Anda di halaman 1dari 8

ASPEK HUKUM DI BIDANG KESEHATAN

Norma Hukum
Hukum pada umumnya diartikan sebagai keseluruhan kumpulan
peraturan-peraturan tertulis atau kaidah-kaidah dalam suatu masyarakat sebagai
susunan sosial, keseluruhan peraturan tingkah laku yang berlaku dalam suatu
kehidupan bersama yang dapat dipaksakan pelaksanaannya dengan memberikan
sanksi atau hukuman bila terjadi pelanggaran.

Tujuan pokok dari hukum adalah menciptakan suatu tatanan kehidupan


dalam masyarakat yang tertib dan sejahtera di dalam keseimbangan-
keseimbangan. Dengan tercapainya ketertiban di dalam masyarakat, diharapkan
kepentingan manusia akan terlindungi.

Kehidupan manusia dalam masyarakat diatur oleh beberapa norma,


diantaranya norma agama, norma etik dan norma hukum.

Antara ketiga norma yang mengatur perilaku manusia dalam masyarakat


dalam berhubungan dengan manusia lain tersebut terdapat persamaan dan
perbedaan.

Persamaannya adalah ketiga norma tersebut mengatur perilaku manusia


dalam kehidupan bersama.

Sedangkan perbedaannya terletak pada : siapa pembuatnya, kekuatan


yang mengikatnya, sifat dan macam sanksinya bila dilanggar, waktu berlakunya
serta siapa yang mengawasi dan menilai bila terjadi perlanggaran.

Hukum dalam arti kata kumpulan peraturan perilaku manusia dalam


masyarakat tersebut dengan demikian membebani manusia dengan hak dan
kewajiban. Oleh karena itu manusia yang menurut hukum sebagai penanggung
hak dan kewajiban tersebut disebut "orang" (person).

Hukum mempunyai 3 (tiga) pengertian :


1. Sebagai sarana mencapai keadilan ;
2. Sebagai pengaturan dari penguasa yang mengatur perbuatan apa
yang boleh dilakukan, dilarang, siapa yang melakukan dan sanksi
apa yang akan dijatuhkan (hukum objektif) ;
3. Hukum itu juga merupakan hak. Oleh karenanya penegakan hukum
bukan hanya untuk medapatkan keadilan tapi juga hak bagi masyarakat
(korban).
Mengapa bidang kesehatan perlu diatur oleh hukum ? Ada tiga faktor :
1. Perlunya perawatan kesehatan diatur dengan langkah-langkah tindakan
konkrit oleh pemerintah
2. Perlunya pengaturan hukum di lingkungan sistem perawatan kesehatan
3. Perlunya kejelasan yang membatasi antara perawatan kesehatan dan
tindakan medis tertentu.

Ketiga faktor tersebut memerlukan hukum untuk melindungi pemberi dan


penerima jasa pelayanan kesehatan, agar ada kepastian hukum dalam
melaksanakan tugas profesinya.
Dengan demikian hukum dapat bersumber pada :
1. Peraturan hukum tertulis yang dikeluarkan oleh lembaga resmi negara
yang berwenang (legislatif) ;
2. Peraturan yang tidak tertulis berupa kebiasaan ;
3. Yurisprudensi tetap ;
4. Ajaran/doktrin ilmu pengetahuan.

Dalam kaitannya dengan pelayanan bidang kesehatan bagi "orang", yang


pada dasarnya merupakan hubungan yang sifatnya unik, karena hubungan
tersebut yang bersifat interpersonal tidak hanya diatur oleh hukum tetapi juga
oleh etik (sehingga tidak semua masalah kesenjangan persepsi masyarakat
sebagai penerima pelayanan kesehatan dan profesi kesehatan sebagai pemberi
pelayanan kesehatan, dapat diselesaikan dengan etik).

