Anda di halaman 1dari 10

Peluang Penerapan Servant Leadership dalam

Birokrasi Publik

(Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Matakuliah Reformasi Administrasi)


Diampu oleh : Prof. Dr. Sumartono, MS.

Oleh :

Izzatul Islamiyah 175030101111010


Vivi Widyawati 175030101111011
Alisia Nur Diana 175030107111008

JURUSAN ILMU ADMINISTRASI PUBLIK


FAKULTAS ILMU ADMINISTRASI
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
2019
Peluang Penerapan Servant Leadership dalam Birokrasi Publik

A. Peluang Penerapan Servant Leadership dalam Birokrasi Publik

Organisasi birokrasi dituntut untuk menjadi adaptif dan responsif. Dituntut untuk keluar
dari zona nyamannya dan mentransformasikan diri agar dapat optimal menunjukkan
eksistensinya dalam menghadapi tuntutan-tuntutan publik yang cenderung lebih keras. Maka
kehadiran seorang pemimpin menjadi suatu hal yang penting, karena efektiftas kepemimpinan
organisasi sangat berpengaruh terhadap gerak dan performa organisasi. Terutama pada
birokrasi yang masih secara umum berbentuk birokratik-mekanistik, yang faktor pemimpin
atau kepemimpinan menjadi determinan yang sangat strategis karena posisinya sebagai
strategic apex. Keberhasilan seorang pemimpin sangat dipengaruhi oleh kemampuan yang
dimilikinya, ada beberapa faktor yang menentukan keberhasilan leadership dalam membangun
birokrasi di Indonesia. Pertama, teori yang menjelaskan asal muasal pembentukan
pemimpin. Kedua, beberapa tipe-tipe pemimpin. Ketiga, ciri kepemimpinan dalam mencapai
tujuan. Keempat, teori yang menjelaskan sebab-sebab timbulnya pemimpin dan
terakhir. Kelima, motivasi dan kedisiplinan.
Saliman, dalam artikel kepemimpinan yang berjudul kepemimpinan, konflik dan strategi
penanggulanganya, menyebutkan ada tiga teori yang menjelaskan asal muasal pemimpin.
Yang pertama Teori Genetis, teori ini menyatakan pada dasarnya pemimpin itu tidak dibuat
melainkan lahir sebagai pemimpin, dan sudah ada sejak dia lahir, yang sudah ditakdirkan untuk
menjadi seorang pemimpin. Kedua Teori sosial, teori ini menyatakan seorang pemimpin harus
ditetapkan dan dibentuk, dengan kata lain tidak lahir begitu saja, teori ini menjelaskan setiap
orang dapat menjadi pemimpin. Ketiga Teori ekologi, teori ini muncul sebagai reaksi dari
kedua teori diatas, menyatakan bahwa seseorang sukses sebagai pemimpin sejak lahir sudah
memiliki bakat kepemimpinan kemudian bakat itu dikembangkan melalui pengalaman dan
usaha pendidikan, dan juga karna tuntutan ekologi atau lingkungan.
Pada masyarakat Indonesia pemimpin tidak lagi semata hanya menjadi pimpinan formal
dengan batasan otoritas yang jelas, namun juga sebagai figur bapak dan patron yang
menjadikannya sebagai pihak yang memiliki akses terhadap aneka sumber daya dan fasilitas
lain yang terkadang bukan proporsinya. Ketika organisi dimaknai sebagai wilayah kekuasan
dan bawahannya dikonstruksikan sebagai pihak-pihak yang melayani kuasanya, maka akan
sulit organisasi tersebut akan menjadi efektif. Dengan itu pintu masuk yang strategis untuk
melakukan reformasi birokrasi adalah dengan meninjau ulang kepemimpinan di birokrasi.
Peninjauaan tersebut bisa dimulai dari soal strukturasi, rekrutmen, pengembangan kapasitas
dan yang paling penting sebenarnya adalah reorientasi nilai-nilai kepemimpinan.

