Nama : Indrayasaro NIM : 200112500015 Prodi/Kelas : Statistika/01 Dosen Pengampu : Dr. Muhammad Yusuf, S.Si., S.Pd., M.Pd.
1. Kedudukan Manusia dalam Lingkungan
Kedudukan manusia merupakan bagian utama dari suatu lingkungan. Hubungan manusia dan lingkungan adalah sirkuler, kegiatannya sedikit banyak akan mengubah lingkungannya yang pada saatnya nanti akan mempengaruhi manusia dan kemudian akan merambat pada unsur unsur lain.Kelangsungan hidup manusia bergantung pada kelestarian ekosistemnya. Manusia pada awal sejarahnya telah hidup di bumi dalam keselarasan alam yang sangat wajar, tetapi dalam penguasaan alam pikiran telah memungkinkan manusia untuk mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi yang menjaadikannya penguasa mutlak dalam kehidupan. Dari segi ekologi hubungan manusia dengan mahkluk hidup lainnya adalah: 1. Manusia sebagai organisme yang dominan Manusia dapat berkompetisi lebih baik dibandingkan dengan dengan mahkluk hidup lainnya. Manusia mampu memberikan pengaruh yang besar terhadap lingkungan hidup ataupun organisme lain. 2. Manusia sebagai penyebab evolusi Manusia selalu dapat memperbaiki dan mengembangkan pengetahuan serta keterlampilan teknis. 3. Manusia seagai mahkluk pengotor Hewan (termasuk manusia) sering membuang kotoran organik (seperti: Fases) yang dapat mencemari lingkungan. Dalam bukunya yang berjudu "The Sane Alternatif: a Choice of The Future,yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul Alternatif yang Sehat: Pilihan Untuk Masa Depan; James Robertson menggugah kesadaran segenap manusia akan semakin krisisnya hubungan manusia dengan lingkungannya. Untuk itu ia mendesak agar manusia "mendobrak" kebiasaan yang dilakukan selama ini dan merubah pola hubungan dengan lingkungan yang lebih ramah yang disebutnya dengan hubungan yang humanistis dan ekologis. Kegagalan dalam upayanya merubah diri akan berarti bencana, sebaliknya jika ia brhasil maka manusia akan mencapai kemajuan evolusionel (Robertson 1990 : 1). Berkaitan dengan pandangan Robertson tersebut,manusia harus sadar bagaimana kedudukannya dalam lingkungannya dan apa tanggung jawab yang harus dipikul dalam hubungannya dengan lingkungannya tersebut. Secara garis besar penulis membagi persepsi manusia ke dalam dua kelompok, yaitu persepsi yang menganggap bahwa manusia adalah bagian atau unsur yang tidak terpisahkan dan lingkungan (sikap mitis ) dan yang kedua adalah persepsi yang menganggap bahwa manusia adalah makhluk otonom berbekal kemampuan rasio, yang bebas dan bukan merupakan unsur dan lingkungan (sikap objektif). Kelompok pertama menunjuk pada sebagian besar kebudayaan Timur, khususnya Indonesia. Soeryanto (1989) yang mengutif pendapat Prof. Hidding, mengemukakan adanya cosmisch-gemeenschapgevoel sebagai persepsi dunia yang dominan pada kebudayaan Timur. Persepsi ini pada hakekatnya menunjukkan orientasi yang melihat segala sesuatu sebagai kesatuan total. Melalui rasa kesadaran kosmisnya manusia mengalam kenyataan sebagai totalitas yang bermakna dan mencakup segala sesuatu, yang pada hakikatnya lebih dan sekedar penjumlahan bagian-bagiannya, melainkan suatu totalitas yang kuasa dan kudus suatu organisme, suatu makrokosmos dimana terkandung manusia sebagai mikrokosmos. Segala sesuatu mempunyai kedudukannya di situ dan setiap gejala menunjukkan kaitan atau hubungan dengan gejala-gejala lainnya. Pandangan ini merupakan pandangan monism yang secara konsekuen tidak akan dapat menggambarkan kemungkinan adanya suatu lain yang berdiri sendiri secara seubstansial. Pandangan ini juga menunjukkan presepsi subjektif yang melihat diri manusia sebagai bagian kosmos, dan karena itu dalam kaitannya yang harmonis dengan alam dan bukan presepsi objektif yang sebaliknya melihat dirinya berhadapan dengan alam. Sikap demikian jelas mampu memupuk kesadaran lingkungan dan membuang limbanh tanpa perhitungan yang kemudian menimbulkan pencemaran. Manusia dipandang bukan unsur yang secara harmonis berhubungan dengan alam, tetapi manusia adalah penguasa yang berhadapan dengan alam yang boleh dengan bebas menggunakan alam