OLEH :
DOSEN:
dr. GUSTINA LUBIS, SpA (K)
Asfiksia Perinatal adalah suatu stres pada janin atau bayi baru lahir karena kurang
tersedianya oksigen dan atau kurangnya aliran darah (perfusi) ke berbagai organ.3 Secara
klinis tampak bahwa bayi ¡tidak dapat bernapas spontan dan teratur segera setelah lahir.
Dampak dari keadaan asfiksia tersebut adalah hipoksia, hiperkarbia dan asidemia yang
selanjutnya akan meningkatkan pemakaian sumber energi dan menggangu sirkulasi bayi.
Asfiksia adalah kegagalan untuk memulai dan melanjutkan pernafasan secara spontan
dan teratur pada saat bayi baru lahir atau beberapa saat sesudah lahir. Bayi mungkin lahir
dalam kondisi asfiksia (Asfiksia Primer) atau mungkin dapat bernafas tetapi
kemudian mengalami asfiksia beberapa saat setelah lahir (Asfiksia Skunder) (Icesmi &
Sudarti, 2014)
1) Vigorous baby Skor APGAR 7-10, bayi sehat kadang tidak memerlukan tindakan
istimewa
1) Bayi normal atau tidak asfiksia : Skor APGAR 8-10. Bayi normal tidak memerlukan
resusitasi dan pemberian oksigen secara terkendali.
2) Asfiksia Ringan : Skor APGAR 5-7. Bayi dianggap sehat, dan tidak memerlukan
tindakan istimewa, tidak memerlukan pemberian oksigen dan tindakan resusitasi.
3) Asfiksia Sedang : Skor APGAR 3-4. Pada Pemeriksaan fisik akan terlihat frekuensi
jantung lebih dari 100 kali/menit, tonus otot kurang baik atau baik, sianosis, refleks
iritabilitas tidak ada dan memerlukan tindakan resusitasi serta pemberian oksigen
sampai bayi dapat bernafas normal.
4) Asfiksia Berat : Skor APGAR 0-3. Memerlukan resusitasi segera secara aktif dan
pemberian oksigen terkendali, karena selalu disertai asidosis, maka perlu diberikan
natrikus dikalbonas 7,5% dengan dosis 2,4 ml/kg berat badan, dan cairan glukosa 40%
1- 2 ml/kg berat badan, diberikan lewat vena umbilikus. Pada pemeriksaan fisik
ditemukan frekuensi jantung kurang dari 100 kali/menit, tonus otot buruk, sianosis
berat, dan kadang-kadang pucat, refleks iritabilitas tidak ada.
Asfiksia neonatorum dapat terjadi selama kehamilan, pada proses persalinan dan
melahirkan atau periode segera setelah lahir. Janin sangat bergantung pada pertukaran
plasenta untuk oksigen, asupan nutrisi dan pembuangan produk sisa sehingga gangguan
pada aliran darah umbilical maupun plasental hampir selalu akan menyebabkan asfiksia
(Anik & Eka, 2013).
o Anemia berat
o Cacat bawaan
o Trauma
a) Kekurangan O2
4) Prolaps fenikuli tali pusat akan tertekan antara kepala dan panggul
5) Pemberian obat bius terlalu banyak dan tidak tepat pada waktunya
Menurut Vidia & Pongki (2016), beberapa kondisi tertentu pada ibu hamil dapat
menyebabkan gangguan sirkulasi darah uteroplasenter sehingga pasokan oksigen ke bayi
menjadi berkurang. Hipoksia bayi di dalam rahim ditunjukkan dengan gawat janin yang
dapat berlanjut menjadi asfiksia bayi baru lahir, Beberapa faktor tertentu diketahui dapat
menjadi penyebab terjadinya asfiksia pada bayi baru lahir, diantaranya adalah faktor ibu,
tali pusat dan bayi berikut ini :
1) Faktor Ibu
3) Faktor Bayi
o Air ketuban bercampur mekonium (warna kehijauan) Pada asfiksia terjadi pula
gangguan metabolisme dan penurunan keseimbangan asam-basa pada tubuh bayi.
