Anda di halaman 1dari 31

MAKALAH PEKA BUDAYA

SUKU MBOJO

DISUSUN OLEH :

KELOMPOK 4

RISA LEPI APRIANI TINO KHAIRIAWAN


RISKA AMELIA WINDA ALFIANA
RONI HARDIMAN JAYADI YUDI ARDIANSYAH
RONI SOFIANDANO AR YUNIA PRATIWI
SRI HANDAYANI M.ALI IBRAHIM
SRI RIZKI ULFIANA RIA NIANTY UTAMI
SRI UMIATUL KHASANAH MUHAMMAD HAMDATULLAH
SURNI INDANA MUTHIA LISA ALFIANTI

SEKOLAH TINGGI KESEHATAN (STIKES) MATARAM

PRODI S1 KEPERAWATAN
2016
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis ucapkan kepada Allah swt yang telah


memberikan cinta kasih, rahmat serta hidayah-Nya sehingga
penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “makalah peka
budaya suku mbojo”.

Makalah ini disusun untuk melengkapi tugas praktek


laboratorium mata kuliah Keperawatan Kepanitraan Umum dan
memperluas pengetahuan penulis mengenai keperawatan Kepanitraan
Umum itu sendiri.

Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada semua pihak yang


telah membantu terlaksananya penyusunan makalah ini terutama
kepada

1. Penanggung jawab Mata Kuliah serta team dosen keperawatan


Kepanitraan Umum yang telah memberikan bimbingan dan
arahannya kepada penulis.
2. Pembimbing akademik yang telah menyempatkan waktu untuk
memberikan bimbingan kepada penulis.
3. Orang tua kami yang senantiasa memberikan dorongan,
semangat dan restu sehingga makalah ini dapat disusun
dengan lancar
4. Teman-teman yang telah memberikan masukan dan semangat
kepada kami

Tak ada gading yang tak retak, begitu pula dengan makalah
yang kami susun. Oleh karena itu, kritik dan saran yang
bersifat membangun sangat penulis harapkan demi perbaikan untuk
tugas-tugas berikutnya.

Mataram, Maret 2016

Penyusun
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL..........................................

KATA PENGANTAR.........................................

DAFTAR ISI.............................................

BAB I PENDAHULUAN......................................

A.Latar Belakang..................................
B.Tujuan..........................................

BAB II PEMBAHASAN......................................

BAB III PENUTUP........................................

A.Kesimpulan......................................
B.Saran...........................................

DAFTAR PUSTAKA.........................................
BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Kebudayaan atau disebut juga kultur merupakan
keseluruhan cara hidup manusia sebagai warisan sosial yang
diperoleh individu dari kelompoknya. Dalam tiap kebudayaan
terdapat berbagai kepercayaan yang berkaitan dengan
kesehatan. Terdapat kebudayaan yang bertentangan dengan
kesehatan namun, di sisi lain ada kebudayaan yang sejalan
dengan aspek kesehatan. Dalam arti kebudayaan yang berlaku
tersebut tidak bertentangan bahkan saling mendukung dengan
aspek kesehatan. Dalam hal ini petugas kesehatan harus
mendukung kebudayaan tersebut. Tetapi kadangkala
rasionalisasinya tidak tepat sehingga peran petugas kesehatan
adalah meluruskan anggapan tersebut.
Di Nusa Tenggara Barat menunjukkan bahwa anak sakit
dilihat dari keadaan fisik tubuh dan tingkah lakunya yaitu
jika menunjukkan gejala misalnya panas, batuk pilek, mencret,
muntah -muntah, gatal, luka, gigi bengkak, badan kuning, kaki
dan perut bengkak. Seorang pengobat tradisional yang juga
menerima pandangan kedokteran modern, mempunyai pengetahuan
yang menarik mengenai masalah sakit-sehat. Baginya, arti
sakit adalah sebagai berikut: sakit badaniah berarti ada
tanda-tanda penyakit di badannya seperti panas tinggi,
penglihatan lemah, tidak kuat bekerja, sulit makan, tidur
terganggu, dan badan lemah atau sakit, maunya tiduran atau
istirahat saja. Pada penyakit batin tidak ada tanda -tanda di
badannya,tetapi bisa diketahui dengan menanyakan pada yang
gaib. Pada orang yang sehat, gerakannya sorot mata cerah,
tidak mengeluh lesu, lemah, atau sakit- sakit badan.
Penyebabnya adalah salah makan, makan kacang terlalu banyak,
makan makanan pedas, makan udang, ikan, anak meningkat
kepandaiannya, susu ibu basi, encer, dan lain-lain.
Penanggulangannya dengan obat tradisional misalkan dengan
pucuk daun jambu dikunyah ibunya lalu diberikan kepada
anaknya (Bima) obat lainnya adalah Larutan Gula Garam (LGG),
Oralit, pil Ciba dan lain -lain. Larutan Gula Garam sudah
dikenal hanya proporsi campurannya tidak tepat.
Suku Mbojo merupakan salah satu suku di Indonesia yang
telah mengalami modernisasi dalam hal pola kehidupan, budaya
maupun interaksi. Untuk itu kami akan membahas pola
kehidupan, budaya serta pola makan dari Suku Mbojo.
B. Tujuan
1. Untuk mengetahui kebudayaan suku Mbojo
2. Untuk mengetahui kebudayaan suku mbojo dalam masalah
kesehatan
C. Manfaat
1. Menambah wawasan dan informasi tentang kebudayaan suku
Mbojo
BAB II PEMBAHASAN

