Anda di halaman 1dari 33

REFERAT

HEPATITIS B

Disusun oleh :

Rina Wulandari (2015730112)

Pembimbing :

dr. Rusmaniah, Sp.OG

KEPANITERAAN KLINIK
BAGIAN OBSTETRI DAN GINEKOLOGI
RUMAH SAKIT ISLAM JAKARTA SUKAPURA
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA
2019
KATA PENGANTAR

Puji serta syukur kami panjatkan Kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas
berkat dan hidayah-Nya sehingga laporan referat ini dapat penulis selesaikan.
Pada laporan referat ini menyajikan topik mengenai Infeksi dalam Kehamilan
yaitu Hepatitis B. Adapun tujuan penulisan laporan referat ini adalah untuk
memenuhi tugas kepaniteraan klinik stase kebidanan dan kandungan di RSIJ
Sukapura.
Pada kesempatan ini, saya ingin menyampaikan terima kasih kepada
pembimbing penulis, yaitu dr. Rusmaniah, Sp. OG. Besar harapan penulis
melalui laporan ini, pengetahuan dan pemahaman penulis semakin bertambah.
Penulis menyadari bahwa penulisan laporan ini masih belum sempurna,
baik dari segi materi maupun tata cara penulisannya. Oleh karena itu, dengan
segala kerendahan hati penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun
demi perbaikan laporan referat ini. Atas bantuan dan segala dukungan dari
bebagai pihak, penulis ucapkan terima kasih.

Jakarta, Oktober 2019

Rina Wulandari

i
DAFTAR ISI

REFERAT HEPATITIS B
KATA PENGANTAR.............................................................................................i
DAFTAR ISI..........................................................................................................ii
BAB I.......................................................................................................................1
PENDAHULUAN..................................................................................................1
1.1 LATAR BELAKANG...............................................................................1
BAB II.....................................................................................................................3
TINJAUAN PUSTAKA.........................................................................................3
2.1 PENGERTIAN INFEKSI HEPATITIS B.................................................3
2.2 EPIDEMIOLOGI INFEKSI HEPATITIS B.............................................3
2.3 ETIOLOGI HEPATITIS B.......................................................................4
2.4 FAKTOR RISIKO HEPATITIS B............................................................5
2.5 PENULARAN HEPATITIS B..................................................................5
2.6 PATOGENESIS HEPATITIS B...............................................................9
2.7 MANIFESTASI KLINIS INFEKSI VHB...............................................10
2.8 DIAGNOSIS HEPATITIS B..................................................................12
2.9 PENCEGAHAN INFEKSI VHB............................................................17
2.10 KOMPLIKASI HEPATITIS B...............................................................23
2.11 PENATALAKSANAAN........................................................................24
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................29

ii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Sekitar sepertiga penduduk bumi atau 2 milyar orang telah


terinfeksi virus hepatitis B. Hepatitis B telah menjadi masalah kesehatan
global yang menyebabkan sekitar 240 juta orang menjadi penderita
hepatitis B kronis. Tercatat 780.000 orang meninggal setiap tahun karena
terinfeksi oleh penyakit ini. Indonesia merupakan negara dengan
endemisitas tinggi Hepatitis B terbesar kedua di antara negara-negara Asia
Tenggara setelah Myanmar. Berdasarkan hasil RISKESDAS, diperkirakan
di antara 100 orang Indonesia, 10 diantaranya telah terinfeksi Hepatitis B
dan C, 14 juta di antaranya berpotensi menjadi kronis, dan dari yang kronis
tersebut 1,4 juta di antaranya berpotensi untuk menderita kanker hati.
Berdasarkan data kementerian kesehatan pada tahun 2016, prevalesi
Hepatitis B antigen (HBsAg) reaktif pada ibu hamil di 12 provinsi di
Indonesia rata-rata 2,76%. Jika setiap tahun sekitar 5,3 juta ibu dengan
HBsAg reaktif, maka diperkirakan hamper 150.000 bayi setiap tahun yang
95% akan berpotensi mengalami hepatitis kronis (sirosis atau kanker hati)
pada 30 tahun ke depan, bila tidak diproteksi oleh imunoprofilaksis
Hepatitis B.
Sekalipun program vaksinasi Hepatitis B pada bayi baru lahir telah
diimplementasikan secara nasional sejak tahun 1997, masih didapatkan
prevalensi HBsAg pada anak umur 1-4 tahun sebesar 7,32% menurut
RISKESDAS 2007. Hal ini membuktikan bahwa sekalipun program
vaksinasi nasional telah berlangsung selama 10 tahun, infeksi virus
Hepatitis B pada awal kehidupan masih terus berlangsung. Salah satu
penyebab utama bertahannya endemisitas Hepatitis B ini adalah karena

1
penularan yang terjadi dari ibu kepada bayi. Oleh karena itu, diperlukan
upaya untuk mengkonfirmasi penyakit tersebut pada ibu hamil dan
pemberian penanganan yang tepat untuk mencegah terjadinya kesalahan
diagnosis dan terapi yang tidak adekuat.

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 PENGERTIAN INFEKSI HEPATITIS B

Infeksi Hepatitis B merupakan penyakit yang disebabkan oleh


virus Hepatitis B (VHB), enveloped DNA virus yang dapat menginfeksi
hati menyebabkan inflamasi dan nekrosis sel-sel hati. Pajanan dengan
virus ini akan menyebabkan dua luaran klinis, yaitu Hepatitis Akut yang
kemudian sembuh secara spontan dan membentuk kekebalan terhadap
penyakit ini atau Hepatitis yang berkembang menjadi kronik dan dapat
berlangsung asimtomatis, simtomatis, atau merupakan penyakit progresif.
Infeksi akut sering terjadi secara subklinis dan an-ikterik. Ketika muncul
secara klinis, akan terjadi mual muntah, sakit kepala, dan lemah, yang
akan diikuti dengan jaundice selama 1 sampai 2 minggu kemudian.
Sejalannya dengan berkembangnya jaundice, gejala biasanya akan
membaik.

2.2 EPIDEMIOLOGI INFEKSI HEPATITIS B

Di seluruh dunia saat ini diperkirakan terdapat 400-500 juta


pengidap Hepatitis B . Sekitar 80% pengidap tersebut terdapat di Asia di
mana diperkirakan 25% akan meninggal karena penyakit hati kronik,
terutama karena Sirosis Hati (SH) dan Kanker Hati Primer (KHP).
Prevalensi pengidap Hepatitis B berbeda menurut negara dan pada satu
negara juga berbeda dari suatu daerah dengan daerah lainnya. Prevalensi
VHB terendah di Amerika Utara dan Eropa Barat yaitu 0,5% dan tertinggi
di Asia Afrika sebesar 10-20%.
Tingginya prevalensi VHB dipengaruhi oleh berbagai faktor antara
lain, faktor geografik, dimana umumnya prevalensi VHB lebih tinggi di

3
daerah tropis dibandingkan dengan di daerah beriklim sedang dan lebih
tinggi pada penduduk di daerah urban dibandingkan dengan penduduk di
daerah rural.
Di Indonesia prevalensi pengidap VHB bervariasi di tiap daerah
atau pulau dan berkisar antara 3-20%, sedangkan dari donor darah di
seluruh Indonesia didapatkan prevalensi berkisar antara 3-17%.
Prevalensi pengidap VHB pada ibu hamil di Negara Asia
prevalensi HBsAg-nya berkisar antara 1,7-17% dengan proporsi HBeAg 8-
64%, di Asia tengah dan Afrika HBsAg 3-11% dan HBeAg 8-19%,
sedangkan di Eropa Selatan HBsAg berkisar antara 1-3% dengan HBeAg
4-5%.