Pada tingkat pertama hanya terjadi asidosis respiratorik. Bila berlanjut dalam tubuh
bayi akan terjadi proses metabolisme an aerobic yang berupa glikolisis glikogen
tubuh, sehingga glikogen tubuh terutama pada jantung dan hati akan berkurang.
Pada tingkat selanjutnya akan terjadi perubahan kardiovaskular yang disebabkan
oleh beberapa keadaan diantaranya
1) Hilangnya sumber glikogen dalam jantung akan mempengaruhi fungsi jantung.
3. Kejang
4. Penurunan kesadaran
5. DJJ lebih dari 100x/menit atau kurang dari 100x/menit tidak teratur
2) Jantung dan Paru : Hipertensi pulmonal persisten pada neonatus, perdarahan paru,
edema paru
2. Judul Jurnal I
Peneliti:
Dari 54 bayi yang menderita asfiksia saat lahir yang dinilai dari apgar skor dan
didiagnosa secara medis menderita asfiksia dibandingkan dengan 100 bayi yang tidak
mengalami asfiksia.
Hasilnya adalah pada bayi yang pernah mengalami asfiksi ketika lahir
ditemukan memiliki respon yang lebih rendah. Dari analisis statistik dapat
disimpulkan bahwa pada bayi yang pernah menderita asfiksia, fungsi sel rambutnya
berkurang sehingga nanti akan berakibat kepada rendahnya daya dengar bayi tersebut.
Redistribusi sirkulasi yang ditemukan pada pasien hipoksia dan iskemia akut
telah memberikan gambaran yang jelas mengapa terjadi disfungsi berbagai organ
tubuh pada bayi asfiksia. Gangguan fungsi berbagai organ pada bayi asfiksia
tergantung pada lamanya asfiksia terjadi dan kecepatan penanganan.
Evaluasi ini dilakukan oleh ahli neonatologi di menit pertama, kelima, dan
kesepuluh kehidupan. Saat perinatal asfiksia terjadi maka terjadilah hipoperfusi
jaringan yang signifikan dan penurunan pasokan oksigen, sehingga muncul beberapa
masalah pada periode peripartum, salah satunya menyebabkan lesi neurologis dan
kerusakan sel rambut koklea. Apgar skor lebih rendah dari 4 pada menit pertama
dan / atau kurang dari 6 pada menit kelima dianggap faktor risiko kehilangan
pendengaran dan patut mendapat perhatian.
Pembahasan:
Salah satu metode saat ini untuk mendiagnosis gangguan pendengaran dini
adalah dengan skrining pendengaran emisi otoacoustic, yang bertujuan
mengidentifikasi bayi dengan kemungkinan gangguan pendengaran. Analisis
didasarkan pada kategorisasi ada atau tidaknya tanggapan.
3. Judul Jurnal II
Penulis/ peneliti
Abstract
Introduction: The process of care and assistance from birth to the starting of
therapeutic hypothermia (TH) is crucial in order to improve its effectiveness and prevent
the worsening of hypoxic-ischaemic injury.
Results: A total of 89/90 hospitals participated, of which 57/90 performed TH. They
all used resuscitation protocols and turned off the radiant warmer after stabilisation. All
of them performed glucose and blood gas analysis, monitored the central temperature,
put the newborn on a diet, and performed at least two examinations for the diagnosis of
hypoxic-ischaemic encephalopathy. Greater than one-third (35%) of hospitals did not
have amplitude-integrated electroencephalogram, and 6/57 were TH-hospitals. The
quality of care among hospitals with and without TH was similar, childbirth being better
in those that performed TH, and those with a higher level of care. Level IIIc hospitals
had higher scores than the others. The TH-hospitals mentioned not always having
neonatologists with experience in neurological assessment and interpretation of
amplitude-integrated electroencephalogram (25%), or in brain ultrasound (62%).