untuk keperluan hidupnuya. Pandangan ini mendorong manusia untuk mengekploitasi alam secara berlebihan guna memenuhi kebutuhan dan kepuasan hidup yang pada dasarnya hamper tidak ada batas. Kenyataan ini ditambah lagi dengan adanya kecenderungan reifikasi, manipulasi, fragmentasil, dan individualisasi. Reifikasi menunjuk pada anggapan yang semakin luas bahwa kenyataan itu harus diwujudkan dalam bentuk-bentuk yang lahirlah dan diukur secara kuantitatif. Kepuasan akan dalcing jika orang dihadapkan pada sejumlah barang material, angka, statistik, rupa, dll. Untuk mencapai tujuan orang tidak segan-segan melakukan manipulasi yang terwujud dalam berbagai iklan yang menggiurkan dan merangsang orang untuk terus menerus hidup secra konsumtif. Fragmentasi yang terwujud dalam bentuk spesialisasi sebagai akibat dari semakin canggihnya teknologi, menyebabkan orang hanya dihargai karena profesinya bukan yang lainnya, orang terkotak-kotak berdasrakan spesialisasi dan provesi yang disanangnya. Pada akhirnya yang tumbuh subur adalah sikap egois individualistis yang hanya memikirkan dirinya sendiri dan tidak peduli dengan orang lain termasuk tidak perduli dengan lingkungan yang ada di sekitarnya (Soeryanto 1989). Adapun menurut Toety Heraty Noerhadi, mendasarkan pandangannya pada sejarah perkembangan pemikiran filsafat di Barat dan pendapat Magnis Suseno, menyatakan bahwa yang mendorong kebudayaan barat cenderung merusak lingkungan adalah disebabkan oleh beberapa faktor: 1. Didasari oleh filsafat yang dualistik (Rene Descartes) yang memisahkan antara alam dengan manusia atau menghadapkan antara rescogitans dengan res extersa. 2. Ilmu bertumpu pada ilmu yang mekanistific, dalam wujud produk mesin-mesin. 3. Penerapan ilmu dalam teknologi yang menunjang proses produksi secara missal, hal ini tentu membutuhkan bahan mentah yang lebih banyak dan pasar yang lebih luas. 4. Keperluan akan bahan mentah dan pasar yang lebih luas mendorong semangat besar. Disini mulai muncul imperialism dan kapitalisme. 5. Legitimasi teologis yaitu ideology pertumbuhan yang membuat terus mencari lebih banyak, lebih jauh, yang membuatnya tidak pernah puas dengan keadaan yang tercapai, sehingga alam harus semakin dibongkar dan diobrak-abrik untuk menghasilkan kekayaan bagi manusia. Berdasarkan pembahasan tersebut di atas, maka agar manusia harmonis hubungannya dengan alam lingkungannya harus dikembangkan penguasa secara berpartisipasi dan menggunakan sambil memelihara sebagai wujud dari martabat kemanusiaannya.
2. Delapan Prinsip Ekologi
Ada 8 prinsip ekologi yang dapat dapat dilihat sebagai pandangan yang rata-rata dianut oleh pendukung ekologi. a. Kesejahteraan dan keadaan baik dari kehidupan manusiawi maupun kehidupan bukan manusiawi di bumi, mempunyai nilai intrinsik. Nilai-nilai ini tak bergantung dari bermanfaat tidaknya dunia bukan manusiawi untuk tujuan manusia. b. Kekayaan dan keanekaan bentuk-bentuk hidup, menyumbangkan kepada terwujudnya nilai-nilai ini dan merupakan nilai-nilai tersendiri. c. Manusia tidak berhak mengurangi kekayaan dan keanekaan ini kecuali untuk memenuhi kebutuhan vitalnya. d. Keadaan baik dari kehidupan dan kebudayaan manusia dapat dicocokkan dengan dikuranginya secara substansia jumlah penduduk. Keadaan baik kehidupan bukan-manusiawi memerlukan dikuranginya jumlah penduduk itu. e. Campur tangan manusia dengan dunia bukan manusia kini terlalu besar dan situasi memburuk dengan pesat. f. Kebijakan umum harus berubah. Kebijakan itu menyangkut struktur-struktur dasar dibidang ekonomi, teknologi, dan ideologi. Keadaan yang timbul sebagaimana hasilnya akan berbeda secara mendalam dengan struktur-struktur sekarang. g. Perubahan ideologis adalah terutama menghargai kualitas kehidupan (manusia dapat tinggal dalam situasi-situasi yang bernilai inheren) dan bukan berpegang pada standar kehidupan yang semakin tinggi. Akan timbul kesadaran mendalam akan perbedaan antara kuantitas dan kualitas. h. Mereka yang menyetujui butir-butir sebelumnya berkewajiban secara langsung untuk mengusahakan mengadakan perubahan-perubahan yang perlu.