Anda di halaman 1dari 15

PERKEMBANGAN AGAMA INDIVIDU

A. PENDAHULUAN
Perkembangan adalah sesuatu yang harus terjadi dan dikuasai
oleh  remaja, salah satu tugas remaja dalam hal ini adalah mempelajari apa yang
diharapkan oleh kelompok dari padanya dan kemudian mau membentuk
perilakunya agar sesuai dengan harapan sosial tanpa terus dibimbing, diawasi
didorong dan diancam hukuman seperti yang dialami waktu anak-anak.
Sebagaimana terjadi pada aspek kehidupan yang lainnya, maka rasa
keagamaan yang dimiliki oleh anak-anak mengalami adanya perkembangan
sebagaimana hal ini terkait dengan terjadinya perkembangan pada diri seseorang
secara menyeluruh. Manusia sebagai satu kesatuan, maka satu bagian tidak akan
bisa dipisahkan dengan bagian yang lainnya. Perkembangan bukan merupakan
proses yang berdiri sendiri, terlepas dari bagian yang lain, tetapi merupakan
rentetan yang tidak putus dan saling terkait dalam satu mekanisme yang saling
berpengaruh dan mempengaruhi.
Rasa keagamaan ternyata juga mengenal adanya perkembangan diri
seseorang, sebab jika diperhatikan, rasa keagamaan yang dimiliki anak-anak
maupun rasa keagamaan remaja akan berbeda dengan rasa keagamaan orang
dewasa. Hal itu terbukti dalam kenyataan hidup sehari-hari misalnya jika
kebetulan anak melakukan shalat, maka si anak tersebut lebih banyak
menggantungkan dirinya kepada orang lain dengan jalan menirukan orang-orang
yang ada di sekitarnya, sehingga tidak jarang anak-anak dalam melakukan sholat
kadang-kadang berubah-ubah menurut keadaan sekitarnya. Berbeda dengan anak
remaja, mereka sudah kelihatan semakin mampu membawakan dirinya dan
menguasai dirinya, sehingga sholat yang dilakukan tidak mengalami adanya
perubahan-perubahan seperti anak-anak. Lain halnya dengan orang yang sudah
dewasa, maka dengan penuh kesadaran dan pengertian melakukan sholat
sebagaimana yang ada di dalam ajaran yang telah dia pelajari dan yakini.

1
B. PERKEMBANGAN AGAMA ANAK DAN KARAKTERISTIKNYA
Setiap anak atau manusia mempunyai beberapa kebutuhan dasar yang
berasal dari dorongan-dorongan manusiawinya, antara lain:
1. Dorongan fisik (jasmaniah)
2. Dorongan emosional (perasaan)
3. Dorongan sosial (bergaul, bermasyarakat)
4. Dorongan mental (berilmu dan berpengalaman)
5. Dorongan spiritual (beragama, bermoral, dan sebagainya)
Dorongan-dorongan tersebut dibawa anak semenjak lahir, sehingga
dengan demikian setiap anak yang normal membutuhkan hal-hal yang sifatnya
jasmaniah dan berkaitan dengan kebutuhan biologisnya, untuk dapat memenuhi
dan menyalurkan perasaannya, kebutuhan akan orang lain dalam kehidupan
bersama dan bermasyarakat, kebutuhan ilmu pengetahuan dan pengalaman
termasuk kebutuhan akan agama dan moral.
Dengan demikian rasa keagamaan yang terdapat dalam diri anak adalah
bersifat instinktif (fitri), sebagaimana dalam aspek-aspek psikis yang lainnya.
Rasa keagamaan itu ada dengan sendirinya dalam diri anak yaitu rasa pengakuan
adanya kekuatan dari sesuatu di atas kekuatan dirinya dan alam.
Dalam kenyataannya, rasa keagamaan tersebut akan tergambarkan dalam
diri anak sesuai dengan sifat kekanak-kanakannya yang kemudian berkembang
sesuai dengan perkembangan psikisnya. Mungkin saja pada awalnya dijabarkan
dengan adanya rasa takut terhadap sesuatu di luar dari apa yang pernah dilihat
oleh anak secara panca inderawi, atau kemudian berkembang lagi setelah anak itu
berada dalam perkembangan pengamatan yang terbesar dengan menganggap
sesuatu yang menakjubkan dikaitkan dengan orang-orang atau tokoh-tokoh yang
selama ini banyak dikenal dalam memberikan perlindungan dan pertolongan.
Atau juga dikaitkan dengan cerita-cerita yang pernah didengar atau
diamatinya sehingga benda-benda yang menakjubkan atau figuran-figuran
tersebut menjadi penyaluran yang efektif dari rasa keagamaannya untuk
sementara. Dalam masa anak-anak semacam itu memang tidak bisa dipungkiri
betapa besarnya peran orang tua dalam kehidupan anak-anak termasuk juga dalam

