SUKU MBOJO
DISUSUN OLEH :
KELOMPOK 4
PRODI S1 KEPERAWATAN
2016
KATA PENGANTAR
Tak ada gading yang tak retak, begitu pula dengan makalah
yang kami susun. Oleh karena itu, kritik dan saran yang
bersifat membangun sangat penulis harapkan demi perbaikan untuk
tugas-tugas berikutnya.
Penyusun
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL..........................................
KATA PENGANTAR.........................................
DAFTAR ISI.............................................
BAB I PENDAHULUAN......................................
A.Latar Belakang..................................
B.Tujuan..........................................
BAB II PEMBAHASAN......................................
A.Kesimpulan......................................
B.Saran...........................................
DAFTAR PUSTAKA.........................................
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kebudayaan atau disebut juga kultur merupakan
keseluruhan cara hidup manusia sebagai warisan sosial yang
diperoleh individu dari kelompoknya. Dalam tiap kebudayaan
terdapat berbagai kepercayaan yang berkaitan dengan
kesehatan. Terdapat kebudayaan yang bertentangan dengan
kesehatan namun, di sisi lain ada kebudayaan yang sejalan
dengan aspek kesehatan. Dalam arti kebudayaan yang berlaku
tersebut tidak bertentangan bahkan saling mendukung dengan
aspek kesehatan. Dalam hal ini petugas kesehatan harus
mendukung kebudayaan tersebut. Tetapi kadangkala
rasionalisasinya tidak tepat sehingga peran petugas kesehatan
adalah meluruskan anggapan tersebut.
Di Nusa Tenggara Barat menunjukkan bahwa anak sakit
dilihat dari keadaan fisik tubuh dan tingkah lakunya yaitu
jika menunjukkan gejala misalnya panas, batuk pilek, mencret,
muntah -muntah, gatal, luka, gigi bengkak, badan kuning, kaki
dan perut bengkak. Seorang pengobat tradisional yang juga
menerima pandangan kedokteran modern, mempunyai pengetahuan
yang menarik mengenai masalah sakit-sehat. Baginya, arti
sakit adalah sebagai berikut: sakit badaniah berarti ada
tanda-tanda penyakit di badannya seperti panas tinggi,
penglihatan lemah, tidak kuat bekerja, sulit makan, tidur
terganggu, dan badan lemah atau sakit, maunya tiduran atau
istirahat saja. Pada penyakit batin tidak ada tanda -tanda di
badannya,tetapi bisa diketahui dengan menanyakan pada yang
gaib. Pada orang yang sehat, gerakannya sorot mata cerah,
tidak mengeluh lesu, lemah, atau sakit- sakit badan.
Penyebabnya adalah salah makan, makan kacang terlalu banyak,
makan makanan pedas, makan udang, ikan, anak meningkat
kepandaiannya, susu ibu basi, encer, dan lain-lain.
Penanggulangannya dengan obat tradisional misalkan dengan
pucuk daun jambu dikunyah ibunya lalu diberikan kepada
anaknya (Bima) obat lainnya adalah Larutan Gula Garam (LGG),
Oralit, pil Ciba dan lain -lain. Larutan Gula Garam sudah
dikenal hanya proporsi campurannya tidak tepat.
Suku Mbojo merupakan salah satu suku di Indonesia yang
telah mengalami modernisasi dalam hal pola kehidupan, budaya
maupun interaksi. Untuk itu kami akan membahas pola
kehidupan, budaya serta pola makan dari Suku Mbojo.
B. Tujuan
1. Untuk mengetahui kebudayaan suku Mbojo
2. Untuk mengetahui kebudayaan suku mbojo dalam masalah
kesehatan
C. Manfaat
1. Menambah wawasan dan informasi tentang kebudayaan suku
Mbojo
BAB II PEMBAHASAN
Cara Penggunaan :
Perhatian :
a. Rumah Lengge
Lengge merupakan salah satu rumah adat
tradisional Bima yang dibuat oleh nenek moyang suku
Bima(Mbojo) sejak zaman purba. Sejak dulu, bangunan
ini tersebar di wilayah Sambori, Wawo dan Donggo.
Khusu di Donggo terutama di Padende dan Mbawa
terdapat rumah yang disebut Uma Leme. Dinamakan
demikian karena rumah tersebut sangat runcing dan
lebih runcing dari Lengge. Atapnya mencapai hingga ke
dinding rumah. Namun saat ini jumlah Lengge atau Uma
Lengge semakin sedikit. Di kecamatan Lambitu, Lengge
dapat ditemukan di desa Sambori yang berjarak sekitar
40 km sebelah tenggara kota Bima. Meskipun ada juga
di desa lain seperti di Kuta, Teta, Tarlawi dan
Kaboro dalam wilayah kecamatan Lambitu.
Uma Lengge terdiri dari tiga lantai. Lantai
pertama digunakan untuk menerima tamu dan kegiatan
upacara adat. Lantai kedua berfungsi sebagai tempat
tidur sekaligus dapur. Sedangkan lantai ketiga
digunakan untuk menyimpan bahan makanan seperti padi,
palawija dan umbi-umbian.
Pintu masuknya terdiri dari tiga daun pintu yang
berfungsi sebagai bahasa komunikasi dan sandi untuk
para tetangga dan tamu. Menurut warga Sambori, jika
daun pintu lantai pertama dan kedua ditutup, hal itu
menunjukan bahwa yang punya rumah sedang berpergian
tapi tidak jauh dari rumah. Tapi jika ketiga pintu
ditutup, berarti pemilik rumah sedang berpergian jauh
dalam tempo yang relatif lama.
A. Kesimpulan
Begitu banyak ragam budaya dan khas makanan bima
membuat orang Bima begitu mencintai daerahnya. Bahkan bagi
masyarakat Bima yang merantaupun tetap berusaha
mempertahankan adat dan pola makan seperti di Bima meskipun
tidak sepenuhnya (atau dicampur dengan kebiasaan setempat).
Contohnya masyarakat Bima yang tinggal di Lombok, masih
mempertahankan adat Bima dalam rangka merayakan upacara-
upacara tertentu.Orang Bima meskipun tinggal di Lombok,
mereka tetap menyukai makanan-makanan khas Bima yang biasa
disajikan dalam masakan keluarga sehari-hari, bahkan mereka
tetap memperkenalkan makanan Bima kepada anak-anaknya
meskipun anaknya lahir di Lombok.Orang Bima membiasakan diri
makan makanan Lombok dalam upaya beradaptasi, karena mereka
sadar tidak selamanya mereka mengkonsumsi makanan khas Bima
di lingkungan baru yang mereka tempati.
Jadi, dimanapun orang Bima tinggal. Mereka tidak akan
pernah melupakan adat dan makanan khas mereka. Meskipun
mereka terbiasa dengan makanan di daerah setempat, namun
makanan khas tetap menjadi makanan favorit mereka.
B. Saran
Inilah yang dapat kelompok kami tulis meskipun tulisan
ini belum dapat dikatakan sempurna dan kami membutuhkan
kritik/saran agar menjadi motivasi kami untuk belajae lagi
agar lebih baik pada tulisan selanjutnya.
DAFTAR PUSTAKA