A.Sejarah Suku Mbojo


Berbagai versi menyebutkan asal mula kata Bima menjadi
suku tersebut. Ada yang mengatakan, Bima berasal dari kata
“Bismillaahirrohmaanirrohiim”.Hal ini karena mayoritas suku
Bima beragama Islam. Menurut sebuah legenda, kata Bima berasal
dari nama raja pertama suku tersebut, yakni Sang Bima.
Legenda tersebut tertulis dalam Kibat Bo’. Ceritanya
berawal dari kedatangan seorang pengembara dari Jawa yang
bernama Bima tadi.Bima merupakan seorang Pandawa Lima yang
melarikan diri ke Bima pada masa pemberontakan di
Majapahit.Dia melarikan diri melalui jalur selatan agar tidak
diketahui oleh para pemberontak, lalu berlabuh di Pulau
Satonda.
Bima menikah dengan salah seorang putri di wilayah
tersebut, dan memiliki anak. Bima memiliki karakter yang kasar
dan keras, tapi teguh dalam pendirian serta tidak mudah
mencurigai orang lain. Lalu, para Ncuhi mengangkat Bima
menjadi Raja pertama wilayah tersebut yang kemudian menjadi
daerah yang bernama Bima.Sang Bima dianggap sebagai raja Bima
pertamanya.
Hanya saja, Sang Bima meminta kepada para Ncuhi supaya
anaknya yang diangkat sebagai raja. Sementara dia sendiri
kembali lagi ke Jawa dan menyuruh dua anaknya untuk memerintah
di Kerajaan Bima.Oleh karena itu, sebagian bahasa Jawa Kuno
kadang-kadang masih digunakan sebagai bahasa halus di Bima.
Nama Bima sendiri sebenarnya adalah sebutan dalam bahasa
Indonesia, sementara orang Bima sendiri menyebutnya Mbojo.
Saat menggunakan bahasa Indonesia untuk merujuk “Bima”, yang
digunakan tetap harus mengucapkan kata “Bima”. Tetapi bila
menggunakan bahasa daerah Bima untuk merujuk ”Bima”, kata yang
digunakan secara tepat adalah “Mbojo”. Mbojo ini merupakan
salah satu suku Bima karena dalam suku Bima sendiri ada dua
suku, yakni suku Donggo dan suku Mbojo.Suku Donggo atau orang
Donggo dianggap sebagai orang pertama yang telah mendiami
wilayah Bima.
Suku Bima atau Dou Mbojo, adalah suku yang terdapat di
kota Bima dan kabupaten Bima. Populasi suku Bima diperkirakan
lebih dari 500.000 orang. Suku Bima bermukim di daerah dataran
rendah, yang berada dalam wilayah kabupaten Bima, Dongo dan
Sangiang. Kondisi alam pemukiman suku Bima berbeda-beda, di
daerah utara tanahnya sangat subur, sedangkan sebelah selatan
tanahnya gundul dan tidak subur. Masyarakat suku Bima
kebanyakan bermukim dekat pesisir pantai. Suku Bima kadang
disebut juga sebagai suku "Oma" (berpindah-pindah) karena
kebiasaan hidup mereka yang berpindah-pindah dari satu tempat
ke tempat lain.
Suku Bima masih memiliki hubungan kerabat dengan suku
Sasak yang tinggal di pulau Lombok di provinsi Nusa Tenggara
Barat. Dalam keseharian suku Bima berbicara dalam bahasa Bima
yang disebut juga sebagai bahasa Nggahi Mbojo. Bahasa Bima
terdiri dari beberapa dialek, yaitu dialek Bima, Bima Dongo
dan Sangiang. Bahasa Bima ini adalah cabang dari rumpun bahasa
Malayo-Polynesian.
Dalam cerita sejarah rakyat suku Bima, dahulu suku Bima
memiliki 7 pemimpin di setiap daerah yang disebut Ncuhi. Pada
masa pemberontakan di Majapahit, salah satu dari Pandawa Lima,
Bima, melarikan diri ke Bima melalui jalur selatan agar tidak
ketahuan oleh para pemberontak dan langsung diangkat oleh para
Ncuhi sebagai Raja Bima pertama. Namun Sang Bima langsung
mengangkat anaknya sebagai raja dan beliau kembali lagi ke
Jawa dan menyuruh 2 anaknya untuk memerintah di Kerajaan Bima.
Oleh karena itu, bahasa halus di Bima yang kadang-kadang
dipakai oleh masyarakat suku Bima, mirip dengan bahasa Jawa
Kuna.
Pada masa lalu suku Bima dalam bidang pertanian sempat
menjadi salah satu anggota dari segitiga emas pertanian
bersama Makassar dan Ternate pada zaman Kesultanan. Oleh
karena itu, hubungan Bima dan Makassar sangatlah dekat, karena
pada zaman Kesultanan, kedua kerajaan ini saling menikahkan
putra dan putri kerajaannya masing. 
Suku Bima terkenal dengan kudanya yang kecil tetapi kuat.
Sejak abad ke-14 kuda Bima telah dibawa ke pulau Jawa.
Tahun 1920 daerah Bima telah menjadi tempat pengembangbiakan
kuda.
Perkampungan orang Bima disebut sebagai Kampo atau Kampe
yang dipimpin oleh kepala desa yang disebut ncuhi, ompu, atau
gelarang. Kepala desa dibantu oleh golongan kerabat yang tua
dan dihormati. Kepemimpinan diwariskan turun temurun di antara
keturunan nenek moyang pendiri desa.
Dahulu, pada awal berdirinya sekolah di pemukiman suku
Bima ini, sekolah dianggap sebagai perusak adat. Tapi saat ini
banyak anak-anak disekolahkan dari sekolah dasar sampai
perguruan tinggi, mereka cenderung beranggapan segala yang
berasal dari luar itu baik, terutama yang menyangkut
kebudayaan dan teknologi. Cara hidup dan berpikir masyarakat
suku Bima sudah mengikuti pola modern. 
Suku Bima memiliki rumah adat yang unik, tidak kalah
dengan rumah adat suku Toraja, Batak dan suku Wae Rebo. Rumah
adat suku Bima bernama "Uma Lengge", memiliki struktur rumah
terbuat dari kayu, keseluruhan elemennya saling kait mengkait
sehingga menjadi kesatuan dan berdiri diatas tiang-tiang.
Tiang menumpu pada pondasi-yang berupa sebuah batu alam
sebagai tumpuan tiang, konstruksi bangunan ini adalah tahan
gempa dan angin, dengan kata lain adalah sangat kokoh.

Suku Bima memiliki agama kepercayaan asli, yaitu "Pare no


bongi, yaoti" kepercayaan terhadap roh nenek moyang). Saat ini
sebagian besar masyarakat suku Bima memeluk Islam. Tapi dalam
keseharian masyarakat suku Bima masih mempercayai hal-hal gaib
dan roh-roh yang ada di sekitar mereka. Mereka mempercayai
tentang Batara Gangga sebagai dewa yang memiliki kekuatan yang
sangat besar dan sebagai penguasa. Lalu Batara Guru, Idadari
Sakti dan Jeneng, roh Bake dan roh jin yang tinggal di pohon
dan di gunung yang sangat besar dan berkuasa
mendatangkan penyakit, bencana dan lain-lain. Mereka juga
percaya adanya sebatang pohon besar di Kalate yang dianggap
keramat, Murmas tempat para dewa, gunung Rinjani, tempat
tingggal para dewa-dewi. Sebagian masyarakat suku Bima masih
mengandalkan dukun untuk menangani kesehatan dan
penyakit. Sedangkan sekelompok kecil Suku Bima yang mendiami
bagian timur menganut agama Kristen. 