Penelitian ini dilakukan karena proses perawatan untuk terapi hipotermi penting
dilakukan untuk meningkatkan efektifitas dalam pencegahan memburuknya cidera
hipoksia-iskemik.
Kesimpulan: Rekomendasi untuk bayi baru lahir yang mengalami asfiksia, terdapat
standar perawatan kesehatan nasional yang berbeda dan tepat sesuai dengan tingkat
perawatan dan apakah TH ditawarkan. Diperlukan lebih banyak perangkat
electroencephalogram terintegrasi amplitudo, serta diperlukan lebih banyak neonatologis
terlatih untuk mengevaluasi bayi baru lahir dengan ensefalopati hipoksik-iskemik.
Pembahasan:
Pada BBL dengan asfiksia perinatal, 6 jam pertama kehidupan merupakan
periode penting di mana perawatan melewati beberapa tahapan yang berbeda dari lahir
hingga saat TH dimulai: (1) resusitasi dan stabilisasi pasien, (2) kontrol faktor
komorbiditas, (3) penilaian akurat keparahan HIE (Hypoxic-ischemic encephalopathy),
dan (4) Pemindahan segera ke rumah sakit rujukan yang menawarkan perawatan BBL
yang terintegrasi , termasuk TH.
Aspek kunci dalam perawatan BBL dengan asfiksia perinatal adalah kontrol suhu
tubuh dari menit setelah lahir sampai keputusan dibuat apakah akan menggunakan TH
atau tidak. Untuk setiap kenaikan suhu tubuh 1 ◦C, ada peningkatan hingga 4 kali lipat
dalam odds rasio untuk kematian atau gangguan neurologis sedang hingga berat.
Selain memantau tanda-tanda vital dan faktor komorbid potensial melalui tes
laboratorium, tugas yang paling penting dalam manajemen BBL dengan asfiksia
perinatal adalah untuk menentukan apakah pasien mengalami ensefalopati akut atau
tidak. Karena ini adalah kondisi dinamis yang dapat berubah dengan waktu dan diagnosis
serta tingkat keparahannya didasarkan pada manifestasi klinis, direkomendasikan bahwa
beberapa penilaian neurologis dilakukan dalam 6 jam pertama kehidupan.
4. Judul Jurnal III
Penulis
Lauren C. Weeke, MD, PhD, Floris Groenendaal, MD, PhD, Kalyani Mudigonda, MD,
Mats Blennow, MD, PhD, Maarten H. Lequin, MD, PhD, Linda C. Meiners, MD, PhD,
Ingrid C. van Haastert, MA, PhD, Manon J. Benders, MD, PhD, Boubou Hallberg, MD,
PhD, and Linda S. de Vries, MD, PhD,
Penerbit
J Pediatr 2018;192:33-40
Abstract
Objective To assess the predictive value of a novel magnetic resonance imaging (MRI)
score, which includesdiffusion-weighted imaging as well as assessment of the deep grey
matter, white matter, and cerebellum, forneurodevelopmental outcome at 2 years and
school age among term infants with hypoxic-ischemic encephalopathy treated with
therapeutic hypothermia.
Study design This retrospective cohort study (cohort 1, The Netherlands 2008-2014;
cohort 2, Sweden 2007-2012) including infants born at >36 weeks of gestational age
treated with therapeutic hypothermia who had an MRIin the first weeks of life. The MRI
score consisted of 3 subscores: deep grey matter, white matter/cortex, and cerebellum.
Primary adverse outcome was defined as death, cerebral palsy, Bayley Scales of Infant
and Toddler Development, third edition, motor or cognitive composite scores at 2 years
of <85, or IQ at school age of <85.
