Anda di halaman 1dari 14

UJIAN TENGAH SEMESTER

TUMBUH KEMBANG ANAK


“TELAAH JURNAL: ASFIKSIA NEONATORUM”

OLEH :

YESI GUSTI (1820332015)

DOSEN:
dr. GUSTINA LUBIS, SpA (K)

PROGRAM PASCASARJANA ILMU KEBIDANAN


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS
PADANG
2020
1. Kajian Teori

Asfiksia Perinatal adalah suatu stres pada janin atau bayi baru lahir karena kurang
tersedianya oksigen dan atau kurangnya aliran darah (perfusi) ke berbagai organ.3 Secara
klinis tampak bahwa bayi ¡tidak dapat bernapas spontan dan teratur segera setelah lahir.
Dampak dari keadaan asfiksia tersebut adalah hipoksia, hiperkarbia dan asidemia yang
selanjutnya akan meningkatkan pemakaian sumber energi dan menggangu sirkulasi bayi.

Asfiksia adalah kegagalan untuk memulai dan melanjutkan pernafasan secara spontan
dan teratur pada saat bayi baru lahir atau beberapa saat sesudah lahir. Bayi mungkin lahir
dalam kondisi asfiksia (Asfiksia Primer) atau mungkin dapat bernafas tetapi
kemudian mengalami asfiksia beberapa saat setelah lahir (Asfiksia Skunder) (Icesmi &
Sudarti, 2014)

Klasifikasi Asfiksia Menurut Maryunani dan Sari (2013) klasifikasi asfiksia


berdasarkan nilai APGAR :

1) Asfiksia berat dengan nilai APGAR 0-3.

2) Asfiksia ringan sedang dengan nilai 4-6.

3) Bayi normal atau sedikit asfiksia dengan nilai APGAR 7-9.

4) Bayi normal dengan nilai APGAR 10.

Menurut Icesmi dan Sudarti (2014:159) klasifikasi asfiksia dibagi menjadi:

1) Vigorous baby Skor APGAR 7-10, bayi sehat kadang tidak memerlukan tindakan
istimewa

2) Moderate asphyksia Skor APGAR 4-6

3) Severe asphyksia Skor APGAR 0-3

Menurut Vidia dan Pongki (2016) klasifikasi asfiksia terdiri dari :

1) Bayi normal atau tidak asfiksia : Skor APGAR 8-10. Bayi normal tidak memerlukan
resusitasi dan pemberian oksigen secara terkendali.

2) Asfiksia Ringan : Skor APGAR 5-7. Bayi dianggap sehat, dan tidak memerlukan
tindakan istimewa, tidak memerlukan pemberian oksigen dan tindakan resusitasi.

3) Asfiksia Sedang : Skor APGAR 3-4. Pada Pemeriksaan fisik akan terlihat frekuensi
jantung lebih dari 100 kali/menit, tonus otot kurang baik atau baik, sianosis, refleks
iritabilitas tidak ada dan memerlukan tindakan resusitasi serta pemberian oksigen
sampai bayi dapat bernafas normal.

4) Asfiksia Berat : Skor APGAR 0-3. Memerlukan resusitasi segera secara aktif dan
pemberian oksigen terkendali, karena selalu disertai asidosis, maka perlu diberikan
natrikus dikalbonas 7,5% dengan dosis 2,4 ml/kg berat badan, dan cairan glukosa 40%
1- 2 ml/kg berat badan, diberikan lewat vena umbilikus. Pada pemeriksaan fisik
ditemukan frekuensi jantung kurang dari 100 kali/menit, tonus otot buruk, sianosis
berat, dan kadang-kadang pucat, refleks iritabilitas tidak ada.

Etiologi dan faktor Resiko

Asfiksia neonatorum dapat terjadi selama kehamilan, pada proses persalinan dan
melahirkan atau periode segera setelah lahir. Janin sangat bergantung pada pertukaran
plasenta untuk oksigen, asupan nutrisi dan pembuangan produk sisa sehingga gangguan
pada aliran darah umbilical maupun plasental hampir selalu akan menyebabkan asfiksia
(Anik & Eka, 2013).

