Anda di halaman 1dari 29

BAB I

PENDAHULUAN

Dunia kedokteran saat ini sangat maju dengan pesat terutama dengan
pekembangan dan aplikasi komputer bidang kedokteran sehingga ilmu radiologi
turut berkembang pesat mulai dari pencitraan organ sampai ke pencitraan selular
atau molekular. Di Indonesia perkembangan kedokteran terutama dalam bidang
radiologi masih banyak dilakukan serta perlu dukungan pemerintah.
Pemeriksaan radiografi polos dalam kasus kedaruratan di negara maju
perannya sudah semakin sempit dan diganti dengan teknologi CT scan serta
perangkat digital lainnya termasuk USG dan MRI meskipun demikian, alat
tersebut masih tetap dipakai karena murah, mudah dan cepat untuk kasus tertentu.
Di Indonesia dengan pengembangan program pemerintah pusat dan daerah sudah
banyak penempatan alat radiologi dasar di puskesmas besar sehingga dapat
membantu dokter yang bertugas dan tidak perlu merujuk ke kota atau RS besar
hanya untuk diagnosis penyakit tertentu.
Dari seluruh bayi yang lahir, sekitar 1% akan mengalami kesulitan
bernapas, ditandai dengan napas cepat (frekuensi >60 kali permenit, diperiksa
dengan stetoskop di jantung per 6 detik), sianosis perifer dan sentral, merintih,
retraksi sternal, napas cuping hidup, hingga apneu periodik. Kumpulan gejala
tersebut dikenal dengan istilah Sindrom Gawat Napas (SGN). SGN ini meliputi
Respiratory Distress Syndrome (RDS) akibat paru yang belum matang, sindrom
aspirasi mekonium, serta Transient Tachypnea of the Newborn (TTN) atau wet
lung syndrome.1
Pada pemeriksaan fisik, beberapa hasil pemeriksaan yang ditemukan juga
dapat membantu memperkirakan etiologi distress nafas. Bayi prematur dengan
berat badan lahir < 1500 gram dan mengalami retraksi kemungkinan menderita
HMD, bayi aterm yang lahir dengan mekonium dalam caian ketuban dan diameter
antero-posterior rongga dada yang membesar beresiko mengalami MAS, bayi
yang letargis dan keadaan sirkulasinya buruk kemungkinan menderita sepsis
dengan atau tanpa pneumonia, bayi yang hampir aterm tanpa faktor resiko tetapi

1
mengalami distress nafas ringan kemungkinan mengalami transient tachypnea of
the newborn (TTN), dan hasil pemeriksaan fisik lainnya yang dapat membantu
memperikirakan etiologi distress nafas.2

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. HMD atau Respiratory Distress Syndrome (RDS)


A. Definisi
HMD atau respiratory distress syndrome (RDS) adalah gangguan respirasi
yang ditemukan pada bayi prematur akibat kurangnya surfaktan sehingga
mengakibatkan kolapsnya alveoli.3

B. Epidemiologi
HMD merupakan penyebab kematian utama pada bayi prematur, di Amerika
Serikat sekitar 12% bayi lahir prematur, sekitar 10% bayi prematur menderita
HMD setiap tahunnya. Insiden meningkat pada negara berkembang. Menurut
Farrel dan Avery (dikutip Yu, 1986), HMD prevalensinya adalah 1 % dari
semua kelahiran dan 14 % pada Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR). Insiden
HMD tertinggi terjadi pada bayi prematur, ras caucasian, laki-laki, riwayat
saudara sebelumnya yang menderita RDS, lahir melalui sectio secaria, asfiksia
dan ibu diabetes melitus.4, 5

C. Etiologi
HMD terjadi ketika suatu substansi paru yang disebut surfaktan tidak cukup.
Surfaktan terbuat dari sel yang berada dalam jalan napas dan mengandung
fosfolipid serta protein. Surfaktan diproduksi saat fetus berusia sekitar 24 – 28
minggu dan dapat ditemukan dalam cairan amnion sekitar 28 – 32 minggu. Saat
usia gestasi 35 minggu, bayi – bayi telah memiliki jumlah surfaktan yang
adekuat. Bayi yang lahir dari seorang ibu penderita penyakit diabetes mellitus
dapat terjadi penurunan produksi surfaktan. Insulin dapat memperlambat
maturasi sel alveolar dan menurunkan phospatidilcolin, yang merupakan
fosfolipid yang penting dalam sintesa surfaktan.6

D. Klasifikasi HMD

3
Berdasarkan foto thorax, menurut kriteria Bomsel ada 4 stadium RDS yaitu:

1. Stadium 1: terdapat sedikit bercak retikulogranular dan sedikit bronchogram

udara.

2. Stadium 2: bercak retikulogranular homogen pada kedua lapangan paru dan

gambaran air bronchogram udara terlihat lebih jelas dan meluas sampai ke

perifer menutupi bayangan jantung dengan penurunan aerasi paru.

3. Stadium 3: kumpulan alveoli yang kolaps bergabung sehingga kedua lapangan

paru terlihat lebih opaque dan bayangan jantung hampir tak terlihat,

bronchogram udara lebih luas.

4. Stadium 4: seluruh thorax sangat opaque (white lung) sehingga jantung tak

dapat dilihat.7

E. Patofisiologi
Faktor – faktor yang memudahkan terjadinya RDS pada bayi prematur
disebabkan oleh alveoli masih kecil sehingga sulit berkembang, pengembangan
kurang sempurna karena dinding thorax masih lemah, produksi surfaktan kurang
sempurna. Kekurangan surfaktan mengakibatkan kolaps pada alveolus sehingga
paru – paru menjadi kaku. Hal tersebut menyebabkan perubahan fisiologi paru
sehingga daya pengembangan paru (compliance) menurun 25 % dari normal,
pernafasan menjadi berat.7
Surfaktan dibuat oleh sel alveolus tipe II yang mulai tumbuh pada gestasi 22
– 24 minggu dan mulai mengeluarkan keaktifan pada gestasi 24 – 26 minggu,
yang mulai berfungsi pada masa gestasi 32 – 36 minggu. Produksi surfaktan
pada janin dikontrol oleh kortisol melalui reseptor kortisol yang terdapat pada
sel alveolus type II. Produksi surfaktan dapat dipercepat lebih dini dengan
meningkatnya pengeluaran kortisol janin yang disebabkan oleh stres, atau oleh
pengobatan deksamethason yang diberikan pada ibu yang diduga akan
melahirkan bayi dengan defisiensi surfaktan.