2
kehidupan keagamaannya. Orang tua mempunyai peranan penting dalam
membina dasar-dasar keagamaan, terutama di dalam mengarahkan, melatih, dan
membiasakan kelakuan-kelakuan keagamaan. Orang tua adalah pusat kehidupan
rohani si anak dan sebagai penyabab berkenalannya dengan alam luar, maka
setiap reaksi emosi anak dan pemikirannya dikemudian hari terpengaruh oleh
sikapnya terhadap orang tuanya di permulaan hidupnya dahulu. Apa yang
dipercaya oleh anak tergantung kepada apa yang diajarkan kepadanya oleh orang
tua di rumah atau guru di sekolah, karena ia masih belum mampu berpikir secara
logis, kepercayaan anak itu bisa saja bersifat kontradiksi misalnya ia percaya
bahwa Tuhan itu baik, tetapi di lain pihak dapat memberikan hukuman kepada
manusia.1
Banyak orang tua berpendapat bahwa anak-anak yang belum bersekolah
adalah terlalu kecil untuk diberi pendidikan agama. Mereka masih terlalu kecil.
Pikiran mereka belum waktunya memikirkan agama. Tunggu sampai mereka
sudah dewasa, demikian pendapat banyak orang tua.
Pendapat ini pada umumnya tidak dibenarkan oleh para ahli pendidik
zaman modern ini. Dari hasil pendidikan dikemukakan bahwa pendidikan agama
sudah harus diberikan kepada anak-anak sebelum mereka bersekolah. Pendidikan
agama itu akan banyak bergantung pula atas sikap orang tua itu sendiri.
Dengan lain perkataan sikap orang tua akan menentukan jenis pendidikan
agama apa yang diberikan kepada anaknya. Mustahil bagi orang tua yang tidak
memperdulikan agama, mengharapkan anaknya akan memperoleh dasar
keyakinan agama yang baik.
Biasanya pendidikan agama yang diberikan kepada anak-anak pada masa
kecil, akan bersifat menentukan bagi kehidupan agama mereka di kemudian hari.
Namun ada pula kenyataan yang membuktikan bahwa semakin mereka bertumbuh
dan menjadi dewasa, pikiran mereka dan sikap mereka pun akan lebih kritis lagi
terhadap agama dan soal doktrin.
Hal ini mudah dipahami, karena semakin dewasa mereka akan dihadapkan
kepada banyak persoalan ilmu pengetahuan, atau pergaulan sesama teman yang
1 M. Hafi Anshari, Dasar-Dasar Ilmu Jiwa Agama, (Surabaya: Usaha Nasional, 1991),
hlm. 70-71.

3
tidak percaya adanya Tuhan atau mereka yang tidak beragama. Apabila seorang
anak sudah menerima pelajaran agama sejak kecil, yang diberikan dengan sabar
dan teliti oleh orang tuanya, maka hal ini berarti bahwa ia telah dilengkapi dengan
suatu kekuatan rohani untuk mengahadapi pengaruh-pengaruh anti agama yang
akan dijumpainya kemudian hari. Betapa besar malapetaka yang akan menimpa
kehidupan seorang anak pada masa pertumbuhan sampai ia menjadi dewasa,
apabila ia sama sekali tidak diberi pelajaran agama pada masa kecilnya.2
Perkembangan agama pada anak sangat ditentukan sangat ditentukan oleh
pendidikan dan pengalaman. Dan seorang anak yang tidak mendapat pendidikan
agama dan tidak pula mempunyai pengalaman keagamaan, maka ia nanti setelah
dewasa akan cenderung terhadap sikap negatif terhadap agama. Hubungan anak
dengan orang tuanya, mempunyai pengaruh dalam perkembangan agama anak,
karena anak akan merasakan hubungan hangat dengan orang tuanya, merasa
bahwa ia disayangi dan dilindungi, serta mendapat perlakuan yang baik. Mereka
akan mudah menerima dan mengikuti kebiasaan orang tuanya dan selanjutnya
akan cenderung kepada agama.3
Nilai-nilai ajaran agama dalam kehidupan seorang anak sebelum
bersekolah, akan memberikan pengaruh yang positif dalam tabiat anak itu, pada
masa kecil sampai ia menjadi dewasa. Mengapa terjadi banyak gejala negatif,
misalnya dalam kehidupan anak dan orang muda tidak berdisiplin, sikap
menentang orang tua menimbulkan berbagai kesulitan di sekolah dan sebagainya.
Para ahli berpendapat bahwa yang menjadi sumber utama ialah karena orang tua
telah melalaikan pendidikan rohani bagi kehidupan anak itu. Pada masa kecil
mereka tidak diberi pendidikan supaya mengenal Tuhan.
Memang untuk memberikan pendidikan agama khususnya menanamkan
rasa ke-Tuhanan dalam diri anak yang relatif usianya sangat muda, orang tua
sedikit mengalami kesulitan karena bagi anak itu sendiri pemikiran tentang Tuhan
adalah sesuatu tentang kenyataan luar, dan anak pun juga akan sedikit mengalami
pengalaman yang pahit. Mereka kadang-kadang menerima pikiran tentang Tuhan
setelah lebih dulu ia ingkari dan penuh keraguan, oleh sebab itu mulai umur 3
2 M. Hafi Anshari, Dasar-Dasar Ilmu…, hlm. 72.
3 Zakiah Darajat, Ilmu Jiwa Agama, (Jakarta: Bulan Bintang, 1996), hlm 59.

