Anda di halaman 1dari 10

MENGEMBANGKAN BUDAYA KEPEMIMPINAN

PROFESIONAL BIROKRASI

Diajukan untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Reformasi Administrasi


Dosen Pengampu: Prof. Dr. Sumartono, MS.

Oleh :

Kelompok 7

Christina Yolanda Simanjuntak (175030100111076)


Dewi Bayu Pamungkas (175030100111083)
Gyta Ambar Rukmi (175030107111017)

Reformasi Administrasi “G”

UNIVERSITAS BRAWIJAYA
FAKULTAS ILMU ADMINISTRASI
MALANG
2019
PENDAHULUAN

Kepemimpinan merupakan fenomena setiap komunitas organisasi, dimana


pemimpin menjadi penentu dari sebuah pencapaian tujuan organisasi. Gagal dan
suksesnya organisasi dipengaruhi oleh peran pemimpin didalamnya. Pemimpin
sebagai pengambil kebijakan strategis mempunyai peranan penting dalam
pengembangan dan pengelolaan organisasi. Pemimpin tidak hanya menjadi
pengambil kebijakan, akan tetapi harus menjadi pelaku dari kebijakan yang
dilakukan. Hal ini memberikan dampak positif bagi pegawai dalam penerepan dan
pelaksanaan kegiatan organisasi. Fenomena kepemimpinan menjadi sebuah
konsepsi pengetahuan yang memberikan pemahaman terhadap pentingnya
pelaksanaan organisasi. Kepemimpinan saat ini mengarah kepada prilaku individu
yang dibentuk melalui pendidikan dan kepribadiannya (Hayat, 2014).

Dalam konteks birokrasi di Indonesia, persoalan kepemimpinan terfokus


pada puncak pimpinan seperti bupati, gubernur, dan presiden. Para pemimpin
inilah yang diharapkan agar mampu memberikan pelayanan yang baik pada
masyarakat. Dalam praktiknya kepemimpinan yang dimiliki oleh kepala
pemerintahan belum mampu memberikan keberhasilan dalam membuat kebijakan
dan memberikan layanan yang baik kepada masyarakat. Kepemimpinan yang
berlandaskan pada kepemimpinan politik tidak akan mampu mengubah budaya di
dalam birokrasi karena kepemimpinannya yang berjalan empat tahunan dan
digantikan dengan pejabat politik baru.

Kurang berhasilnya kepemimpinan politik dalam perbaikan birokrasi,


maka dibutuhkan alternatif lain agar kepemimpinan tidak hanya berfokus pada
kepemimpinan politik. Salah satu cara yang dapat dilakukan adalah dengan
adanya pengembangan budaya kepemimpinan profesional birokrasi.
Kepemimpinan di dalam birokarsi sangat dibutuhkan karena kesuksesan
organisasi tidak hanya tergantung pada pemimpin puncak tetapi juga pegawainya.
Hal ini selaras dengan pernyataan Lilly-Radford dalam Pramusinto (2009)
kesuksesan sebuah organisasi ditentukan oleh kemampuan para pemimpinnya,
baik yang tingkat rendah maupun yang tingkat tinggi. Selama ini muncul asumsi
bahwa kepemimpinan hanya merupakan tindakan orang-orang yang berada di
puncak organisasi, padahal yang seharusnya adalah “we are all leaders and
followers at different times”.

Kepemimpinan Birokrasi dan Kompleksitas Masyarakat

Menurut Weber, Birokrasi adalah organisasi legal-rasional yang paling


efektif untuk menjalankan fungsi-fungsi pemerintahan dan pembangunan
dibandingkan dengan organisasi lain yang lebih berbasiskan pada charismatic
domination maupun traditional domination. Birokrasi dalam pengertian organisasi
modern adalah sebuah konsep yang mengacu pada cara pelaksanaan administrasi
dan penegakan aturan hukum yang diorganisasikan secara sosial, yang dicirikan
dengan 4 konsep pokok berikut ini.