4
Karena paru – paru janin berhubungan dengan cairan amnion, maka jumlah
fosfolipid dalam cairan amnion dapat untuk menilai produksi surfaktan, sebagai
tolok ukur kematangan paru, dengan cara menghitung rasio lesitin/sfingomielin
dari cairan amnion. Sfingomielin adalah fosfolipid yang berasal dari jaringan
tubuh lainnya kecuali paru – paru. Jumlah lesitin meningkat dengan
bertambahnya gestasi, sedangkan sfingomielin jumlahnya menetap. Rasio L/S
biasanya 1:1 pada gestasi 31 – 32 minggu, dan menjadi 2:1 pada gestasi 35
minggu.
Rasio L/S 2:1 atau lebih dianggap fungsi paru telah matang sempurna, rasio
1,5 – 1,9 sejumlah 50% akan menjadi RDS, dan rasio kurang dari 1,5 sejumlah
73% akan menjadi RDS. Bila radius alveolus mengecil, surfaktan yang
memiliki sifat permukaan alveolus, dengan demikian mencegah kolapsnya
alveolus pada waktu ekspirasi. Kurangnya surfaktan adalah penyebab terjadinya
atelektasis secara progresif dan menyebabkan meningkatnya distres pernafasan
pada 24 – 48 jam pasca lahir.8
Surfaktan merupakan suatu komplek material yang menutupi permukaan
alveoli paru, yang mengandung lapisan fosfolipid heterogen dan menghasilkan
selaput fosfolipid cair, yang dapat menurunkan tegangan permukaan antara air-
udara dengan harga mendekati nol, memastikan bahwa ruang alveoli tetap
terbuka selama siklus respirasi dan mempertahankan volume residual paru pada
saat akhir ekspirasi. Rendahnya tegangan permukaan juga memastikan bahwa
jaringan aliran cairan adalah dari ruang alveoli ke dalam intersisial.
Kebocoran surfaktan menyebabkan akumulasi cairan ke dalam ruang alveoli.
Surfaktan juga berperan dalam meningkatkan klirens mukosiliar dan
mengeluarkan bahan particulate dari paru.9

F. Manifestasi Klinis
Gejala klinis yang timbul yaitu: adanya sesak napas pada bayi prematur
segera setelah lahir, yang ditandai dengan takipnea (> 60 x/menit), pernapasan
cuping hidung, grunting, retraksi dinding dada, dan sianosis, dan gejala menetap
dalam 48 – 96 jam pertama setelah lahir. 5, 6 Manifestasi klinis berupa distress

5
pernafasan dapat dinilai dengan APGAR score (derajat asfiksia), Silverman –
Anderson score atau Downes score.1

G. Pemeriksaan Penunjang
Hasil analisis gas darah menunjukkan asidosis respiratorik dan asidosis
metabolik dengan hipoksia. Asidosis respiratorik terjadi karena atelektasis dari
alveoli dan atau overdistensi dari bronkiolus (terminal airways). Asidosis
metabolik yang terjadi pada HMD diawali dengan asidosis laktat sebagai akibat
dari menurunnya perfusi ke jaringan sehingga tubuh menggunakan jalur anaerob
untuk metabolisme. Hipoksia pada HMD ini terjadi dari shunting right to the left
melalui pembuluh dari pulmonal, patent ductus artreriosus (PDA), dan atau
foramen ovale tidak menutup.1

H. Pemeriksaan Radiologis Pada Neonatus


Pemeriksaan radiologis yang paling sering dan diutamakan pada neonatus
adalah foto rontgen toraks. Foto X-Ray Toraks terutama berperan penting dalam
membantu menentukan diagnosis awal dan perkembangan penyakit selanjutnya.
Terkadang ditemukan kesulitan dalam menginterpretasi hasil pemeriksaan
radiologis pada neonatus. Hal ini terjadi karena banyaknya kelainan yang tidak
spesifik dan saling overlapping. Hal ini memudahkan terjadinya kesalahan
dalam diagnosis secara radiologis. Untuk itu perlu selalu ditekankan melihat
kembali kondisi klinis pasien.
Jenis pemeriksaan radiologi meliputi pemeriksaan konvensional sederhana
sampai canggih. Pemeriksaan tersebut antara lain foto thorax supine / lateral
decubitus, USG, CT-scan dan yang paling canggih adalah MRI. Akan tetapi
Modalitas radiologi yang dipilih harus tepat sesuai kasus.
Foto thoraks merupakan pemeriksaan yang paling sering dilakukan. Pada
neonatus foto toraks dilakukan dengan mengambil proyeksi Anteroposterior
(AP) dengan posisi pasien supine atau lateral supine/horizontal beam.
Sedangkan posisi PA dan lateral tegak sulit dilakukan pada neonatus. Perlu
diingat bahwa selama pemeriksaan foto toraks pada bayi baru lahir, bayi harus
selalu ditempatkan dalam inkubator untuk mencegah terjadinya hipotermia.

6
Hal-hal penting yang perlu diperhatikan selama proses pemeriksaan radiologis
pada bayi baru lahir antara lain :
 Proteksi radiasi : perlindungan terhadap organ gonad dan luas lapangan
pemotretan.
 Pencegahan terhadap hipotermi : bayi tetap diletakkan dalam inkubator
atau dilakukan foto toraks menggunakan mobile X-ray di ruang neonatus,
sehingga bayi tidak perlu dipindahkan dari infant warmer.
 Oksigenasi untuk mencegah hipoksia.
 Immobilisasi agar posisi foto simetris dan hindarkan kepala bayi
menengok.