Ada berbagai tipe kepemimpinan yang sering disebutkan dalam berbagai literatur, seperti
konstruksi kepemimpinan kharismatik, kepemimpinan transaksional, kepemimpinan
transformasional dll. Namun ada satu konsep yang belum banyak terdengar dan menjadi
perhatian khusus, yaitu konsepsi servant leadership (kepemimpinan yang melayani). Konsep
ini menggabungkan dua konsep yang berbeda, yaitu pemimpin dan pelayan dalam satu
terminologi yang utuh. Servant leadership atau kepemimpinan pelayan adalah suatu
kepemimpinan yang berawal dari perasaan tulus yang timbul dari dalam hati untuk melayani,
menempatkan kebutuhan pengikut sebagai prioritas, menyelesaikan sesuatu bersama orang
lain dan membantu orang lain dalam mencapai suatu tujuan bersama. Konsep servant
leadership pertama kali dikenalkan oleh Robert K. Greenleaf pada tahun 1970, dalam bukunya
“The Servant as Leader”. Robert K. Greenleaf adalah Vice President American Telephone and
Telegraph Company (AT&T). Menurut Greenleaf, servant leadership adalah seseorang yang
menjadi pelayan lebih dahulu. Dimulai dari perasaan alami bahwa seseorang yang ingin
melayani, harus terlebih dulu melayani. Kemudian pilihan secara sadar membawa seseorang
untuk memimpin.
Berikut ini merupakan beberapa pengertian dan definisi servant leadership dari beberapa
sumber buku:
1. Menurut Sendjaya dan Sarros (2002:57), servant leadership adalah pemimpin yang
mengutamakan kebutuhan orang lain, aspirasi, dan kepentingan orang lain atas mereka
sendiri. Servant leader memiliki komitmen untuk melayani orang lain.
2. Menurut Spears (2002:255), pemimpin yang melayani (servant leadership) adalah seorang
pemimpin yang mengutamakan pelayanan, dimulai dengan perasaan alami seseorang yang
ingin melayani dan untuk mendahulukan pelayanan. Selanjutnya secara sadar, pilihan ini
membawa aspirasi dan dorongan dalam memimpin orang lain.
3. Menurut Trompenaars dan Voerman (2010:3), servant leadership adalah gaya manajemen
dalam hal memimpin dan melayani berada dalam satu harmoni, dan terdapat interaksi
dengan lingkungan. Seorang servant leader adalah seseorang yang memiliki keinginan
kuat untuk melayani dan memimpin, dan yang terpenting adalah mampu menggabungkan
keduanya sebagai hal saling memperkuat secara positif.
4. Menurut Poli (2011), servant leadership adalah proses hubungan timbal balik antara
pemimpin dan yang dipimpin dimana di dalam prosesnya pemimpin pertama-tama tampil
sebagai pihak yang melayani kebutuhan mereka yang dipimpin yang akhirnya
menyebabkan ia diakui dan diterima sebagai pemimpin.
5. Menurut Vondey (2010), servant leadership merupakan seorang pemimpin yang sangat
peduli atas pertumbuhan dan dinamika kehidupan pengikut, dirinya serta komunitasnya,
karena itu ia mendahulukan hal-hal tersebut daripada pencapaian ambisi pribadi (personal
ambitious) dan kesukaannya semata.

Menurut Spears (2002:27-29), terdapat sepuluh karakteristik servant leadershipyaitu


sebagai berikut:
1. Mendengarkan (listening). Servant-leader mendengarkan dengan penuh perhatian kepada
orang lain, mengidentifikasi dan membantu memperjelas keinginan kelompok, juga
mendengarkan suara hati dirinya sendiri.
2. Empati (empathy). Pemimpin yang melayani adalah mereka yang berusaha memahami
rekan kerja dan mampu berempati dengan orang lain.
3. Penyembuhan (healing). Servant-leader mampu menciptakan penyembuhan emosional
dan hubungan dirinya, atau hubungan dengan orang lain, karena hubungan merupakan
kekuatan untuk transformasi dan integrasi.
4. Kesadaran (awareness). Kesadaran untuk memahami isu-isu yang melibatkan etika,
kekuasaan, dan nilai-nilai. Melihat situasi dari posisi yang seimbang yang lebih
terintegrasi.
5. Persuasi (persuasion). Pemimpin yang melayani berusaha meyakinkan orang lain daripada
memaksa kepatuhan. Ini adalah satu hal yang paling membedakan antara model otoriter
tradisional dengan servant leadership.
6. Konseptualisasi (conceptualization). Kemampuan melihat masalah dari perspektif
konseptualisasi berarti berfikir secara jangka panjang atau visioner dalam basis yang lebih
luas.
7. Kejelian (foresight). Jeli atau teliti dalam memahami pelajaran dari masa lalu, realitas saat
ini, dan kemungkinan konsekuensi dari keputusan untuk masa depan.
8. Keterbukaan (stewardship). Menekankan keterbukaan dan persuasi untuk membangun
kepercayaan dari orang lain.
9. Komitmen untuk Pertumbuhan (commitment to the growth of people). Tanggung jawab
untuk melakukan usaha dalam meningkatkan pertumbuhan profesional karyawan dan
organisasi.
10. Membangun Komunitas (building community). Mengidentifikasi cara untuk membangun
komunitas.