1. Pembagian kerja antara orang-orang administrasi dan kantor


2. Sistem kepegawaian dengan pola rekrutmen yang konsisten dan karir
linear yang stabil
3. Hierarki di antara kantor-kantor, sehingga otoritas dan statusnya
terdistribusi secara berbeda antar aktor
4. Jaringan formal dan informal yang menghubungkan pelaku organisasi satu
sama lain melalui arus informasi dan pola kerja sama.

Birokrasi dalam perkembangannya harus mampu merespon perubahan dan


tuntutan yang ada di dalam masyarakat. Menurut Hummel dalam Pramusinto
(2014) “bureucracy replaces society”, sebuah pernyataan yang menunjukan bahwa
birokrasi mengambil peran yang harus dimainkan oleh masyarakat. Semakin
kompleks perkembangan masyarakat makan semakin kompleks juga fungsi dan
tugas pokok yang harus dijalankan oleh birokrasi. Dalam masyarakat modern
setidaknya ada beberapa indikasi perkembangan baru yang harus mampu direspon
oleh birokrasi dengan benar:

1. Interaksi yang semakin global


2. Pengambilan keputusan yang lebih demokratis
3. Informasi yang mengalir deras dan memerlukan keputusan yang cepat
4. Perkembangan teknologi yang semakin canggih
5. Kebutuhan kerjasama dan kompetisi sekaligus
Modernisasi telah menciptakan interaksi masyarakat menjadi sangat luas
dan kompleks sehingga hubungan birokrasi yang harus dibangun dengan dunia
luar harus mengikutinya. Dalam situasi seperti ini, hubungan masyarakat tidak
lagi terbatas antar orang dan daerah dengan lingkup yang kecil, melainkan meluas
dalam lingkup nasional dan global. Dengan demikian, pemahaman wawasan
global, cara berinteraksi dan bernegosiasi dalam kompetisi yang semakin
kompleks dan tajam merupakan realitas yang tidak bisa dihindari. Selain itu,
secara domestik, peningkatan pendidikan dan kemampuan sosial ekonomi juga
melahirkan demand yang lebih kuat terhadap pemerintah dalam menciptakan
kebijakan yang lebih demokratis.

Cheema (2005; 152-156) melihat berbagai persoalan kritis yang muncul


akibat globalisasi yang dihadapi oleh birokrasi sektor publik. Globalisasi
menuntut perubahan paradigma peran negara sebagai berikut: (a) dari kontrol ke
regulasi, dengan penekanan pada akuntabilitas dan transparansi (terlalu kuatnya
kontrol menyebabkan mayoritas orang miskin kehilangan hak dan tidak berani
menuntut hak mereka); (b) dari orientasi ke dalam menjadi perlindungan public
goods (misal: masalah lingkungan tidak lagi dipandang dalam konteks isu
nasional, tetapi global public goods yang harus diselamatkan); (c) dari model
government ke governance dengan melibatkan masyarakat sipil dan sektor swasta
(selama ini ada saling tidak percaya/mistrust, padahal komponen pemerintah,
masyarakat sipil dan sektor swasta harus bekerja secara sinergis); (d) dari fokus
pertumbuhan ke pengurangan ketimpangan sosial dan antardaerah (globalisasi
sering hanya menguntungkan segelintir orang walaupun sukses mencapai
pertumbuhan); (e) dari kontrol negara ke kesesuaian peran negara menurut
kapasitasnya (hanya perlu minimal functions, intermediate functions atau activist
functions, tergantung pada kemampuannya); (e) dari kapasitas negara yang
bersifat tradisional ke ketrampilan baru (perlu peningkatan ketrampilan seperti
penegakan hukum, mendorong kompetisi dan mendorong partisipasi yang bisa
meningkatkan kapabilitas negara).