4
sampai 4 tahun kurang lebih anak-anak sering mengemukakan pertanyaan yang
ada hubungannya dengan agama, misalnya: Siapa Tuhan itu? Di mana surga dan
bagaimana cara pergi ke sana? Dan anak memandang alam ini seperti memandang
dirinya, belum ada pengertian yang metafisik. Sampai sekitar umur 7 tahun,
perasaan si anak terhadap Tuhan pada dasarnya negatif, yaitu takut, menentang
dan ragu. Dia berusaha untuk menerima pemikiran tentang kebesaran dan
kemuliaan Tuhan, sedang gambarannya terhadap Tuhan pada dasarnya negatif,
yaitu takut, menentang, dan ragu. Dia berusaha untuk menerima pemikiran
tentang kebesaran dan kemuliaan Tuhan, sedang gambarannya terhadap Tuhan
sesuai dengan emosinya. Tuhan bagi mereka hidup sebagai kehidupan manusia
biasa. Dia memahami sesuatu yang diajarkan kepadanya sesuai dengan
kemampuannya untuk mengerti dalam batas pengalamannya.
Setelah anak mencapai umur lebih 7 tahun maka pandangan anak tentang
Tuhan semakin positif (cinta dan hormat) dan hubungannya dipenuhi dengan rasa
percaya dan rasa aman, sehingga sedikit demi sedikit kegelisahan yang dirasakan
oleh anak semakin menipis, dan anak-anak betul-betul ingin mengetahui
rahasianya. Sampai kira-kira umur 8 tahun hubungan anak-anak dengan Tuhan
adalah hubungan individual, hubungan emosional antara ia dengan sesuatu yang
tidak terlihat, yang dibayangkan dengan cara sendiri. Adapun kepercayaan tentang
Tuhan dan keyakinan yang diajarkan oleh lingkungannya pada umur ini, belum
betul-betul menjadi bagian dari pembinaan pikirannya, kecuali pada usia yang
lebih besar lagi.
Dasar yang sudah ada di dalam diri anak dalam mengenal Tuhan dapat
dikembangkan melalui pendidikan, pengalaman dan latihan, yang pada saatnya
anak itu sendiri nanti akan memperoleh keyakinan yang dapat diterimanya sebagai
sesuatu yang dibutuhkan. Berdasarkan gambaran psikis pada masa anak-anak,
maka dapatlah disimpulkan bahwa pemikiran anak tentang Tuhan bukanlah
keyakinan sebagaimana yang terdapat pada diri orang dewasa, atau satu hipotesa,
tetapi sikap emosi yang lebih dekat pada kebutuhan jiwa anak dan pemikiran
tentang Tuhan adalah pemuasan dari kebutuhan si anak akan seorang pelindung.4