2.3 ETIOLOGI HEPATITIS B

Virus Hepatitis B adalah virus (Deoxyribo Nucleic Acid) DNA


terkecil berasal dari genus Orthohepadna virus family Hepadnaviridae
berdiameter 40-42 nm. Masa inkubasi berkisar antara 15-180 hari dengan
rata-rata 60-90 hari. Bagian luar dari virus ini adalah protein envelope
lipoprotein, sedangkan bagian dalam berupa nukleokapsid atau core
Genom VHB yang merupakan molekul DNA sirkular untai-ganda parsial
dengan 3200 nukleotida. Genom berbentuk sirkuler dan memiliki empat
Open Reading Frame (ORF) yang saling tumpang tindih secara parsial
protein envelope yang dikenal sebagai selubung HBsAg seperti large HBs
(LHBs), medium HBs (MHBs), dan small HBs (SHBs) disebut gen S,
yang merupakan target utama respon imun host, dengan lokasi utama pada
asam amino 100-160. HBsAg dapat mengandung satu dari sejumlah
subtipe antigen spesifik, disebut d atau y, w atau r. Subtipe HBsAg ini
menyediakan penanda epidemiologik tambahan. Gen C yang mengkode
protein inti (HBcAg) dan HBeAg, gen P yang mengkode enzim polimerase
yang digunakan untuk replikasi virus, dan terakhir gen X yang mengkode
protein X (HBx), yang memodulasi sinyal sel host secara langsung dan

4
tidak langsung mempengaruhi ekspresi gen virus ataupun host, dan
belakangan ini diketahui berkaitan dengan terjadinya kanker hati.

2.4 FAKTOR RISIKO HEPATITIS B

Beberapa faktor meningkatkan risiko penularan perinatal, seperti


HBeAg ibu, viral load VHB tinggi, virus yang resisten, genotype VHB,
dan tidak lengkap atau tidaknya imunoprofilaksis. Kadang DNA VHB
(viral load) adalah faktor risiko tunggal terkuat yang mendorong transmisi
perinatal. Bahkan setelah disesuaikan untuk beberapa faktor lain, viral load
ibu tetap merupakan prediktor terkuat transmisi perinatal pada rasio odds
yang disesuaikan sebesar untuk setiap peningkatan copies/ml pada viral
load VHB ibu. Laju yang dilaporkan pada penularan perinatal adalah 0%
pada viral load ibu <106 (200.000 IU/ mL), 3,2% untuk 106-6,99 copies / mL
(105-106 IU/ mL), 6,6% untuk 107 IU/ mL) dan 27,7% untuk 109. Penularan
antepartum jarang dilaporkan, tetapi mungkin terjadi pada perdarahan
antepartum, solusio plasenta atau ancaman persalinan prematur. Transmisi
perinatal juga telah dikaitkan dengan amniosentesis jika DNA VHB ibu
lebih dari 107 copies. Mekanisme untuk transmisi VHB in-utero tidak
diketahui, tetapi VHB ditemukan pada sel-sel endotel kapiler vili dan
trofoblast plasenta, mendukung hipotesis bahwa infeksi dapat menembus
barier plasenta, yang merupakan mekanisme terjadinya infeksi intra-uterin.

2.5 PENULARAN HEPATITIS B

Virus hepatitis B sangat menular, menjadi 100 kali lebih menular


daripada HIV setelah paparan jarum suntik. Risiko penularan VHB dari
cidera jarum suntik berkisar abtara 1% hingga 6% (pasien HBsAg-positif,
HBeAg-negatif) 22% sampai 40% (pasien HBsAg-positif, HBeAg positif).
VHB ditularkan melalui perkutan (tusukan melalui kulit) atau paparan

5
membran mukosa pada darah yang terinfeksi dan pada tingkat yang lebih
rendah, serta ke cairan tubuh lainnya, VHB juga dapat bertahan hingga
tujuh hari pada permukaan lingkungan. Transmisi vertikal (ibu ke anak)
adalah rute penularan VHB yang paling umum, tetapi juga dapat
ditularkan melalui hubungan seks dengan pasangan yang terinfeksi,
penggunaan narkoba suntikan, kontak dengan darah atau luka terbuka dari
orang yang terinfeksi, jarum suntuk atau terpapar instrumen tajam, dan
berbagai barang-barang pribadi seperti pisau cukur atau sikat gigi dengan
orang yang terinfeksi hepatitis B tidak melalui makanan atau air, berbagi
peralatan makan, menyusui, memeluk, mencium, memegang tangan, batuk
atau bersin.

2.5.1. Implikasi Infeksi VHB Pada Bayi Dan Anak

Risiko untuk menderita hepatitis B kronik bervariasi


berbanding terbalik dengan usia saat infeksi itu terjadi; 90% bayi
akan menjadi penderita Hepatitits B kronis pada masa dewasanya,
bila mendapatkan infeksi pada masa perinatal, dibandingkan
dengan 30-50% bila mendapatkan pada masa balita, 6% bila
mendapatkan pada masa anak di atas usia lima tahun, dan 3-10%
individu yang mendapatkan infeksi saat dewasa muda.
Ketidakmatangan fisiologis dari sistem imun pada neonatus dapat
menyebabkan anak-anak menjadi immune tolerant terhadap virus,
dan berkontribusi terhadap tingginya tingkat penyakit kronis yang
terkait dengan infeksi perinatal. Selain tingkat DNA VHB ibu,
status Hepatitis B e antigen (HBeAg) positif ibu hamil merupakan
faktor penting dalam menentukan kronisitas pada anak-anak.