Foto toraks pada neonatus secara normal akan memberikan gambaran sebagai
berikut :
 Bentuk toraks silindris.
 Costae lebih horizontal.
 Level diafragma kanan setinggi costae 7-9 posterior.
 Cardio-thoracic ratio (CTR) bisa sampai 65%.
 Ukuran thymus bervariasi, biasanya berbentuk segitiga, dan bila tidak ada
pembesaran tidak akan menimbulkan kompresi/pergeseran organ-organ
mediastinum.
 Artefak : bisa menimbulkan misinterpretasi. Contoh : lipatan kulit sering
salah diartikan sebagai pneumotoraks.
 Evaluasi tube line.10

Sedangkan gambaran pola radiologis yang sering muncul pada bayi baru lahir
dengan gangguan nafas adalah sebagai berikut :
 Normal
 Granuler
 Streaky atau wet lung
 Patchy infiltrate
 Focal10

7
I. Radiologi Pada HMD
Diagnosis yang tepat hanya dapat dibuat dengan pemeriksaan foto Rontgen
toraks. Pemeriksaan ini juga sangat penting untuk menyingkirkan kemungkinan
penyakit lain yang diobati dan mempunyai gejala yang mirip penyakit membran
hialin, misalnya pneumotoraks, hernia diafragmatika, dan lain – lain. Gambaran
radiologis memberi gambaran penyakit membran hialin. Gambaran yang khas
berupa pola retikulogranular, yang disebut dengan ground glass appearance,
disertai dengan gambaran bronkus di bagian perifer paru (air bronchogram).10
Terdapat 4 stadium:
o Stadium 1: pola retikulogranular (ground glass appearance)
o Stadium 2: stadium 1 + air bronchogram
o Stadium 3: stadium 2 + batas jantung-paru kabur
o Stadium 4: stadium 3 + white lung appearance

Gambar 1. Gambaran ground glass appearance.

8
Gambar 2. Gambaran air bronchogram.

Gambar 3. Gambaran batas jantung-paru kabur.

9
Gambar 4. white lung appearance

J. Tatalaksana HMD
Pemberian Kortikosteroid pada Ibu
Steroid antenatal diberikan pada ibu untuk menurunkan resiko kematian
pada neonatal. Keberhasilan pemberian steroid hanya terlihat pada bayi
preterm yang ibunya menerima dosis pertama steroid 1 – 7 hari sebelum
persalinan. Betamethason dan Dexamethason digunakan untuk meningkatkan
pematangan paru janin. Pemberian steroid antenatal direkomendasikan pada
semua kehamilan yang berisiko terjadinya persalinan preterm.3
Dosis optimal kortikosteroid, waktu pemberian dan frekuensi pemberian
masih belum diketahui secara pasti. Menurut NIH Consensus Development
Panel on the Effect of Corticosteroids for Fetal Maturation on Perinatal
Outcomes, regimen pemberian kortikosteroid secara umum ialah 2 dosis
betametason 12 mg diberikan secara intramuskular dengan jarak waktu 24
jam dan 4 dosis deksametason 6 mg intramuskular dengan jarak waktu antar
pemberian 12 jam.28
Penatalaksanaan Umum
Dasar tindakan ialah mempertahankan bayi dalam suasana fisiologis agar
bayi mampu melanjutkan perkembangan paru dan organ lain sehingga dapat
mengadakan adaptasi sendiri terhadap sekitarnya.13,18
Tindakan yang perlu dikerjakan ialah:

10
1. Memberikan lingkungan yang optimal
Suhu tubuh bayi harus selalu diusahakan agar tetap dalam batas normal
(36,5 – 370 C) dengan meletakkan bayi di dalam inkubator. Humiditas
ruangan juga harus adekuat (70 – 80%).1,3 Semua usaha meresusitasi bayi
haruslah dengan langkah mencegah terjadinya hipotermia untuk
meningkatkan angka kehiudpan.
2. Pemberian oksigen
Prinsip: Oksigen mempunyai pengaruh yang kompleks terhadap bayi
yang baru lahir. Pemberian O2 yang terlalu tinggi dapat menimbulkan
komplikasi yang tidak diinginkan seperti fibrosis paru
(bronchopulmonary dysplasia (BPD)), dan lain – lain.20
Terapi Oksigen sesuai dengan kondisi:
 Nasal kanul atau head box dengan kelembaban dan konsentrasi yang
cukup untuk mempertahankan tekanan oksigen arteri antara 50 – 70
mmHg untuk distres pernafasan ringan.17, 19
 Jika PaO2 tidak dapat dipertahankan diatas 50 mmHg pada konsentrasi
oksigen inspirasi 60% atau lebih, penggunaan NCPAP (Nasal
Continuous Positive Airway Pressure) terindikasi. NCPAP merupakan
metode ventilasi yang non - invasif.20 Penggunaan NCPAP sedini
mungkin (early NCPAP) untuk stabilisasi bayi dengan berat lahir
sangat rendah (1000 – 1500 gram) di ruang persalinan juga
direkomendasikan untuk mencegah kolaps alveoli.20 Penggunaan
humidified high flow nasal cannula therapy (HHFNC) sebagai
pengganti NCPAP sedang digalakkan di beberapa negara karena
memiliki keefektivitasan yang sama dengan NCPAP serta dapat
digunakan untuk bayi dengan semua usia gestasi.17

2.2. Sindrom Aspirasi Mekonium


A. Definisi Sindrom Aspirasi Mekonium
Sindroma aspirasi mekonium (SAM) merupakan sekumpulan gejala yang
diakibatkan oleh terhisapnya cairan amnion mekonial ke dalam saluran
pernafasan bayi. Sindroma aspirasi mekonium (SAM) adalah salah satu

11
penyebab yang paling sering menyebabkan kegagalan pernapasan pada bayi baru
lahir aterm maupun post-term. Kandungan mekonium antara lain adalah sekresi
gastrointestinal, hepar, dan pancreas janin, debris seluler, cairan amnion, serta
lanugo. Cairan amnion mekonial terdapat sekitar 10-15% dari semua jumlah
kelahiran cukup bulan (aterm), tetapi SAM terjadi pada 4-10% dari bayi-bayi ini,
dan sepertiga diantara membutuhkan bantuan ventilator. Adanya mekonium
pada cairan amnion jarang dijumpai pada kelahiran preterm. Resiko SAM dan
kegagalan pernapasan yang terkait, meningkat ketika mekoniumnya kental dan
apabila diikuti dengan asfiksia perinatal. Beberapa bayi yang dilahirkan dengan
cairan amnion yang mekonial memperlihatkan distres pernapasan walaupun
tidak ada mekonium yang terlihat dibawah korda vokalis setelah kelahiran. Pada
beberapa bayi, aspirasi mungkin terjadi intrauterine, sebelum dilahirkan.11