Rimpu, pakaian adat perempuan Bima


Perempuan suku Bima memiliki pakaian khas semacam sarung
sebagai 'bawahan', bahkan masih ada yang menggunakan dua buah
sarung, yang disebut "rimpu". Rimpu adalah cara perempuan Bima
menutup aurat bagian atas dengan sarung sehingga hanya
kelihatan mata atau wajahnya saja. Rimpu yang hanya kelihatan
mata disebut "rimpu mpida".
Mata pencaharian utama suku Bima adalah pada bidang
pertanian. Mereka mengelola padi di sawah dan menanam berbagai
jenis tanaman di ladang. Selain itu, mereka juga beternak
kuda. Kegiatan lain adalah berburu di hutan sekitar pemukiman
mereka. Para perempuan membuat kerajinan anyaman dari rotan
dan daun lontar, serta kerajinan tenun, yang disebut "tembe
nggoli" yang sudah terkenal.
B.Makna Bahasa Mbojo
Suku Mbojo memiliki beragam bahasa dan dialek yang
berasal dari berbagai wilayah di suku Mbojo. Dari setiap
bahasa yang digunakan memiliki arti dan makna sendiri. Adapun
bahasa Mbojo yang di maksud adalah sebagai berikut :
a. Kalembo ade
Kalembo Ade" adalah kata subyek yang selalu diucapkan
dalam dioalog dou Mbojo (bima) yang makna dari kata kalembo
ade itu sendiri akan berubah-ubah sesuai dengan kata obyek
yang dituju. Seperti dalam Bahasa Indonesia, ungkapan
sering terbentuk dari berbagai unsur. ungkapan kalembo ade
ini selalu mewarnai kegiatan/alur berkomunikasi dalam
keseharian warga Mbojo (bima). Frekuensi penggunaannya
pun , boleh dikatakan, tiada hari tanpa ada ungkapan
kalembo ade , bahkan tiada jam tanpa ada kalembo ade.
Secara sederhana, dapat dikatakan maknanya adalah
bersabar. Itu dipahami karena ungkapan itu terbentuk dari
kata kalembo (sabar)  ade (hati). Jadi kalembo ade artinya
bersabar yang berarti keikhlasan hati nurani.
Setelah diadakan penelitian sederhana, tafsiran kita
terhadap ungkapan kalembo ade, memang beragam maknanya.
Untuk tidak sekedar diperbincangkan, berikut ini, disajikan
sebagai berikut:
1. Kalembo ade bermakna: tidak mudah putus-asa. Ketika
kita mengalami kesulitan, seperti kekurangan uang
untuk membayar SPP, orang yang paling dekat dengan
kita selalu menggunakan ungkapan,”Kalembo ade, kata
orang bijak, sabar akan menjadi subur”. Atau salah
satu krabat kita tertimpa musibah meninggal dunia,
maka semua yang melayat tidak akan terlewatkan kata
kalembo ade baru ditambahkan kata-kata lain yang
menyetuh misalnya : "Kalembo ade ari e, aina ipi
nangi, ndai ta manusia ke di mamade menampa”  yang
artinya "jangan terlalu sedih (menangis) dik, karena
kita sebagai manusia, semuanya bakal meninggal”
2. Kalembo ade bermakna: tidak tergesa-gesa. Kenyataan di
lapangan menunjukkan bahwa banyak di antara kita dalam
menyelesaikan sebuah pekerjaan maunya cepat  selesai,
orang akan menganggap pekerjaan yang dikerjakan dengan
terburu-buru hasilnya tidak akan maksimal maka orang
itu pasti akan menegur atau mengingat kita dengan kata
: Kalembo ade, ai na ipi hura-hara krawi re, kanari-
nari mpa diloa taho kai ndadina (jangan terlalu
terburu buru, pelan - pelan saja, biar hasilnya
maksimal)
3. Kalembo ade bermakna : teliti dan tekun, dalam hal
belajar misalnya, kita disarankan agar selalu
memperhatikan dan memahami sepenuhnya tentang apa yang
kita pelajari, Belajar dan belajar, tetap semangat
untuk belajar, biasanya orang terdekat kita akan
mengingatkan seperti ini ”Kalembo ade, tanao kapoda
ademu, diloa kai raka aura ne'e mu" (belajar yang
sungguh-sungguh agar cita-citamu tercapai).
4. Kalembo ade bermakna jengkel atau marah.Ketika kita
menagih utang kepada teman, kemudian teman kita selalu
menunda-nunda pembayarannya, maka terkadang kesabaran
kita habis sudah maka tanpa disadari emosional kita
meledak dalam seketika. Kalembo ade ya, sambil
menunjuk –tunjuk jemari kita di depan mata seseorang ;
”Kalembo ade , cina e, ndaim ma ka susah podaku ake,
nahu ke, ngge'e nggongga senai-naiku di ake pala
watipu cola conggo, bone aiku colamu" (banyak maaf
teman, tiap hari saya bolak balik kesini tapi belum
bayar juga utangmu, kapan kamu mau bayar).
5. Kalembo ade bermakna: merendahkan diri. Pada waktu
kita memberikan hadiah yang mahal harganya, tapi
justeru kita mengatakan kalemboade hanya itu yang bisa
kita berikan. Jauh dari lubuk hati si penerima
mengatakan wah…, sudah dikasih hadiah yang mahal
harganya malah dikatakan kalembo ade, biasanya sambil
menyerahkan hadiah tersebut diiringi ucapan ”Kalembo
ade, ake mpa mara wara, diloa kai samada angi ndai!”
(mohon maaf, hanya ini yang dapat aku berikan sebagai
kenang-kenangan antara kita)
6. Kalembo ade bermakna: mohon maaf. Dalamkeseharian,
kita terkadang terlambat datang pada suatu pertemuan.
Oleh karenaitu, kita selalu meminta maaf atas
keterlambatan kita. biasanya diungkapkan demikian,”
Kalembo ade, mada wara sengiri ke“ (banyak maaf saya
agak terlambat).
7. Kalembo ade bermakna: tegur-sapa. Menegur atau menyapa
adalah pola komunikasi yang sangat bermanfaat bagi
sesama, begitupun di Bima, digunakan dalam kehidupan
sehari-hari, Misalnya, “Kalembo ade, ampo ja eda angi,
tabe ku ra lao kai re (mohon maaf, kita kayaknya baru
bertemu deh, kemana saja selama ini).
b. Nggahi Rawi Pahu
Nggahi rahi pahu merupakan Falsafa daerah yang
diciptakan oleh orang-orang Dompu dulu, yang sampai
sekarang Kata Nggahi Rawi pahu dibumikan oleh Masyarakat
dan pemerintah Kabupaten Dompu sebagai ciri khas Daerah
yang memiliki makna yang sangat dalam bila kita
mengkajinya.
Arti yang sebenarnya dari kata Nggahi Rawi pahu adalah
pertama, (Nggahi). Nggahi yang artinya bilang/mengatakan
sesuatu apa yang dipikirkan dan apa yang dilihat yang
keluar dari mulut seseorang. Kedua, Rawi; kata Rawi yang
artinya “perbuatan/sikap” seseorang yang hasil dari apa
yang mereka katakana terus yang dapat diaplikasikan
langsung melalui sikap atau perbuatan seseorang. Dan yang
ketiga, Pahu; kata pahu yang maknanya “bentuk/wujud” atau
bukti nyata dari apa yang dikatakan/bicarakan dan langsung
