Anda di halaman 1dari 5

HT DAN PENINGKATAN HGB-06

1. Character (kepribadian)
Salah satu unsur yang harus diperhatikan oleh bank sebelum memberikan
kreditnya adalah penilaian atas karakter kepribadian atau watak dari calon
debiturnya. Karena watak yang jelek akan menimbulkan perilaku-perilaku yang
jelek pula. Perilaku yang jelek ini termasuk tidak mau membayar utang. Oleh
karena itu, sebelum kredit diluncurkan, harus terlebih dahulu ditinjau apakah
misalnya calon debitur berkelakuan baik, tidak terlibat tindakan-tindakan kriminal,
bukan merupakan penjudi, pemabuk atau tindakan tidak terpuji lainnya.
2. Capacity (kemampuan)
Seorang calon debitur harus pula diketahui kemampuan bisnisnya, sehingga dapat
diprediksi kemampuannya untuk melunasi utangnya. Kalau kemampuan bisnisnya
kecil, tentu tidak layak diberikan kredit dalam skala besar. Demikian juga jenis
bisnisnya atau kinerja bisnisnya sedang menurun, kredit juga semestinya tidak
diberikan, kecuali jika menurunnya itu karena biaya, sehingga dapat diantisipasi
bahwa dengan tambahan biaya lewat pelunasan kredit, maka trend atau kinerja
bisnisnya tersebut dipastikan akan semakin membaik.
3. Capital (modal)
Permodalan dari suatu debitur juga merupakan hal yang penting harus diketahui
oleh calon kreditornya karena permodalan dan kemampuan keuangan dari suatu
denitur akan mempunyai korelasi dengan tingkat kemampuan bayar kredit. Jadi,
masalah likuiditas dan solvabilitas dari suatu badan usaha menjadi penting artinya.

156 Adrian Sutedi, Op.Cit, hlm.13

Dapat diketahui misalnya lewat laporan keuangan perusahaan debitur, yang


apabila perlu diisyaratkan audit oleh independent auditor.
4. Collateral (agunan)
Tidak diragukan lagi bahwa betapa pentingnya fungsi agunan dalam setiap
pemberian kredit. Agunan merupakan the las resort bagi kreditor, dimana akan
direalisasikan atau dieksekusi jika suatu kredit benar-benar dalam keadaan macet.
5. Condition of Economy (kondisi ekonomi)
Kondisi perekonomian secara mikro maupun makro merupakan faktor penting
pula untuk dianalisis sebelum suatu kredit diberikan, terutama yang berhubungan
langsung dengan bisnisnya pihak debitur, misalnya jika bisnis debitur adalah
dibidang bisnis yang selama ini diproteksi atau diberikan hak monopoli oleh
pemerintah. Jika misalnya terdapat perubahan policy dimana pemerintah
mencabut proteksi atau hak monopoli, maka pemberian kredit terhadap
perusahaan tersebut mesti ekstra hati-hati.157
Menurut Munir Fuady, selain menerapkan prinsip 5 C’s juga menerapkan apa
yang dinamakan dengan prinsip 5 P’s, sebagai berikut :158
1. Party (para pihak)
Para pihak merupakan titik sentral yang diperhatikan dalam setiap pemberian
kredit. Pihak pemberi kredit dalam hal ini adalah bank harus memperoleh suatu
“kepercayaan” terhadap para pihak, dalam hal ini debitur, mengenai bagaimana
karakter, kemampuan dan sebagainya.
2. Purpose (tujuan)
Tujuan dari pemberian kredit juga sangat penting diketahui oleh pihak bank
(kreditur). Harus dilihat apakah kredit akan digunakan untuk hal-hal yang positif
yang benar-benar dapat meningkatkan pendapatan (income) kegiatan usaha atau
perusahaan dari debitur. Dari pemberian kredit itu pihak bank (kreditur) harus
pula diawasi agar kredit tersebut benar-benar diperuntukan untuk tujuan seperti
yang diperjanjikan dalam perjanjian kredit.
3. Payment (pembayaran)
Perlu diperhatikan pula apakah sumber pembayaran kredit dari calon debitur
cukup tersedia dan aman, sehingga dengan demikian diharapkan bahwa kredit
yang disalurkan kepada debitur tersebut dapat dibayar kembali oleh debitur yang
bersangkutan.
4. Profitability (perolehan keuntungan)