4 M. Hafi Anshari, Dasar-Dasar Ilmu…, hlm. 72-73.

5
Dengan demikian maka di dalam penjabarannya kita melihat berbagai
tingkah laku anak dan juga di dalam pertanyaan-pertanyaan yang diajukan kepada
orang di sekitarnya ataupun juga di dalam lukisan kata-kata mereka. Yang
kesemuanya itu merupakan penyaluran yang efektif bagi anak sebagai penyebab
dari keraguan yang selama ini dialami. Dalam saat-saat demikian inilah pengaruh
luar mempunyai perasaan yang sangat menentukan pola keagamaan anak, dan
perkembangan rasa keagamaannya untuk masa-masa yang akan datang.5
Memahami konsep keagamaan pada anak berarti memahami sifat agama
pada anak-anak. Sesuai dengan ciri yang mereka miliki, maka sifat agama pada
anak-anak tumbuh mengikuti pola ideas concept on authority. Ide keagamaan
pada anak hampir sepenuhnya autoritas, maksudnya konsep keagamaan pada diri
mereka dipengaruhi oleh fakrot dari luar diri mereka. Berdasarkan hal itu, maka
bentuk dan sifat agama pada diri anak dapat dibagi atas:
1. Unreflective (tidak mendalam). Anggapan anak terhadap ajaran agama
dapat mereka terima dengan tanpa kritik. Karena anggapan mereka tidak
begitu mendalam sehingga cukup sekedarnya saja dan mereka sudah
merasa puas dengan keterangan yang kadang-kadang kurang masuk akal.6
2. Egosentris. Anak memiliki kesadaran akan diri sendiri sejak tahun pertama
usia perkembangannya dan akan berkembang sejalan dengan pertambahan
pengalamannya. Apabila kesadaran akan diri itu mulai subur pada diri
anak, maka akan tumbuh keraguan pada rasa egonya. Dengan demikian,
semakin bertumbuh, semakin mengingkat pula egoisnya.
3. Antromorpis. Konsep mengenai ke-Tuhanan pada anak berasal dari hasil
pengalamannya dikala ia berhubungan dengan orang lain. Mereka
menganggap bahwa keadaan Tuhan itu sama dengan manusia. Pekerjaan
Tuhan mencari dan menghukum orang yang berbuat jahat.
4. Verbalis dan Ritualis. Mereka menghafal secara verbal kalimat-kalimat
keagamaan. Mereka juga melaksanakan tuntunan yang diajarkan.
5. Imitatif. Dapat kita saksikan bahwa tindak keagamaan yang dilakukan oleh
anak-anak pada dasarnya diperoleh dari meniru. Berdo’a dan sholat
5 M. Hafi Anshari, Dasar-Dasar Ilmu…, hlm. 75.
6 Jalaluddin, Psikologi Agama, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1996), hlm. 68.

6
misalnya mereka laksanakan karena hasil melihat perbuatan di lingkungan,
baik berupa pembiasaan atau pun pengajaran yang intensif.
6. Rasa heran. Rasa heran dan kagum merupakan tanda dan sifat keagamaan
yang terakhir pada anak. Rasa kagum pada anak belum bersifat kritis dan
kreatif sebagaimana orang dewasa.7
Ringkasnya, masa anak-anak merupakan periode yang dinamis secara
psikologis maupun religius. Anak-anak memiliki kemampuan yang luar biasa
dalam meniru perilaku orang dewasa. Tetapi pada umumnya anak memasukkan ke
dalam pikiran, perasaan, dan kehendaknya apa yang didengar dan dilihatnya
sesuai dengan kemampuannya. Menerima agama masa anak dan memberi
keleluasaan kepada mereka untuk bebas ikut serta dalam kegiatan umat yang
diikuti oleh semua anggota dari segala umur, dapat menjadi cara untuk
menyiapkan mereka dalam peziarahan menuju kedewasaan religius.8

C. PERKEMBANGAN AGAMA REMAJA


Segala persoalan dan problema yang terjadi pada remaja-remaja itu,
sebenarnya bersangkut-paut dan barkait-kait dengan usia yang mereka lalui, dan
tidak dapat dilepaskan dari pengaruh lingkungan di mana mereka hidup. Dalam
hal itu, suatu faktor penting yang memegang peranan yang menentukan dalam
kehidupan remaja adalah agama. Tapi sayang sekali, dunia modern kurang
menyadari betapa penting dan hebatnya pengaruh agama dalam kehidupan
manusia, terutama pada orang-orang yang sedang mengalami kegoncangan jiwa,
dimana umur remaja terkenal dengan umur goncang, karena pertumbuhan yang
dilaluinya dari segala bidang dan segi kehidupan.9
1.      Masa Remaja Awal (13-16)
Pada masa ini terjadi perubahan jasmani yang cepat, sehingga
memungkinkan terjadinya kegoncangan emosi, kecemasan, dan kekhawatiran.
Bahkan, kepercayaan agama yang telah tumbuh pada umur sebelumnya, mungkin

7 Jalaluddin, Psikologi Agama…, hlm. 69-71.


8 Robbert W. Crapps, Perkembangan Kepribadian dan Keagamaan, (Yogyakarta:
Kanisius, 1994), hlm. 22.
9 Zakiah Darajat, Ilmu Jiwa Agama…, hlm. 69.