1. Transmisi Vertikal dari Ibu ke Bayi

6
Transmisi perinatal tetap merupakan bentuk
penularan hepatitis B yang paling umum di seluruh dunia, dan
meskipun ada ketersediaan PEP (post-exposure prophylaxis)
neonatal, hampir 70% kelahiran global tetap berisiko terinfeksi
hepatitis B. Transmisi perinatal dapat terjadi in-utero atau
melalui proses persalinan. Meskipun mekanisme pasti dari
masing-masing mode penularan ini tidak diketahui, sebagian
besar penularan perinatal terjadi terutama pada atau setelah
kelahiran berdasarkan efikasi proteksi tinggi dari PEP
neonatal. Dengan tidak adanya PEP, penularan perinatal terjadi
pada > 90% persalinan di mana ibu adalah HBeAg positif, dan
15% persalinan jika ibunya HBeAg negatif. Kombinasi
imunisasi HBIG dan vaksin HB yang diberikan dalam waktu
12 jam sejak lahir telah secara efektif mengurangi tingkat
penularan perinatal dari >90% menjadi <10%. Meskipun PEP
neonatal yang sesuai, penularan perinatal masih terjadi pada
sekitar 2% bayi. Sebagian besar kasus ini terjadi pada wanita
HBeAg-positif dengan viral load yang sangat tinggi, umumnya
> 200.000 IU/ mL (> 106copies / mL).

2. Rute Transmisi Vertikal

Transmisi perinatal dapat terjadi secara vertikal


(transmisi intrauterin, transmisi selama persalinan, dan
transmisi pasca-melahirkan).
1) Transmisi intrauterin: Transmisi selama kehamilan juga
disebut sebagai transmisi intrauterin, yang secara praktis
dimaksudkan sebagai deteksi HBsAg atau DNA VHB
pada darah vena perifer atau darah tali pusat neonatal.
Beberapa mekanisme infeksi intrauterin termasuk sebagai
berikut:
a. Eksudasi plasenta dan transudasi : Kontraksi otot
uterus pada kejadian abortus iminens atau ancaman

7
persalinan preterm dapat menyebabkan laserasi minor
pada plasenta, menyebabkan kebocoran darah ibu di
seluruh plasenta masuk ke dalam sirkulasi janin yang
mengakibatkan infeksi intrauterin pada janin.
b. Infeksi plasenta: VHB dapat menginfeksi semua jenis
sel plasenta pada kedua sisi maternal dan fetal. VHB
dapat menginfeksi endotel membran desidua dan /
atau lal intervilius yang kemudian menginfeksi
endotel kapiler vili chorialis, yang kemudian
menyebabkan infeksi intrauterin pada janin. Penetrasi
barier plasental oleh VHB terjai terutama pada
kehamilan lanjut karena lapisan trophocyte yang lebih
tipis pada masa ini.
c. Darah perifer leukosit (Peripheral Blood Leukocyte,
PBL), khususnya darah monosit yang terinfeksi: PBL
mengandung DNA VHB dan antigen VHB pada
kehamilan normal atau patologis. PBL ini dapat
melewati sawar plasenta dan menginfeksi janin.
d. Infeksi vertikal genetik : infeksi VHB pada janin dari
oosit ibu yang terinfeksi VHB atau sperma ayah.
e. Infeksi asenderen dari vaginal discharge ibu ke dalam
uterus
2) Transmisi Intrapartum
Hal ini berhubungan dengan lamanya kala persalinan yang
berlangsung lebih dari 9 jam. Terjadi terutama karena bayi
lama terpapar cairan ketuban ibu yang mengandung VHB
ketika melewati jalan lahir. Kebocoran plasenta parsial
dan trauma karena kontraksi uterus atau instrumentasi
selama persalinan berkontribusi pada transmisi dari ibu ke
bayi. Penularan selama persalinan adalah rute utama
infeksi VHB pencampuran darah janin dan ibu
(mikrotransfusion).

8
3) Transmisi postpartum
Transmisi pada saat postpartum mengacu pada infeksi
pada Hepatitis B yang terjadi pasca persalinan melalui
paparan cairan tubuh, air susu ibu, dan kontak intim
lainnya dalam kehidupan sehari hari setelah persalinan.
Namun, transmisi postpartum melalui ASI masih
kontroversial. Sekalipun HBsAg terdeteksi pada sampel
ASI dan mempunyai kemungkinan ditularkan jika ibu
mengalami abrasi pada puting. Namun, data yang
dipublikasikan tidak mendukung risiko penularan melalui
rute ini.

2.6 PATOGENESIS HEPATITIS B

Infeksi VHB berlangsung dalam dua fase. Selama fase proliferatif,


DNA VHB terdapat dalam bentuk episomal, dengan pembentukan virion
lengkap dan semua antigen terkait. Ekspresi gen HBsAg dan HBcAg di
permukaan sel disertai dengan molekul MHC kelas I menyebabkan
pengaktifan limfosit TCD8+ sitotoksik. Selama fase integratif, DNA virus
menyatu ke dalam genom pejamu. Seiring dengan berhentinya replikasi
virus dan munculnya antibodi virus, infektivitas berhenti dan kerusakan
hati mereda. Namun risiko terjadinya karsinoma hepatoselular menetap.
Hal ini sebagian disebabkan oleh disregulasi pertumbuhan yang
diperantarai protein XVHB. Kerusakan hepatosit terjadi akibat kerusakan
sel yang terinfeksi virus oleh sel sitotoksik CD8+.
Proses replikasi VHB berlangsung cepat, sekitar 1010-1012 virion
dihasilkan setiap hari. Siklus hidup VHB dimulai dengan menempelnya
virion pada reseptor di permukaan sel hati. Setelah terjadi fusi membran,
partikel core kemudian ditransfer ke sitosol dan selanjutnya dilepaskan
kedalam nucleus (genom release), selanjutnya DNA VHB yang masuk ke
dalam nukleus mula-mula berupa untai DNA yang tidak sama panjang
yang kemudian akan terjadi proses DNA repair berupa memanjangnya

9
rantai DNA yang pendek sehingga menjadi dua untai DNA yang sama
panjang atau covalently closed circle DNA (cccDNA). Proses selanjutnya
adalah transkripsi cccDNA menjadi pre-genom RNA dan beberapa
messenger RNA(mRNA) yaitu mRNALHBs, MHBs, dan mRNA SHBs.
Semua RNA VHB kemudian ditransfer ke sitoplasma dimana
proses translasi menghasilkan protein envelope, core, polimerase,
polipeptida X dan pre-C, sedangkan translasi mRNA LHBs, MHBs, dan
mRNA SHBs akan menghasilkan protein LHBs, MHBs, dan SHBs. Proses
selanjutnya adalah pembuatan nukleokapsid di sitosol yang melibatkan
proses encapsidationya itu penggabungan molekul RNA ke dalam HBsAg.
Prosesreverse transcription dimulai, DNA virus dibentuk kembali dari
molekul RNA. Beberapa core yang mengandung genom matang ditransfer
kembali ke nukleus yang dapat dikonversi kembali menjadi cccDNA untuk
mempertahankan cadangan template transkripsi intranukleus. Akan tetapi,
sebagian dari protein core ini bergabung ke kompleks golgi yang
membawa protein envelope virus. Protein core memperoleh envelope
lipoprotein yang mengandung antigen surface L, M, dan S, yang
selanjutnya ditransfer ke luar sel.

