Masih kentara di ingatanku sensasi dingin yang kudapati saat pertama kali menginjakkan kaki di ubin putih gedung ini. Kepalaku dipenuhi tanya. Ada di lantai berapa kamarku? Siapa teman kamarku? Akan seperti apa mereka? Darimana asal mereka? Ah, aku butuh subjek yang dapat menjawab semua tanyaku dengan segera. Siang itu, tanpa pikir panjang aku langsung duduk di meja administrasi asrama. Sudah lelah beretorika ria dengan isi kepala. Tanpa perlu berlama-lama tanganku menari indah di atas formulir administrasi itu. Dan setelah selesai kunci kamar pun kudapatkan. Tangga demi tangga kunaiki. Awalnya aku begitu bersemangat. Namun, setengah perjalanan kemudian semangat itu meluruh digantikan dengan lelah yang bergelayut manja di kedua tungkaiku. Dan akhirnya... Aku tepat bediri di depan pintu kamarku. “5B 48.” Hahaha. Yups, kamarku berada di lantai 5B. Pintu itu tidak terkunci pun tidak tertutup rapat. Sepertinya aku bukanlah makhluk pertama yang mengeluh dengan kamar yang berada di lantai teratas ini. Kubuka pintu itu perlahan menghasilkan decitan yang memenuhi seisi gendang telinga. Mataku menangkap dua sosok yang sedang sibuk menata sesuatu. “Assalamu’alaikum.” “Wa’alaikumussalam,” jawab mereka serempak. Kecanggungan pun memenuhi hingga sudut-sudut kamar. Kudekati posisi tempat mereka berdiri. Dengan sedikit keraguan, kuulurkan tanganku kepada salah satu di antara mereka. Mencoba sedikit mencairkan suasana dengan memperkenalkan diriku. Sebuah formalitas ketika bertemu orang baru. “Hai, kenalin aku Hana.” Tentu kalimat itu kukatakan dengan garis lengkung yang menghiasi wajahku. “Aku Deana,” jawab orang pertama yang kujabat tangannya. “Aku Ismah,” balas orang selanjutnya yang kujabat. Setelah itu kami saling bertukar pertanyaan umum seputar diri masing- masing. Tak perlu berlama-lama akupun juga disibukkan dengan menata barang- barang yang kubawa dari kampung halaman ku ke dalam lemari. Selang beberapa menit pintu kamar kami pun diketuk oleh seseorang. Nah, itu dia pendatang baru terakhir yang akan menempati kamar ini. Lengkap sudah anggota kamar 5B 48. Perkenalan singkatku dengan dirinya membuatku tau beberapa hal umum tentang dia. Namanya Keke. Dia tidak telalu tinggi dan tidak terlalu pendek dengan tubuh yang sedikit kurus. Setidaknya itu hal pertama yang dapat kugambarkan tentang dirinya. Setelah ashar kami baru mulai sedikit berinteraksi kembali, karena sebelumnya kami disibukkan dengan melengkapi barang yang dibutuhkan untuk seminggu pertama di asrama ini. Sore itu aku sempat mencuci pakaian bersama Keke. Disana kami bercerita tentang banyak hal. Aku mulai mengenalnnya. She is so friendly. Kupikir aku akan mudah beradaptasi dengan dirinya. Hari berikutnya belum ada agenda resmi dari pembina asrama. Hingga, hari Senin pun datang menyapa. Dan disinilah cerita itu bermula. Subuh sekali kami sudah harus terbangun dan langsung bersiap-siap untuk sholat berjamaah di mesjid yang masih berada dalam kawasan Universitas Andalas. Pada pukul 4:00, alarm kami mangalun saling bersahut-sahutan. Tidak butuh waktu lama kami turun dari ranjang masing-masing. Membersihkan diri lalu berwudu. Dengan penuh rasa penasaran kami turun ke bawah hendak berangkat ke mesjid. Tetapi saat sampai di lantai dasar, salah satu uni asrama menanyakan pukul berapa agenda mahasiswa baru hari ini dimulai. Kami pun menjawab pukul 7:00. Melihat kami yang belum mengenakan dresscode yang ditetapkan. Uni tersebut menyuruh kami kembali ke kamar dan berganti pakaian. Hal itu dikarenakan agenda subuh di mesjid yang selesai sekitar pukul 6:00 dan dikhawatirkan kami tidak sempat kembali ke asrama untuk bersiap-siap. Dengan langkah cepat kami kembali ke lantai atas, berganti