7
pula mengalami kegoncangan. Kepercayaan kepada tuhan kadang-kadang sangat
kuat, akan tetapi kadang-kadang menjadi berkurang yang terlihat pada cara
ibadanya yang kadang-kadang rajin dan kadang-kadang malas. penghayatan
rohani cenderung skeptis sehingga muncul keengganan dan kemalasan untuk
melakukan berbagai kegiatan ritual yang selama ini dilakukannya dengan penuh
kepatuhan.
Kegoncangan dalam keagamaan ini mungkin muncul, karena disebabkan
oleh faktor internal maupun eksternal. Faktor internal berkaitan dengan
matangnya organ seks, yang mendorong remaja untuk memenuhi kebutuhan
tersebut, namun di sisi lain ia tahu bahwa perbuatannya itu dilarang oleh agama.
Kondisi ini menimbulkan konflik pada diri remaja. Faktor internal lainnya adalah
bersifat psikologis, yaitu sikap independen, keinginan untuk bebas, tidak mau
terikat oleh norma-norma keluarga (orangtua). Apabila orangtua atau guru-guru
kurang memahami dan mendekatinya secara baik, bahkan dengan sikap keras ,
maka sikap itu akan muncul dalam bentuk tingkah laku negatif, seperti
membandel, oposisi, menentang atau menyendiri, dan acuh tak acuh.10
2.      Masa Remaja Akhir (17-21)
Masa remaja terakhir dapat dikatakan bahwa anak pada waktu itu dari segi
jasmani dan kecerdasan telah mendekati kesempurnaan. Yang berarti bahwa tubuh
dengan seluruh anggotanya telah dapat berfungsi dengan baik, kecerdasan telah
dianggap selesai pertumbuhannya, tinggal pengembangan dan penggunaannya
saja yang perlu diperhatikan.
Akibat pertumbuhan dan perkembangan jasmani, serta kecerdasan yang
telah mendekati sempurna, atau dalam istilah agama dapat dikatakan telah
mencapai tingkat baligh-berakal, maka remaja itu merasa bahwa dirinya telah
dewasa dan dapat berpikir logis. Di samping itu pengetahuan remaja juga telah
berkembang pula, berbagai ilmu pengetahuan yang diajarkan oleh bermacam-
macam guru sesuai dengan bidang keahlian mereka masing-masing telah
memenuhi otak remaja. Remaja saat itu sedang berusaha untuk mencapai
peningkatan dan kesempurnaan pribadinya, maka mereka juga ingin
10 Syamsu, Yusuf LN, Psikologi Perkembangan Anak &Remaja, (Bandung: Remaja
Rosdakarya, 2011),  hlm. 204-205.

8
mengembangkan agama, mengikuti perkembangan dan alur jiwanya ynag sedang
bertumbuh pesat itu.
Kendatipun kecerdasan remaja telah sampai kepada menuntut agar ajaran
agama yang dia terima itu masuk akal, dapat difahami dan dijelaskan secara
ilmiah dan orisinil, namun perasaan masih memegang peranan penting dalam
sikap dan tindak agama remaja.
Diantara sebab kegoncangan perasaan, yang sering terjadi pada masa remaja
terakhir itu adalah pertentangan dan ketidakserasian yang terdapat dalam
keluarga, sekolah dan masyarakat. Disamping itu, yang juga menggelisahkan
remaja adalah tampaknya perbedaan antara nilai-nilai akhlak yang diajarkan oleh
agama dengan kelakuan orang dalam masyarakat. Terutama yang sangat
menggelisahkan remaja, apabila pertentangan itu terlihat pada orangtua, guru-
gurunya di sekolah, pemimpin-pemimpin dan tokoh-tokoh agama. Banyak lagi
faktor yang menggoncangkan jiwa remaja, seyogyanya guru agama dapat
memahaminya, agar dapat menyelami jiwa remaja itu, lalu membawa mereka
kepada ajaran agama, sehingga ajaran agama yang mereka dapat itu, betul-betul
dapat meredakan kegoncangan jiwa meraka.11
Ciri-ciri Kesadaran beragama Yang Menonjol Pada Masa Remaja antara
lain:12
1.      Pengalaman ketuhanannya semakin bersifat individual
Remaja semakin mengenal dirinya. Ia menemukan dirinya bukan hanya
sekedar badan jasmaniah, tetapi merupakan suatu kehidupan psikologis rohaniah
berupa pribadi. Remaja bersifat kritis terhadap dirinya sendiri dan segala sesuatu
yang menjadi milik pribadinya. Ia menemukan pribadinya terpisah dari pribadi-
pribadi lain dan terpisah pula dari alam sekitarnya.
Penemuan diri pribadinya sebagai sesuatu yang berdiri sendiri menimbulkan
rasa kesepian dan rasa terpisah dari pribadi lainnya. Secara formal dapat
menambah kedalaman alam perasaan, akan tetapi sekaligus menjadi bertambah
labil. Keadaan labil yang menekan menyebabkan si remaja mencari ketentraman