2.7 MANIFESTASI KLINIS INFEKSI VHB

Manifestasi klinis infeksi VHB pada pasien hepatitis akut


cenderung ringan. Kondisi asimtomatis ini terbukti dari tingginya angka
pengidap tanpa adanya riwayat hepatitis akut. Apabila menimbulkan gejala
hepatitis, gejalanya menyerupai hepatitis virus yang lain tetapi dengan
intensitas yang lebih berat.
Gejala hepatitis akut terbagi dalam 4 tahap yaitu :

1. Fase Inkubasi
Merupakan waktu antara masuknya virus dan timbulnya
gejala atau ikterus. Fase inkubasi Hepatitis B berkisar antara 15-180
hari dengan rata- rata 60-90 hari.

10
2. Fase Prodromal (Pra-Ikterus).
Fase diantara timbulnya keluhan-keluhan pertama dan
timbulnya gejala ikterus. Awitannya singkat atau insidous ditandai
dengan malaise umum, mialgia, artalgia, mudah lelah, gejala saluran
napas atas dan anoreksia. Diare atau konstipasi dapat terjadi. Nyeri
abdomen biasanya ringan dan menetap di kuadran kanan atas atau
epigastrum, kadang diperberat dengan aktivitas akan tetapi jarang
menimbulkan kolestitis.

. Fase Ikterus
Ikterus muncul setelah 5-10 hari, tetapi dapat juga muncul
bersamaan dengan munculnya gejala. Banyak kasus pada fase ikterus
tidak terdeteksi. Setelah timbul ikterus jarang terjadi perburukan
gejala prodromal, tetapi justru akan terjadi perbaikan klinis yang
nyata.

4. Fase Konvalesen (Penyembuhan)


Diawali dengan menghilangnya ikterus dan keluhan lain,
tetapi hepatomegali dan abnormalitas fungsi hati tetap ada. Muncul
perasaan sudah lebih sehat dan kembalinya nafsu makan. Sekitar 5-
10% kasus perjalanan klinisnya mungkin lebih sulit ditangani, hanya
<1% yang menjadi fulminan. Hepatitis B kronis didefinisikan sebagai
peradangan hati yang berlanjut lebih dari enam bulan sejak timbul
keluhan dan gejala penyakit. Perjalanan hepatitis B kronik dibagi
menjadi tiga fase penting yaitu :
1) Fase Imunotoleransi
Sistem imun tubuh toleren terhadap VHB sehingga konsentrasi
virus tinggi dalam darah, tetapi tidak terjadi peradangan hati
yang berarti. Virus Hepatitis B berada dalam fase replikatif
dengan titer HBsAg yang sangat tinggi.
2) Fase Imunoaktif (Clearance)

11
Sekitar 30% individu persisten dengan VHB akibat terjadinya
replikasi virus yang berkepanjangan, terjadi proses
nekroinflamasi yang tampak dari kenaikan konsentrasi ALT.
Fase clearance menandakan pasien sudah mulai kehilangan
toleransi imun terhadap VHB.
3) Fase Residual
Tubuh berusaha menghancurkan virus dan menimbulkan
pecahnya sel-sel hati yang terinfeksi VHB. Sekitar 70% dari
individu tersebut akhirnya dapat menghilangkan sebagian
besar partikel virus tanpa ada kerusakan sel hati yang berarti.
Fase residual ditandai dengan titer HBsAg rendah, HBeAg
yang menjadi negatif dan anti-HBe yang menjadi positif, serta
konsentrasi ALT normal.

2.8 DIAGNOSIS HEPATITIS B

Diagnosis ditegakkan dengan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan


pemeriksaan penunjang. Anamnesis umumnya tanpa keluhan, perlu digali
riwayat transmisi seperti pernah transfusi, seks bebas, riwayat sakit kuning
sebelumnya. Pemeriksaan fisik didapatkan hepatomegali. Pemeriksaan
penunjang terdiri dari pemeriksaan laboratorium, USG abdomen dan
Biopsi hepar. Pemeriksaan laboratorium pada VHB terdiri dari
pemeriksaan biokimia, serologis, dan molekuler. Pemeriksaan USG
abdomen tampak gambaran hepatitis kronis, selanjutnya pada biopsi hepar
dapat menunjukkan gambaran peradangan dan fibrosis hati.

Pemeriksaan laboratorium pada VHB terdiri dari :

1. Pemeriksaan Biokimia

Stadium akut VHB ditandai dengan AST dan ALT


meningkat >10 kali nilai normal, serum bilirubin normal atau hanya
meningkat sedikit, peningkatan Alkali Fosfatase (ALP) >3 kali nilai

12
normal, dan kadar albumin serta kolesterol dapat mengalami penurunan.
Stadium kronik VHB ditandai dengan AST dan ALT kembali menurun
hingga 2-10 kali nilai normal dan kadar albumin rendah tetapi kadar
globulin meningkat.

2. Pemeriksaan Serologis

Indikator serologi awal dari VHB akut dan kunci diagnosis


penanda infeksi VHB kronik adalah HBsAg, dimana infeksi bertahan di
serum >6 bulan. Pemeriksaan HBsAg berhubungan dengan selubung
permukaan virus. Sekitar 5-10% pasien, HBsAg menetap di dalam
darah yang menandakan terjadinya hepatitis kronis atau carrier. Setelah
HBsAg menghilang, anti-HBs terdeteksi dalam serum pasien dan
terdeteksi sampai waktu yang tidak terbatas sesudahnya. Karena
terdapat variasi dalam waktu timbulnya anti-HBs, kadang terdapat suatu
tenggang waktu (window period) beberapa minggu atau lebih yang
memisahkan hilangnya HBsAg dan timbulnya anti-HBs. Selama
periode tersebut, anti- HBc dapat menjadi bukti serologik pada infeksi
VHB.
Hepatitis B core antigen dapat ditemukan pada sel hati
yang terinfeksi, tetapi tidak terdeteksi di dalam serum. Hal tersebut
dikarenakan HBcAg terpencil di dalam mantel HBsAg. Penanda Anti-
HBc dengan cepat terlihat dalam serum, dimulai dalam 1 hingga 2
minggu pertama timbulnya HBsAg dan mendahului terdeteksinya kadar
anti-HBs dalam beberapa minggu hingga beberapa bulan.
Penanda serologik lain adalah anti-HBc, antibodi ini timbul
saat terjadinya gejala klinis. Saat infeksi akut, anti HBc IgM umumnya
muncul 2 minggu setelah HBsAg terdeteksi dan akan menetap ± 6
bulan. Pemeriksaan anti- HBc IgM penting untuk diagnosis infeksi akut
terutama bila HBsAg tidak terdeteksi (window period). Penanda anti-
HBc IgM menghilang, anti-HBc IgG muncul dan akan menetap dalam
jangka waktu lama.

13
Hepatitis B envelope antigen merupakan peptida yang
berasal dari core virus, ditemukan hanya pada serum dengan HBsAg
positif. Penanda HBeAg timbul bersamaan dengan dihasilkannya DNA
polimerase virus sehingga lebih menunjukkan terjadinya replikasi virus
dan jika menetap kemungkinan akan menjadi penyakit hati kronis.