dilakukan dengan sikap/perbuatan,sehingga tidak sia-sia apa
yang mereka katakana dihadapan orang lain.
c. Maja Labo Dahu
Mbojo memiliki semboyan yang dikenal dengan sebutan
“Maja Labo Dahu”. Setiap aturan yang berdasarkan budaya
ataupun hasil karya manusia adalah tidak akan pernah lepas
dari aturan tuhan, mulai dari undang-undang Negara sampai
pada tataran kebudayaan seperti yang dimilki oleh Bima itu
sendiri. Kata Maja berarti Malu, Labo berarti dan serta
Dahu berarti Takut. Jika kita meninjau kata di atas secara
semantik atau maknawi, Maja (malu) bermaknakan bahwa orang
ataupun masyarakat Bima akan malu ketika melakukan sesuatu
diluar daripada koridor tuhan, apakah itu kejahatan,
perbuatan dosa dan lain sebagainya baik yang berhubungan
dengan manusia ataupun terhadap tuhannya. Dahu (takut),
hampir memilki proses interpretasi yang sama dengan kata
Malu tersebut. Sama-sama takut ketika melakukan sesuatu
kejahatan ataupun keburukan. Sebagai tambahan bahwa, orang
Bima akan malu dan takut pulang ke kampung halaman mereka
ketika mereka belum berhasil di tanah rantauan.
d. Santabe
Kata Santabe yang artinya “permisi”. Setiap orang yang
mau lewat dihadapan orang-orang duduk dan ngumpul maka kata
Santabelah yang harus kita sapa sebabagai bentuk tradisi
budaya yang saling menghargai orang lain.
C.Upacara, adat, tradisi, dan makanan khas suku Mbojo
Secara umum kebudayaan keluarga suku Mbojo yang tinggal di
mataram tetap dipertahankan seperti Wa,a co’i, kapanca, nuzu
bulan, akikah, khitan, compo sampari, compo baju, sunatan,
do’a rasu, silaturrahmi dan mbolo weki.
Makanan yang dihidangkan dalam acara sunatan dan resepsi
pernikahan dikombinasi antara makan khas lombok dan khas bima
seperti gule daging, sate, acar, palumara (singang), urap, dan
saronco hi’i. Sedangkan budaya seperti doa rasu, silaturahmi
dan nuzul bulan tetap mempertahankan makanan khas bima.
a. Upacara Adat dan Tradisi
Suku Mbojo berbagai macam upacara adat dan tradisi yang
dilakukan pada saat hari – hari tertentu, antara lain :
1. Wa’a coi
Wa’a coi maksudnya adalah upacara menghantar mahar
atau mas kawin, dari keluarga pria kepada keluarga sang
gadis. Dengan adanya uacara ini, berarti beberapa hari
lagi kedua remaja tadi akan segera dinikahkan.
Banyaknya barang dan besarnya nilai mahar, tergantung
hasil mufakat antara kedua orang tua remaja tersebut.
Pada umumnya mahar berupa rumah, perabotan rumah
tangga, perlengkapan tidur dan sebagainya. Tapi
semuanya itu harus dijelaskan berapa nilai nominalnya.
Upacara mengantar mahar ini biasanya dihadiri dan
disaksikan oleh seluruh anggota masyarakat di
sekitarnya. Digelar pula arak-arakan yang meriah dari
rumah orang tua sang pria menuju rumah orang tua
perempuan. Semua perlengkapan mahar dan kebutuhan lain
untuk upacara pernikahan seperti beras, kayu api, hewan
ternak, jajan dan sebagainya ikut dibawa.
2. Kapanca
Upacara  Peta Kapanca adalah salah satu bagian
dari prosesi perkawinan Adat Bima. Biasanya upacara ini
dilaksanakan sehari sebelum dilaksanakan Akad Nikah dan
Resepsi perkawinan. Peta Kapanca adalah melumatkan Daun
pacar(Inai) pada kuku calon pengantin wanita yang
dilakukan secara bergantian oleh ibu-ibu dan tamu
undangan yang semuanya adalah kaum wanita.
Makna dari upacara Kapanca ini merupakan
peringatan bagi calon pengantin wanita bahwa dalam
waktu yang tidak lama lagi akan melakukan tugas dan
fungsi sebagai ibu rumah tangga atau istri. Disamping
itu, Kapanca dimaksudkan untuk memberi contoh kepada
para gadis lainnya agar mengikuti jejak calon penganten
wanita yang sedang mempersiapkan diri untuk menjadi
seorang ratu yang akan mengakhiri masa lajangnya
sehingga mereka dapat mengambil hikmah.
3. Nuzul Bulan
Nuzul Bulan adalah suatu acara yang dilaksanakan
pada usia kehamilan 7 bulan yang bertujuan untuk
keselamatan dengan harapan bayi yang dikandung lahir
sehat. Prosesi acara ini melibatkan sesepuh yang telah
lama tinggal di mataram. Makanan yang dihidangkan dalam
acara ini adalah pisang ambon, oha mina serta karaba,
pangaha bunga, bolu dan mangonco (rujak). Rujak yang
dibuat oleh pihak acara diberikan kepada para undangan.
Menurut kepercayaan masyarakat suku Mbojo, jika rujak
yang diberikan rasanya pedas maka anak yang dikandung
adalah anak laki-laki. Sedangka jika rujak yang
diberikan rasanya manis maka anak yang dikandung adalah
anak perempuan.
4. Khitan
Upacara khitanan dalam adat Mbojo disebut upacara
suna ro ndoso (Suna = sunat. Ndoso = memotong atau
meratakan gigi secara simbolis sebelum sunat). Biasanya
upacara suna ro ndoso dilakukan ketika anak berumur
lima sampai tujuh tahun. Bagi anak perempuan antara dua
sampai dengan empat tahun. Upacara khitan bagi anak
laki-laki disebut suna. Sedangkan bagi puteri
disebut”sa ra so”. Sebelum di khitan terlebih dahulu
akan di lakukan compo sampari dan compo baju pada anak
laki – laki dan perempuan. Dalam acara khitan serta
compo sampari dan compo baju terdapat makanan yang
sering disajikan seperti : uta janga puru (ayam bakar),
sia dungga, uta mbeca ro,o parongge,oha mina, kalo.
5. Compo sampari
Upacara compo Sampari atau pemasangan
keris( memakaikan keris) kepada anak laki – laki yang
akan di Suna Ro Ndoso. Dilakukan oleh seorang tokoh
adat, diawali dengan pembacaan do’a disusul dengan
membaca shalawat Nabi. Upacara ini digelar sebagai
peringatan bahwa  sebagai anak laki – laki harus
memiliki kekuatan dan keberanian yang dilambangkan
dengan sampari (keris).
6. Compo baju
Upacara compo baju yaitu upacara pemasangan baju
kepada anak perempuan yang akan di saraso ro ndoso.
Baju yang akan dipasang sebanyak 7 lembar baju
poro(Baju pendek) yang dilakukan secara bergilir oleh
para tokoh adat dari kaum ibu. Makna compo baju adalah
merupakan peringatan bagi anak, kalau sudah di saraso
berarti sudah dewasa. Sebab itu harus menutup aurat
dengan rapi. Tujuh lembar baju  adalah tujuh simbol