Penyebab asfiksia menurut Anik & eka (2013) adalah :

1) Asfiksia dalam kehamilan :

o Penyakit infeksi akut

o Penyakit infeksi kronik

o Keracunan oleh obat-obat bius

o Uremia dan toksemia gravidarum

o Anemia berat

o Cacat bawaan

o Trauma

2) Asfiksia dalam persalinan

a) Kekurangan O2

b) Partus lama (rigid serviks dan atonia /insersi uteri)

c) Ruptur uteri yang memberat, kontraksi uterus terusmenerus mengganggu


sirkulasi darah ke plasenta

3) Tekanan terlalu kuat dari kepala anak pada plasenta

4) Prolaps fenikuli tali pusat akan tertekan antara kepala dan panggul

5) Pemberian obat bius terlalu banyak dan tidak tepat pada waktunya

6) Perdarahan banyak: plasenta previa dan solusio plasenta

7) Kalau plasenta sudah tua : postmaturitas (serotinus, disfungsi uteri)

8) Paralisis pusat pernafasan:


 Trauma dari luar seperti tindakan forceps

 Trauma dari dalam seperti akibat obat bius

Menurut Vidia & Pongki (2016), beberapa kondisi tertentu pada ibu hamil dapat
menyebabkan gangguan sirkulasi darah uteroplasenter sehingga pasokan oksigen ke bayi
menjadi berkurang. Hipoksia bayi di dalam rahim ditunjukkan dengan gawat janin yang
dapat berlanjut menjadi asfiksia bayi baru lahir, Beberapa faktor tertentu diketahui dapat
menjadi penyebab terjadinya asfiksia pada bayi baru lahir, diantaranya adalah faktor ibu,
tali pusat dan bayi berikut ini :

1) Faktor Ibu

 Pre Eklamsi dan Eklamsi

 Perdarahan abnormal (plasenta previa atau solusio plasenta)

 Partus lama atau partus macet

 Demam selama persalinan Infeksi berat (malaria, sifilis,TBC, HIV)

 Kehamilan Lewat Waktu (sesudah 42 minggu kehamilan)

2) Faktor Tali Pusat

o Lilitan Tali Pusat

o Tali Pusat Pendek

o Simpul Tali Pusat

o Prolapsus Tali Pusat

3) Faktor Bayi

o Bayi Prematur (sebelum 37 minggu kehamilan)

o Persalinan dengan tindakan (sungsang, bayi kembar, distosia bahu, ekstraksi


vakum, ekstraksi forsep)

o Kelainan bawaan (kongenital)

o Air ketuban bercampur mekonium (warna kehijauan) Pada asfiksia terjadi pula
gangguan metabolisme dan penurunan keseimbangan asam-basa pada tubuh bayi.
Pada tingkat pertama hanya terjadi asidosis respiratorik. Bila berlanjut dalam tubuh
bayi akan terjadi proses metabolisme an aerobic yang berupa glikolisis glikogen
tubuh, sehingga glikogen tubuh terutama pada jantung dan hati akan berkurang.
Pada tingkat selanjutnya akan terjadi perubahan kardiovaskular yang disebabkan
oleh beberapa keadaan diantaranya
1) Hilangnya sumber glikogen dalam jantung akan mempengaruhi fungsi jantung.

2) Terjadinya asidosis metabolik yang akan menimbulkan kelemahan otot


jantung.

3) Pengisian udara alveolus yang kurang adekuat akan mengakibatkan tetap


tingginya resistensi pembuluh darah paru sehingga sirkulasi darah ke paru dan
ke sistem sirkulasi tubuh lain akan mengalami gangguan

Gejala dan Tanda-tanda Asfiksia :

1. Tidak bernafas atau nafas mega-megap

2. Warna kulit kebiruan

3. Kejang

4. Penurunan kesadaran

5. DJJ lebih dari 100x/menit atau kurang dari 100x/menit tidak teratur

6. Mekonium dalam air ketuban pada janin letak kepala

Menurut Vidia dan Pongki (2016), komplikasi meliputi berbagai organ :

1) Otak : Hipoksik iskemik ensefalopati, edema serebri, palsiserebralis

2) Jantung dan Paru : Hipertensi pulmonal persisten pada neonatus, perdarahan paru,
edema paru