Results In cohort 1 (n = 97) and cohort 2 (n = 76) the grey matter subscore was an
independent predictor of adverse outcome at 2 years (cohort 1, OR, 1.6; 95% CI, 1.3-1.9;
cohort 2, OR, 1.4; 95% CI, 1.2-1.6), and school age (cohort 1, OR, 1.3; 95% CI, 1.2-1.5;
cohort 2, OR, 1.3; 95% CI, 1.1-1.6). The white matter and cerebellum subscore did
not add to the predictive value. The positive predictive value, negative predictive value,
and area under the curve for the grey matter subscore were all >0.83 in both cohorts,
whereas the specificity was >0.91 with variable sensitivity.
Conclusion A novel MRI score, which includes diffusion-weighted imaging and assesses
all brain areas of importance in infants with therapeutic hypothermia after perinatal
asphyxia, has predictive value for outcome at 2 years of age and at school age, for which
the grey matter subscore can be used independently.
Pembahasan
Tujuan Untuk menilai nilai prediksi skor magnetic resonance imaging (MRI)
baru, yang meliputi pencitraan yang berbobot memperlihatkan materi abu-abu tua,
materi putih, dan otak kecil, untuk menilai perkembangan pada usia 2 tahun dan usia
sekolah di antara bayi cukup bulan dengan bayi cukup bulan yang pernah mengalami
ensefalopati hipoksik-iskemik diobati dengan hipotermia terapeutik.
Skor MRI dirancang berdasarkan skor sebelumnya dan pola cedera otak yang
dilaporkan dalam literatur. Penulis menilai skor cedera otak di 3 area:
(1) Materi kelabu tua (item mencetak: thalamus, ganglia basal, ekstremitas posterior
kapsul internal, batang otak, korteks perirolandik, dan hippocampus; maksimum
subscore abu-abu),
(2) Warna Putih otakmateri / korteks (item dinilai: korteks, materi putih otak, optik
radiasi, corpus callosum, lesi white matter belang, dan perdarahan parenkim;
subscore materi putih maksimum), dan
(3) Otak kecil (item-item yang dicetak: pendarahan otak kecil dan otak kecil; skor
maksimum otak kecil). Setiap item dinilai untuk tingkat cedera:
2 (luas, ≥50%) dan untuk unilateral (skor 1) atau bilateral (skor 2), item tidak
tertimbang di panggung ini
Peneliti mengembangkan skor MRI komprehensif yang mudah diterapkan
yang menunjukkan nilai prediktif yang baik dalam 2 kohort independen dan
internasional, yang terdiri dari total 173 bayi yang diobati hipotermia terapeutik. Di
kedua kelompok, cedera di bagian dalam area abu-abu adalah prediktor independen
yang menimbulkan hasil merugikan pada usia 2 tahun dan pada usia sekolah.
Masalah subscore abu-abu mungkin berguna untuk prediksi hasil pada bayi
hipotermia dengan HIE. Nilai batas yang disajikan dan grafik probabilitas yang
diprediksi dapat digunakan untuk membantu pengambilan keputusan klinis atau
sebagai ukuran hasil dalam uji klinis. Keandalan antar penilai tinggi dan nilai prediksi
tetap baik dalam kelompok 2 .
Kesimpulan
Arnaez, Juan dkk .2017. “Care of the newborn with perinatal asphyxia candidate for
therapeutic hypothermia during the first six hours of life in Spain” An Pediatr (Barc).
2018;89(4):211---221
Atika, Vidia dan Pongki Jaya. 2016. Asuhan kebidanan pada Neonatus, Bayi, Balita
dan Anak Pra Sekolah. Jakarta : Trans Info Media.
Weeke, Lauren dkk. 2018. C. A Novel Magnetic Resonance Imaging Score Predicts
Neurodevelopmental Outcome After Perinatal Asphyxia and Therapeutic
Hypothermia. Pediatric Journal: Elsevier