Tes-tes yang sangat sensitif telah banyak dikembangkan


secara luas untuk menegakkan diagnosis Hepatitis B dalam kasus-kasus
ringan, sub klinis atau yang menetap. Beberapa metode yang digunakan
untuk mendiagnosis hepatitis adalah Immunochromatography (ICT),
ELISA, EIA, dan PCR. Metode EIA dan PCR tergolong mahal dan hanya
tersedia pada laboratorium yang memiliki peralatan lengkap. Peralatan
rapid diagnostic ICT adalah pilihan yang tepat digunakan karena lebih
murah dan tidak memerlukan peralatan kompleks. Diagnostik dengan
rapid test merupakan alternatif untuk enzym immunoassays dan alat
untuk skrining skala besar dalam diagnosis infeksi VHB, khususnya di
tempat yang tidak terdapat akses pemeriksaan serologi dan molekuler
secara mudah.
Pemeriksaan HBsAg (cassette) adalah pemeriksaan rapid
chromatographic secara kualitatif untuk mendeteksi HBsAg pada
serumatau plasma. Pemeriksaan HBsAg diaspot adalah pemeriksaan

14
kromatografi yang dilakukan berdasarkan prinsip double antibody-
sandwich. Membran dilapisi oleh anti-HBs pada bagian test line. Selama
tes dilakukan, HBsAg pada spesimen serum atau plasma bereaksi dengan
partikel anti-HBs. Campuran tersebut berpindah ke membran secara
kromatografi oleh mekanisme kapiler yang bereaksi dengan anti-HBs
pada membran dan terbaca di colored line. Adanya colored line
menandakan bahwa hasilnya positif, jika tidak ada colored line
menandakan hasil negative.

Penanda HBsAg telah digunakan sebagai penanda


diagnostik kualitatif untuk infeksi virus Hepatitis B. Seiring dengan
kemajuan perkembangan, terdapat pemeriksaan HBsAg kuantitatif untuk
memonitor replikasi virus. Pemeriksaan HBsAg kuantitatif adalah alat
klinis yang dibutuhkan untuk akurasi, mudah, terstandarisasi, dan secara
luas tersedia untuk memastikan perbedaan yang ditemukan pada
pemeriksaan laboratorium. Salah satu pemeriksaan yang telah
dikembangkan untuk penilaian HBsAg kuantitatif adalah pemeriksaan
HBsAg Architect (Abbott Diagnostics). Pemeriksaan HBsAg Architect
memiliki jarak linear dari 0,05-250 IU/mL.
Pemeriksaan HBsAg kuantitatif dilakukan dengan
pemeriksaan HBsAg Architect berdasarkan metode CMIA. Metode
CMIA adalah generasi terbaru setelah ELISA dengan kemampuan
deteksi yang lebih sensitif.
Pemeriksaan HBsAg kuantitatif Architect memiliki dua
langkah dalam pemeriksaan. Langkah pertama, sampel dan mikropartikel

15
paragmanetik dilapisi anti-HBs dikombinasikan. Keberadaan HBsAg
pada sampel akan berikatan dengan mikropartikel yang dilapisi anti-HBs.
Proses selanjutnya adalah washing, kemudian acridinium-labeled anti-
HBs conjugate ditambahkan pada langkah kedua. Setelah proses washing
kembali, larutan pre-trigger dan trigger ditambahkan ke dalam campuran
Larutan pre- trigger mengandung 1, 32% hydrogen peroksida, sedangkan
larutan trigger mengandung 0,35 mol/L natrium hidroksida.
Interpretasi hasil dari pemeriksaan HBsAg kuantitatif Architect
adalah nonreaktif jika spesimen dengan nilai konsentrasi <0,05 IU/mL
dan reaktif jika spesimen dengan nilai konsentrasi >0,05 IU/mL. Sampel
nonreaktif menandakan negatif untuk HBsAg dan tidak membutuhkan tes
selanjutnya.

3. Pemeriksaan Molekuler

Pemeriksaan molekuler menjadi standar pendekatan secara


laboratorium untuk deteksi dan pengukuran DNA VHB dalam serum atau
plasma. Pengukuran kadar secara rutin bertujuan untuk mengidentifikasi
carrier, menentukan prognosis, dan monitoring efikasi pengobatan
antiviral. Metode pemeriksaannya antara lain :
1) Radioimmunoassay (RIA) mempunyai keterbatasan karena waktu
paruh pendek dan diperlukan penanganan khusus dalam prosedur
kerja dan limbahnya.
2) Hybrid Capture Chemiluminescence (HCC) merupakan teknik
hibridisasi yang lebih sensitif dan tidak menggunakan radioisotop
karena sistem deteksinya menggunakan substrat chemiluminescence.
3) Amplifikasi signal (metode branched DNA/bDNA) bertujuan untuk
menghasilkan sinyal yang dapat dideteksi hanya dari beberapa target
molekul asam nukleat. Amplifikasi target (metode Polymerase Chain
Reaction/PCR) telah dikembangkan teknik real-time PCR untuk
pengukuran DNA VHB. Amplifikasi DNA dan kuantifikasi produk
PCR terjadi secara bersamaan dalam suatu alat pereaksi tertutup.

16
4) Pemeriksaan amplifikasi kuantitatif (PCR) dapat mendeteksi kadar
VHB
DNA sampai dengan 10 kopi/mL, tetapi hasil dari pemeriksaan ini
harus diinterpretasikan dengan hati-hati karena ketidakpastian arti
perbedaan klinis dari kadar VHB DNA yang rendah. Berdasarkan
pengetahuan dan definisi sekarang tentang Hepatitis B kronik,
pemeriksaan standar dengan batas deteksi 10 -10 kopi/mL sudah
cukup untuk evaluasi awal pasien dengan Hepatitis B kronik. Untuk
evaluasi keberhasilan pengobatan maka tentunya diperlukan standar
batas deteksi kadar VHB DNA yang lebih rendah dan pada saat ini
adalah yang dapat mendeteksi virus sampai dengan <10 kopi/mL

2.9 PENCEGAHAN INFEKSI VHB

Salah satu cara yang paling tepat untuk menurunkan morbiditas


dan mortalitas adalah pencegahan infeksi VHB dengan vaksinasi Hepatitis
B, karena belum ada pengobatan yang efektif untuk penyakit hati kronik
dan KHP.

2.9.1. Pencegahan Infeksi Perinatal

Proporsi terjadinya infeksi VHB yang menjadi pengidap,


ada hubungan dengan umur pada waktu terjadinya penularan,
dimana penularan yang terjadi pada bayi 90% akan menjadi
pengidap dan hanya 5% jika penularan terjadi pada dewasa. Karena
itu maka imunisasi harus diberikan pada waktu bayi baru lahir atau
sedini mungkin setelah lahir. Ibu dengan HBeAg positif sangat
infeksius sehingga 90% bayi yang lahir dari ibu ini akan tertular
pada saat atau tidak begitu lama setelah persalinan, dengan risiko
terjadinya pengidap kronik.
Apabila proporsi HBeAg positif cukup tinggi, pencegahan
penularan dari ibu ke bayi diberikan dengan imunisasi pasif
ditambah aktif pada bayi baru lahir. Jika HBeAg positif rendah

17
maka imunisasi pada bayi baru lahir atau pada umur 1,5 – 3 bulan
nampaknya sudah cukup memadai untuk menurunkan pengidap
kronik pada masyarakat.