pakaian lalu kembali bergegas turun menuju mesjid. Semuanya kami lakukan dengan tergesa-gesa sehingga menguras begitu banyak tenaga. Di perjalanan ke mesjid kulihat Keke sudah terlihat begitu lelah, langkahnya sangat gontai. “Semangat Ke, sedikit lagi. Semangat! Semangat!” Aku berusaha menyalurkan energi positif kepadannya, walau sebenarnya akupun merasakan pegal di kedua kakiku. Sesampainya di mesjid ternyata sholat subuh langsung dimulai. Tanpa memberi kami waktu jeda walau sebentar untuk mengatur napas dan mengelap keringat dingin yang terus bercucuran dari tubuh kami. Jika boleh jujur, saat itu sholatku sangatlah kacau. Tak ada kekhusyukan sedikitpun di dalamnya. Tetapi, kurasa bukan hanya aku yang merasa demikian. Karena ketika kulihat orang- orang yang ada di sekitarku, tak ada sedikitpun pancaran hangat kesemangatan dari wajah mereka. Hari selanjutnya juga berjalan seperti seharusnya. Kami bangun pagi-pagi sekali, lalu bergegas menuju mesjid. Tetapi teman kamarkuKeke dan Deanamulai mengeluhkan jarak mesjid yang terasa cukup jauh dari asrama. Hingga pada hari Selasa, setibanya aku di kamar kulihat Keke sedang menangis. Ketika kutanya kenapa, dia enggan untuk menjawab. Tak lama kemudian ketika Keke mulai tenang dia menceritakan alasannya menangis. Ternyata air mata itu meluruh karena Keke merasa agenda subuh ke mesjid itu sangatlah berat. Andaikan jarak mesjid tersebut tidaklah jauh dari asrama, dia takkan merasa keberatan. Tetapi pada kenyataannya mesjid itu cukup jauh ditambah lagi dengan medan yang mendaki, membutuhkan tenaga ekstra untuk sampai disana. Awalnya kucoba menguatkannya dengan kata-kata yang selalu kusebut dalam kepala untuk membuatku kembali bersemangat. “Itu tuh karena kita masih baru Ke, jalani aja dulu. Nantik bakalan terbiasa In Syaa Allah. Kan cuman setahun. Buktinya udah ada kan banyak alumni asrama yang berhasil nyelesain 1 tahunnya disini. Trus satu lagi asrama tu seru lho Ke. Disini kita punya keluarga. Ga bakal ngerasa sendirian. Nanti pas keluar dari asrama pun bakalan banyak hal yang bikin kita rindu sama suasana disini.” Keke membenarkan ucapanku. Namun, saat itu aku tak tahu di dalam diri Keke masih terjadi pergolakan hebat. Kenapa? Karena esok harinya dia menelpon ibunya untuk menjemput dan membawanya keluar dari asrama. Aku kecewa. Sungguh. Karena dalam 4 hari itu aku merasa sudah cukup dekat dengannya. Aku merasa satu frekuensi dengannya. Kuminta dia untuk kembali memikirkan keputusan tersebut. Namun, percuma sepertinya keputusannya sudah sangat bulat. Sore hari, ibu Keke datang menjemput. Aku mencoba tetap tersenyum saat Keke berpamitan. Hari itu. Kejadian itu. Menjadi pelajaran dan sebagai titik balik hari-hariku di asrama. Aku harus kembali beradaptasi. Membiasakan diri dengan jumlah teman kamarku. Mendekatkan diri dengan lebih banyak orang. Dan tentu aku juga harus lebih mengenal gedung nan hijau ini. Karena disinilah tempatku akan pulang. Disinilah tempatku beristirahat melepas lelah usai kuliah. Segala asaku, mimpiku, segala rencana ku ke depannya akan kugantung di langit-langit bilik ini. Akan kutinggalkan asrama ini nanti dengan penuh pelajaran, dengan penuh kenangan, dengan penuh kebahagiaan. Kelak akan kurindukan alunan merdu al- quran yang menyejukkan seisi kamarku, teriakan yang memintaku turun untuk ikut sholat berjamaah, ketukan pintu saat pagi hariku, guyonan uni yang terkadang tidaklah lucu itu dan banyak hal lainnya yang takkan bisa kusebutkan satu persatu.
Tetaplah jaya rumahku
Teruslah kokoh engkau menantang langit Panas di luar takkan hilangkan kesejukkanmu Dingin nya hujan takkan merusak kehangatanmu Dan berjuta trimakasih takkan mampu membalasmu Untukmu: asrama hijauku