157 Munir Fuady, Hukum Perkreditan Kontemporer, Cetakan Ke-2. Edisi Revisi, Citra Aditya
Bakti, Bandung, 2002, hlm. 21-22
158 Munir Fuady, Hukum Perkreditan Kontemporer, Bandung, Citra Aditya Bakti, 1996,
hlm.23

Unsur perolehan laba oleh debitur tidak kurang pula pentingnya dalam suatu
pemberian kredit yang disalurkan. Untuk kreditor harus mengantisipasi apakah
laba yang akan diperoleh oleh perusahaan lebih besar daripada bunga pinjaman
dan apakah pendapatan perusahaan dapat menutupi pembayaran kembali kredit,
cash flow dan sebagainya.
5. Protection (perlindungan)
Perlindungan terhadap kredit oleh perusahaan debitur merupakan hal yang
penting bagi kreditor. Untuk itu perlindungan dari kelompok perusahaan atau
jaminan dari perusahaan (holding), ataupun jaminan pribadi pemilik perusahaan
yang diperhatikan.
Diantara kelima asas tersebut salah satunya adalah collateral adalah berupa
barang-barang yang diserahkan oleh debitur kepada bank selaku kreditor sebagai
jaminan terhadap pembayaran kembali atas kredit yang diterimanya.
Dalam membuat perjanjian kredit, bank pada umumnya tidak akan
memberikan kredit begitu saja tanpa memperhatikan jaminan yang diberikan debitur
untuk menjamin kredit yang diperolehnya itu.159 Oleh sebab itu, kalau menyalurkan
kredit bank tersebut meminta kepada debitur untuk menyediakan agunan sebagai
jaminan untuk mengamankan kreditnya.
Dengan bertambah meningkatnya pembangunan nasional yang bertitik berat
pada bidang ekonomi, yang membutuhkan penyediaan dana yang cukup besar, untuk
itu diperlukan lembaga hak jaminan yang kuat serta mampu memberikan
perlindungan dan kepastian hukum bagi pihak-pihak yang berkepentingan, yang
dapat mendorong peningkatan partsipasi masyarakat dalam pembangunan untuk
mewujudkan masyarakat yang sejahtera, adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan
Undang-Undang Dasar 1945.

159 Munir Fuady, Op.Cit, 2002, hlm.43

Walaupun didalam Pasal 1131 KUHperdata dikatakan bahwa segala


kebendaan orang yang berutang baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak,
baik yang sudah ada maupun yang akan ada dikemudian hari menjadi tanggungan
untuk segala perikatan perorangan, namun sering orang tidak merasa puas dengan
jaminan yang dirumuskan secara umum. Oleh karena itu, bank perlu meminta supaya
benda tertentu dapat dijadikan jaminan yang diikat secara yuridis. Dengan demikian,
apabila debitur tidak menepati janjinya, bank dapat melaksanakan haknya dengan
mendapatkan kedudukan yang lebih tinggi dari kreditor lainnya untuk mendapatkan
pelunasan piutangnya.
Tanah merupakan barang jaminan untuk pembayaran utang yang paling
disukai oleh lembaga keuangan yang memberikan fasilitas kredit. Sebab tanah, pada
umumnya, mudah dijual, harganya terus meningkat, mempunyai tanda bukti hak, sulit
digelapkan dan dapat dibebani hak tanggungan yang memberikan hak istimewa
kepada kreditor.160
Didalam UUPA, hak jaminan atas tanah yang dinamakan Hak Tanggungan
mendapat pengaturan dalam Pasal 25, Pasal 33, Pasal 39, Pasal 51 dan Pasal 57. Di
dalam Pasal 25, Pasal 33 dan Pasal 39 UUPA ditetapkan mengenai hak-hak atas tanah
yang dapat dijadikan jaminan utang dengan dibebani Hak Tanggungan, yaitu tanah
dengan status hak milik, hak guna usaha serta hak guna bangunan. Menurut Pasal 51
UUPA, Hak Tanggungan itu akan diatur dengan undang-undang dan dalam Pasal 57