2.9.2. Strategi Vaksinasi Hepatitis B

Strategi vaksin hepatitis B tergantung dari tingkat


endemisitas infeksi VHB, saat dan pola penularan, harga vaksin
dan biaya vakinasi, sistem pelayanan kesehatan yang ada, infra
struktur di daerah tersebut dan juga siapa yang harus mendapat
prioritas untuk mendapat vaksin. Menurut Coursaget (1987), ada
empat alternatif pendekatan strategi vaksinasi hepatitis B misal
yang dapat dilakukan di daerah endemik :

a. Skrining HBeAg untuk ibu hamil, jika positif diberikan HBIG


dan vaksinasi pada saat lahir, sedangkan jika ibu dengan
HBeAg negatif, vaksinasi pada umur 1,5 – 3 bulan A.
b. Imunisasi saat lahir pada seluruh bayi tanpa skrining HBsAg
 B.
c. Imunisasi pada bayi umur satu setengah sampai tiga bulan
C.
d. Imunisasi saat lahir, bayi yang dilahirkan oleh ibu dengan
HBsAg positifD.

Alternatif pendekatan strategi vaksinasi hepatitis B dapat


diterangkan sebagai berikut :

a. Setelah skrining VHB (HBeAg) untuk ibu hamil, populasi bayi


yang lahir kemudian dibagi dua. Bayi yang lahir dari ibu dengan
VHB positif akan mendapat HBIG pada saat lahir dan dua atau
tiga dosis vaksin dimulai segera setelah lahir. Kelompok lain
diberi vaksinasi saja segera setelah lahir atau pada umur bayi
tiga bulan. Efektivitas proteksi dari strategi imunisasi ini
mencapai sekitar 90-95% dan tidak tergantung pada proporsi ibu

18
yang infeksius. Tetapi biaya vaksinasi dengan strategi ini sangat
tinggi karena adanya biaya tambahan untuk skrining HBeAg dan
untuk HBIG spesifik.
b. Imunisasi seluruh bayi pada saat lahir dengan dosis dewasa
tanpa skrining HBsAg. Efektivitas program sedikit lebih rendah
dibanding strategi pertama tetapi biayanya berkurang 40%.
c. Jika oleh karena alasan praktis vaksinasi pada saat lahir tidak
mungkin dilakukan, imunisasi dapat dimulai pada umur 1,5 – 3
bulan. Efektivitas strategi ini tidak akan banyak berbeda
dibandingkan strategi kedua, bila proporsi ibu yang mengidap
VHB dengan HBeAg positif rendah; tetapi efektivitasnya hanya
45% bila 50% ibu hamil mengidap HBsAg mengandung
HBeAg. Vaksinasi dengan strategi ini akan mengurangi 20- 50%
biaya pencegahan.
d. Jika vaksinasi missal tidak dapat dilakukan karena mahalnya
harga vaksin, ibu dengan HbsAg positif dapat di skrining
dengan cara pemeriksaan yang kurang sensitif (misalnya :
metoda hemaglutinasi) dan bayi yang dilahirkannya langsung
divaksinasi saat lahir. Gambar 2. memperlihatkan bahwa dengan
strategi ini pengidap kronik pada populasi bayi hanya akan turun
10-40%, tetapi biaya pencegahannya paling rendah; sehingga
dapat diadaptasi di negara sedang berkembang dengan frekuensi
HBeAg tinggi pada ibu hamil. Expanded Programmed
Immunization (EPI) Hepatitis B Advisory Group (TAG) dari
WHO menganjurkan supaya vaksin HB secepatnya
diintegrasikan dengan EPI, memberikan 3 dosis vaksin HB dan
disuntikkan pada paha bayi, di mana suntikan pertama diberikan
segera setelah lahir, suntikan kedua diberikan 4-12 minggu
setelah suntikan pertama dan suntikan ketiga 2-12 bulan setelah
suntikan kedua.

2.9.3. Imunisasi Hepatitis B

19
Pemberian imunisasi atau vaksinasi HB dapat
mencegah tiga hal yaitu infeksi klinik, terjadinya pengidap
kronik VHB, dan mencegah penularan VHB khususnya untuk
pencegahan penularan VHB vertikal. Imunisasi hepatitis B (HB)
dapat merupakan imunisasi pasif dengan memberikan Hepatitis
B Immune Globulin (HbIg), imunisasi aktif dengan memberikan
vaksin HB dan kombinasi dengan memberikan HbIg dan vakin.

1) Imunisasi Aktif

Imunisasi aktif dilakukan dengan menyuntikkan


vaksin HB yang dibuat dari partikel HBsAg, untuk
merangsang pembentukan atau timbulnya anti-HBs.
Antibodi yang timbul setelah pemberian vaksin
memerlukan waktu, karena itu pada post eksposure
vaccination vaksin harus diberikan dalam waktu tidak lebih
dari 24 jam setelah melahirkan. Vaksin HB bisa berupa
vaksin plasma yang berasal dari plasma pengidap kronik
VHB atau berupa vaksin HB rekombinan yang dibuat
secara rekayasa genetik. HB vaksin imunologik pada bayi
dan pemberian dosis dewasa pada bayi yang lahir dari ibu
dengan HBeAg negatif memberikan proteksi sebesar 90%,
jika bayi lahir dari ibu dengan HBsAg positif hanya sebesar
70-75%. Dan untuk mencapai proteksi 90% perlu diberikan
satu dosis HBIG segera setelah lahir.

2) Imunisasi Pasif

Imunisasi pasif dilakukan dengan memberikan


suntikan Hepatitis B Immune Globulin (HBIG), yang
merupakan sediaan anti-HBs dalam titer tinggi. Keuntungan
dari pemberian HBIG segera setelah persalinan ialah dapat
mencegah sebagian besar penularan VHB vertikal yang
sebagian besar terjadi pada saat persalinan. Tetapi

20
pemberian HBIG tanpa vaksin akan menyebabkan bayi
masih mudah terinfeksi VHB setelah HBIG hilang dalam
darah, dan infeksi VHB akan terjadi setelah bayi berumur 6
bulan.