B. Etiologi Sindrom Aspirasi Mekonium


Etiologi terjadinya sindroma aspirasi mekonium adalah cairan amnion yang
mengandung mekonium terinhalasi oleh bayi. Mekonium dapat keluar
(intrauterin) bila terjadi stres / kegawatan intrauterin. Mekonium yang terhirup
bisa menyebabkan penyumbatan parsial ataupun total pada saluran pernafasan,
sehingga terjadi gangguan pernafasan dan gangguan pertukaran udara di paru-
paru. Selain itu, mekonium juga berakibat pada iritasi dan peradangan pada
saluran udara, menyebabkan suatu pneumonia kimiawi.12

C. Patofisiologi Sindrom Aspirasi Mekonium


Keluarnya mekonium intrauterine terjadi akibat dari stimulasi saraf saluran
pencernaan yang sudah matur dan biasanya akibat dari stres hipoksia pada fetus.
Fetus yang mencapai masa matur, saluran gastrointestinalnya juga matur,
sehingga stimulasi vagal dari kepala atau penekanan pusat menyebabkan
peristalsis dan relaksasi sfingter ani, sehingga menyebabkan keluarnya
mekonium. Mekonium secara langsung mengubah cairan amniotik, menurunkan
aktivitas anti-bakterial dan setelah itu meningkatkan resiko infeksi bakteri
perinatal. Selain itu, mekonium dapat mengiritasi kulit fetus, kemudian
meningkatkan insiden eritema toksikum. Bagaimanapun, komplikasi yang paling
berat dari keluarnya mekonium dalam uterus adalah aspirasi cairan amnion yang

12
tercemar mekonium sebelum, selama, maupun setelah kelahiran. Aspirasi cairan
amnion mekonial ini akan menyebabkan hipoksia melalui 4 efek utama pada
paru, yaitu: obstruksi jalan nafas (total maupun parsial), disfungsi surfaktan,
pneumonitis kimia dan hipertensi pulmonal.12
 Obstruksi jalan nafas
Obstruksi total jalan nafas oleh mekonium menyebabkan atelektasis.
Obstruksi parsial menyebabkan udara terperangkap dan hiperdistensi
alveoli, biasanya termasuk efek fenomena ball-valve. Hiperdistensi alveoli
menyebabkan ekspansi jalan nafas selama inhalasi dan kolaps jalan nafas
di sekitar mekonium yang terinspirasi di jalan nafas, menyebabkan
peningkatan resistensi selama ekshalasi. Udara yang terperangkap
(hiperinflasi paru) dapat menyebabkan ruptur pleura (pneumotoraks),
mediastinum (pneumomediastinum), dan perikardium
(pneumoperikardium).12
 Disfungsi Surfaktan
Mekonium menonaktifkan surfaktan dan juga menghambat sintesis
surfaktan. Beberapa unsur mekonium, terutama asam lemak bebas (seperti
asam palmitat, asam oleat), memiliki tekanan permukaan minimal yang
lebih tinggi dari pada surfaktan dan melepaskannya dari permukaan
alveolar, menyebabkan atelektasis yang luas.12
 Pneumonitis kimia
Mekonium mengandung enzim, garam empedu, dan lemak yang dapat
mengiritasi jalan nafas dan parenkim, mengakibatkan pelepasan sitokin
(termasuk tumor necrosis factor (TNF)-α, interleukin (IL)-1ß, I-L6, IL-8,
IL-13) dan menyebabkan pneumonitis luas yang dimulai dalam beberapa
jam setelah aspirasi. Semua efek pulmonal ini dapat menimbulkan gross
ventilation-perfusion (V/Q) mismatch.12
 Hipertensi pulmonal persisten pada bayi baru lahir
Beberapa bayi dengan sindroma aspirasi mekonium mengalami hipertensi
pulmonal persisten pada bayi baru lahir (persistent pulmonary
hypertension of the newborn [PPHN]) primer atau sekunder sebagai akibat
dari stres intrauterin yang kronik dan penebalan pembuluh pulmonal.

13
PPHN lebih lanjut berperan dalam terjadinya hipoksemia akibat sindrom
aspirasi mekonium.12

D. Manifestasi Klinis
Di dalam uterus, atau lebih sering, pada pernapasan pertama, mekonium yang
kental teraspirasi ke dalam paru, mengakibatkan obstruksi jalan napas kecil yang
dapat menimbulkan kegawatan pernapasan dalam beberapa jam pertama setelah
kelahiran dengan gejala takipnea, retraksi, stridor, dan sianosis pada bayi dengan
kasus berat. Obstruksi parsial pada beberapa jalan napas dapat menimbulkan
pneumothoraks atau pneumomediastinum, atau keduanya. Pengobatan tepat
dapat mencegah kegawatan pernapasan, yang dapat hanya ditandai oleh
takikardia tanpa retraksi. Pada kondisi gawat nafas, dapat terjadi distensi dada
yang berat yang membaik dalam 72 jam. Akan tetapi bila dalam perjalanan
penyakitnya bayi memerlukan bantuan ventilasi, keadaan ini dapat menjadi berat
dan kemungkinan mortalitasnya tinggi.1
Takipnea dapat menetap selama beberapa hari atau bahkan beberapa minggu.
Foto radiografi dada bersifat khas ditandai dengan bercak-bercak infiltrat,
corakan kedua lapangan paru kasar, diameter anteroposterior bertambah, dan
diafragma mendatar. Foto x-ray dada normal pada bayi dengan hipoksia berat
dan tidak adanya malformasi jantung mengesankan diagnosis sirkulasi jantung
persisten. PO2 arteri dapat rendah pada penyakit lain, dan jika terjadi hipoksia,
biasanya ada asidosis metabolik.1

E. Pemeriksaan Radiologi
Radiografi dada diperlukan untuk hal-hal berikut:

 Memastikan cakupan kelainan intratorakal


 Mengidentifikasi area atelektasis dan sindroma blokade udara
 Memastikan posisi yang tepat untuk intubasi endotrakeal dan kateter
umbilikalis
Nantinya, pada kasus SAM, setelah kondisi bayi cukup stabil, pemeriksaan
radiologis otak seperti MRI, CT scan, atau USG cranial, diindikasikan jika
pemeriksaan neurologis bayi menunjukkan adanya kelainan. Ekokardiografi