tahapan kehidupan yang dijalani manusia yaitu masa
dalam kandungan, masa bayi, masa kanak – kanak, masa
dewasa, masa tua, alam kubur dan alam baqa(akherat).
7. Doa rasu
Doa rasu adalah suatu kebiasaan berdoa pada hari
jum’at yang dilaksanakan pada pagi hari, dimana maksud
acara ini sebagai ungkapan rasa syukur dan sebagai tola
bala agar keluarga tersebut terhindar dari bencana dan
mala petaka. Biasanya anak-anak dikumpulkan setelah
sholat subuh atau sebelum matahari terbit dan diberikan
makan berupa karedo (bubur) yang diletakan di atas nare
yang dialasi daun pisang. Tempat makan diadakan doa
rasu tergantung pada tujuan yang membuat acara seperti
di depan pintu bertujuan untuk memurahkan rejeki.
8. Silaturahmi
Silaturrahmi adalah suatu kebiasaan suku Mbojo
mengunjungi keluarga atau kerabat untuk mempererat tali
persaudaraan. Bagi masyarakat suku Mbojo mengadakan
silaturahmi berupa acara arisan, dimana masyarakat suku
Mbojo menyempatkan diri berkumpul ditengah kesibukan
mereka masing-masing dan dengan arisan itu mereka
saling mengenal sehingga ikatan persaudaraan mereka
lebih erat. Pada acara ini makanan yang dihidangkan
adalah makanan khas bima yang dibuat oleh tuan rumah.
9. Mbolo weki
Mbolo weki adalah upacara musyawarah dan mufakat
seluruh keluarga maupun handai taulan dalam masyarakat
untuk merundingkan segala sesuatu yang berhubungan
dengan pelaksanaan hajatan/rencana perkawinan yang akan
dilaksanakan. Dalam tradisi khitanan juga demikian.
Hal-hal yang dimufakatkan dalam acara mbolo weki
meliputi penentuan hari baik, bulan baik untuk
melaksanakan hajatan tersebut serta pembagian tugas
kepada keluarga dan handai taulan. Bila ada hajatan
pernikahan, masyarakat dengan sendirinya bergotong
royong membantu keluarga melaksanakan hajatan. Bantuan
berupa uang, hewan ternak, padi/beras dan lainnya.
Dalam acara mbolo weki ini biasanya di sajikan beberapa
macam jajanan seperti bolu, dadar, pisang, binka dolu.
b. Makanan Khas Suku Mbojo
Suku Mbojo memiliki masakan dan jajanan yang khas
yaitu :
1. Mina Sarua
Minasarua merupakan makanan khas orang Sila, karena
orang Sila turun temurun tiap generasi diajarkan cara
membuat Minasarua, terbuat dari bahan rempah-rempah
yang bermanfaat sebagai obat atau biasa disebut minuman
penghangat tubuh atau untuk daya tahan tubuh dari
penyakit. Di Bima hanya di Sila yang banyak terdapat
rumah-rumah pembuat Minasarua yang hingga kini masih
ada dan banyak.
Proses pembuatan Mina Sarua berlangsung selama dua
hari. Campuran beras ketan dan ragi akan di diamkan
selama satu malam. Paginya rempah-rempah antara lain
Jahe, Merica dan Lada, di goreng. Lalu beras ketan yang
telah menjadi tape ketan itu di campur dengan rempah
yang telah di goreng. Kemudian di masak bersama santan
kelapa dan siap di sajikan.
Namun Mina sarua ini rasanya tidak nikmat tanpa
pelengkap yaitu TaI Mina. TaI Mina ini dibuat terpisah
dan berbahan dasar kelapa parut. Kelapa tersebut diolah
dengan minyak dan campuran sedikit bumbu. Cara
penyajiannya, TaI Mina dicampur atau di tabur dalam
Mina Sarua.
Mina Sarua berasal dari kata Minyak Saruang, berupa
minyak oles yang berfungsi sebagai obat keseleo, sakit
perut, masuk angin dan beberapa manfaat lainnya, yang
pertama kalinya di racik oleh orang Sumbawa.
Setelah beberapa orang Sumbawa itu merantau ke Bima,
tepatnya di Wilayah Sila, merekapun membawa minyak
Saruang untuk di perkenalkan pada warga setempat. Oleh
orang-orang Bima, kemudian meracik obat tersebut
menjadi minuman penghangat tubuh.
Akhirnya bahan dasar rempah minyak Saruang di padu
dengan tape ketan. Karena dialeg Bima yang pada umumnya
tidak kesampean, maka secara gamblang saja Minyak
Saruang berubah nama menjadi Mina Sarua.
2. Bingka Dolu
Bingka Dolu adalah sejenis kue khas Bima Dompu yang
berbahan dasar tepung terigu, telur, gula dan beberapa
adonan lainnya. Bahan yang dibutuhkan 500gr tepung
terigu, 500gr telur, 400gr gula pasir, 5 gelas santan
dari 2 kelapa ukuran sedang, 1 gelas air pandan suji
(untuk pewarna hijau), ½ sendok teh garam danMinyak
untuk mengoles catatan.
3. Pangaha bunga
Pangaha bunga atau Jajan Bunga dan Jajan Cincin
(Pangaha bunga dan pangaha sinci : Bahasa Bima)
merupakan diantara sekian jenis makanan khas daerah
Bima yang secara turun temurun di lestariakan hingga
saat ini. Bahan-bahan kedua jenis jajan ini sangatlah
sederhana. Semua orang pasti bisa membuatnya jika
mengetahui bahan da cara pembuatannya. Tetapi belum
tentu rasa yang di hasilkan se-nikmat rasa yang
tercipta dari tangan para pembuat (pengrajin) asli.
Tangan-tangan mereka telah terbiasa dan memiliki
teknik-teknik yang mungkin tak di ketahui oleh orang
lain.
4. Oi Mange
Makanan khas orang Bima-Dompu sebagai teman nasi dan
ikan teri (uta paku).
5. Tumis sepi
Sepi adalah makanan khas Bima yang terbuat dari
udang rebon (anak udang yang sering disebut dengan sepi
Bou)udang rebon difermentasi dengan garam saja sehingga
mengeluarkan aroma yang khas.
c. Kerajinan serta rumah adat suku khas Bima
1. Gelas Songga
Merupakan produk khas daerah Bima-Nusa Tenggara
Barat yang digunakan untuk pengobatan berbagai
penyakit.
Gelas songga ( nama ilmiah: Eurycoma longifolia)
terbuat dari kayu obat alami yang yang tumbuh di
Pegunungan Bima, Dompu. Biasa juga disebut dengan Kayu
" Bidara Laut" atau di daerah lain kadang disebut "
pasak bumi" atau " tongkat ali".
Adapun manfaat dari kayu songga atau gelas songga
antara lain:
a. Menurunkan kadar gula darah bagi penderita diabetes
b. Mengatasi asam urat, darah tinggi, darah koto
c. Mengobati Malaria
d. Mengobati kurang nafsu makan
e. Mengobati radang lambung, kurang nafsu makan, cacar
air, badan lemah dan badan panas atau dingin
f. Serta berbagai penyakit dalam lainnya.
Songga/ Bidara Laut mengandung zat-zat :
Logarin, Silikat, Styrikhnos, Mangan, Lemak, Zat Samak,
Tembaga, Protein, Alkoloida / Strich in Bruin