3) Imunisasi Pasif Aktif

Pada imunisasi pasif aktif, selain diberikan suntikan


HBIG juga diberikan vaksin. Imunisasi aktif pasif
umumnya dipakai untuk pencegahan pasca paparan atau
past exposure prophylaxis dimana imunisasi dilakukan
setelah terjadi pemaparan terhadap infeksi VHB pada bayi
yang lahir dari ibu dengan HBeAg positif. Dalam
pencegahan penularan vertikal HBIG disuntikkan segera
setelah lahir disusul dengan pemberian vaksin HB akan
memberikan efektifitas yang tinggi dan menurut WHO
(1991) dapat memberikan proteksi sampai 95%. Pemberian
vaksin HB rekombinan maupun vaksin plasma HB
dikombinasikan dengan HBIG memberikan hasil yang sama
dalam pencegahan penularan perinatal VHB.

2.9.4. Vaksin Hepatitis B (Vaksin HB)

Sejak dipasarkannya vaksin HB yang aman dan


efektif untuk mencegah infeksi VHB pada tahun 1981, maka
para kelompok ahli WHO menganjurkan imunisasi secara rutin
pada bayi untuk mencegah penularan VHB, terutama pada
daerah endemik berat VHB.

2.9.5. Vaksin dari Plasma Pengidap VHB

Vaksin dari plasma pengidap VHB disebut juga


dengan Plasma Derived Vaccine, merupakan vaksin generasi

21
pertama hepatitis B yang dibuat dari pemurnian HBsAg bulat
berukuran 22 nm yang dipisahkan dari plasma pengidap VHB.
Pada proses pembuatannya menggunakan inaktifisi dengan
enzim proteolitik, sehingga HBsAg yang tertinggal hanya
mengandung protein S dan komponen pre-S dari HbsAg rusak,
sedangkan secara teoritik protein pre-S dari HbsAg lebih
imunogenik. Sedangkan vakisn plasma yang dibuat dengan
sistem pemanasan saja, masih mengandung pre-S meskipun
sedikit.

2.9.6. Vaksin Hepatitis B Rekombinan

Vaksin HB rekombinan atau DNA Recombinant


Vaccine dikatakan vaksin HB generasi kedua, yang dibuat dari
HBsAg yang diproduksi secara rekayasa genetik.

1. Vaksin yang mengandung pre-S pada percobaan in-vitro


dapat mencegah infeksi VHB yang mengalami mutasi yang
tidak dapat dicegah dengan vaksin yang mengandung protein
S.
2. Secara teoritik vaksin yang mengandung protein pre-S lebih
imunogenik dibandingkan dengan vaksin yang hanya
mengandung protein S saja.
3. Serokonversi dan tingginya titer antibodi anti-pre S2 lebih
tinggi secara bermakna dibandingkan dengan pemberian
plasma vaksin yang pemrosesannya menggunakan ensim
protease.

Karena respon anti-pre S2 sudah timbul pada bulan


pertama setelah suntikan vaksin pertama, maka secara teoritik
vaksin VHB yang mengandung pre-S lebih sesuai untuk
mencegah infeksi VHB perinatal dibandingkan dengan
vaksin plasma yang hanya mengandung protein S yang baru
memberikan respon anti-HBs beberapa bulan setelah suntikan

22
pertama. Karena manifestasi serologik infeksi VHB vertikal
umumnya terjadi antara bulan ke-3 sampai dengan bulan ke-6
maka perlindungan yang diberikan dapat mendekati
gabungan HBIG dan vaksin HB. Efektivitas vaksin pre-S
dalam pencegahan infeksi VHB vertikal telah terbukti.

2.9.7. Perkembangan Vaksin Hepatitis B

Penelitian untuk mendapatkan vaksin HB yang


imunogenik dan memberikan proteksi lebih besar terus
dikembangkan. Karena adanya kegagalan vaksin akibat vaccine
escaped mutants maka Okamoto, et al., (1992), menganjurkan:
1. Membuat vaksin yang mengandung varian individual yang
ada.
2. Membuat vaksin yang mengandung komponen pre-s;
karena ternyata protein pre-s didapatkan sebagai stimulator
sel t yang lebih kuat dibandingkan protein s saja.

Beberapa vaksin yang sekarang dikembangkan antara lain :


1. Vaksin yang mengandung pre-S
2. Vaksin rekayasa genetik dengan menyisipkan genom
HBsAg pada DNA virus vaccinia.
3. Theradigm-HB vaccine

2.10 KOMPLIKASI HEPATITIS B

Hepatitis B kronik merupakan penyulit jangka lama pada


Hepatitis B akut. Penyakit ini terjadi pada sejumlah kecil penderita
Hepatitis B akut. Kebanyakan penderita Hepatitis B kronik tidak pernah
mengalami gejala hepatitis B akut yang jelas. Hepatitis fulminan
merupakan penyulit yang paling ditakuti karena sebagian besar
berlangsung fatal. Lima puluh persen kasus hepatitis virus fulminan
adalah dari tipe B dan banyak diantara kasus hepatitis B akut fulminan

23
terjadi akibat ada koinfeksi dengan hepatitis D atau hepatitis C. Angka
kematian lebih dari 80% tetapi penderita hepatitis fulminan yang
berhasil hidup biasanya mengalami kesembuhan biokimiawi atau
histologik. Terapi pilihan untuk hepatitis B fulminan adalah
transplantasi hati.
Sirosis hati merupakan kondisi dimana jaringan hati
tergantikan oleh jaringan parut yang terjadi bertahap. Jaringan parut ini
semakin lama akan mengubah struktur normal dari hati dan regenerasi
sel-sel hati. Maka sel-sel hati akan mengalami kerusakan yang
menyebabkan fungsi hati mengalami penurunan bahkan kehilangan
fungsinya.

2.11 PENATALAKSANAAN

2.11.1. Pencegahan Penularan

Penatalaksanaan skrining setiap ibu hamil,


menyediakan terapi antiviral untuk ibu hamil dengan DNA
VHB tinggi, dan pemberian imunisasi aktif dan pasif untuk
bayi baru lahir dari ibu yang HBsAg-positif.

1. Skrining pada Ibu Hamil


Pemeriksaan HBsAg paling baik dilakukan pada
kunjungan antenatal pertama. Pemeriksaan darah ini akan
menentukan apakah seorang ibu memiliki infeksi VHB
saat ini dan berisiko menularkan VHB ke bayinya.
Bila hasil pemeriksaan ibu HBsAg positif, maka
dokter harus mengkonfirmasi infeksi dengan DNA VHB
pada awal dan pada minggu ke 28, bersama dengan status
HBeAg dan tingkat ALT.
Ibu tanpa bukti infeksi VHB sebelumnya (negatif
untuk anti-HBs dan anti-HBc) harus divaksinasi. Individu

24
yang merupakan kontak seksual dan anggota rumah dari
perempuan hamil positif HBsAg juga harus diskrining.

2. Penatalaksanaan Persalinan

Penatalaksanaan persalinan pada ibu dengan HBsAg


reaktif sesuai indikasi obstetri. Dalam meta-analisis yang
dilakukan oleh Chang dkk, belum dapat dibuktikan bahwa
seksio sesar elektif dapat mencegah transmisi vertikal
dibanding tindakan persalinan pervaginam.