160 Effendi Perangin, Praktek Penggunaan Tanah Sebagai Jaminan Kredit, Rajawali Pers,
Jakarta, 1991, hlm.ix
Universitas Sumatera Utara
102
UUPA dinyatakan bahwa selama undang-undang tersebut belum terbentuk maka
yang berlaku adalah ketentuan-ketentuan mengenai Hipotik dan Creditverband.
Dengan dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak
Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah,
ketentuan-ketentuan mengenai hipotik atas tanah yang terdapat dalam Buku II
KUHPerdata dan ketentuan-ketentuan mengenai Creditverband yang terdapat dalam
Staatsblad 1908 Nomor 542 dinyatakan sudah tidak berlaku lagi, karena dipandang
tidak sesuai lagi dengan kebutuhan kegiatan perkreditan, sehubungan dengan
perkembangan tata ekonomi Indonesia.161
Terbitnya UUHT ini sangat berarti terutama didalam menciptakan unifikasi
hukum tanah nasional, khususnya di bidang hak jaminan atas tanah.162 Dalam Pasal 1
ayat (1) UUHT, disebutkan bahwa Hak Tanggungan adalah hak jaminan yang
dibebankan pada hak atas tanah, sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1960, berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan
satu kesatuan dengan tanah itu, untuk pelunasan utang tertentu, yang memberikan
kedudukan diutamakan kepada kreditor tertentu terhadap kreditor-kreditor lain.
Hak Tanggungan ini merupakan lembaga hak jaminan yang kuat atas benda
tidak bergerak berupa tanah yang dijadikan jaminan, karena memberikan kedudukan
yang lebih tinggi (didahulukan) bagi kreditor pemegang Hak Tanggungan

161 A.P Parlindungan II, Op.Cit, hlm.13


162 Naning Indratni, UUHT Menciptakan Unifikasi Hukum Tanah Nasional, Suara Pembaruan
31 Maret 1996
Universitas Sumatera Utara
103
dibandingkan dengan kreditur lainnya.163 Dengan demikian, dari uraian diatas dapat
dirasakan bahwa masalah jaminan ini sangat penting dalam rangka pelaksanaan
pemberian kredit.
Lembaga Hak Tanggungan sebagai perwujudan amanat Pasal 51 juncto Pasal
57 UUPA, berlandaskan pada hukum adat yang menganut asas pemisahan horizontal
yang menyatakan bahwa tanah terpisah dengan segala sesuatu yang berada diatasnya.
Berdasarkan hal tersebut dapat dipahami bila hukum adat tidak mengenal hak
kebendaan sebagaimana dalam hukum perdata barat. Searah dengan hal itu, apabila
Hak Tanggungan mendasarkan diri secara konsisten pada hukum adat maka ia tidak
mempunyai ciri-ciri khusus sebagaimana yang dimiliki oleh hypotheek yang dilekati
hak kebendaan.
Ciri-ciri yang menonjol dari Hak Tanggungan yang menyebabkan
memberikan jaminan kepastian bagi pihak-pihak yang berkepentingan khususnya
bagi bank sebagai lembaga keuangan yang mengelola dana masyarakat baik melalui
simpanan giro, tabungan dan menyalurkan dalam bentuk pinjaman kepada
masyarakat berupa pinjaman kredit :164
1. Memberikan kedudukan yang diutamakan atau mendahulu kepada pemegangnya
(droit de preference)
2. Selalu mengikuti objek yang dijaminkan dalam tangan siapapun objek itu berada
(droit de suite)
3. Hak tanggungan bersifat mutlak
4. Mudah dan pasti eksekusinya.

