Anda di halaman 1dari 4

Bilik Putih Penuh Asa

Oleh : Fitri Arifah

Padang, 20 Juli 2019. Check in asrama.


Masih kentara di ingatanku sensasi dingin yang kudapati saat pertama kali
menginjakkan kaki di ubin putih gedung ini.
Kepalaku dipenuhi tanya. Ada di lantai berapa kamarku? Siapa teman
kamarku? Akan seperti apa mereka? Darimana asal mereka? Ah, aku butuh subjek
yang dapat menjawab semua tanyaku dengan segera.
Siang itu, tanpa pikir panjang aku langsung duduk di meja administrasi
asrama. Sudah lelah beretorika ria dengan isi kepala. Tanpa perlu berlama-lama
tanganku menari indah di atas formulir administrasi itu. Dan setelah selesai kunci
kamar pun kudapatkan. Tangga demi tangga kunaiki. Awalnya aku begitu
bersemangat. Namun, setengah perjalanan kemudian semangat itu meluruh
digantikan dengan lelah yang bergelayut manja di kedua tungkaiku.
Dan akhirnya...
Aku tepat bediri di depan pintu kamarku.
“5B 48.”
Hahaha. Yups, kamarku berada di lantai 5B. Pintu itu tidak terkunci pun
tidak tertutup rapat. Sepertinya aku bukanlah makhluk pertama yang mengeluh
dengan kamar yang berada di lantai teratas ini. Kubuka pintu itu perlahan
menghasilkan decitan yang memenuhi seisi gendang telinga. Mataku menangkap
dua sosok yang sedang sibuk menata sesuatu.
“Assalamu’alaikum.”
“Wa’alaikumussalam,” jawab mereka serempak.
Kecanggungan pun memenuhi hingga sudut-sudut kamar. Kudekati posisi
tempat mereka berdiri. Dengan sedikit keraguan, kuulurkan tanganku kepada
salah satu di antara mereka. Mencoba sedikit mencairkan suasana dengan
memperkenalkan diriku. Sebuah formalitas ketika bertemu orang baru.
“Hai, kenalin aku Hana.” Tentu kalimat itu kukatakan dengan garis
lengkung yang menghiasi wajahku.
“Aku Deana,” jawab orang pertama yang kujabat tangannya.
“Aku Ismah,” balas orang selanjutnya yang kujabat.
Setelah itu kami saling bertukar pertanyaan umum seputar diri masing-
masing. Tak perlu berlama-lama akupun juga disibukkan dengan menata barang-
barang yang kubawa dari kampung halaman ku ke dalam lemari. Selang beberapa
menit pintu kamar kami pun diketuk oleh seseorang. Nah, itu dia pendatang baru
terakhir yang akan menempati kamar ini. Lengkap sudah anggota kamar 5B 48.
Perkenalan singkatku dengan dirinya membuatku tau beberapa hal umum
tentang dia. Namanya Keke. Dia tidak telalu tinggi dan tidak terlalu pendek
dengan tubuh yang sedikit kurus. Setidaknya itu hal pertama yang dapat
kugambarkan tentang dirinya.
Setelah ashar kami baru mulai sedikit berinteraksi kembali, karena
sebelumnya kami disibukkan dengan melengkapi barang yang dibutuhkan untuk
seminggu pertama di asrama ini. Sore itu aku sempat mencuci pakaian bersama
Keke. Disana kami bercerita tentang banyak hal. Aku mulai mengenalnnya. She is
so friendly. Kupikir aku akan mudah beradaptasi dengan dirinya.
Hari berikutnya belum ada agenda resmi dari pembina asrama. Hingga, hari
Senin pun datang menyapa. Dan disinilah cerita itu bermula. Subuh sekali kami
sudah harus terbangun dan langsung bersiap-siap untuk sholat berjamaah di
mesjid yang masih berada dalam kawasan Universitas Andalas.
Pada pukul 4:00, alarm kami mangalun saling bersahut-sahutan. Tidak
butuh waktu lama kami turun dari ranjang masing-masing. Membersihkan diri
lalu berwudu. Dengan penuh rasa penasaran kami turun ke bawah hendak
berangkat ke mesjid. Tetapi saat sampai di lantai dasar, salah satu uni asrama
menanyakan pukul berapa agenda mahasiswa baru hari ini dimulai. Kami pun
menjawab pukul 7:00. Melihat kami yang belum mengenakan dresscode yang
ditetapkan. Uni tersebut menyuruh kami kembali ke kamar dan berganti pakaian.
Hal itu dikarenakan agenda subuh di mesjid yang selesai sekitar pukul 6:00 dan
dikhawatirkan kami tidak sempat kembali ke asrama untuk bersiap-siap. Dengan