Cara Penggunaan :

- Masukan air hangat ke dalam Gelas Kayu Songga


- Biarkan sampai 1-5 Menit
- Minum air larutan dalam Gelas sebagai pengobatan 1-2
kali sehari
- Gelas bisa dipakai minum berulang-ulang sampai dengan
rasa pahit yang dihasilkan sudah tidak terasa.

Perhatian :

- Jangan diisi air panas atau air es, dapat menyebabkan


gelas pecah
- Khusus penderita darah rendah agar tidak terlalu
banyak mengkonsumsi
2. Tembe
Kota Bima merupakan suatu daerah kaya akan kekayakan
budaya dan adat istiadat. Orang Bima mengenal tenunan
sejak bedirinya Negara islam di Bima pada 15 rabiul awal
1050 hijriah. Awal pertama kali masyarakat Mbojo
mengenal pembuatan tenunan biasa mereka menyebutnya
dengan ”Tembe’ dimana tujuan utama pembuatan tembe
tersebut sebagi pakaian yang menutup auratnya serta
sebagai motivasi peradaban keagamaan mereka pada zaman
dulu.
Dimana tembe ini dikenal bebrapa jenis yaitu tembe
nggoli, tembe songket, tembe kafa na’e, tembe me’e,
tenunan ini merupakan salah satu hasil kerajinan khas
daerah Mbojo Bima yang dikenal di beberapa daerah.
Mengapa dikatakan tenunan tradisional karena alat-
alatnya di buat secara tradisional seperti tampe, tandi,
ku’u, poro’ cau, lihu, lira lili, dll. Pekerjaaan
tenunan ini dilakukan oleh kaum perempuan remaja dan
ibu-ibu.
Adapun proses pembuatan tenunan tersebut cukup rumit
di mulai dari :
a. Menggulung benang-benang pada seruas bambu dengan
menggunakan alat sederhana.
b. Benang yang digulung tadi kemudian dililitkan pada
sebuah benda yang dirancang khusus seperti garpu,
biasanya garpu yang satu terdiri dari tiga garpu,
sedangkan yang lainnya empat garpu.Setelah lilitanya
selesai baru ujung-ujung benang tadi diselipkan ke
sisir (cau) serta alat-alat lain yang diperlukan.
c. Benang-benang yang sudah dipasang tadi ditarik lurus
sekencang-kencangnya untuk mengetahui apakah ada
benang yang salah ataupun dimasukan kedalam sisir
tadi.
d. Benang itu digulung dengan rapi dan siap untuk di
tenun.