163 Sutan Remy Sjahdeni, Op.Cit, hlm.15


164 Adrian Sutedi, Op.Cit, hlm.18
Universitas Sumatera Utara
104
E. Kedudukan Hak Tanggungan Atas Tanah
Khusus untuk Hak Guna Bangunan atau Hak Pakai untuk rumah tinggal yang
sedang dibebani Hak Tanggungan dan pemiliknya bermaksud untuk meningkatkan
statusnya menjadi Hak Milik berdasarkan ketentuan Peraturan Menteri Agraria /
Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 5 Tahun 1998 tentang Perubahan Hak
Guna Bangunan atau Hak Pakai Atas Tanah untuk Rumah Tinggal yang dibebani Hak
Tanggungan menjadi Hak Milik, berlaku ketentuan sebagaimana dibawah ini :165
1. Perubahan hak tersebut dimohonkan oleh pemegang hak atas tanah dengan
persetujuan dari pemegang Hak Tanggungan.
2. Perubahan hak tersebut mengakibatkan Hak Tanggungan dihapus.
3. Kepala Kantor Pertanahan karena jabatannya, mendaftar hapusnya Hak
Tanggungan yang membebani Hak Guna Bangunan atau Hak Pakai yang diubah
menjadi Hak Milik, bersamaan dengan pendaftaran Hak Milik yang bersangkutan.
4. Untuk melindungi kepentingan kreditor / bank yang semula dijamin dengan Hak
Tanggungan atas Hak Guna Bangunan atau Hak Pakai yang menjadi hapus,
sebelum perubahan hak didaftar, pemegang hak atas tanah dapat memberikan
Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan (selanjutnya disebut dengan
SKMHT) dengan objek Hak Milik yang diperolehnya sebagai perubahan dari Hak
Guna Bangunan atau Hak Pakai tersebut.
5. Setelah perubahan hak dilakukan, pemegang hak atas tanah dapat membuat Akta
Pemberian Hak Tanggungan (selanjutnya disebut APHT) atas Hak Milik yang
bersangkutan sesuai dengan ketentuan yang berlaku dengan hadir sendiri atau
melalui SKMHT.
Berdasarkan ketentuan Peraturan Menteri Negara Agraria / Kepala Badan
Pertanahan Nasional Nomor 5 Tahun 1998, saat hapusnya Hak Tanggungan adalah
pada saat pendaftaran Hak Milik. Oleh karena itu, sebelum perubahan hak didaftar,
pemegang hak atas tanah sebaiknya memberikan SKMHT dengan objek Hak Milik
yang diperolehnya, karena setelah Hak Milik terdaftar, Hak Tanggungan tersebut

165 Sutan Remi Sjahdeini, Op.Cit, hlm. 157-158

menjadi hapus. Pada saat hapusnya Hak Tanggungan itu kreditor menjadi kreditor
konkuren yang hanya dijamin dengan SKMHT. Namun, kemudian kreditor dapat
membuat APHT berdasarkan SKMHT itu.
Terhadap ketentuan Peraturan Menteri Negara Agraria / Kepala Badan
Pertanahan Nasional Nomor 5 Tahun 1998 terdapat beberapa hal yang perlu
diperhatikan, yaitu :166
1. Jangka waktu Surat Kuasa Memasang Hak Tanggungan (SKMHT).
Berdasarkan Pasal 3 ayat (2) Peraturan Menteri Negara Agraria / Kepala
Badan Pertanahan Nasional Nomor 5 Tahun 1998 jangka waktu SKMHT
terbatas yaitu sebagaimana termuat dalam Pasal 15 ayat (4) dan ayat (5)
UUHT.
2. Peringkat SKMHT. Tidak diatur mengenai peringkat apabila ada beberapa
SKMHT. Akan tetapi, mengingat bahwa SKMHT dibuat untuk objek tanah
Hak Milik yang bidang tanahnya adalah sama dengan bidang tanah Hak Guna
Bangunan atau Hak Pakai sebelumnya dan utang yang dijamin dengan Hak
Tanggungan adalah sama dengan hutang yang dijamin sebelumnya dan
kreditornya adalah tetap, peringkat Hak Tanggungan pada saat dibuat
SKMHT, seyogianya adalah sesuai dengan peringkat yang termuat dalam
sertipikat Hak Tanggungan yang semula membebani tanah Hak Guna
Bangunan atau Hak Pakai. Kreditor pemegang SKMHT ini haruslah kreditor
yang semula pemegang Hak Tanggungan, sebab ketentuan Peraturan Menteri

166 Ibid, hlm.158

Negara Agraria / Kepala Badan Pertanahan Nasional ini dibuat untuk


memberikan kepastian hukum bagi pemegang Hak Tanggungan yang
tanahnya sedang dimohonkan perubahan hak atas tanah.
3. Atas perubahan hak, bagi kreditor perlu memperhatikan bahwa terdapat
periode dimana kreditor tidak lagi menjadi kreditor preferen, yaitu sejak Hak
Tanggungan hapus (pada saat Hak Milik terdaftar) sampai saat Hak
Tanggungan terdaftar. Pada periode tersebut, kreditor hanya berkedudukan
sebagai kreditor pemegang SKMHT. Mengingat bahwa APHT hanya dapat
dibuat setelah Hak Milik terdaftar, periode tersebut memakan waktu sesuai
dengan ketentuan lahirnya Hak Tanggungan, yaitu tanggal hari ketujuh
setelah penerimaan secara lengkap surat-surat yang diperlukan bagi
pendaftarannya.
4. Ketentuan ini hanya berlaku khusus untuk tanah Hak Guna Bangunan atau
Hak Pakai untuk rumah tinggal yang sedang dibebani Hak Tanggungan.

Anda mungkin juga menyukai