Menurut Barbuto & Wheeler (2006), beberapa dimensi servant leadership adalah sebagai
berikut:
1. Altruistic calling, yaitu hasrat yang kuat untuk membuat perubahan positif pada kehidupan
orang lain dan meletakkan kepentingan orang lain di atas kepentingan sendiri dan juga akan
bekerja keras untuk memenuhi kebutuhan bawahannya.
2. Emotional healing, yaitu komitmen seorang pemimpin untuk meningkatkan dan
mengembalikan semangat karyawannya.
3. Wisdom, yaitu pemimpin yang mudah untuk memahami suatu situasi dan dampak dari
situasi tersebut.
4. Persuasive mapping, yaitu sejauh mana pemimpin memiliki keterampilan untuk
memetakan persoalan dan mengkonseptualisasikan kemungkinan tertinggi yang akan
terjadi dan membujuk seseorang untuk melakukan sesuatu ketika mengartikulasikan
peluang.
5. Organizational stewardship, yaitu sejauh mana pemimpin menyiapkan organisasi untuk
membuat kontribusi positif terhadap lingkungannya.
6. Humility, yaitu kerendahan hati pemimpin.
7. Vision, yaitu sejauh mana pemimpin mencari komitmen semua anggota organisasi terhadap
visi bersama dengan mengajak anggota untuk menentukan arah masa depan perusahaan.
8. Service, yaitu sejauh mana pelayanan dipandang sebagai inti dari kepemimpinan dan
pemimpin menunjukkan perilaku pelayanannya kepada bawahan.
Menurut Dennis (2004), servant leadership dapat diukur melalui Servant Leadership
Assement Instrument (SLAI). Berdasarkan hal tersebut indikator servant leadership adalah
sebagai berikut:

1. Kasih Sayang (love). Kepemimpinan yang mengasihi dengan cinta atau kasih sayang. Cinta
yang dimaksud adalah melakukan hal yang benar pada waktu yang tepat untuk alasan dan
keputusan yang terbaik.
2. Pemberdayaan (empowerment). Penekanan pada kerja sama yaitu mempercayakan
kekuasaan pada orang lain, dan mendengarkan saran dari followers.
3. Visi (vision). Arah organisasi dimasa mendatang yang akan dibawa oleh seorang
pemimpin. Visi akan mengispirasi tindakan dan membantu membentuk masa depan.
4. Kerendahan Hati (humility). Menjaga kerendahan hati dengan menunjukkan rasa hormat
terhadap karyawan dan mengakui kontribusi karyawan terhadap tim.
5. Kepercayaan (trust). Servant-leader adalah orang-orang pilihan yang dipilih berdasarkan
suatu kelebihan yang menyebabkan pemimpin tersebut mendapatkan kepercayaan.