3) Grastrointestinal : Enterokolitis nekrotikan

4) Ginjal : Tubular nekrosis akut, siadh

5) Hematologi : Dic (Disseminated Intravascular Coagulation)

2. Judul Jurnal I

Assessment of levels of otoacoustic emission response in neonates with


perinatal asphyxia

Peneliti:

Georgea Espindola Ribeiro*, Daniela Polo Camargo da Silva, Jair Cortez


Montovani
Universidade Estadual Paulista (UNESP), Botucatu, SP, Brazil
Received 8 January 2013; accepted 26 March 2014
Abstract
Objective: To evaluate the effects of perinatal asphyxia on the level of the response to
transient otoacoustic emissions in infants.

Methods: Otoacoustic emissions in 154 neonates were performed: 54 infants who


suffered asphyxia at birth, measured by Apgar score and medical diagnosis, and 100
infants without risk were compared. Scores less than 4 in the first minute and/or less
than 6 in the fifth minute were considered as “low Apgar”. Statistical analysis of the
data was performed
using the Kruskal, Wilcoxon, and Mann-Whitney nonparametric tests.

Results: Lower levels of response were observed in transient otoacoustic emission in


the group that suffered perinatal asphyxia, with significant values for the frequencies
2,000, 3,000, and 4,000 Hz in the right ear, and 2,000 and 4,000 Hz in the left ear.

Conclusions: The analysis of the intrinsic characteristics of the otoacoustic emissions


evidenced low performance of outer hair cells in neonates who had perinatal
asphyxia, which may affect the development of listening skills in this population.

Penelitian ini dilakukan untuk mengevaluasi efek dari asfiksia perinatal


terhahadap karakteristik otoacoustic emissions.

Dari 54 bayi yang menderita asfiksia saat lahir yang dinilai dari apgar skor dan
didiagnosa secara medis menderita asfiksia dibandingkan dengan 100 bayi yang tidak
mengalami asfiksia.

Hasilnya adalah pada bayi yang pernah mengalami asfiksi ketika lahir
ditemukan memiliki respon yang lebih rendah. Dari analisis statistik dapat
disimpulkan bahwa pada bayi yang pernah menderita asfiksia, fungsi sel rambutnya
berkurang sehingga nanti akan berakibat kepada rendahnya daya dengar bayi tersebut.

Redistribusi sirkulasi yang ditemukan pada pasien hipoksia dan iskemia akut
telah memberikan gambaran yang jelas mengapa terjadi disfungsi berbagai organ
tubuh pada bayi asfiksia. Gangguan fungsi berbagai organ pada bayi asfiksia
tergantung pada lamanya asfiksia terjadi dan kecepatan penanganan.

Evaluasi ini dilakukan oleh ahli neonatologi di menit pertama, kelima, dan
kesepuluh kehidupan. Saat perinatal asfiksia terjadi maka terjadilah hipoperfusi
jaringan yang signifikan dan penurunan pasokan oksigen, sehingga muncul beberapa
masalah pada periode peripartum, salah satunya menyebabkan lesi neurologis dan
kerusakan sel rambut koklea. Apgar skor lebih rendah dari 4 pada menit pertama
dan / atau kurang dari 6 pada menit kelima dianggap faktor risiko kehilangan
pendengaran dan patut mendapat perhatian.

Pembahasan:
Salah satu metode saat ini untuk mendiagnosis gangguan pendengaran dini
adalah dengan skrining pendengaran emisi otoacoustic, yang bertujuan
mengidentifikasi bayi dengan kemungkinan gangguan pendengaran. Analisis
didasarkan pada kategorisasi ada atau tidaknya tanggapan.

