Anda di halaman 1dari 2

REPORT KEGIATAN EKSTRA

PANCASILA

1. Seminar
Tema: The Boundaries of Violence and Relevance for Civil Disobedience in Modern
Politics
Tanggal: Selasa, 17 November 2020
Pukul: 19.00-21.00 WIB
Pembicara:
Dr. Matt Evans – Professor of Political Science Northwest Arkansas Community College
Dr. Diah Kusumaningrum – International Relations FISIPOL UGM

Pembahasan:
Proses pengesahan Undang-Undang yang tidak transparan, terburu-buru dan yang isinya
tidak memihak buruh dan rakyat telah menuai berbagai protes dari mahasiswa, buruh
dan rakyat kecil. Satuan gugus tugas pengesahannya pun disinyalir merupakan bagian
dari oligarki yang memanjangkan tangannya ke dalam pemerintahan untuk
mempertahankan usaha dan kuasanya dengan cara apapun. Gugus tugas yang terdiri
dari para pengusaha dan politisi yang terkait dengan energi kotor yang tidak
mempedulikan kesejahteraan masyarakat kelas bawah yang tertindas berkolaborasi
dengan pemerintah untuk melakukan pembungkaman bagi siapa saja yang berusaha
untuk mengkritisi dalam ranah akademik maupun keberpihakan terhadap rakyat
maupun golongannya.

Demonstrasi telah dilakukan dengan dua metode yaitu metode peaceful protests dan
metode protes yang penguasa narasikan sebagai “anarkis”, “merusak fasilitas umum”
dan membenturkannya dengan masyarakat kelas menengah yang cenderung apatis
terhadap politik. Dalam sejarahnya, tidak ada metode demonstrasi yang benar. Karena
tujuan demonstrasi sendiri adalah melakukan perubahan secara revolusioner terhadap
tirani penguasa.

Pembangkangan sipil sangatlah relevan, karena apabila pemerintah dan antek-antek


oligarkinya melakukan segala cara untuk mempertahankan kekuasaan termasuk
mengekang kebebasan siapapun dan menindasnya melalui alat yang disahkan oleh
negara, rakyat berhak untuk melawan, karena berpikir dan mengutarakan pendapat
sendiri dilindungi dalam UUD 1945, kecuali rezim ini berevolusi menjadi semakin
antikritik dan otoriter untuk mengamandemennya.

Batas dari kekerasan adalah saat aparat melakukan opresi pada demonstran. Aparat dan
demonstran tidak memiliki kekuatan yang setara, jadi apabila pemerintah dan
pendukungnya atau buzzer mendengungkan mahasiswa anarkis dan melakukan opresi
pada aparat, itu tidaklah relevan, karena aparat saja boleh dan sah untuk menyerang
mahasiswa, lalu mengapa mahasiswa tidak melawan? Mahasiswa yang disinyalir
memiliki senjata dan bom Molotov itupun mereka bukanlah dari golongan organik yang
menginginkan perubahan, namun ada kelompok tertentu yang membiayai dan bisa jadi
itu berasal dari pemerintah untuk menarasikan negative mahasiswa maupun golongan
oposisi untuk membenarkan pihaknya melakukan opresi pada mahasiswa karena tidak
setuju dengan paham progresif yang intelektual organik tawarkan.

Tidak hanya Indonesia yang sedang berjuang untuk melawan tirani yang dinormalisasi
sebagai “kerja, kerja, kerja” untuk membanting tulang hanya untuk sekedar hidup. Di
Chile, pembangkangan sipil yang dimotori oleh anak-anak muda yang melakukan
demonstrasi untuk melumpuhkan stasiun kereta telah berhasil mendesak parlemen
untuk melakukan perubahan dalam tubuh mereka. Di Amerika Serikat sendiri, Gerakan
Black Lives Matter telah mengamplifikasi pentingnya persamaan derajat Hak Asasi
Manusia dasar yang bahkan di negara adidaya pun mereka tertindas secara legal oleh
Undang-Undang dan peraturan mereka, atau yang disebut dengan “systemic racism”. Di
Belarusia sendiri, pembangkangan sipil yang memiliki tokoh aktivis sebagai calon
presiden oposisi pun berhasil membuat parlemen mengangkat oposisi sebagai presiden
yang sah, walaupun presiden petahana melakukan segala cara untuk mempertahankan
kediktatorannya dari tahun 1994 hingga kini.

Dan, dari pembangkangan sipil ini, diharapkan masyarakat dapat secara kolektif bahu-
membahu untuk mempertahankan diri mereka sendiri dari opresi pihak manapun,
termasuk keadaan ekonomi dan Kesehatan yang semakin sulit akibat pandemi COVID-
19. Beberapa perusahaan besar merugi yang mengakibatkan PHK massal, walaupun
beberapa perusahaan yang lain melakukannya dengan alasan efisiensi yang tentunya
bertentangan dengan semangat ekonomi Indonesia yang padat karya. Apabila
masyarakat dari seluruh golongan bersatu secara kolektif untuk saling membantu, maka
sila kelima dari Pancasila pun dapat diwujudkan, sebagai alternatif dari negara yang
berusaha mewujudkan keadilan sosial bagi rakyatnya yang dirasa tidak mungkin karena
factor sumberdaya manusia, faktor politis dan faktor intervensi dari luar negeri, dan
faktor-faktor lain yang tidak bisa disebutkan karena jujur saya ketakutan dengan kondisi
demokrasi di Indonesia kali ini, dimana sayap ekstrim kanan diberi panggung luar biasa,
sedangkan golongan progresif yang benar-benar organik dan tidak dibiayai LSM
manapun ditindas karena memang tidak punya harta dan kepentingan apa-apa, karena
ia adalah kelas kaum tertindas.

2. Asia Youth Model United Nations


Tema: Giving Justice and Prevention Against Sexual Harrassment
Tanggal: 6-8 November 2020

Dalam MUN ini dibahas mengenai mosi untuk memberikan perlindungan dan keadilan
bagi para penyintas pelecehan seksual dan kekerasan seksual dari perspektif masing-
masing negara. Masing-masing negara pun berkumpul menjadi blok dan berusaha untuk
meloloskan draft resolution yang dirasa berisi solusi-solusi terbaik dari negara-negara
dengan berbagai ideologi dan kompas politiknya.

Acara diskusi ini juga berkaitan dengan sila kedua, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab
serta sila kelima, yaitu Keadilan Bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Sebelum beragama dan
berideologi apapun, hendaknya pikiran kita selalu terbuka dan berempati untuk korban,
dan berpihak pada keadilan serta kebenaran.

Anda mungkin juga menyukai