Tidak semua orang Bima dapat bertenun sarung, hanya


orang-orang yang memiliki kosentrasi dan ketelilitian
yang tinggi kalau tidak maka bagian tepi sarungnya tidak
rata. Tetapi apalah yang tidak bisa kita lakukan kalau
kita memiliki keamauan untuk berlatih dan tekun belajar
maka pastilah bisa.
Ragam motif tenunan Bima relatif sedikit bila
dibandingkan dengan Jawa dan Bali. Motif tenunan Bima
hanya menampilkan satu dari sekitar sembilan ragam motif
hiasan dalam satu lembar sarung atau pakaian. Misalnya
kalau hiasan bunga sekuntum (Bunga Satako) tidak dapat
disertakan dengan Bunga Aruna( Bunga Nenas).Berikut
beberapa motif dan makna dari ragam hiasan dalam tenunan
khas Bima.

1. Bunga Samobo (bunga Sekuntum), sebagai mahluk sosial


manusia selain bermanfaat bagi dirinya, juga harus
bermanfaat bagi orang lain, laksana sekuntum bunga
yang memberikan aroma harum bagi lingkungannya.
2. Bunga Satako (Bunga Setangkai), sebagai simbol
kehidupan keluarga yang mampu mewujudkan kebahagiaan
bagi anggota keluarga dan masyarakat. Bagaikan
setangkai bunga yang selalu menebar keharuman bagi
lingkungannya.
3. Bunga Aruna (Bunga Nenas). Nenas yang terdiri dari
99 sisik(helai) merupakan simbol dari 99 sifat utama
Allah yang wajib dipedomani dan diteladani oleh
manusia dalam menjalankan kehidupan agar terwujud
kehidupan bahagia dunia dan akhirat.
4. Bunga Kakando (Rebung) mengandung makna hidup yang
penuh dinamika yang mesti jalani dengan penuh
semangat.

Disamping mengenal motif bunga, tenunan Bima juga


mengenal motif geometri seperti Gari(garis), Nggusu Tolu
atau Pado Tolu( Segitiga), Nggusu Upa (Segi empat, Pado
Waji (Jajaran Genjang), serta Nggusu Waru ( Segi Delapan
). Motif Gari(Garis) mengandung makna bahwa manusia
harus bersikap jujur dan tegas dalam melaksanakan tugas,
seperti lurusnya garis. Nggusu Tolu(Segitiga) berbentuk
kerucut mengandung makna bahwa kekuasaan tertinggi ada
di tangan Allah yang disimbolkan dalam puncak kerucut
yang lancip. Nggusu Upa atau segi empat merupakan simbol
kebersamaan dengan tetangga dan kerabat. Motif Pado Waji
hampir sama maknanya dengan Nggusu Tolu, tetapi selain
mangakui kekuasaan Allah juga harus mengakui kekuasaan
pemimpin yang dilukiskan dengan dua sudut tumpul bagian
kiri kanannya. Sedangkan Nggusu Waru, idealnya seorang
pemimpin harus memenuhi delapan persyaratan yaitu
:Beriman Dan Bertaqwa, Na Mboto Ilmu Ro Bae Ade
( Memiliki ilmu dan pengetahuan yang luas), Loa Ra Tingi
( Cerdas Dan Terampil), Taho Nggahi Ra Eli (Bertutur
kata yang halus dan sopan), Taho Ruku Ro Rawi
(Bertingkah Laku Yang Sopan), Londo Ro Dou (Berasal Dari
Keturunan Yang Baik),Hidi Ro Tahona ( Sehat Jasmani Dan
rohani), Mori Ra Woko (  Mampu memenuhi kebutuhan hidup
sehari-hari).
Berkaitan dengan warna, unsur warna dalam seni rupa
Bima terdiri dari dana kala(warna merah), dana
monca(warna kuning), Dana Owa(Warna Biru), Dana Jao
(Warna Hijau), Dana Keta (Warna Ungu), Dana Bako (warna
merah jambu), Dana Me’e (Warna Hitam) dan Dana Lanta
(Warna Putih). Setiap warna memiliki makna. Merah
mengandung nilai keberanian. Putih mengandung nilai
kesucian. Biru simbol kedamaian dan keteguhan hati.
Kuning bermakna kejayaan dan kebesaran. Hijau
melambangkan kesuburan dan kemakmuran. Warna Ungu,merah
jambu dan hitam melambangkan kesbaran dan ketabahan.
Sedangkan coklat melambangkan kesabaran dan ketabahan
kaum perempuan dalam menjalankan tugas. Dalam Seni Rupa
Bima warna paling dominan adalah hitam sebagai simbol
Bumi (Tanah) bermakna kesabaran .

a. Rumah Lengge
Lengge merupakan salah satu rumah adat
tradisional Bima yang dibuat oleh nenek moyang suku
Bima(Mbojo) sejak zaman purba. Sejak dulu, bangunan
ini tersebar di wilayah Sambori, Wawo dan Donggo.
Khusu di Donggo terutama di Padende dan Mbawa
terdapat rumah yang disebut Uma Leme. Dinamakan
demikian karena rumah tersebut sangat runcing dan
lebih runcing dari Lengge. Atapnya mencapai hingga ke
dinding rumah. Namun saat ini jumlah Lengge  atau Uma
Lengge semakin sedikit. Di kecamatan Lambitu, Lengge
dapat ditemukan di desa Sambori yang berjarak sekitar
40 km sebelah tenggara kota Bima. Meskipun ada juga
di desa lain seperti di Kuta, Teta, Tarlawi dan
Kaboro dalam wilayah kecamatan Lambitu.
Uma Lengge terdiri dari tiga lantai. Lantai
pertama digunakan untuk menerima tamu dan kegiatan
upacara adat. Lantai kedua berfungsi sebagai tempat
tidur sekaligus dapur. Sedangkan lantai ketiga
digunakan untuk menyimpan bahan makanan seperti padi,
palawija dan umbi-umbian. 
Pintu masuknya terdiri dari tiga daun pintu yang
berfungsi sebagai bahasa komunikasi dan sandi untuk
para tetangga dan tamu. Menurut warga Sambori, jika
daun pintu lantai pertama dan kedua ditutup, hal itu
menunjukan bahwa yang punya rumah sedang berpergian
tapi tidak jauh dari rumah. Tapi jika ketiga pintu
ditutup, berarti pemilik rumah sedang berpergian jauh
dalam tempo yang relatif lama. 