Beberapa ciri yang membedakan kepemimpinan birokrasi tradisional dan


kepemimpinan birokrasi modern adalah sebagai berikut.
Nilai yang
Tradisional Modern
dikembangkan
Gaya Otoriter Egaliter
Orientasi Kepentingan Birokrasi Publik
Wawasan Domestik Global
Hubungan Internal birokrasi Kompetisi dan kerjasama
Pengambilan Keputusan Hierarki Demokratis
Pola Komunikasi Lokal Internasional
Koordinasi Instruksi Nasional

Membangun Budaya Kepemimpinan melalui Reformasi Proses Rekruitmen

Untuk menciptakan kepemimpinan birokrasi yang handal, perlu dibangun


dan disemai lingkungan yang bisa menumbuhkan budaya kepemimpinan yang
profesional. Kepemimpinan menuntut adanya orang yang tepat, seperti dikatakan
oleh Collins (2001): "...people are not your most important asset. The right
people are". Salah satu cara efektif untuk itu adalah melalui perbaikan dalam
rekrutmen sumber daya manusia (SDM) dalam birokrasi. Dengan adanya calon
yang benar-benar memenuhi syarat, diharapkan yang bersangkutan mampu
menjadi pemimpin di dalam birokrasi.

Selama ini, proses rekrutmen SDM birokrasi untuk mengisi lowongan


jabatan pada umumnya dilakukan melalui prosedur normal. Tiap-tiap departemen
atau tiap pemerintah daerah, baik provinsi maupun kabupaten, akan
mengumumkan lowongan setiap tahunnya berdasarkan formasi yang diberikan
oleh Kementrian Pendayagunaan Aparatur Negara. Cara dan prosedur semacam
ini tidak ada yang salah, hanya saja mungkin pemerintah tidak bisa mendapatkan
calon yang terbaik.

Selain prosedur normal, ada beberapa alternatif yang bisa dilakukan


melengkapi prosedur tersebut. Alternatif-alternatif tersebut adalah sebagai berikut:

1. Prosedur rekrutmen SDM birokrasi yang dilakukan secara proaktif


sebelum mahasiswa tersebut lulus. Dengan melakukan prosedur
"mengijon” dengan down-payment beasiswa, hal semacam ini sudah
banyak dilakukan oleh perusahaan-perusahaan swasta di mana mereka
akan mendatangi universitas-universitas terbaik untuk merekrut
mahasiswa terbaik. Bibit potensial mereka seleksi untuk kemudian diberi
beasiswa agar prestasi yang mereka miliki dapat meningkat. Dan untuk
tugas akhir atau skripsi, mereka sudah mulai diarahkan untuk melakukan
perelitian di tempat mereka akan bekerja sehingga mereka lebih paham
dan siap untuk melakukan tugas setelah selesai belajar. Dengan cara
seperti ini, pemerintah akan lebih kompetitif dalam mendapatkan calon
yang terbaik dalam mengisi formasi kepegawaian.
2. Rekrutmen secara terbuka dan kompetitif untuk jabatan strategis. Di sektor
swasta seperti perbankan, rekrutmen pegawai dilakukan melalui 2 jalur:
jalur staf dan jalur manajemen. Untuk jalur yang pertama biasanya untuk
kebutuhan staf yang bekerja di bagian frontliner seperti customer service.
Sedangkan jalur manajemen direkrut untuk disiapkan menjadi pimpinan
menengah yang terlibat dalam keputusan-keputusan strategis.
3. Rekrutmen SDM birokrasi berdasarkan position-based dengan jalur karir
yang konsisten. Di Indonesia, position-based sudah mulai dikenalkan
dalam proses rekrutmen SDM birokrasi. Seseorang mendaftar sesuai
kebutuhan formasi pemerintah yang ditentukan berdasarkan latar
pendidikan seseorang dan posisi yang akan dipegangnya. Misalnya,
formasi sebagai analis tata praja, analis komputer, analis perundang-
undangan, analis kebijakan publik, analis keuangan, penyuluh pertanian,
dan lain-lain. Namun, position-based tidak berjalan dengan baik karena
beberapa hal seperti:
a. Pertama, kriteria pendidikan yang diterapkan oleh departemen sangat
kaku dan tidak berdasarkan pada pemahaman yang benar. Contohnya
analis tata praja hanya terkait dengan jurusan Ilmu Pemerintahan dan
Administrasi Negara, padahal, isu-isu tata praja juga terkait dengan isu
hukum dan perundang-undangan, pembagian sumberdaya ekonomi
dan lain-lain.
b. Kedua, pola rekrutmen dengan position-based sering tidak konsisten
ketika Kepala Daerah sering memindah-mindahkan tugas untuk
birokratnya tanpa mendasarkan pada kompetensi saat rekrutmen awal.
4. Rekrutmen pegawai berdasarkan sistem kontrak dalam jangka waktu
tertentu. Sistem kepegawaian kita berdasarkan long life menjamin bekerja
sampai usia 58 tahun untuk pejabat admnistrasi (Undang – Undang No.5
Pasal 90 tentang Aparatur Sipil Negara) terlepas kualitas kinerjanya.
Sistem ini memang menciptakan rasa aman dalam bekerja di sisi lain
tidak memberikan insentif bagi yang bekerja serius atau disinsentif bagi
yang bekerja setengah-setengah (under performance). Sementara itu, di
negara-negara maju, status pegawai negeri pada umumnya berdasarkan
kontrak. Karenanya, statusnya akan selalu dievaluasi kinerjanya apakah
telah bekerja dengan baik atau tidak. Apabila dalam waktu kontrak 2 tahun
tidak menunjukkan kinerja yang baik, maka yang bersangkutan tidak akan
diperpanjang. Seseorang akan mendapatkan tawaran menjadi permanent
employee setelah beberapa kali kontrak menunjukkan komitmen yang
baik.