Eksistensi hukum yang semakin nyata dalam menyelesaikan permasalahan


yang timbul dari praktik profesi kedokteran dan tenaga kesehatan lainnya,
menimbulkan beberapa pandangan. Di satu pihak, ada yang mengatakan bahwa
profesi dokter harus dibiarkan bebas mengatur dirinya ( self regulation). Apabila
hukum mengharuskan dokter bertindak berdasarkan kaidah-kaidah hukum,
maka dokter menjalankan kewajibannya hanya karena "takut" akan sanksi
hukum, bukan karena kesadaran dan tanggung jawab moralnya. Padahal suatu
sikap percaya hubungan timbal balik antara dokter dan pasien lebih besar
kemungkinannya berkembang berdasarkan moralitas daripada hubungan yang
diatur oleh ketentuan hukum saja. Tetapi ada pula pendapat lain yang sama
kuatnya yaitu menolak bahwa dokter harus dibiarkan bebas menentukan apa
yang terbaik dalam mengatur hubungannya dengan pasien.

Tidaklah tepat, apabila dokter diberi hak penuh untuk memutuskan


masalah hidup matinya pasien tidak ditinjau juga dari sudut kepentingan umum.
Sebab jika dokter sendiri yang berhak menentukan apa yang harus ia lakukan
terhadap pasiennya, berarti hal itu meniadakan hak dasar individu (hak azasi
manusia) sebagai person untuk menentukan secara mandiri dan bebas apa yang
terbaik bagi dirinya.

Untuk itu perlu dibedakan antara :


 medical moral "dictate the particular action and beliefth which
regulate the day to day judgements of doctors" dengan
 medical ethics "analyze the universal principles on which the decisions
are made".

Suatu norma hukum biasanya dirumuskan dalam bentuk perilaku yang


wajib dan yang dilarang dengan sanksinya apabila larangannya dilanggar. Norma
hukum ada yang tertulis dan ada pula yang tidak tertulis. Hukum tertulis
bersumber pada peraturan perundang-undangan atau perundang-undangan.
Hukum yang tidak tertulis bersumber pada kebiasaan, yang kemudian
mempunyai akibat-akibat hukum. Hukum tidak tertulis itu berlaku sepanjang hal
itu diakui oleh peraturan perundang-undangan.

Hukum kesehatan merupakan suatu bidang khusus dalam ilmu hukum.


Hukum kesehatan mencakup segala peraturan dan aturan yang secara langsung
berkaitan dengan pemeliharaan dan perawatan kesehatan yang terancam atau
kesehatan yang "rusak". Hukum kesehatan juga mencakup penerapan hukum
pidana dan perdata umum yang berkaitan dalam hubungan hukum dalam
pelayanan kesehatan.

Health law is the body of rules which relate directly to the care of health,
as the application of general civils, criminal and administrative law (van der Mijn,
1984).

Etik profesi medis di Indonesia tertuang dalam KODEKI sebagai lampiran 1


SK Menteri Kesehatan RI No. 434/Menkes/SK/X/1983 yang mengatur hubungan
antara dokter dengan pasien yang berawal dari hubungan kepercayaan secara
interpersonal yang sifatnya hierarkis vertikal paternalistik melalui tahapan proses
perkembangannya ke hubungan horisontal kontraktual yang dasarnya sudah
diletakkan oleh Hippocrates dalam transaksi terapeutik.

Dalam pola hubungan vertikal paternalistik, kedudukan dokter dengan


pasien tidak sederajat, karena dokter mengetahui tentang segala sesuatu yang
terkait dengan penyakit dan cara pengobatannya sedangkan pasien sendiri
hanya sedikit tahu atau bahkan tidak tahu apa-apa. Oleh karena itu pasien
menyerahkan sepenuhnya kepada dokter.
Dampak positif hubungan vertikal paternalistik ini ialah sangat membantu
pasien dalam hal pasien awam terhadap penyakitnya. Sebaliknya, dampak
negatifnya adalah karena tindakan dokter merupakan tindakan yang tidak
menghiraukan otonomi pasien, yang justru menurut sejarah perkembangan
budaya dan hak-hak dasar manusia sudah ada sejak lahir.

Huungan dokter-pasien ini kemudian melahirkan aspek hukum


"inspanning verbintennis" yang merupakan hubungan hukum antara 2 (dua)
subjek hukum (dokter dan pasien) dan melahirkan hak dan kewajiban bagi para
pihak yang bersangkutan. Inspanning verbintenntis karena objek dari transaksi
adalah upaya pengobatan/penyembuhan yang hasilnya tidak dapat dipastikan.
Upaya tersebut dilakukan dengan penuh kehati-hatian dan kesungguh-
sungguhan yang dilakukan secara optimal.