B. Konsepsi kepemimpinan dan kekuasaan dalam birokrasi

Robbins dan Judge (2008) misalnya mendefinisikan kepemimpinan sebagai kemampuan


untuk mempengaruhi sebuah kelompok untuk mencapai suatu visi atau serangkaian tujuan
tertentu. Dalam diri seorang pemimpin tidak selalu melekat jabatan formal. Karena
kepemimpinan berkaitan dengan perubahan yang dilakukan dengan penentuan arah,
pengembangan visi, upaya pengomunikasian gagasan-gagasan dan upaya memberi inspirasi
yang mana semua itu tidak selalu melekat pada jabatan seseorang. Fungsi manajer lebih terkait
dengan usaha untuk menangani kompleksitas dengan cara menghasilkan keteraturan dan
konsistensi melalui rencana formal, struktur organisasi dan kegiatan monitoring yang semua
itu dilakukkan dengan menggunakan otoritas. Antara pemimpin dan manajer adalah dua hal
yang berbeda, walaupun seorang pemimpin harus memahami konteks manajemen dan seorang
manajer harus memahami soal kepemimpinan.
Kekuasaan secara konseptual adalah kemampuan yang dimiliki seseorang untuk
mempengaruhi perilaku orang lain untuk bertindak sesuai dengan keinginan yang
bersangkutan. Basis terpenting dari konsep kekuasaan adalah ketergantungan (dependency),
bahwa semakin besar ketergantungan maka semakin besar pula kekuasaan tersebut.
Kepemimpinan dalam birokrasi publik tidak dapat lepas dari setting konstruksi birokrasi
weberian yang mensyaratkan strukturisasi organisasi yang hirarkis-otoritatif, dengan tingkat
formalisasi yang tinggi. dalam Hal ini posisi pimpinan sebagai strategic apex sangat penting,
karena bertanggung jawab untuk keseluruhan organisasi. Sementara personalia yang berada di
bawahnya berada dalam posisi yang terbatas untuk mengakses kegiatan pengambilan
keputusan. Dalam hal ini pelaksana yang melakukan pekerjaan dasar disebut operating core.
Konsep semacam ini dibangun atas asumsi bahwa semakin besar organisasi, semakin
kompleks pula urusan yang ditangani, serta semakin statis lingkungan organisasi maka
pendekatan birokrasi yang seperti mesin adalah yang yang paling efisien.
Tingkat formalisasi yang tinggi menyebabkan timbulnya kerentanan penyimpangan tujuan
(goal displacement), yang menyebabkan birokrat menjadi lebih berorientasi pada peraturan
9rule driven) daripada misi (mission driven). Dengan itu elemen pimpinan dan aturan
kemudian seolah melekat menjadi satu, bahwa pimpinan adalah personifikasi dan atribut
tertinggi dari sistem dan aturan,karena otoritasnya untuk memformulasikan aturan atau
kebijakan. Sebenarnya ada mekanisme internal untuk mengonrol agar pimpinan tidak berlaku
eksesif dalam sudut pandang itu, yaitu dengan adanya prinsip lain dari birokrasi Weberian yang
mensyaratkan adanya impersonalitas dan pemisahan kehidupan organisasi dengan kehidupan
pribadi. Konsepsi kepemimpinan, manajerialisme dan kekuasaan pada birokrasi publik
merupakan tiga wajah yang terwujud dalam satu orang yang menduduki suatu jabatan.

C. Kepemimpinan yang melayani: menurut konstruksi


Nilai kepemimpinan sebagai sebuah kegiatan melayani, pada awalnya bersumber di
berbagai teks suci (scriptures), yang dimana berorientasi pada perilaku manusia, untuk
membentuk suatu dimensi kehhidupan profane maupun transendental, yang dimana nilai-nilai
kini kemudian yang disebut orientasi hidup yang duniawi, individualistik, dan pragmatis.
Menurut filosofis nusantara yang dikenal dengan Patrap Triloka yang dirumuskan Ki Hajar
Dewantara, yaitu pemimpin yang memposisikan dirinya dalam tiga konfigurasi bersama yaitu,
ing Ngarsa Sung Tuladha (bila di depan memberikan teladan), Ing Madya Mangun Karsa (bila
ditengah membangun inisiatif dan keinginan mandiri pengikut), dan Tut Wuri Andayani (bila
di belakang memberikan dorongan). Pemimpin dalam filosofi ini merujuk pada kebersamaan
yang dimana pemimpin menjadi suatu acuan dalam sebuah organisasi. Yang bertujuan untuk
memberikan keberdayaan dan pemahaman yang didapat dalam suatu organisasi tana
memposisikan diri sebagai figure sentral yang menonjol.
Kepemimpinan yang melayani juga dianggap merupakan antithesis dari kepemimpinan
yang tradisional (weberian), yang dimana secara konseptualnya kepemimpinan yang melayani
menempatkan pemimpin dalam posisi yang tidak sentral dan ditandai dengan tidak adanya
motivasi untuk memimpin dalam suatu organisasi dan hanya berorientasi sebagai pemenuhan
keinginan pencapaian dari pemimpin.