11 Zakiah Darajat, Ilmu Jiwa Agama…, hlm. 117-119.


12 Abdul Aziz, Ahyadi, Psikologi Agama, (Bandung: Sinar Baru Al Gesindo, 1995), hlm.
43-48.

9
dan pegangan hidup. Penghayatan kesepian, perasaan tidak berdaya menjadikan si
remaja berpaling kepada Tuhan sebagai satu-satunya pegangan hidup, pelindung
dan penunjuk jalan dalam goncangan psikologis yang dialaminya.
2.      Keimanannya semakin menuju realitas yang sebenarnya
Terarahnya perhatian ke dunia dalam menimbulkan kecendrungan yang
besar untuk merenungkan, mengkritik, dan menilai diri sendiri. Intropeksi diri ini
dapat menimbulkan kesibukan untuk bertanya-tanya pada orang lain tentang
dirinya mengenai keimanan dan kehidupan agamanya.
Dengan  berkembangnya kemampuan berpikir secara abstrak, si remaja
mampu pula menerima dan memahami ajaran agama yang berhubungan dengan
masalah ghaib, abstrak dan rohaniah, seperti kehidupan alam kubur, hari
kebangkitan dan lain-lain. Penggambaran anthropormofik atau memanusiakan
Tuhan dan sifat-sifatNya lambat laun diganti dengan pemikiran yang lebih sesuai
dengan realitas.
3.      Peribadatan mulai disertai penghayatan yang tulus
Agama adalah pengalaman dan penghayatan dunia dalam seseorang tentang
ketuhanan disertai keimanan dan peribadatan.
Pada masa remaja dimulai pembentukan dan perkembnagan suatu sistem
moral pribadi sejalan dengan pertumbuhan pengalaman keagamaan yang
individual. Melalui kesadaran beragama dan pengalaman keTuhanan akhirnya
remaja akan menemukan Tuhannya yang berarti menemukan kepribadiannya. Ia
pun akan menemukan prinsip dan norma pegangan hidup, hati nurani, serta makna
dan tujuan hidupnya. Kesadaran beragamanya menjadi otonom subjektif dan
mandiri sehingga sikap dan tingkah lakunya merupakan pencerminan keadaan
dunia dalamnya, penampilan keimanan dan kepribadian yang mantap.
D. IMPLIKASI PERKEMBANGAN INDIVIDU DALAM
PEMBELAJARAN PAI
Manusia pada umumnya berkembang sesuai dengan tahapan-tahapannya.
Perkembangan tersebut dimulai sejak masa konsepsi hingga akhir hayat. Ketika
individu memasuki usia sekolah, yakni antara tujuh sampai dengan dua belas
tahun, individu dimaksud sudah dapat disebut sebagai peserta didik yang akan

10
berhubungan dengan proses pembelajaran dalam suatu sistem pendidikan. Cara
pembelajaran yang diharapkan harus sesuai dengan tahapan perkembangan anak,
yakni memilki karakteristik sebagai berikut:
1. Programnya disusun secara fleksibel dan tidak kaku serta
memperhatikan perbedaan individual anak
2. Tidak dilakukan secara monoton, tetapi disajikan secara variatif
melalui banyak aktivitas
3. Melibatkan penggunaan berbagai media dan sumber belajar sehingga
memungkinkan anak terlibat secara penuh dengan menggunakan
berbagai proses perkembangannya.13
Aspek-aspek perkembangan peserta didik yang berimplikasi terhadap
proses pendidikan akan diuraikan seperti dibawah ini :
1. Implikasi Perkembangan Biologis dan Perseptual
Secara fisik, anak usia sekolah dasar memiliki karakteristik tersendiri yang
berbeda dengan kondisi fisik sebelum dan sesudahnya. Karakteristik
perkembangan fisik ini perlu dipelajari dan dipahami karena akan memiliki
implikasi tertentu bagi penyelenggaraan pendidikan. Proses perkembangan
biologis atau perkembangan fisik mencakup perubahan-perubahan dalam tubuh
individu seperti pertumbuhan otak, otot, sistem syaraf, struktur tulang, hormon,
organ-organ dll, termasuk juga didalamnya perubahan dalam kemampuan fisik
seperti perubahan dalam penglihatan, kekuatan otot, dan lain sebagainya. Dan
diperlukan suatu cara pembelajaran yang “hidup” dalam arti memberikan banyak
kesempatan kepada peserta didik untuk memfungsikan unsurunsur fisiknya,
dengan kata lain, diperlukan suatu cara pembelajaran seperti ini tidak saja akan
memunculkan kegemaran belajar, tetapi juga akan memberikan banyak dampak
positif
2. Implikasi Perkembangan Intelektual
Perkembangan intelektual erat kaitannya dengan potensi otak manusia,
potensi otak manusia hanya tampak delapan persen sebagai pikiran sadar,
sedangkan sisanya 92 persen disebut alam bawah sadar. Dari penjelasan tersebut