Dalam kaitannya dengan tugas tenaga kesehatan (dokter, dokter gigi,


perawat, bidan, operator, dan lain-lain) sebagai tenaga profesional, tidak akan
pernah luput dari kesalahan sehingga juga berlaku ketentuan hukum yang
berlaku bagi setiap orang. Di lain pihak pasien semakin sadar akan hak-haknya
dan perlindungan hukum atas dirinya, sehingga permasalahn hubungan antara
tenaga kesehatan profesional dengan pasien semakin kompleks.

Dalam kenyataannya etik tidak mampu menyelesaikan permasalahan yang


timbul antara dokter-pasien, sehingga menjadikan yuridiksi peradilan menjadi
luas (yurisdiksi kesehatan). Dengan adanya hak-hak yang disadari pasien, maka
membawa perubahan pola pandang hubungan dokter-pasien menjadi horisontal
kontraktual. Pasien menganggap dirinya sederajat dengan dokter, namun
menyadari peranan dokter lebih penting daripada dirinya.

Dalam transaksi terapeutik yang diperjanjikan adalah upaya maksimal


untuk mencari/menemukan terapi yang paling tepat untuk pengobatan dan atau
penyembuhannya yang harus dilakukan dengan cermat dan hati-hati (inspanning
verbintennis). Disinilah letak keterkaitan antara etik dengan hukum, yaitu dokter
yang terlibat dalam transaksi terapeutik dengan pasien itu dalam melaksanakan
tugasnya dilandasi oleh dasar-dasar etik sebagai seorang dokter yang dibekali
dengan lafal sumpah jabatan dan kode etik profesi. Sedangkan keterkaitan
dengan pasien dilandasi oleh dasar-dasar hukum yang mengatur hubungan
hukum antar 2 (dua) subjek hukum. Masing-masing pihak dibebani dengan hak
dan kewajiban yang sifatnya mengikat antara pihak untuk dipatuhi.

Contoh pelanggaran etik murni :


1. Menarik imbalan yang tidak wajar atau menambah imbalanan jasa dari
keluarga sejawat (KODEKI Pasal 3 : tidak boleh dipengaruhi oleh
pertimbangan keuntungan pribadi ; KODEKI Pasal 4 ayat c : boleh
menerima imbalan jika diberi dengan ikhlas, sepengetahuan dan atau
kehendak pasien)
2. Mengambil alih pasien tanpa persetujuan sejawat, termasuk disini
menyalahkan sejawat dihadapan pasien, tidak mengembalikan pasien
rujukan.
3. Memuji diri sendiri dihadapan pasien (KODEKI Pasal 4 ayat a), termasuk
disini mencamtunkan gelar praktik dalam kegiatan promosi.
4. Tidak mengikuti pendidikan kedokteran berkesinambungan (KODEKI Pasal
18)
5. Mengabaikan kesehatan sendiri (KODEKI Pasal 17)

Contoh pelanggaran hukum di bidang kesehatan :


1. Pelayanan kedokteran dibawah standar (KODEKI Pasal 2 dan Pasal 360
KUHP)
2. Mengeluarkan surat keterangan palsu (KODEKI Pasal 7 dan Pasal 267
KUHP)
3. Membuka rahasia jabatan atau pekerjaan dokter (KODEKI Pasal 13 dan
Pasal 322 KUHP)
4. Abortus provocatus (KODEKI Pasal 10 dan Pasal 349 KUHP)
5. Pelecehan seksual (Pasal 294 KUHP)

Prosedur penanganan masalah etik-hukum di bidang kesehatan :