Transformasi Budaya Kepemimpinan : Dari Non-Birokrasi ke Birokrasi

Selama ini, reformasi birokrasi di Indonesia terlalu menekankan pada


aspek kelembagaan formal melalui perubahan struktur organisasi dan mekanisme
pelayanan. Sayangnya, hal tersebut tidak memiliki perubahan yang signifikan
terhadap kualitas pelayanan yang diberikan oleh birokrasi kepada masyarakat.
Perubahan struktur formal ternyata tidak bisa bekerja dengan baik ketika budaya
yang dimiliki oleh para aparat birokrasi tidak mengalami perubahan. Selain itu
karena aparat birokrasi pemerintah kita cenderung wawasannya sempit, sikap dan
perilaku mereka juga resisten terhadap perubahan. Dalam berbagai kasus
pengembangan organisasi, transformasi yang terkait dengan perubahan kultural
jauh lebih penting daripada perubahan yang bersifat teknikal (Kartajaya,
Yuswohadi, dan Madyani, 2004:297).

Maka, birokrasi harus mengalami transformasi nilai dan budaya. Pelatihan


(training) merupakan salah satu sarana untuk melakukan perubahan. Training atau
pelatihan adalah bagian penting dalam rangka mempersiapkan seseorang untuk
menduduki jabatan tertentu. Pelatihan yang baik harus mampu mempersiapkan
seseorang untuk melakukan tugas teknis maupun mengambil keputusan yang
strategis. Sayangnya, dalam pengamatan selama ini, training untuk PNS belum
mampu menjadi seseorang profesional.

Kelemahan mendasar dalam pelaksanaan training antara lain:

1. Banyak sekali widyaiswara yang tidak dipersiapkan untuk menjadi


pelatih bagi PNS.
2. Materi pelatihan yang diajarkan tidak update, dan metode yang
digunakan dalam memberikan pelatihan merupakan metode
konvensional yang tidak membawa seseorang untuk mampu
memecahkan masalah.
3. Orientasi pengajaranya lebih banyak nostalgia semasa menjabat.

Pola yang diterapkan di Indonesia harus diperbaiki. Pertama, pola


pelatihan harus mengkombinasikan antara teori dan praktik. Pola pelatihan harus
mengkombinasikan antara teori dan praktik. Pola pelatihan cenderung di kelas
tanpa praktik sudah terbukti tidak efektif. Kedua, harus membuaka diri dan
mencangkok nilai-nilai non-birokrasi. Karena itu, birokrasi tidak boleh
mengisolasi diri dan tidak sensitif terhadap nilai-nilai yang berkembang dari luar.
Perkembangan praktik manajemen dalam institusi di luar birokrasi sudah
berkembang pesat.