Hal ini tentunya merupakan sebuah kearifan yang


ditunjukkan oleh leluhur orang-orang Bima. Ini
tentunya memberikan sebuah pelajaran bahwa
meninggalkan rumah meski meninggalkan pesan meskipun
dengan kebiasaan dan bahasa yang diberikan lewat
tertutupnya daun pintu itu. Disamping itu, tamu atau
tetangga tidak perlu menunggu lama karena sudah ada
isyarat dari daun pintu tadi.
Bentuk Lengge mirip bangunan rumah panggung yang
dibangun menggunakan bahan kayu dengan atap dari
ilalang. Ukurannya sekitar 4 kali 4 meter, dengan
tinggi hingga puncaknya mencapai 7 meter. Lengge
ditopang empat kaki kayu, setinggi 1 meter. Di atas
kaki kayu itu, ada semacam bale-bale tanpa dinding
dengan 4 penyangga kayu setinggi 1,5 meter. Di atas
bale-bale, ada ruangan berdinding kayu, tempat
penyimpanan persediaan pangan. Atapnya dari ilalang
yang berbentuk mengerucut ke atas.

D.Pengertian sehat dan sakit


Pengertian Sehat Sakit Menurut Keluarga Suku Mbojo yang
Tinggal di Lombok
Pak Qisman dan Pak mempunyai persepsi yang sama tentang
konsep sehat sakit. Menurut mereka sehat adalah suatu keadaan
dimana sesorang dapat memenuhi semua kebutuhannya dan dapat
beraktifitas sehari-hari sedangkan sakit adalah suatu keadaan
dimana seseorang tidak dapat beraktifitas dan tidak dapat
memenuhi kebutuhannya.
Pada saat sekarang, masyarakat suku Mbojo sudah mau
berobat ke puskesmas ataupun rumah sakit yang ada, ini
menandakan bahwa masyarakat suku Mbojo telah mengenal adanya
fasilitas kesehatan yang ada pada saat kini dan meninggalkan
kebiasaan kuno yang berobat pada dukun atau orang pintar.
E.Kebiasaan dan pola makan
a. Kebiasaan dan Pola Makan Keluarga Pak Qisman
Awalnya keluarga Pak Qisman sulit beradaptasi dengan
makanan lombok sehingga Pak Qisman tetap mengkonsumsi
makanan bima yang diperoleh dari kiriman keluarganya.
Namun, mereka sadar tidak selamanya mengkonsumsi makanan
dari bima sehingga mereka beradaptasi dengan lingkungan dan
seiring berjalannya waktu mereka terbiasa dengan makanan
lombok tanpa melupakan makanan khas bima.
Makanan yang biasa dihidangkan oleh keluarga Pak
Qisman adalah sambal doco, oi mangge, uta karamba, uta
mbeca saronco, uta mbeca maci seperti uta mbeca parongge,
bohi dungga, mangge mada, uta palumara, tumis sepi dan tota
fo’o. Tetapi makanan yang paling disering dikonsumsi oleh
keluarga Pak adalah tumis sepi, karamba dan uta mbeca
parongge.
Meskipun anak-anak Pak Qisman dilahirkan dilombok
tetapi tetap mengenalkan makanan khas bima. Anak-anaknya
tetap mengkonsumsi makanan lombok dan menyukai makanan khas
bima.
b. Kebiasaan dan Pola Makan Keluarga Pak Adi
Awalnya keluarga Pak Adi sulit beradaptasi dengan
makanan lombok. Namun, keadaan mengharuskan mereka
mengkonsumsi makanan lombok sehingga keluarga Pak Adi lebih
cepat beradaptasi dibandingkan dengan keluarga Pak Adi.
Meskipun mereka sudah terbiasa dengan makanan lombok
tetapi mereka tidak melupakan makanan khas bima. Makanan
khas bima yang dihidangkan oleh keluarga Pak Adi adalah uta
mbeca saronco, uta mbeca parongge, tota fo’o, dan doco
tomat.
F.Tabu, pantangan terhadap makanan serta tahayul pada suku mbojo
a. Tabu dan Pantangan
1. Telur dan Mie
Telur dan mie merupakan salah satu bahan makanan
yang sangat disukai noleh masyarakat pada umumnya.
Namun pada masyarakat suku Mbojo menganggap bahwa telur
dan mie dengan konsumsi terlalu banyak dapat
menyebabkan gatal – gatal pada anak balita.
2. Ikan
Ikan merupakan salah satu bahan makanan hewani yang
setiap hari dikonsumsi oleh masyarakat pada umumnya.
Namun, menurut masyarakat suku Mbojo menganggap jika
terlalu mengkonsumsi banyak ikan maka anak balita akan
kecacingan.
3. Lutut sapi
Menurut suku Mbojo apabila ada luka pada bagian
lutut kemudian mengkonsumsi lutut sapi maka akan lama
proses penyembuhannya.
b. Tahayul pada suku Mbojo
1. Tidak boleh keluar atau bermain pada saat maghrib
Menurut suku Mbojo, anak-anak dilarang keluar atau
bermain pada saat maghrib. Ini dilakukan sejak lama dan
turun temurun.
BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan
Begitu banyak ragam budaya dan khas makanan bima
membuat orang Bima begitu mencintai daerahnya. Bahkan bagi
masyarakat Bima yang merantaupun tetap berusaha
mempertahankan adat dan pola makan seperti di Bima meskipun
tidak sepenuhnya (atau dicampur dengan kebiasaan setempat).
Contohnya masyarakat Bima yang tinggal di Lombok, masih
mempertahankan adat Bima dalam rangka merayakan upacara-
upacara tertentu.Orang Bima meskipun tinggal di Lombok,
mereka tetap menyukai makanan-makanan khas Bima yang biasa
disajikan dalam masakan keluarga sehari-hari, bahkan mereka
tetap memperkenalkan makanan Bima kepada anak-anaknya
meskipun anaknya lahir di Lombok.Orang Bima membiasakan diri
makan makanan Lombok dalam upaya beradaptasi, karena mereka
sadar tidak selamanya mereka mengkonsumsi makanan khas Bima
di lingkungan baru yang mereka tempati.
Jadi, dimanapun orang Bima tinggal. Mereka tidak akan
pernah melupakan adat dan makanan khas mereka. Meskipun
mereka terbiasa dengan makanan di daerah setempat, namun
makanan khas tetap menjadi makanan favorit mereka.
B. Saran
Inilah yang dapat kelompok kami tulis meskipun tulisan
ini belum dapat dikatakan sempurna dan kami membutuhkan
kritik/saran agar menjadi motivasi kami untuk belajae lagi
agar lebih baik pada tulisan selanjutnya.
DAFTAR PUSTAKA

Anda mungkin juga menyukai