13 Hasbullah, Dasar-Dasar Ilmu Pendidikan, (Jakarta: Rajawali Pers, 2009), hlm. 57.

11
dapat kita ketahui bahwa potensi otak manusia yang berkaitan dengan
perkembangan intelektual hanya memuat delapan persen saja. Untuk itu,
perkembangan intelektual pada peserta didik perlu dikembangkan. Proses
perkembangan intelektual melibatkan perubahan dalam kemampuan dan pola
berpikir, kemahiran berbahasa, dan cara individu memperoleh pengetahuan dari
lingkungannya. Aktivitas-altivitas seperti mengamati dan mengklasifikasikan
benda-benda, menyatukan beberapa kata menjadi satu kalimat, menghappal doa,
memecahkan soal-soal matematika, dan menceritakan pengalaman kepada orang
lain merupakan proses intelektual dalam perkembangan anak.
3. Implikasi Perkembangan Bahasa
a. Apabila kegiatan pembelajaran yang diciptakan bersifat efektif, maka
perkembangan bahasa peserta didika dapat berjalan secara optimal.
Sebaliknya apabila kegiatan pembelajaran kurang efektif, maka dapat
diprediksi bahwa perkembangan bahasa peserta didik akan mengalami
hambatan.
b. Bahasa adalah alat komunikasi yang paling efektif dalam pergaulan
sosial. Jika ingin menghasilkan pembelajaran yang efektif untuk
mendapatkan hasil pendidikan yang optimal, maka sangat diperlukan
bahasa yang komunikatif dan memungkinkan peserta didik yang
terlibat dalam interaksi pembelajaran dapat berperan secara aktif dan
produktif.
c. Meskipun umumnya anak SD memilki kemampuan potensial yang
berbedabeda, namun pemberian lingkungan yang kondusif bagi
perkembangan bahasa sejak dini sangat diperlukan.14

4. Implikasi Perkembangan Kreatifitas


Secara umum kreativitas dapat diartikan sebagai kemampuan berfikir dan
bersikap tentang sesuatu dengan cara yang baru dan tidak biasa guna
menghasilkan penyelesaian yang unik terhadap persoalan. Kreatifitas merupakan
suatu aktivitas otak yang terorganisasikan, komprehensif, imajinatif tinggi untuk

14 Hasbullah, Dasar-Dasar Ilmu Pendidikan…, hlm. 63.

12
menghasilkan sesuatu yang orisinil. Oleh karena itu, kreatifitas lebih dikatakan
sebagai suatu yang lebih inovatif dari pada reproduktif.
5. Implikasi Perkembangan Sosial
Manusia menurut pembawaannya adalah makhluk sosial, sejak dilahirkan,
bayi sudah termasuk ke dalam masyarakat kecil yang disebut keluarga. Ketika
kecil, mulanya anak-anak hanya mempunyai hak saja, didalam rumah tangga ia
mempunyai hak untuk dipelihara dan dilindungi oleh orang tuanya, namun lama-
kelamaan keadaanitu berubah. Anak-anak yang pada mulnya hanya mempunyai
hak saja, berangsur-angsur mempunyai kewajiban. Lingkungan sosial merupakan
pengaruh luar yang datang dari orang lain. Selain itu, yang termasuk lingkungan
sosial ialah pendidikan. Yang dimaksud dengan pendidikan adalah pengaruh-
pengaruh yang disengaja dari anggota berbagai golongan tertentu, seperti
pengaruh ayah, nenek, paman, dan guru-guru. Perkembangan sosial merupakan
proses belajar untuk menyesuaikan diri terhadap norma-norma kelompok, moral,
tradisi atau meleburkan diri menjadi satu kesatuan yang saling berkomunikasi dan
bekerja sama.
6. Implikasi Perkembangan Emosional
Emosi merupakan keadaan pada diri seseorang yang disertai warna efektif,
baik pada tingkat lemah maupun pada tingkat yang luas. Contoh tentang
perngaruh pengaruh emosi terhadap perilaku individu dalam pembelajaran,
diantaranya adalah:
a. Memperkuat dan melemahkan semangat apabila timbul rasa senang
atau kecewa atas hasil belajar yang dicapai
b. Menghambat konsentrasi belajar apabila sedang mengalami
ketegangan emosi
c. Menggangu penyesuaian sosial apabila terjadi rasa cemburu dan iri
hati
d. Suasana emosional yang dialami individu semasa kecilnya akan
mempengaruhi sikapnya dikemudian hari
7. Implikasi Perkembangan Moral

