rakyat.
Ketika birokrasi dan aparatnya berhasil mengembangkan perannya sebagai agen
pelayanan dan pemberdayaan masyarakat maka peluang untuk korupsi menjadi semakin
kecil. Sebaliknya peran birokrasi sebagai arena pelayanan dan pemberdayaan bagi warga
yang membutuhkan menjadi semakin besar.
Sebagai agen, birokrasi dan aparatnya tunduk pada kebutuhan dan aspirasi warga.
Artinya, pelayanan apa yang mau diselenggarakan dan bagaimana menyelenggarakannya
harus dikonsultasikan kepada warga. Warga juga seharusnya memiliki ‘suara’ yang harus
dihormati oleh para birokrasi.

Sebagai agen pemberdayaan birokrasi, birokrat dapat berperan sebagai fasilitator,


regulator, dan promotor bagi warganya agar mereka dapat mengoptimalkan keberadaannya
sebagai pelayanan sosial, yaitu:
a. Fasilitator
Sebagai fasilitator, birokrat dapat medorong warganya untuk memainkan perannya dalam
bidang sosial, ekonomi dan politik sehingga lebih mandiri dan kompetitif
b. Regulator
Sebagai regulator, birokrat dapat membuat aturan-aturan bagi semua warganya agar mereka
memiliki akses yang sama untuk mengembangkan dirinya dan berkompetisi secara wajar
c. Promotor
Sebagai promotor, birokrat dapat bertindak untuk memberi jalan kepada warganya agar dapat
mengoptimalkan peran sosial, politik dan ekonominya secara tepat
Meningkatkan Kandungan TIK dalam Birokrasi Pemerintah

Peningkatan kandungan teknologi informasi dan komunikasi dalam birokrasi,


pemerintah memiliki peran yang strategik bukan hanya dalam meningkatkan kinerja
pemerintah, tetapi juga dalam pengendalian korupsi. Dari sisi internal birokrasi, TIK dapat
meningkatkan akses birokrat terhadap informasi yang telah dan sedang terjadi. Trasparasi
internal akan menjadi meluas dan distorsi informasi dapat dihindari, maka ruang yang
tersedia bagi aparat birorasi untuk penyalahgunaan wewenang akan semakin terbatas.

Adopsi TIK juga dapat memperbaiki proses kerja birokrasi yang selama inni
cenderung berbelit dan mengkonsumsi banyak energi baik dari sisi birokrat maupun warga.
Pencegahan moral hazards juga dapat dilakukan dengan TIK tanpa memerlukan jenjang
hirarki yang panjang dan mekanisme kerja yang berbelit.

Peningkatan kandungan TIK dalam birokrasi juga membuat interaksi warga dengan
rezim pelayanan menjadi semakin sederhana dan mudah, sehingga kebutuhan untuk
membayar pungli dan suap agar dapat memperoleh priveleges menjadi semakin rendah.
Singkatnya, peningkatan kandungan TIK dalam birokrasi dapat menurunkan peluang
melakukan korupsi.

Kesimpulan
Upaya mengendalikan korupsi di Indonesia menuntut kebijakan yang menyeluruh
meliputi penegakan hukum, pengembangan budaya dan tradisi anti-korupsi, peningkatan
kapasitas masyarakat sipil dan perbaikan praktik governance. Pemberantasan korupsi yang
telah dilakukan KPK dan pemerintah untuk membawa para pelaku korupsi ke pengadilan
merupakan langkah yang tepat. Namun, jika tidak diikuti dengan reformasi birokrasi
pemerintah upaya tersebut tidak akan dapat menyelesaikan masalah korupsi di Indonesia.
Hubungan antar orang dalam birokrasi pemerintah yang selana ini hanya mengandalkan pada
hubungan perseorangan perlu dilengkapi dengan hubungan berkelompok. Mekanisme
akuntabilitas yang selama ini dikembangkan berbasis hubungan atasan-bawanan perlu
diredifinisi kembali sehingga mampu mewujudkan hubungan kolegial yang berbasis pada
akuntabilitas kelompok.
Birokrasi di Indonesia memiliki peran ganda, di satu sisi mereka dituntut dapat
memerankan dirinya sebagai agen pelayanan, dan dapat menjadi pemberdaya dan fasilitator
warga agar dapat memainkan peran sosial, ekonomi dan politiknya secara mandiri, produktif
dan kompetitif. Reformasi birokrasi pemerintah tentu juga harus dapat merekonstruksi sosok
birokrasi Indonesia di masa depan yang ingin dikembangkan.

Anda mungkin juga menyukai