D. Kepemimpinan yang Melayanai dalam Teori Kepemimpinan


Dalam kontekstualnya paling tidak ada empat teori kepemimpinan menurut Smith (2004)
yaitu kepemimpinan yang kharismatik, transaksional, transformative, dan kepemimpinan
yang melayani. kepemimpinan yang kharismatik adalah kepemimpinan berbasi pada
karalteristik-karakteristik khusus yang (harus) dimiliki oleh seorang pemimpin agar dapat
memberikan inspirasi dan mengarahkan anggotanya, dengan cara membangun komitmen
menuju pembentukan kesamaan nilai dan visi. Gagasan kepemimpinan karismatik sendiri
muncul dari gagasan Max Weber yaitu, dimana seorang pemimpin harus memiliki sejuta
karakter serta karisma personal terntentu. Sedangkan kepemimpinan transaksional adalah
meruju pada sebuah proses pertukaran sosial antara pemimpin dengan pengikut, yang
melibatkan transaksi yang berbasis reward- and- punishment. Adapun kepemimpinan
transformasional terjadi manakala seorang pemimpin mampu menginspirasi anggotanya
untuk berbagi viai, memberdayakan mereka untuk mencapai visi dan menyediakan berbagai
sumber daya yang diperlukan untuk mengembangkan potensi para anggotanya. Dan
kepemimpinan yang melayani dimaknai sebagai cara pandang dan praktika yang melihat
pimpinan sebagai pelayan dari para anggotanya.

E. Aplikabilitas Kepemimpinan yang Melayani di Sektor Publik


Birokrasi publik memiliki fungsi dan peran yang sesuai dengan semangat administrasi
publik yang lebih berorientasi pada pelayanan, baik pelayanan kepada stakeholder internal
maupun eksternal. Penataan internal pelayan publik dituntut harus lebih responsif terhadap
perubahan yang kedepannya akan dihadapi, seperti permasalahan globalisasi, demokratisasi,
dan desentralisasi.
Ada beberapa kritik untuk kepemimpinan yang melayani. Salah satunya adalah kritik
karena fokus kepemimpinan yang melayani yang hanya berorientasi pada pengikut, bukan
pada organisasinya. Hamilton (dalam Andersen, 2008) bahwa ada beberapa outcomes yang
harus terealisasikan dari organisasi seperti:
1. Fokus pada misi dan nilai
2. Kreatif dan inovatif
3. Responsif dan fleksibel
4. Komitmen terhadap pelayanan internal maupun eksternal
5. Loyalitas
6. Pengakuan terhadap keagamaan.
Kemudian dikaitkan dengan masalah internal yang berkaitan dengan sumberdaya manusia,
keluarlah anggapan bahwa apabila sumber daya manusia dapat berkembang dengan optimal
apastinya akan membawa dampak positif terhadap peningkatan kinerja organisasi secara
keseluruhan. Kepemimpinan yang melayani harus mempertimbangkan partisipasi,
pemberdayaan, dan bahkan dengan konsep organizational citizen.
Kritik berlanjut ketika pimpinan atau lembaga lembaga disektor publik tidak dapat
dikatakan memiliki followers (pengikut) karena istilah pengikut hanya dapat ditemukan di
dalam kepemimpinan politik maupun religius. Dalam lembaga atau kepemimpinan publik
hanya memiliki bawahan yang mana bawahan tersebut dipekerjakan untuk mebantu suatu
organisasi mencapai tujuannya. Hal ini tentu berbeda dengan followers dimana followers
yang secara sukarela berbagi kesamaan visi dan kepentingan ketika memutuskan untuk
bergabung dalam institusi.

F. PENUTUP
Selama ini kita mengenal istilah pemimpin adalah sinonim dari peguasa. Istilah pemimpin
adalah penguasa lebih sering didengar sehingga kita terbiasa dengan istilah itu ketimbang
dengan pemimpin adalah pelayan, akibatnya timbul kejenuhan, ketika adanya sebuah
kondisi dimana sumber daya manusia pada kebanyakan organisasi mulai menyadari
potensinya dan mempertanyakan ketepatan serta pelakuan pemimpin pada diri mereka
selama ini. Lepemimpinan yang melayani kemudian mengeluarkan pandangan alternatif
yang berusaha menempatkan kembali bawahan pada posisi yang sebenarnya. Karakter
kepemimpinan yang sebenarnya cocok bila diterapkan di kepemimpinan birokrasi publik,
walaupun memang dibutukjan penelusuran lebih lanjut untuk mendunkung argumen ini.

Anda mungkin juga menyukai