14
perlu dilakukan pada kasus-kasus berat seperti distress pernafasan yang
berkepanjangan untuk mengevaluasi fungsi jantung pada persistent pulmonary
hypertension of the newborn (PPHN) dan masalah kongenital kardiovaskular.
Radiografi dada menunjukkan hiperinflasi dengan perselubungan yang merata.
Hasil temuan menunjukkan area atelectasis dengan area udara terperangkap.
Kebocoran udara sering terjadi menyebabkan terjadinya pneumothoraks,
pneumomediastinum, pneumopericardium, dan/atau pulmonary interstitial
emphysema. Efusi pleura juga bisa terjadi. 13

Gambar 5 Radiografi seri pada bayi baru lahir dengan aspirasi mekonium tanpa komplikasi.
Gambaran radiologis menunjukkan perselubungan perihilar pada paru, yang lebih berat pada
daerah kanan berbanding kiri.

15
Gambar 6 Gambaran radiologis menunjukkan aspirasi mekonium yang berat. Gambaran
radiologis diatas menunjukkan perselubungan yang kasar pada parenkim paru dengan
hiperekspansi yang berat. Terdapat pneumomediastinum di kanan paru (ditunjukkan dengan
panah), di batasi oleh lobus kanan dari thymus (T)4.

Gambaran 7 Gambaran radiologis follow-up pada pasien diatas. Hasil didapatkan setelah
memasukkan bilateral thoracostomy tubes pada pneumotoraks dan menunjukkan
pneumoperikardium (panah) and gambaran yang sangat luscent dari paru. Hasil menunjukkan
pada pasien ini terjadi pulmonary interstitial emphysema.

16
Gambar 8 Gambaran radiologis pasien yang diterapi dengan extracorporeal membrane
oxygenation (ECMO). Gambaran radiopaque pada paru karena pulmonary bypass. Kanula
(panah) masuk dari leher kanan sampai atrium kanan menunjukkan vena-vena ECMO.
Endotracheal tube, nasogastric tube, dan arteri umbilikalis kateter pada tempatnya.

Radiografi Dada Bayi dengan SAM

Gambar 9 Radiografi dada SAM. A). Infiltrat linear sedang, menandakan aspirasi mekonium
encer dalam jumlah kecil. B). Infiltrat linear bilateral dan tidak merata, menandakan aspirasi

17
mekonium encer dalam jumlah sedang. C). Infiltrasi menyeluruh pada lapang paru yang tersebar
tidak merata, menandakan aspirasi mekonium encer dalam jumlah yang lebih besar. D).
Atelektasis sebagian lobus kiri atas dengan hiperaerasi paru kanan, menandakan aspirasi
mekonium partikel besar dan kental. Bayi sering mengalami kegagalan perkembangan
pernapasan dan membutuhkan terapi pernapasan yang luas.13

F. Tatalaksana Mekonium Aspirasi Sindrom


Penatalaksanaan bayi baru lahir dengan aspirasi mekonium. Neonatus dengan
mekonium yang terdapat di bawah korda vokalis berpotensi mengalami
hipertensi pulmonal, sindrom kebocoran udara, da pneumonitis serta harus
diobservasi secara ketat untuk melihat adanya tanda-tanda distres pernapasan.
1. Penatalaksanaan respirasi
 Pembersihan paru (pulmonary toilet). Jika pengisapan trakea belum
mampu membersihkan sekret secara maksimal, dapat disarankan
untuk membiarkan pipa endotrakeal tetap terpasang untuk
pembersihan paru pada neonatus dengan kasus simtomatik.
Fisioterapi dada setiap 30-60 menit, semampunya, dapat membantu
membersihkan jalan napas. Fisioterapi dada dikontraindikasikan
pada neonatus dengan kondisi labil jika diduga ada keterlibatan
PPHN. 8
 Pemeriksaan kadar gas darah arteri. Pengukuran kadar gas darah
arteri dibutuhkan untuk menilai kebutuhan ventilasi dan oksigen
tambahan. 8
 Pemantauan kadar oksigen. Pulse oxymeter dapat memberi informasi
penting mengenai status respirasi dan memantu mencegah
hipoksemi. Membandingkan saturasi oksigen pada tangan kanan
dengan ekstrimitas bawah membantu mengidentifikasi bayi dengan
pirau dari kanan ke kiri akibat hipertensi pulmonal. 7
 Radiografi thoraks. Radiografi thoraks sebaiknya diambil setelah
kelahiran jika neonatus dalam kondisi distres. Radiografi thoraks
juga dapat membantu menentukan pasien mana yang berpotensi
mengalami distres napas. Akan tetapi, gambaran radiografi sering tidak
sebanding dengan presentasi klinis. 8

18
 Pemakaian antibiotik. Mekonium menghambat potensi bakteriostatik
pada cairan mekonium normal. Karena susahnya membedakan aspirasi
mekonium dari pneumoni secara radiologis, neonatus dengan gambaran
infiltrate pada radiografi toraks, sebaiknya mulai diberi antibiotik
spektrum luas (ampisilin dan gentamisin), setelah sampel untuk kultur
telah diperoleh. 8
 Oksigen tambahan. Salah satu tujuan utama pada kasus-kasus SAM
adalah mencegah episode hipoksia alveolar yang akan mengarah pada
vasokonstriksi pulmonal dan menjadi PPHN. Oleh karena itu, oksigen
tambahan diberikan sebanyak-banyaknya dengan tujuan
mempertahankan tekanan parsial O 2 sebesar 80-90 mmHg, bahkan lebih
tinggi karena resiko retinopati seharusnya kecil pada bayi-bayi aterm.
Pencegahan hipoksia alveolar juga dicapai dengan penyapihan bayi-
bayi ini secara hati-hati dari terapi oksigen. Kebanyakan pasien masih
labil, sehingga penyapihan harus dilakukan secara perlahan, terkadang
dengan penurunan 1% setiap kali. Pencegahan hipoksia alveolar juga
meliputi kewaspadaan terhadap terjadinya kebocoran udara dan
meminimalisir intervensi pasien. 8