3. Imunisasi Baru Lahir

Bayi baru lahir dari ibu positif HbsAg harus


menerima imunisasi aktif dan pasif, dengan dosis pertama
dari seri vaksin epatitis (HB0, birthdose) dan satu dosis
HBIG yang diberikan dalam jam setelah melahirkan di
tempat yang berbeda atau ksimal dalam waktu <24 iam.
Bayi kemudian harus melengkapi vaksin hepatitis B.
Keterlambatan dalam memperoleh imanoprofilaksis aktif
pasif juga dapat menyebabkan penularan virus ke janin.
Jika imunoprofilaksis VHB tidak diberikan, 10-20
persen ibu yang positif HBsAg akan menularkan infeksi
virus ke bayi mereka. Imunoprofilaksis dan vaksin hepatis
B yang diberikan kepada bayi yang baru lahir dari ibu
yang terinfeksi VHB telah mengurangi penularan secara
dramatis mencegah sekitar 90 persen infeksi. Namun ibu
hamil dengan kadar viral load VHB yang tinggi atau
dengan HBeAg positif memiliki sekitar 10 persen
kemungkinan transmisi vertikal, terlepas dari pemberian
imunoprofilaksis.

25
4. Terapi Antiviral Ibu Hamil

Terapi antivirus diberikan untuk ibu HBsAg-positif


dengan kadar DNA VHB (viral load) tinggi selama
trimester terakhir kehamilan, di samping imunisasi untuk
bayi baik aktif maupun pasif. Pendekatan ini didasarkan
pada rekomendasi oleh AASLD, European Association for
the Study of the Liver (EASL), 10 dan Asia-Pacific
Association for the Study of the Liver (APASL) ).1 Pasien
harus dikelola bersama dengan tenaga kesehatan
(dokter/perawat) yang berpengalaman dalam pengobatan
VHB.
Ibu yang memulai terapi antivirus selama kehamilan
dapat menghentikan terapi antiviral segera setelah
melahirkan, terutama ika mereka ingin menyusui.
Beberapa ahli lebih memilih untuk melanjutkan
pengobatan selama 4-12 minggu setelah melahirkan
sebagian untuk mengurangi risiko hepatic flare pasca-
melahirkan

5. Pilihan Obat Antiviral untuk Ibu Hamil.

Society merekomendasikan terapi antiviral untuk


mengurangi transmisi vertikal pada wanita dengan risiko
tinggi dikarenakan kadar viral load yang tinggi.
Lamivudin adalah analog nucleosida cytidine, yang
merupakan obat kategori C kehamilan (berdasarkan
penelitian pada hewan yang menunjukkan efek buruk pada
janin), belum ada studi yang terkontrol cukup baik pada
manusia. Namun, Antiviral Pregnancy Registry telah
mendokumentasikan data yang luas tentang profil
keamanan untuk ibu dan bayi yang baru lahir. Meskipun

26
antiviral LAM telah ditemukan secara signifikan
menurunkan risiko transmisi dari ibu ke janin tetapi data
teroard Lamivudin (LAM) adalah analog nukleosida
cytidine, yang IU/ mL atau terapi dimulai pada trimester
ketiga kehamilan
Obat yang lebih baru termasuk analog thymidine,
telbivudine dan analog adenosine nukleosida, tenofovir.
Keduanya memiliki tingkat resistansi yang lebih rendah
daripada LAM. Obat antivirus ini digolongkan aman pada
kehamilan dan tidak terkait dengan kemungkinan risiko
malformasi kongenital atau hasil obstetrik Telbivudine
(LtD) telah menunjukkan efektifitasnya dalam studi
prospektif bila digunakan selama trimester kedua atau
ketiga pada ibu HBeAg-positif dengan kadar DNA VHB>
200 000 IU mL (>6 log 10 copies ml/ mL).
Tenofovir disoproxil fumarate (TDF) saat ini adalah
pilihan lini pertama yang diberikan dikarenakan profil
yang relatif lebih aman, resistansi rendah, dan yang lebih
baik, namun data lebih lanjut dalam jangka panjang perlu
dikumpulkan tentang efek klinis terhadap kepadatan
mineral tulang. Anti viral ini dianggap sebagai terapi
penyelamat untuk pengobatan yang tidak berhasil dengan
NAs lainnya.

6. Imunoglobulin pada Ibu Hamil

Imunoglobulin Hepatitis B (HBIG) yang diberikan


pada antepartum untuk ibu yang berisiko tinggi penularan
juga merupakan pilihan yang tidak merugikan. Namun
studi yang ada masih sangat terbatas dan berkualitas
rendah. Uji klinis yang dirancang dengan baik dengan
risiko bias rendah masih diperlukan untuk menetapkan

27
manfaat dan bahaya HBIG dibandingkan dengan tidak
diberikan HBIG pada wanita hamil dengan hepatitis.

2.11.2. Pencegahan Penularan pada Ibu Menyusui

Menurut WHO saat ini tidak ada risiko tambahan


penularan VHR melalui menyusui, bahkan tanpa adany
imunisasi. Walaupun HBsAe, HBeAg, dan VHB DNA
diekskresikan dalam ASI ibu yang terinfeksi. Namun,
menyusui harus dihindari dengan adanya keadaan puting
retak tau berdarah karena akan menyebabkan pencampuran
eksudat serosa gan air susu dan berpotensi menyebabkan
penularan hepatitis B.
Untuk ibu hepatitis B kronik (CHB) yang
melanjutkan pengobatan antiviral setelah melahirkan, data
keamanan penggunaan terapi antivirds VHB selama
menyusui belum jelas. Dengan demikian, man menyusui,
dan ketersediaan alternatif untuk menyusul, didiskusikan
dengan ibu vang membutuhkan terapi antivirus pasca
melahirkan. Keputusan untuk menyusui harus didasarkan
pada preferensi pasien. Karena data yang terbatas tentang
sekresi antivirus ke dalam ASI, menyusui tidak dianjurkan
oleh produsen NAs jika terapi antivirus dilanjutkan setelah
melahirkan.

2.11.3. Kontrasepsi

Berdasarkan rekomendasi WHO Medical Eligibility


Criteria Contraceptive Use 2015, penggunaan semua jenis
kontrasepsi hom tidak memperberat perjalanan penyakit
hepatitis akut, sirosis, ata risiko karsinoma hepatoseluler.

28
Tidak ada data yang mendukung membatasi penggunaan
kontrasepsi pada pengguna obat antiviral.

DAFTAR PUSTAKA

Kelompok Kerja Infeksi Saluran Reproduksi. 2019. Buku Seri Infeksi dalam
Kehamilan Manajemen Triple Eliminasi Hepatitia B, HIV, Sifilis. POGI:
Jakarta.

Prof. Dr. dr. IGP Surya, Sp. OG, dkk. 2016. Kehamilan dengan Hepatitis B.
Sagung Seto: Jakarta.

29
30

Anda mungkin juga menyukai