Dalam studi emisi otoacoustic amplitudo dalam kaitannya dengan gender,


amplitudo rata-rata yang lebih tinggi secara signifikan diamati pada bayi perempuan,
dengan dominan telinga kanan, seperti yang dilaporkan oleh penelitian lain. Menurut
to cassidy & Ditty (2001), amplitudo lebih tinggi dalam pemeriksaan emisi transient
otoacoustic pada wanita bila dibandingkan dengan pria dapat dikaitkan dengan
peningkatan sensitivitas dari sel-sel rambut luar pada wanita. Analisis rasio sinyal /
noise juga dipelajari oleh penulis lain, seperti Jiang et al, 15 yang mengamati
amplitudo yang lebih rendah secara signifikan pada frekuensi 1 kHz dan 10 kHz
dalam pengujian emisi otoacoustic oleh produk distorsi pada neonatus dengan rendah
Skor Apgar, menunjukkan penurunan koklea, bahkan dengan kehadiran respons.
Besarnya respons juga terbukti dipengaruhi oleh faktor risiko lain, seperti sebagai
hiperbilirubinemia, prematuritas, dan pajanan terhadap obat-obatan ototoksik.

3. Judul Jurnal II

“Care of the newborn with perinatal asphyxia candidate for therapeutic


hypothermia during the first six hours of life in Spain”

Penulis/ peneliti

Juan Arnaez, Alfredo Garcia-Alix, Sara Calvo, Simón Lubián-López,


Grupo de Trabajo ESP-EHI

Received 7 September 2017; accepted 9 November 2017 Available online 15


September 2018

Abstract

Introduction: The process of care and assistance from birth to the starting of
therapeutic hypothermia (TH) is crucial in order to improve its effectiveness and prevent
the worsening of hypoxic-ischaemic injury.

Methods: A national cross-sectional study carried out in 2015 by use of a


questionnaire sent to all level III units on the care of the newborn ≥ 35 weeks gestation
within the first hours of life after a perinatal asphyxia event. According to clinical
practice guidelines, the quality of care was compared between the hospitals that carried
out or did not carry out TH, and according to the level of care.

Results: A total of 89/90 hospitals participated, of which 57/90 performed TH. They
all used resuscitation protocols and turned off the radiant warmer after stabilisation. All
of them performed glucose and blood gas analysis, monitored the central temperature,
put the newborn on a diet, and performed at least two examinations for the diagnosis of
hypoxic-ischaemic encephalopathy. Greater than one-third (35%) of hospitals did not
have amplitude-integrated electroencephalogram, and 6/57 were TH-hospitals. The
quality of care among hospitals with and without TH was similar, childbirth being better
in those that performed TH, and those with a higher level of care. Level IIIc hospitals
had higher scores than the others. The TH-hospitals mentioned not always having
neonatologists with experience in neurological assessment and interpretation of
amplitude-integrated electroencephalogram (25%), or in brain ultrasound (62%).

Conclusions: In response to the recommendations of the asphyxiated newborn, there


is a proper national health care standard with differences according to the level of care
and whether TH is offered. More amplitude-integrated electroencephalogram devices are
necessary, as well as more neonatologists trained in the evaluations that will be required
by the newborn with hypoxic-ischaemic encephalopathy.

Penelitian ini dilakukan karena proses perawatan untuk terapi hipotermi penting
dilakukan untuk meningkatkan efektifitas dalam pencegahan memburuknya cidera
hipoksia-iskemik.

Penelitian dilakukan dengan metode penelitian cross-sectional secara nasional.


Dimana kuisioner dikirim ke semua unit pelayanan BBL level III, dengan usia gestasi ≥
35minggu selama jam pertama kehidupan setelah terjadinya asfiksia. Kualitas pelayanan
membandingkan perawatan yang melakukan terapi hipotermia dengan yang tidak
melakukan sesuai dengan level perawatan pasien.

Sebanyak 89 dari 90 Rumah Sakit berpartisipasi, dimana 57 dari 90 melakukan TH.


Mereka semua menggunakan protokol resusitasi dan mematikan penghangat radiasi
setelah stabilisasi. Semua dari mereka melakukan analisis glukosa dan gas darah,
memantau suhu, memberikan diet pada bayi baru lahir, dan melakukan setidaknya dua
pemeriksaan untuk diagnosis ensefalopati hipoksik-iskemik. Lebih dari sepertiga (35%)
Rumah Sakit tidak memiliki electroencephalogram terintegrasi amplitudo, dan 6/57
adalah Rumah Sakit TH. Kualitas perawatan di antara Rumah Sakit dengan dan tanpa TH
serupa, persalinan lebih baik pada RS yang melakukan TH, dan mereka yang memiliki
tingkat perawatan yang lebih tinggi. Rumah sakit Level IIIc memiliki skor lebih tinggi
daripada yang lain. Rumah Sakit dengan TH yang disebutkan tidak selalu memiliki
neonatologis dengan pengalaman dalam penilaian neurologis dan interpretasi
electroencephalogram terintegrasi amplitudo (25%), atau dalam USG otak (62%).