2.3. Transient Tachypnea of the Newborn


A. Definisi Transient Tachypnea of the Newborn
Transient Tachypnea of the Newborn (TTN) adalah suatu penyakit ringan
pada neonatus yang mendekati cukup bulan atau cukup bulan yang mengalami
gawat napas segera setelah lahir dan hilang dengan sendirinya dalam waktu 3-5
hari.14
Bayi yang sering mengalami TTN adalah bayi yang dilahirkan secara operasi
sesar sebab mereka kehilangan kesempatan untuk mengeluarkan cairan paru
mereka. Bayi yang dilahirkan lewat persalinan per vaginam mengalami
kompresi dada saat menuruni jalan lahir. Hal inilah yang menyebabkan sebagian
cairan paru keluar. Kesempatan ini tidak didapatkan bagi bayi yang dilahirkan
operasi sesar.14
Transient Tachypnea of the Newborn (TTN) atau sering juga disebut
Transient Respiratory Distress of the Newborn (TRDN) adalah penyakit self-

19
limited disease yang terjadi pada banyak bayi di seluruh dunia dan dihadapi oleh
semua dokter yang merawat bayi baru lahir. Bayi baru lahir dengan TTN yang
baru lahir dalam beberapa jam pertama kehidupan dengan takipnea, terjadi
peningkatan kebutuhan oksigen, dan ABGs yang tidak mencerminkan retensi
karbon dioksida. Ketika mengelola TTN yang baru lahir, mengamati tanda-
tanda penurunan klinis yang mungkin dipikirkan diagnosis lain dalam gangguan
repiratory sistress lainnya adalah sangat penting. Bayi baru lahir dengan TTN
biasanya sering dianggap dan didiagnosis sebagai sebagai Congenital Pnemoni,
Aspirasi Pnemoni atau gangguan Hyaline membrane disease (HMD). Pada HMD
biasanya terjadi pada bayi dengan usia kehamilan di bawah 35 minggu.
Sehingga bila bayi sesak di atas usia kehamilan 35 minggu yang paling sering
dipikirkan adalan TTN.14

B. Epidemiologi
Sekitar 1% bayi memiliki beberapa bentuk gangguan pernapasan yang tidak
berhubungan dengan infeksi. Gangguan pernapasan meliputi RDS (yaitu, penyakit
membran hialin) dan takipnea transient yang baru lahir. Dari jumlah ini% 1,
sekitar 33-50% memiliki takipnea transient yang baru lahir.14
Bayi baru lahir dengan TTN umumnya gangguannya terbatas tanpa
morbiditas yang signifikan. Bayi dengan TTN baru lahir yang mebaik selama
periode 24-jam untuk 72-jam.14
Tidak ada predileksi ras telah dilaporkan. Risiko adalah sama di kedua pria
dan wanita. Secara klinis, takipnea transien dari hadiah baru lahir sebagai
gangguan pernapasan pada bayi penuh panjang atau jangka pendek.14

C. Etiologi
 Penyebab utama adalah gangguan penyerapan tertunda cairan paru
 Bayi baru lahir dengan TTN umumnya diamati kelahiran kelahiran sesar.
 Studi menggunakan pengukuran paru mekanik dilakukan pada bayi yang
lahir dengan baik sesar atau pengiriman vagina. Milner dkk mencatat

20
bahwa volume gas rata-rata toraks adalah 32,7 mL / kg pada bayi yang
lahir melalui vagina dan 19,7 ml / kg pada bayi yang lahir melalui
kelahiran sesar. Yang penting, lingkar dada adalah sama. Milner dkk
mencatat bahwa bayi yang lahir melalui kelahiran sesar memiliki volume
yang lebih tinggi dari cairan interstitial dan alveolar dibandingkan
dengan mereka yang lahir melalui vagina, meskipun volume toraks
secara keseluruhan berada dalam kisaran referensi.
 Pengeluaran Epinefrin selama persalinan mempengaruhi cairan paru
janin. Dalam menghadapi tingkat epinefrin tinggi, pompa klorida
bertanggung jawab untuk sekresi cairan paru-paru dihambat, dan saluran
natrium yang menyerap cairan dirangsang. Akibatnya, gerakan bersih
cairan dari paru-paru ke interstitium terjadi. Oleh karena itu, pengiriman
caesar tanpa tenaga kerja dan kurangnya berikutnya dari ledakan normal
dalam kontra-regulasi hormon membatasi perjalanan cairan paru.
 Asma ibu dan merokok. Demissie dkk melakukan analisis kohort historis
pada pengiriman hidup tunggal di rumah sakit Jersey Baru dari 1989-
1992. Bayi dari ibu yang menderita asma lebih mungkin untuk
menunjukkan takipnea sementara. yang baru lahir dari bayi dari ibu pada
kelompok kontrol.
 Schatz dkk mempelajari sekelompok 294 wanita hamil dengan asma dan
sekelompok 294 wanita hamil tanpa asma. Kedua kelompok memiliki
hasil tes fungsi normal paru dan yang cocok untuk usia dan status
merokok. takipnea transient yang baru lahir ditemukan di 11 bayi (3,7%)
dari ibu dengan asma dan dalam 1 bayi (0,3%) dari seorang ibu dari
kelompok kontrol. Tidak ada perbedaan yang signifikan antara subyek
kontrol asma dan dicocokkan di takipnea transient lain dari faktor risiko
baru lahir diamati.
 Penelitian cohort menunjukkan bahwa Bayi baru lahir dengan TTN akan
mengalami resiko asma yang sangat bermakna pada usia pra sekolah
 Seks pria dan makrosomia: Ini juga dikaitkan dengan peningkatan risiko
takipnea transient yang baru lahir.

