Dulu, duniaku hanya lingkaran kecil seputar kampus, kost, bahkan terkadang keluar
hanya sekedar mencari udara segar, yaaa nongkrong bersama teman-teman. Disibukkan
dengan rutinitas yang itu-itu saja, tugas, tugas dan tugas hingga membuatku tidak peka
dengan masalah yang kian terjadi di luaran sana. Pikirku, asalkan aku baik-baik saja, itu
sudah cukup. Karena aku mendambakan kehidupan yang nyaman. Fokus kuliah agar bisa
menghasilkan pundi-pundi uang lalu dikumpulkan agar suatu saat terbeli apa yang
diidamkan, terus menerus berusaha. Agar selalu mengikuti perkembangan zaman.
Ya egois memang. Itulah aku yang dulu, sebelum menemukan titik balik arti dari kehidupan
sesungguhnya. Lupa akan segala hal, lupa jika kita diciptakan bukan hanya untuk mengejar
dunia, lupa bahwa aku hanyalah hamba dan lupa ternyata ada hal lain yang jauh lebih penting
yang harus aku perjuangkan. Ya Islam.
Kita pikir yang ada di dunia ini adalah idaman, impian dan tujuan. Padahal semua ini
semu belaka. Akan musnah termakan usia atau hancur seketika tanpa kita duga. Kalau kita
sedikit aja pakai logika ngapain sih capek capek ngejar dunia kalau ternyata kita bisa
memikat pemilik dunia. Allah aja memandang dunia gak lebih baik dari bangkai yang kotor
dan hina.
Bahkan dulu, aku berpikir, bahwa semua agama itu tak beda. Sama-sama
mengajarkan kebaikan pada sesama. Tapi pada kenyataannya, bukanlah hal mudah untuk
mengganti iman kita dengan yang lainnya karena ternyata perkara iman itu harus
menetramkan hati, memuaskan akal, dan sesuai dengan fitrahnya. Dan setelah aku
mempelajarinya, hanya islamlah yang mempelajari itu semua. Setelah aku tau tugasku adalah
menjaga dan memperjuangkannya.
Aku tahu, tidak mudah memang, kuliah dan harus memperjuangkan agama. Tapi
yakinlah tak ada yang sia-sia. Semua seruan Allah, aku juga tahu kehidupan seorang mukmin
hampir tidak sunyi dari cobaan. Menghadapi terik cobaan yang menyengat, hingga
memmbuat kita harus berteduh di bawah payung kesabaran, dengan begitu kitaakan
mendapati keteduhan, sehingga dapat meneruskan langkah dengan selamat dan sampai
tujuan. Memperjuangkan Islam Kaffah.
MuslimahNews.com, OPINI – “Gali lobang tutup lobang. Pinjam uang bayar utang.
Lobang digali menggali lobang. Untuk menutup lobang. Tertutup sudah lobang yang lama.
Lobang baru terbuka.” Sepertinya lirik lagu H. Rhoma Irama ini cocok sekali menggambarkan
kondisi negeri yang terus menambah utangnya.
Jika bicara tentang utang, “Ratu Utang” julukan Rizal Ramli pada Menkeu Sri Mulyani
memang jagonya. Utang pemerintah dalam setahun naik Rp347 triliun. Nyaris Rp1 triliun per
hari, namun bangga, dipuja-puja kreditor karena berikan bunga tertinggi di ASEAN. Apakah
ini pantas kita sebut prestasi?
Bayangkan saja, dalam dua minggu, pemerintah Indonesia menambah utang baru.
Bahkan jumlahnya cukup besar, utang baru tersebut merupakan kategori pinjaman bilateral.
Rincian utang luar negeri itu berasal dari Australia sebesar Rp15,45 triliun dan utang
bilateral dari Jerman sebesar Rp9,1 triliun. Jadi totalnya utang baru Indonesia bertambah
sebesar lebih dari Rp24,5 triliun. (kompas.tv, 21/11/2020)
Lantas ke mana kekayaan SDA yang melimpah? Memang layak jika kita mengatakan
pemerintah telah gagal mengelolanya, bahkan sebagian besar dinikmati para kapitalis.