Kesimpulan: Rekomendasi untuk bayi baru lahir yang mengalami asfiksia, terdapat
standar perawatan kesehatan nasional yang berbeda dan tepat sesuai dengan tingkat
perawatan dan apakah TH ditawarkan. Diperlukan lebih banyak perangkat
electroencephalogram terintegrasi amplitudo, serta diperlukan lebih banyak neonatologis
terlatih untuk mengevaluasi bayi baru lahir dengan ensefalopati hipoksik-iskemik.

Pembahasan:
Pada BBL dengan asfiksia perinatal, 6 jam pertama kehidupan merupakan
periode penting di mana perawatan melewati beberapa tahapan yang berbeda dari lahir
hingga saat TH dimulai: (1) resusitasi dan stabilisasi pasien, (2) kontrol faktor
komorbiditas, (3) penilaian akurat keparahan HIE (Hypoxic-ischemic encephalopathy),
dan (4) Pemindahan segera ke rumah sakit rujukan yang menawarkan perawatan BBL
yang terintegrasi , termasuk TH.

Resusitasi dan stabilisasai di ruang bersalin

Di Spanyol, semua unit perawatan neonatal di Rumah Sakit tersier memiliki


protokol khusus untuk resusitasi dan stabilisasi di ruang bersalin BBL yang
menunjukkan tanda-tanda asfiksia perinatal. Sesuai dengan rekomendasi saat ini, Rumah
Sakit ini memiliki staf yang dilatih khusus melakukan resusitasi neonatal dan
menghindari pemberian kalsium dan natrium bikarbonat.

Aspek kunci dalam perawatan BBL dengan asfiksia perinatal adalah kontrol suhu
tubuh dari menit setelah lahir sampai keputusan dibuat apakah akan menggunakan TH
atau tidak. Untuk setiap kenaikan suhu tubuh 1 ◦C, ada peningkatan hingga 4 kali lipat
dalam odds rasio untuk kematian atau gangguan neurologis sedang hingga berat.

Kontrol faktor komorbiditas

Seiring terjadinya hipoksik-iskemik, otak sangat rentan terhadap faktor-faktor


penyerta yang berpotensi untuk merusak SSP, mempersingkat periode terapi dan
meningkatkan keparahan cedera. Faktor-faktor ini termasuk hipoglikemia, hipokarbia
dan hiperoksia atau hipoksia.

Asfiksia perinatal merupakan penyebab penting hipoglikemia karena metabolisme


anaerob glukosa. Lebih lanjut, terjadinya hipoksemia dan iskemia bersamaan dapat
meningkatkan kerentanan otak neonatal untuk hipoglikemia. Tingkat glukosa darah
kurang dari 40 - 46,8 mg / dL pada jam-jam awal kehidupan meningkatkan risiko
mengembangkan HIE sedang hingga parah dan selanjutnya dapat menyebabkan
kematian atau gangguan neurologis.

Identifikasi bayi baru lahir dengan hipoksik-iskemik ensefalopati

Selain memantau tanda-tanda vital dan faktor komorbid potensial melalui tes
laboratorium, tugas yang paling penting dalam manajemen BBL dengan asfiksia
perinatal adalah untuk menentukan apakah pasien mengalami ensefalopati akut atau
tidak. Karena ini adalah kondisi dinamis yang dapat berubah dengan waktu dan diagnosis
serta tingkat keparahannya didasarkan pada manifestasi klinis, direkomendasikan bahwa
beberapa penilaian neurologis dilakukan dalam 6 jam pertama kehidupan.
4. Judul Jurnal III

“A Novel Magnetic Resonance Imaging Score Predicts Neurodevelopmental


Outcome After Perinatal Asphyxia and Therapeutic Hypothermia”