21
 Faktor-faktor lain: sedasi berlebihan ibu, asfiksia perinatal, dan kelahiran
sesar pilihan tanpa kerja sebelumnya ini sering berhubungan dengan
takipnea transient yang baru lahir.14

D. Faktor Risiko
 Lahir Seksio cesarean.
 Makrosomia.
 Partus lama.
 Bayi laki-laki.
 Maternal asma dan merokok.
 Excessive maternal sedation.
 Negative amniotic fluid phosphatidylglycerol.
 Birth asphyxia.
 Cairan overload terhadap ibu, terutama pemberian infuse oksitosin.
 Delayed clamping terhadap umbilikus. Waktu optimal adalah 45 detik.
 Fetal polycythemia.
 Ibu dengan diabetes.
 Prematur (dapat terjadi, tapi sangat jarang).1

E. Patofisiologi
Penyakit pernapasan akut tidak infeksius berkembang pada sekitar 1% dari
semua bayi baru lahir dan menyebabkan masuk ke unit perawatan kritis.
Takipnea transient pada bayi baru lahir adalah akibat dari sebuah keterlambatan
dalam pembersihan cairan paru janin. Dahulu, masalah pernapasan dianggap
masalah kekurangan surfaktan relatif tetapi sekarang dicirikan oleh beban udara-
cairan sekunder terhadap ketidakmampuan untuk menyerap cairan paru janin.1
Percobaan in vivo telah menunjukkan bahwa epitel paru-paru mengeluarkan
Cl- dan cairan selama kehamilan tetapi mengembangkan kemampuan untuk
menyerap kembali secara aktif Na+ hanya selama akhir kehamilan. Saat lahir,
paru-paru matur menyebabkan pengaktifan sekresi dari Cl- (cairan) menjadi
penyerapan aktif Na + (cairan) dalam respon terhadap beredarnya katekolamin,

22
baru-baru ini, bukti menunjukkan glukokortikoid berperan dalam pengaktifan
ini. Perubahan dalam tegangan oksigen menambah kapasitas traspor epitel
terhadap Na + dan meningkatkan ekspresi gen untuk epitel Na + channel
(ENaC). Ketidakmampuan paru-paru janin imatur untuk beralih dari sekresi
cairan hasil penyerapan cairan, sebagian besar, dari immaturitas dalam ekspresi
ENaC, yang dapat diatur oleh glukokortikoid. Glukokortikoid mempengaruhi
reabsorpsi Na + paru-paru kemungkinan besar melalui saluran EnaC pada akhir
usia kehamilan janin.1
Bayi matur yang memiliki transisi normal dari janin ke kehidupan postnatal
memiliki surfaktan yang dan sistem epitel yang matur. Takipnea transient pada
bayi baru lahir terjadi pada bayi baru lahir matur dengan jalur surfaktan matur
dan kurang berkembangnya epitel pernapasan transportasi Na +, sedangkan
Sindrom Gawat Nafas neonatus terjadi pada bayi dengan kedua jalur surfaktan
dini dan Na + transportasi immatur.1
Bayi lahir dengan kelahiran sesar berisiko memiliki cairan paru yang
berlebihan sebagai akibat tidak mengalami semua tahapan persalinan normal dan
kurangnya lonjakan katekolamin yang tepat, yang menyebabkan pelepasan yang
rendah dari counter-regulatory hormones pada saat persalinan. Hal ini membuat
cairan tertahan di alveoli yang akan menghambat terjadinya pertukaran gas.1

F. Manifestasi Klinis
Tanda dari TTN adalah dengan melihat adanya tanda distress pernafasan,
yaitu takipnu, nafas cuping hidung, mendengkur, retraksi dinding dada, dan
sianosis pada kasus ekstrim.15
Takipnu ini bersifat sementara dimana penyembuhan biasa terjadi dalam 48-
72 jam setelah kelahiran.15

G. Diagnosis
Pemeriksaan Fisik
 Temuan fisik yang didapatkan Bayi baru lahir dengan TTN  meliputi
takipnea dengan grunting, flaring, and retraksi.
 Bayi sering digambarkan sebagai memiliki  ”quiet” tachypnea “

23
 Kasus yang ekstrim dapat memperlihatkan sianosis.
 Sebuah studi yang menyelidiki faktor risiko untuk durasi takipnea pada
pasien dengan takipnea transient yang baru lahir melaporkan bahwa
tingkat pernapasan puncak lebih dari 90 napas per menit selama 36 jam
pertama kehidupan dikaitkan dengan takipnea berkepanjangan yang
berlangsung lebih dari 72 jam.15
Pemeriksaan Laboratorium
 Analisis Gas Darah biasanya akan memperlihatkan hipoksia ringan.
Hipokarbia biasanya didapatkan. Jika ada, hipokarbia biasanya ringan
(PCO2 >55 mm Hg). Extreme hypercarbia sangat jarang, namun jika
terjadi, merupakan indikasi untuk mencari penyebab lain.15
 Differensial Count adalah normal pada TTN, tapi sebaiknya dilakukan
untuk menentukan apakah terdapat proses infeksi. Nilai hematokrit akan
menyingkirkan polisitemia.15
 Urine and serum antigen test dapat membantu menyingkirkan infeksi
bakteri.15

H. Pemeriksaan Radiologi TTN


 Rontgen thoraks.
Berikut adalah gambaran khas pada TTN:
 Hiperexpansi paru, khas pada TTN.
 Garis prominen di perihiler.
 Pembesaran jantung ringan hingga sedang.
 Diafragma datar, dapat dilihat dari lateral.
 Cairan di fisura minor dan perlahan akan terdapat di ruang pleura.
Prominent pulmonary vascular markings.
 Radiografi dada adalah standar diagnostik untuk Bayi baru lahir
dengan TTN.
 Temuan karakteristik termasuk perihilar menonjol, yang
berkorelasi dengan kendurnya sistem limfatik dengan cairan paru-
paru dipertahankan, dan cairan dalam celah.
 Efusi pleura kecil dapat terlihat.

24
 Patchy Infiltrat atau gambaran infiltrat yang halus pada kedua
lapang paru secara homogen dan tersebar merata
 Tindak lanjut radiografi dada mungkin diperlukan jika sejarah
klinis menunjukkan sindroma aspirasi mekonium atau pneumonia
neonatal atau jika memburuk Status pernapasan.

25
Gambar 10 Sebuah foto toraks anteroposterior terlentang Bayi baru lahir dengan TTN. Perhatikan
penampilan retikuler atau patchy Infiltrat atau gambaran infiltrat yang halus pada kedua lapang
paru secara homogen dan tersebar meratadengan cairan interstisial ringan kardiomegali.