langkah cepat kami kembali ke lantai atas, berganti pakaian lalu kembali bergegas
turun menuju mesjid. Semuanya kami lakukan dengan tergesa-gesa sehingga
menguras begitu banyak tenaga. Di perjalanan ke mesjid kulihat Keke sudah
terlihat begitu lelah, langkahnya sangat gontai.
“Semangat Ke, sedikit lagi. Semangat! Semangat!” Aku berusaha
menyalurkan energi positif kepadannya, walau sebenarnya akupun merasakan
pegal di kedua kakiku.
Sesampainya di mesjid ternyata sholat subuh langsung dimulai. Tanpa
memberi kami waktu jeda walau sebentar untuk mengatur napas dan mengelap
keringat dingin yang terus bercucuran dari tubuh kami. Jika boleh jujur, saat itu
sholatku sangatlah kacau. Tak ada kekhusyukan sedikitpun di dalamnya. Tetapi,
kurasa bukan hanya aku yang merasa demikian. Karena ketika kulihat orang-
orang yang ada di sekitarku, tak ada sedikitpun pancaran hangat kesemangatan
dari wajah mereka.
Hari selanjutnya juga berjalan seperti seharusnya. Kami bangun pagi-pagi
sekali, lalu bergegas menuju mesjid. Tetapi teman kamarkuKeke dan
Deanamulai mengeluhkan jarak mesjid yang terasa cukup jauh dari asrama.
Hingga pada hari Selasa, setibanya aku di kamar kulihat Keke sedang menangis.
Ketika kutanya kenapa, dia enggan untuk menjawab. Tak lama kemudian ketika
Keke mulai tenang dia menceritakan alasannya menangis. Ternyata air mata itu
meluruh karena Keke merasa agenda subuh ke mesjid itu sangatlah berat.
Andaikan jarak mesjid tersebut tidaklah jauh dari asrama, dia takkan merasa
keberatan. Tetapi pada kenyataannya mesjid itu cukup jauh ditambah lagi dengan
medan yang mendaki, membutuhkan tenaga ekstra untuk sampai disana. Awalnya
kucoba menguatkannya dengan kata-kata yang selalu kusebut dalam kepala untuk
membuatku kembali bersemangat.
“Itu tuh karena kita masih baru Ke, jalani aja dulu. Nantik bakalan terbiasa
In Syaa Allah. Kan cuman setahun. Buktinya udah ada kan banyak alumni asrama
yang berhasil nyelesain 1 tahunnya disini. Trus satu lagi asrama tu seru lho Ke.
Disini kita punya keluarga. Ga bakal ngerasa sendirian. Nanti pas keluar dari
asrama pun bakalan banyak hal yang bikin kita rindu sama suasana disini.” Keke
membenarkan ucapanku.
Namun, saat itu aku tak tahu di dalam diri Keke masih terjadi pergolakan
hebat. Kenapa? Karena esok harinya dia menelpon ibunya untuk menjemput dan
membawanya keluar dari asrama. Aku kecewa. Sungguh. Karena dalam 4 hari itu
aku merasa sudah cukup dekat dengannya. Aku merasa satu frekuensi dengannya.
Kuminta dia untuk kembali memikirkan keputusan tersebut. Namun, percuma
sepertinya keputusannya sudah sangat bulat. Sore hari, ibu Keke datang
menjemput. Aku mencoba tetap tersenyum saat Keke berpamitan.
Hari itu. Kejadian itu. Menjadi pelajaran dan sebagai titik balik hari-hariku
di asrama. Aku harus kembali beradaptasi. Membiasakan diri dengan jumlah
teman kamarku. Mendekatkan diri dengan lebih banyak orang. Dan tentu aku
juga harus lebih mengenal gedung nan hijau ini. Karena disinilah tempatku akan
pulang. Disinilah tempatku beristirahat melepas lelah usai kuliah. Segala asaku,
mimpiku, segala rencana ku ke depannya akan kugantung di langit-langit bilik ini.
Akan kutinggalkan asrama ini nanti dengan penuh pelajaran, dengan penuh
kenangan, dengan penuh kebahagiaan. Kelak akan kurindukan alunan merdu al-
quran yang menyejukkan seisi kamarku, teriakan yang memintaku turun untuk
ikut sholat berjamaah, ketukan pintu saat pagi hariku, guyonan uni yang terkadang
tidaklah lucu itu dan banyak hal lainnya yang takkan bisa kusebutkan satu persatu.

Tetaplah jaya rumahku


Teruslah kokoh engkau menantang langit
Panas di luar takkan hilangkan kesejukkanmu
Dingin nya hujan takkan merusak kehangatanmu
Dan berjuta trimakasih takkan mampu membalasmu
Untukmu: asrama hijauku

Anda mungkin juga menyukai