Untuk melakukan transformasi nilai-nilai non birokrasi ke dalam birokrasi


dapat dilakukan dengan cara berikut:

1. Pelatihan untuk PNS sebaiknya memberikan kesempatan untuk praktik


langsung di lembaga pemerintahan lainnya, lembaga swadaya masyarakat
(LSM), atau agensi internasional. Pengertian praktik langsung bukan
sekedar kunjungan 1-2 jam ke institusi non birokrasi, melainkan
menempatkan trainee selama 2-3 bulan untuk bekerja.
2. Pemerintah juga memberikan kesempatan kepada orang-orang non
birokrasi untuk magang.
3. Mekanisme pelatihan yang selama ini diisi hanya oleh widyaiswara perlu
dirombak dengan memasukkan tenaga-tenaga pelatih dari perusahaan
swasta maupun lembaga swadaya masyarakat. Dengan cara demikian,
nilai-nilai yang berkembang dari berbagai institusi di luar pemerintah akan
bertransformasi ke dalam tubuh birokrasi. Praktik yang terkait dengan
dunia swasta dan LSM akan menjadi sumber pengetahuan yang bisa
diterapkan dalam birokasi.

Sistem rekrutmen dan pelatihan yang disiapkan untuk tenaga manajer


tingkat menengah di Perancis sangat menarik. Dalam pelatihan, mereka bukan
hanya dilatih di dalam kelas tetapi sebagian adalah on the job training. Misalnya,
seseorang akan dilatih di dalam kelas selama 3 bulan untuk mendiskusikan isu-isu
penting. Setelah itu, mereka akan diminta bekerja di institusi yang sesuai dengan
pekerjannya. Mereka yang akan bekerja di local governemnt akan dikirim ke
pemerintah lokal dan terlibat dengan pekerjaan disitu secara penuh. Mereka yang
akan bekerja di urusan luar negeri akan dikirim ke departemen luar negeri dan
posting di salah satu kedutaan. Mereka yang terkait dengan pekerjaan kerjasama
internasional akan ditempatkan di salah satu agensi internasional. Setelah 6 bulan,
mereka akan ditarik kembali dan pelatihan di kelas untuk mendiskusikan hasil
praktik lapangan.

KESIMPULAN

Membangun kepemimpinan dalam birokrasi tidak cukup hanya


membangun elit-elit yang ada dalam birokrasi. Berjalannya birokrasi akan sangat
tergantung pada seluruh aparatur yang berada di berbagai tingkatan. Untuk
menciptakan pemimpin yang baik, harus ada proses seleksi SDM yang benar
sehingga terpilih yang betul-betul berkualitas. Pola rekruimen yang selama ini
dilakukan hanya akan menghasilkan SDM kelas kedua karena yang terbaik sudah
diambil oleh institusi non-pemerintah. Tidak adanya kompetisi yang serius dalam
rekrutmen jabatan dalam birokrasi juga membawa dampak rendahnya mutu
kepemimpinan seseorang yang menduduki sebuah jabatan.

Dalam pola pelatihan praktik selama ini juga hanya membekali aspek
kognitif dan sempit. Karenanya, transformasi nilai dari non-birokrasi ke dalam
institusi birokrasi sangat penting. Wawasan, keterampilan dan perilaku birokrasi
akan semakin baik ketika banyak dari luar birokrasi. Membangun budaya
kepemimpinan melalui kedua pendekatan tersebut tidaklah mudah. Adopsi
gagasan tersebut ke dalam birokrasi menuntut perubahan baik struktural maupun
kultural. Merubah aturan yang selama ini sudah dianggap tertanam bukanlah hal
yang mudah. Di samping itu, introduksi budaya baru ke dalam birokrasi juga
sering birokrasinya memiliki pengalaman yang menimbulkan resistensi.

Referensi

Hayat, 2014. Konsep Kepemimpinan Dalam Reformasi Birokrasi: Aktualisasi


Pemimpin Dalam Pelayanan Publik Menuju Good Governance. Jurnal Borneo
Administrator.Vol.10 No.1

Pramusinto, Agus, 2014. Mengembangkan Budaya Kepemimpinan Profesional


Birokrasi. Yogyakarta. Gava Media.

Anda mungkin juga menyukai