Masalah

IDI atau PDGI

Etik murni Tidak murni etik

MKEK atau MKEKG MKEK atau MKEKG

P3EK

Pelanggaran etik Pelanggaran hukum

Sanksi etik Kepolisian


Kejaksaan

Pengadilan umum

Sanksi hukum

Bentuk-Bentuk Sanksi Etik


Pelanggaran etik tidak memberikan/menyatakan sanksi formal bagi
pelakunya, sehingga terhadap pelakunya hanya diberikan sanksi formal. Secara
maksimal MKEK atau MKEKG memberikan usul kepada Kepala Kantor Dinas
Kementrian Kesehatan Propinsi atau Kementrian Kesehatan untuk memberikan
sanksi administratif, sebagai langkah pencegahan terhadap pengulangan
pelanggaran. Sanksi yang diberikan tergantung berat ringannya pelanggaran
(sebaiknya sanksi yang bersifat mendidik).
Bentuk sanksi dapat berupa :
1. Teguran atau tuntunan secara lisan atau tulisan ;
2. Penundaan kenaikan gaji atau pangkat ;
3. Penurunan gaji atau pangkat setingkat lebih rendah ;
4. Pencabutan surat izin praktek untuk sementara atau selama-lamanya ;
5. Pada kasus pelanggaran hukum di bidang kesehatan, diberikan hukuman
sesuai peraturan kepegawaian yang berlaku dan diproses ke pengadilan.

Pengertian Tenaga Kesehatan menurut PP. No.  32 Tahun 1996 :


1. Tenaga Medis yang meliputi dokter dan dokter gigi ;
2. Tenaga Keperawatan, meliputi perawat dan bidan ;
3. Tenaga Kesehatan Masyarakat meliputi epidemiologi kesehatan, etomolog
kesehatan, mikrobiolog kesehatan, administrator kesehatan dan sanitarian
4. Tenaga Kefarmasian, meliputi apoteker, analis farmasi dan asisten apoteker
5. Tenaga Gizi meliputi nutrisionis dietisien ;
6. Tenaga Keterapian Fisik meliputi fisioterapis, okupasi terapis dan terapis
wicara ;
7. Tenaga Keteknisan Medis meliputi radiograten, radioterapis, teknisi gizi,
teknisi elektro.

Perikatan yang terjadi akibat hubungan hukum antara dokter dengan pasien
 Hubungan dokter dan pasien merupakan suatu perjanjian yang objeknya
berupa pelayanan medis atau upaya penyembuhan yang dikenal sebagai
transaksi terapeutik ;
 Sifat transaksi terapeutik adalah memberi bantuan pertolongan, dimana
pasien sebagai health service receiver telah menyerahkan dirinya dengan
kepercayaan bahwa dokter sebagai health service provider yang berbekal
ilmu dan keterampilan yang dimilikinya dapat menolong akan
kesembuhan pasien ;
 Transaksi terapeutik tersebut menimbulkan perikatan yang disebut dengan
inspannings verbintenis, yaitu suatu perikatan yang harus dilakukan
dengan hati-hati dan usaha keras. Karena prestasinya berupa upaya,
maka jelas hasilnya belum pasti. Perikatan yang timbul juga bisa berupa
resultaats verbintenis, atau disebut juga dengan perikatan purna hasil
dimana prestasi yang diharapkan sudah jelas pada saat perikatan
dilakukan.

Pertanggungjawaban perbuatan melawan hukum seorang dokter : Perbuatan


individu itu sendiri, dan perbuatan yang dilakukan oleh orang yang berada
dibawah tanggung jawabnya ; (pertanggungjawabannya akibat kesalahan yang
berkaitan dengan pendelegasian wewenang dari dokter yang dilakukan oleh
perawat yang merupakan bawahannya tersebut, kecuali tindakan perawat yang
tidak berhubungan dengan perintah atau instruksi dokter)

PERBEDAAN ETIKA KEDOKTERAN DAN HUKUM

ETIKA HUKUM
Etik berlaku untuk lingkungan profesi Hukum berlaku untuk setiap
warganegara/umum
Etik disusun berdasarkan profesi dan Hukum dibuat oleh suatu kekuasaan
kesepakatan anggota profesi atau adat
Sanksi terhadap pelanggaran etik Sanksi terhadap pelanggaran hukum
umumnya berupa tuntunan adalah tuntutan
Pelanggaran etik diselesaikan oleh Pelanggaran hukum diselesaikan
Majelis Kode Etik Kedokteran yang melalui pengadilan atau diluar
dibentuk oleh IDI dan PDGI, Majelis pengadilan (alternatif penyelesaian
Kehormatan Disiplin Etik Kedokteran sengketa)
Indonesia/MKDKI (KKI) dan kalau
perlu diteruskan kepada Panitia
Pertimbangan dan Pembinaan Etika
Kedokteran (P3EK), yang dibentuk
oleh Kementrian Kesehatan

Anda mungkin juga menyukai