Penulis

Lauren C. Weeke, MD, PhD, Floris Groenendaal, MD, PhD, Kalyani Mudigonda, MD,
Mats Blennow, MD, PhD, Maarten H. Lequin, MD, PhD, Linda C. Meiners, MD, PhD,
Ingrid C. van Haastert, MA, PhD, Manon J. Benders, MD, PhD, Boubou Hallberg, MD,
PhD, and Linda S. de Vries, MD, PhD,

Penerbit

J Pediatr 2018;192:33-40

Abstract
Objective To assess the predictive value of a novel magnetic resonance imaging (MRI)
score, which includesdiffusion-weighted imaging as well as assessment of the deep grey
matter, white matter, and cerebellum, forneurodevelopmental outcome at 2 years and
school age among term infants with hypoxic-ischemic encephalopathy treated with
therapeutic hypothermia.

Study design This retrospective cohort study (cohort 1, The Netherlands 2008-2014;
cohort 2, Sweden 2007-2012) including infants born at >36 weeks of gestational age
treated with therapeutic hypothermia who had an MRIin the first weeks of life. The MRI
score consisted of 3 subscores: deep grey matter, white matter/cortex, and cerebellum.
Primary adverse outcome was defined as death, cerebral palsy, Bayley Scales of Infant
and Toddler Development, third edition, motor or cognitive composite scores at 2 years
of <85, or IQ at school age of <85.

Results In cohort 1 (n = 97) and cohort 2 (n = 76) the grey matter subscore was an
independent predictor of adverse outcome at 2 years (cohort 1, OR, 1.6; 95% CI, 1.3-1.9;
cohort 2, OR, 1.4; 95% CI, 1.2-1.6), and school age (cohort 1, OR, 1.3; 95% CI, 1.2-1.5;
cohort 2, OR, 1.3; 95% CI, 1.1-1.6). The white matter and cerebellum subscore did
not add to the predictive value. The positive predictive value, negative predictive value,
and area under the curve for the grey matter subscore were all >0.83 in both cohorts,
whereas the specificity was >0.91 with variable sensitivity.

Conclusion A novel MRI score, which includes diffusion-weighted imaging and assesses
all brain areas of importance in infants with therapeutic hypothermia after perinatal
asphyxia, has predictive value for outcome at 2 years of age and at school age, for which
the grey matter subscore can be used independently.

Pembahasan

Tujuan Untuk menilai nilai prediksi skor magnetic resonance imaging (MRI)
baru, yang meliputi pencitraan yang berbobot memperlihatkan materi abu-abu tua,
materi putih, dan otak kecil, untuk menilai perkembangan pada usia 2 tahun dan usia
sekolah di antara bayi cukup bulan dengan bayi cukup bulan yang pernah mengalami
ensefalopati hipoksik-iskemik diobati dengan hipotermia terapeutik.

Desain penelitian Penelitian kohort retrospektif ini (kohort 1, Belanda 2008-2014;


kohort 2, Swedia 2007-2012) pada bayi yang lahir pada usia kehamilan> 36 minggu yang
diobati dengan hipotermia terapeutik yang melakukan pemeriksaan MRI pada minggu-
minggu pertama kehidupan. Skor MRI terdiri dari 3 subskala: abu-abu tua, putih /
korteks, dan otak kecil. Hasil terburuk yakni kematian, cerebral palsy, Bayley Scales of
Infant and Toddler Development, edisi ketiga, skor komposit motorik atau kognitif pada
2 tahun <85, atau IQ pada usia sekolah <85.

Hasil Dalam kelompok 1 (n = 97) dan kelompok 2 (n = 76) subscore abu-abu


adalah prediktor independen dari hasil yang merugikan pada 2 tahun (kelompok 1, OR,
1,6; 95% CI, 1,3-1,9; kelompok 2, OR, 1.4; CI 95%, 1.2-1.6), dan usia sekolah
(kelompok 1, OR, 1.3; 95% CI, 1.2-1.5; kelompok 2, OR, 1.3; 95% CI, 1.1-1.6). Materi
putih dan subscore otak kecil melakukannya tidak menambah nilai prediktif. Nilai
prediktif positif, nilai prediktif negatif, dan area di bawah kurva untuk subscore abu-abu
semuanya> 0,83 pada kedua kohort, sedangkan spesifisitasnya> 0,91 dengan sensitivitas
variabel.