I. Tatalaksana
Transient Tachypnea of the Newborn ini bersifat self limiting disease,
sehingga pengobatan yang ditujukan biasanya hanya berupa pengobatan suportif.
Prinsip pengobatannya adalah:
 Oksigenasi.1
 Antibiotik. Kebanyakan bayi baru lahir diberi antibiotic berspektrum
luas hingga diagnosis sepsis atau pneumonia disingkirkan.1
 Pemberian makanan. Jika pernafasan di atas 60 kali per menit,
neonatus sebaiknya tidak diperi makan per oral untuk menghindari
risiko aspirasi. Jika frekuensi pernafasan kurang dari 60 kali per menit,
pemberian makanan per oreal dapat ditolerir. Jika 60-80 kali per menit,
pemberian makanan harus melalui NGT. Jika lebih dari 80 kali per
menit, pemberian nutrisi intra vena diindikasikan.1

26
 Cairan dan elektrolit. Status cairan tubuh dan elektrolit harus
dimonitor dan dipertahankan normal.1

J. Perbedaan HMD, MAS, TTN

Penyakit Gejala Radiologi


HMD Sianosis, apnea, nafas Ateletaksis, air broncogram,
cuping hidung, infitrat granular
TTN Takipnea segera setelah Hiperexpansi perihiler
lahir, retraksi, merintih pulmonal, peningkatan
corakan vaskuler pulmonal,
infitrat sudut costofrenikus
tumpul
Aspirasi Takipnea, nafas cuping Infitrat kasar bilateral,
Mekonium hidung, retraksi, sianosis, hiperinflasi paru
mekonium stained skin

BAB III
KESIMPULAN

1. Berdasarkan foto thorax, menurut kriteria Bomsel ada 4 stadium RDS yaitu:
 Stadium 1; terdapat sedikit bercak retikulogranular dan sedikit
bronchogram udara.
 Stadium 2; bercak retikulogranular homogen pada kedua lapangan paru
dan gambaran air bronchogram udara terlihat lebih jelas dan meluas
sampai ke perifer menutupi bayangan jantung dengan penurunan aerasi
paru.
 Stadium 3; kumpulan alveoli yang kolaps bergabung sehingga kedua
lapangan paru terlihat lebih opaque dan bayangan jantung hampir tak
terlihat, bronchogram udara lebih luas.

27
 Stadium 4; seluruh thorax sangat opaque (white lung) sehingga jantung tak
dapat dilihat.5, 6
2. Pada sindrom aspirasi mekonium, radiografi dada menunjukkan hiperinflasi
dengan perselubungan yang merata. Hasil temuan menunjukkan area
atelectasis dengan area udara terperangkap. Kebocoran udara sering terjadi
menyebabkan terjadinya pneumothoraks, pneumomediastinum,
pneumopericardium, dan/atau pulmonary interstitial emphysema. Efusi pleura
juga bisa terjadi.
3. Gambaran khas pada TTN hiperexpansi paru, khas pada TTN, garis prominen
di perihiler, pembesaran jantung ringan hingga sedang, diafragma datar, dapat
dilihat dari lateral, cairan di fisura minor dan perlahan akan terdapat di ruang
pleura. prominent pulmonary vascular markings, radiografi dada adalah
standar diagnostik untuk bayi baru lahir dengan TTN, temuan karakteristik
termasuk perihilar menonjol, yang berkorelasi dengan kendurnya sistem
limfatik dengan cairan paru-paru dipertahankan, dan cairan dalam celah, efusi
pleura kecil dapat terlihat, patchy Infiltrat atau gambaran infiltrat yang halus
pada kedua lapang paru secara homogen dan tersebar merata.

DAFTAR PUSTAKA

1. Departemen/SMF Anak RSUP. Dr. Moh. Husein Palembang. Panduan Praktik


Klinik (PPK) Departemen/SMF Anak RSUP. Dr. Moh. Husein Palembang.
2. Mathai S, Raju C, Kanitkar C. Management of respiratory distress in the
newborn. MJAFI. 2007;63(269-72).
3. Schraufnagel DE. Breathing in America: Diseases, Progress, and Hope.
American Thoracic Society. 2010. Chapter 19, 197-205.
4. Smith JH. Neonatal Respiratory Care Handbook. Jones and Bartlett Publishers.
2009. Chapter 2, 37-52.
5. Gommela TL, Cunningham MD, Eyal FG, Neonatology management,
procedur, on-call problems, disease, and drugs. Edisi 6. Lange. Chapter 89:
Hyalin membran disease. 2004. 477-481.

28
6. Dzulfikar DLH, Ali Usman, Melinda D Nataprawira and Aris Primaldi. The
prevalence of hyaline membrane disease and the value of shake test and
lamellar body concentration in preterm infants. Paediatrica Indonesiana. 2003.
Volume 43 No. 5-6:77-81.
7. Honrubia D, Stark AR. Respiratory Distress Syndrome. Dalam: Cloherthy J,
Eichenwald EC, Stark AR, Eds. Manual of Neonatal Care. Edisi 5.
Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins,2004:341-61.
8. Worthman.L. Surfactan Protein A (SP-A) affects Pulmonary Surfactant
Morphology and Biophysical Properties. Department of Biochemistry
Memorial University of Newfoundland, St. John’s, Newfoundland,1997;1-130.
9. Griese. M. Pulmonary surfactant in health and human lung diseases: state of
the art. Eur. Respir. J. 1999;13:1455-76.
10. Mardiana WF. 2010. Peran Radiologi Dalam Gangguan Nafas Pada Neonatus.
Diunduh dari : http://id.scribd.com/doc/97547993/Peran Radiologi Dalam
Gangguan Nafas Pada Neonatus
11. Arvin, B.K. diterjemahkan oleh Samik wahab. Nelson : Ilmu Kesehatan Anak.
Vol. 1 Edisi 15. ECG : Jakarta. 2000. h. 600-601.
12. Clark, M.B. Meconium Aspiration Syndrome. 2010. www.medscape.com/
http:// portal neonatal.com.br/outras-especialidades /arquivos/ Meconium
Aspiration Syndrome.
13. Leu M. Meconium Aspiration Imaging, 2011 http://emedicine.medscape.com/
article/410756-overview#a22. Diakses tanggal 25 Oktober 2015
14. KN Siva Subramanian, MD et al. 2010. Transient Tachypnea of the Newborn.
http://emedicine.medscape.com/article/976914-overview (diakses tanggal 25
Oktober 2011)
15. Abdul L et al. 2003. Diagnosis Fisis Pada Anak. Edisi ke-2. Jakarta : CV
Sagung Seto.

29

Anda mungkin juga menyukai