Perkara utang dianggap bukan masalah, justru menjadi solusi jitu bagi rezim. Malah
bangga karena dianggap utang Indonesia relatif cukup baik dibanding dengan negara-negara
di dunia. Meski tingkat utang Indonesia naik di kisaran 36-37 persen dari sebelumnya hanya
30 persen.
Tapi Sri Mulyani mengakui peningkatan utang relatif cukup baik dibandingkan
dengan negara-negara yang masuk dalam kategori negara maju. Tingkat utangnya mencapai
130 persen dari kondisi normal yang biasanya 100 persen. (merdeka.com, 23/11/2020)
Tak perlu heran, di era kepemimpinan Jokowi-Ma’ruf memang getol sekali keluarkan
surat berharga dan harus dibayar dengan bunga paling mahal se-Asia 8 persen. Padahal,
Bank Dunia merilis daftar negara dengan utang terbesar. Indonesia masuk dalam jajaran 10
negara berpendapatan kecil dan menengah yang memiliki utang terbesar di dunia.
(wartaekonomi.co.id, 18/10/2020)
Indonesia berada pada posisi ketujuh setelah Cina, Brasil, India, Rusia, Meksiko, dan
Turki dengan total Utang Luar Negeri mencapai 402,08 miliar dolar Amerika Serikat atau
setara Rp5.910 triliun pada tahun 2019. Wauw, patutkah ini dibanggakan?
Anehnya, Staf Khusus Menkeu Bidang Kebijakan Fiskal dan Makroekonomi, Masyita
Crystallin mengatakan utang Indonesia masih cukup aman, karena rata-rata utang tersebut
merupakan utang jangka panjang. Setali tiga uang dengan Menkeu, keduanya menanggap
tidak akan ada masalah apa-apa yang ditimbulkan dari dari utang.
Padahal berutang justru membuat hidup terasa sempit, karena terus dihantui
dengan pembayaran selangit, belum lagi disertai bunga riba. Rakyat sengsara, negara bisa
“ambyar”. Bahkan yang mengerikan, akan mengundang murka dan azab Sang Pemilik Jagat
Raya. Di manakah letak amannya?
Indonesia memiliki potensi sumber daya alam yang beraneka ragam, potensi hutan,
laut, sumber daya mineral dan energi. Kekayaan hutan bisa dilihat ketika setiap pohon
berusia 20 tahun memiliki volume rata-rata 5 meter kubik kayu dengan hasil neto (harga
pasar dikurangi segala biaya) Rp200.000,- per meter kubik, maka nilai ekonomisnya menjadi
Rp1 juta per pohon atau Rp20 juta per hektare.
Cadangan minyak yang siap diproduksi sebanyak 8 miliar barel. Lalu gas yang
tersedia sebanyak 384,7 TSCF (Trilion Standard Cubic Feet) dengan produksi 2,95 TSCF per
tahun. Batu bara tersedia 58 miliar ton per tahun.
Potensi SDA yang begitu besar belum berhasil mengentaskan kemiskinan seluruh
rakyat negeri ini. Masyarakat kesulitan membiayai pendidikan, kesehatan dan perumahan.
Kemiskinan adalah akibat dari pembangunan ekonomi yang tidak berhasil. Ekonomi riil tak
cukup berkembang dan merata, sehingga tidak cukup menyediakan lapangan kerja dan
memenuhi kebutuhan semua orang. Ini semua berasal dari cara pengelolaan SDA yang
berbasis kapitalisme liberal.
Para korporasi dunia melobi para politisi negeri agar membuat “iklim investasi yang
makin kondusif”, berupa aturan atau Undang-undang yang membuat mereka makin legal
dan bebas mengeruk kekayaan SDA. Ini sudah bukan rahasia lagi. Walhasil makin hari makin
banyak korporasi asing di negeri ini, dari sektor hulu seperti pertambangan emas atau migas
hingga hilir seperti pasar retail.