Kesimpulan: Skor MRI (baru), yang meliputi pencitraan difusi-tertimbang dan


menilai semua area otak yang penting pada bayi dengan hipotermia terapeutik setelah
asfiksia perinatal, memiliki nilai prediktif untuk hasil pada usia 2 tahun dan pada usia
sekolah, di mana subscore materi abu-abu dapat digunakan secara mandiri.

Meskipun terapi hipotermia setelah asfiksia perinatal telah mengurangi insidensi


hasil yang merugikan, 45% bayi masih meninggal atau memiliki gangguan
perkembangan saraf. Spektroskopi nance (1H-MRS) telah terbukti menjadi prediktor
yang sangat baik untuk hasil 1-7 Magnetic resonance imaging (MRI) dan reson magnetik
reso-4,8-11 dan sering digunakan sebagai jembatan biomarker untuk hasil perkembangan
saraf pada bayi dengan hipoksia- ensefalopati iskemik (HIE).

Skor MRI dirancang berdasarkan skor sebelumnya dan pola cedera otak yang
dilaporkan dalam literatur. Penulis menilai skor cedera otak di 3 area:

(1) Materi kelabu tua (item mencetak: thalamus, ganglia basal, ekstremitas posterior
kapsul internal, batang otak, korteks perirolandik, dan hippocampus; maksimum
subscore abu-abu),

(2) Warna Putih otakmateri / korteks (item dinilai: korteks, materi putih otak, optik
radiasi, corpus callosum, lesi white matter belang, dan perdarahan parenkim;
subscore materi putih maksimum), dan

(3) Otak kecil (item-item yang dicetak: pendarahan otak kecil dan otak kecil; skor
maksimum otak kecil). Setiap item dinilai untuk tingkat cedera:

0 (tidak ada cedera),

1 (fokus, <50%), atau

2 (luas, ≥50%) dan untuk unilateral (skor 1) atau bilateral (skor 2), item tidak
tertimbang di panggung ini
Peneliti mengembangkan skor MRI komprehensif yang mudah diterapkan
yang menunjukkan nilai prediktif yang baik dalam 2 kohort independen dan
internasional, yang terdiri dari total 173 bayi yang diobati hipotermia terapeutik. Di
kedua kelompok, cedera di bagian dalam area abu-abu adalah prediktor independen
yang menimbulkan hasil merugikan pada usia 2 tahun dan pada usia sekolah.

Masalah subscore abu-abu mungkin berguna untuk prediksi hasil pada bayi
hipotermia dengan HIE. Nilai batas yang disajikan dan grafik probabilitas yang
diprediksi dapat digunakan untuk membantu pengambilan keputusan klinis atau
sebagai ukuran hasil dalam uji klinis. Keandalan antar penilai tinggi dan nilai prediksi
tetap baik dalam kelompok 2 .

Kesimpulan

Pemeriksaan MRI terbaru ini dapat diguakan untuk memprediksi kerusakan


otak dan gangguan perkembangan pada bayi yang mengalami asfiksia neonatorum
DAFTAR PUSTAKA

Arnaez, Juan dkk .2017. “Care of the newborn with perinatal asphyxia candidate for
therapeutic hypothermia during the first six hours of life in Spain” An Pediatr (Barc).
2018;89(4):211---221

Atika, Vidia dan Pongki Jaya. 2016. Asuhan kebidanan pada Neonatus, Bayi, Balita
dan Anak Pra Sekolah. Jakarta : Trans Info Media.

Maryunani, Anik. Sari, Eka puspita (2013) Asuhan Kegawatdaruratan Maternal


dan Neonatal. Jakarta: Trans Info media.

Ribeiro, Georgea Espindola. dkk. 2014. Assessment of levels of otoacoustic emission


response in neonates with perinatal asphyxia.
Universidade Estadual Paulista (UNESP): Botucatu, SP, Brazil

Weeke, Lauren dkk. 2018. C. A Novel Magnetic Resonance Imaging Score Predicts
Neurodevelopmental Outcome After Perinatal Asphyxia and Therapeutic
Hypothermia. Pediatric Journal: Elsevier

Anda mungkin juga menyukai