13
Moral bukan hanya memilki arti bertingkah laku sopan santun, bertindak
dengan lemah lembut, dan berbakti kepada orang tua saja, melainkan lebih luas
lagi dari itu. Selalu berkata jujur, bertindak konsekuen, bertanggung jawab, cinta
bangsa dan sesama manusia, mengabdi kepada rakyatdan negara, berkemauan
keras, berperasaan halus, dan sebagainya, termasuk pula kedalam moral yang
perlu dikembangkan dan ditanamkan dalam hati sanubari anak-anak.
Perkembangan moral anak dapat berlangsung yaitu melalui penanaman pengertian
tentang tingkah laku yang benar-salah atau baik-buruk oleh orang tua dan
gurunya.
8. Implikasi Perkembangan Spritual
Anak-anak sebenarnya telah memilki dasar-dasar kemampuan spritual
yang dibawanya sejak lahir. Untuk mengembangkan kemampuan ini, pendidikan
mempunyai peranan yang sangat penting. Oleh karena itu, untuk melahirkan
manusia yang ber-SQ tinggi dibutuhkan pendidikan yang tidak hanya berorientasi
pada perkembangan aspek IQ dan SQ saja. Kecerdasan spiritual adalah
kecerdasan untuk menghadapi dan memecahkan persoalan makna dan nilai, yang
menempatkan perilaku dan hidup manusia dalam konteks makna yang lebih luas
dan kaya.15

E. PENUTUP
Berdasarkan penjelasan di dalam makalah ini dapat diambil kesimpulan
bahwa rasa keagamaan yang terdapat dalam diri anak bersifat instinktif (fitri),
sebagaimana dalam aspek-aspek psikis yang lainnya. Meskipun seorang anak
terlahir dalam keadaan fitrah, peran orang tua sangat pengaruh dalam
perkembangan agama pada anak. Orang tualah yang menentukan jenis pendidikan
agama apa yang diberikan kepada anaknya. Bagi orang tua yang tidak
memperdulikan agama namun mengharapkan anaknya akan memperoleh dasar
keyakinan agama yang baik, hal itu tidak memungkinkan.
Kehidupan remaja merupakan salah satu fase perkembangan dari diri
manusia. Fase ini adalah masa transisi dari masa kanak-kanak dalam menggapai

15 Hasbullah, Dasar-Dasar Ilmu Pendidikan,…, hlm. 71-72.

14
kedewasaan. Disebut masa transisi karena terjadi saling pengaruh antara aspek
jiwa dengan aspek yang lain, yang kesumuanya akan mempengaruhi keadaan
kehidupan remaja
Perkembangan psikologi remaja dikelompokkan menjadi tiga masa
yaitu; Masa Pra Pubertas (Usia 12-14 Tahun), Masa Pubertas (Usia 14-18
Tahun), Masa Adoleson (Usia 18-21 Tahun).
Adanya keterkaitan antara belajar dan perkembangan sehingga terjadilah
implikasi prinsip perkembangan terhadap pendidikan, diantaranya implikasi
terhadap perkembangan biologis dan perseptual, perkembangan intelektual,
perkembangan bahasa, perkembangan kreatifitas, perkembangan sosial,
perkembangan emosional, perkembangan moral dan perkembangan spritual.
Dengan demikian, dengan adanya ciri-ciri perkembangan yang diatur dalam
prinsip perkembangan tersebut, maka selaku kepala sekolah atau guru haruslah
menyesuaikan program pembelajaran berdasarkan tahapan perkembangan peserta
didik.

F. DAFTAR PUSTAKA
Abdul Aziz, Ahyadi, Psikologi Agama, Bandung: Sinar Baru Al Gesindo, 1995
Hasbullah, Dasar-Dasar Ilmu Pendidikan, Jakarta: Rajawali Pers, 2009
Jalaluddin, Psikologi Agama, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1996
M. Hafi Anshari, Dasar-Dasar Ilmu Jiwa Agama, Surabaya: Usaha Nasional,
1991
Robbert W. Crapps, Perkembangan Kepribadian dan Keagamaan, Yogyakarta:
Kanisius, 1994.
Syamsu, Yusuf LN, Psikologi Perkembangan Anak &Remaja, Bandung: Remaja
Rosdakarya, 2011.
Zakiah Darajat, Ilmu Jiwa Agama, Jakarta: Bulan Bintang, 1996.

15

Anda mungkin juga menyukai