Pada saat yang sama, lingkungan menjadi rusak, teknologi tidak makin dikuasai, dan
utang luar negeri makin menumpuk. Rezim kapitalis sebenarnya telah gagal mengelola SDA,
utang dijadikan sebagai solusi untuk menutupi kegagalan mereka. Begitu menyesakkan dada
karena harus mengetahui kenyataan yang ada, bahwa kita masih dipimpin oleh rezim
kapitalis ini.
Dalam konsep kapitalisme, utang berperan dalam penempatan modal awal yang
akan digunakan untuk memulai suatu usaha sampai dengan ekspansi bisnis yang dilakukan
oleh individu maupun perusahaan. Padahal tanpa terasa di dalamnya mengandung riba
karena adanya perhitungan time value of money. Kita bisa lihat hal ini dalam skala kecil
industri menengah, multinasional, baik usaha maupun di perusahaan bursa hingga
pemerintah.
Sementara dalam Islam utang tidak menjadi pilihan untuk menyelesaikan berbagai
masalah ekonomi negara. Karena baiknya pengelolaan pemasukan negara yang berasal dari
kepemilikan negara (milkiyyah ad-daulah) seperti ‘usyur, fa’i, ghanimah, kharaj, jizyah dan
lain sebagainya. Selain itu dapat pula diperoleh dari pemasukan pemilikan umum (milkiyyah
‘ammah) seperti pengelolaan hasil pertambangan, minyak bumi, gas ala, kehutanan dan
lainnya.
Dapat dipastikan ledakan utang tak kan mungkin terjadi dalam kepemimpinan Islam.
Karena negara bertanggung jawab atas optimalisasi dari harta kepemilikan umum dan
negara tanpa adanya liberalisasi dalam lima aspek ekonomi, yaitu liberalisasi barang, jasa,
investasi, modal dan tenaga kerja terampil. Dan juga diperoleh dari zakat maal (ternak,
pertanian, perdagangan, emas dan perak).
Harta baitulmal juga selalu mengalir karena tidak terjerat utang ribawi. Dengan
demikian, kemandirian dan kedaulatan negara dapat terjaga dan potensi penutupan
kebutuhan anggaran dari utang luar negeri dapat dihindari.
Hendaknya kaum Muslim menyadari tentang bahaya utang bukan hanya akan
menjadikan rakyat sengsara dan negara bisa saja “ambyar”. Tapi lebih dari itu, ketika utang
ribawi telah meliputi suatu negeri, Allah akan memeranginya.
Tidak ada dosa yang lebih sadis diperingatkan Allah SWT dalam Al-Qur’an, kecuali
dosa memakan harta riba. Bahkan Allah SWT mengumumkan perang kepada pelakunya. Hal
ini tentu menunjukkan bahwa dosa riba sangat besar dan berat. “Rasulullah Saw melaknat
pemakan riba yang memberi, yang mencatat dan dua saksinya. Beliau bersabda, mereka
semua sama.” (HR Muslim)
Seharusnya umat Islam negeri ini beralih dari sistem pencetak utang (kapitalis)
menuju sistem bebas utang (Islam). Seperti yang dicontohkan Khalifah Sultan Abdul Hamid
dalam memimpin Khilafah Utsmaniyah, menghentikan laju bertambahnya utang luar negeri
dan berpindahnya kepemilikan aset-aset strategis negara ke tangan musuh. Sultan Abdul
Hamid segera memecat para pejabat rakus termasuk di antaranya gubernur Mesir, Khudaiwi
Ismail. Ismail dipecat melalui dekret tahunan yang dikeluarkan pada 25 Juli 1879 M.
Keseriusan Sultan Abdul Hamid untuk melunasi utang dilakukan dengan memangkas
pengeluaran, serta menangguhkan gaji para pegawai pemerintahan. Bahkan tidak bersikap
lemah dan tegas di hadapan musuh meski dihadapkan dengan utang, Khilafah Utsmaniyah
tetap memelihara aset Palestina dan tidak menjual tanahnya kepada para imigran yang
datang kepadanya.
Jika negeri ini merindukan hidup tenang, aman, dan penuh keberkahan. Hendaknya
segera mengganti sistem kapitalisme dengan sistem Islam. Insya Allah, bebas dari segala
jerat utang dan terbebas dari laknat Allah SWT. [MNews/Gz]