Yang menjadi permasalahan adalah apakah isi dari formulir informed consent
itu sudah memenuhi syarat sahnya perjanjian dan apakah dengan adanya
formulir informed consent dapat dijadikan alat bukti yang sah apabila timbul
perselisihan dan bagaimana penyelesaiaannya.
Permasalahan diatas oleh penulis akan dikaji lebih lanjut untuk menambah
referensi wawasan kita terhadap formulir informed consent dalam
pelaksanaan tindakan operasi medik. Untuk menemukan suatu solusi
permasalahan diatas penulis menggali data-data dari berbagai referensi
kepustakaan yang relefan dengan permasalahan yang kemudian dianalisa.
Dari uraian diatas, maka dapat disimpulkan bahwa formulir informed consent
sudah sesuai dengan syarat-syarat sahnya perjanjian karena dalam isi formulir
informed consent sudah tercantum pihak-pihak yang melakukan perjanjian,
tentang kecakapan pihak pasien, sedangkan suatu hal tertentu/obyeknya
adalah sudah pasti yaitu suatu pelayanan medik dan sebab yang halal bahwa
yang diperjanjikan merupakan suatu tindakan operasi yang tidak
bertentangan denga Undang-undang, kesusilaan dan ketertiban umum serta
dalam formulir informed consent ada saksi-saksi yang dapat memperkuat
perjanjian tersebut.
Jadi formulir informed consent dapat dijadikan alat bukti yang sah dalam
menyelesaikan perselisihan yang timbul dari tindakan medik yang dilakukan
dokter terhadap pasien, apabila ada tuntutan dari pihak pasien atau
keluarganya karena merasa tidak puas atas tidakan medik tersebut.
Hubungan pasien, dokter dan rumah sakit (RS), selain berbentuk sebagai
hubungan medik, juga berbentuk sebagai hubungan hukum. Sebagai
hubungan medik, maka hubungan medik itu akan diatur oleh kaidah-kaidah
medik; sebagai hukungan hukum, maka hubungan hukum itu akan diatur oleh
kaidah-kaidah hukum.
Salah satu lembaga hukum yang ada dalam hubungan hukum antara dokter,
pasien dan RS adalah apa yang dikenal dengan lembaga persetujuan tindakan
medik (informed consent). Pada tahun 2008, telah diberlakukan Permenkes
no. 290/2008 tentang persetujuan tindakan medik.
Kaidah-kaidah hukum yang ada di dalam Permenkes no. 290/2008 itu, karena
baru beberapa tahun diterapkan, masih seringkali membingungkan, baik bagi
dokter maupun bagi pasien. Sebenarnya, kaidah-kaidah hukum yang ada di
dalam Permenkes no. 290/2008 itu sangat sederhana, tetapi permasalahannya
kaidah-kaidah yang ada di dalam Permenkes no. 290/2008 masih saja sering
disalahartikan. Selain itu, masih banyak hal yang belum diatur dalam
Permenkes no. 290/2008 itu, sehingga menimbulkan keraguan.
bagi mereka yang telah berusia lebih dari 21 tahun tetapi di bawah
pengampuan maka persetujuan diberikan oleh wali/pengampu ; bagi
mereka yang di bawah umur (belum 21 tahun dan belum
melangsungkan perkawinan) diberikan oleh orang tua/wali/ keluarga
terdekat atau induk semang ;
Permenkes no. 290/2008 jelas telah menentukan bahwa bagi mereka yang di
atas 21 tahun/telah melangsungkan perkawinan dan dalam keadaan sadar
dan sehat mental berhak memberikan persetujuan. Dalam praktik, banyak
dokter/RS yang mensyaratkan selain pasien yang bersangkutan, juga adanya
pihak ketiga (keluarga terdekat, termasuk suami/istri) yang harus ikut
memberikan persetujuan. Kadang-kadang syarat mengikutsertakan pihak
ketiga (keluarga) menimbulkan masalah, yaitu dalam hal tidak ada
kesepakatan antara pasien dan keluarga mengenai tindakan medik yang akan
dilaksanakan.
Seringkali menjadi masalah pula dalam kasus kecelakaan. Pada saat pasien
yang dibawa ke RS dalam keadaan kesadaran menurun dan dalam keadaan
kesakitan (tidak dalam keadaan tidak sadar/pingsan), apakah RS/dokter harus
memberikan informasi dulu dan meminta persetujuan dari pasien yang paling
sedikit memakan waktu lima menit, sedangkan sedetik pun berharga bagi
penyelamatan jiwa pasien ?
Hal ini tidak diatur dalam Permenkes no. 290/2008. Yang diatur hanyalah
dalam hal pasien tidak sadar/pingsan untuk menyelamatkan jiwa pasien tidak
diperlukan persetujuan. Juga kadang-kadang korban kecelakaan bukan hanya
satu-dua orang, kalau terjadi kecelakaan dengan korban massal, maka
kesempatan untuk memberikan informasi dan meminta persetujuan selain
merepotkan juga membuang waktu.
Dalam hal ini dokter/RS dihadapkan kepada dilema, menolong pasien atau
melindungi diri dengan perisai perlindungan hukum ? Seharusnya dokter lebih
mementingkan kepentingan pasien, mengenai gugatan keluarga seharusnya
dapat diselesaikan kemudian, diperlukan kesadaran dari keluarga pasien
bahwa dokter bekerja sepenuhnya untuk kepentingan pasien.
Harus diakui banyak masalah tentang informed consent yang membuat para
dokter/RS menjadi sangat khawatir, juga disebabkan masih banyak hal yang
belum diatur oleh Permenkes no. 290/2008. Sebaiknya pemerintah cq
kementrian kesehatan segera membentuk peraturan pelaksanaan dalam
bentuk peraturan pemerintah tentang informed consent, agar tidak terjadi
ketidakpastian hukum yang berlanjut, yang akhirnya akan merugikan pasien
dan dokter/RS khususnya serta masyarakat umumnya.
Tindakan Medis telah ditetapkan bahwa dalam keadaan tidak darurat,
seorang dokter harus meminta persetujuan pasien terhadap terapi sebelum
terapi diberikan. Terdapat dua teori tentang persetujuan pasien; teori
tradisional berdasarkan hukum penganiayaan dan teori baru yang
berdasarkan hukum kelalaian. Dalam beberapa wilayah hukum, kurangnya
persetujuan medis dianggap sebagai pelanggaran terhadap hak walaupun
tidak terjadinya suatu kelalaian. Hukum melindungi hak seseorang untuk
mengambil keputusan menerima atau menolak terapi, terlepas dari bijaksana
atau tidaknya keputusan tersebut. Prinsip dasar dalam hukum kita adalah
setiap orang memiliki hak untuk memutuskan hal-hal yang menyangkut tubuh
mereka. Hubungan dokter pasien dikenal sebagai “ fiduciary relationship”
yang berarti hubungan yang berlandaskan kepercayaan.
Kasus yang serupa juga terjadi pada pasangan Murray, dimana suami
menuntut atas panhisterektomi yang dilakukan terhadap istrinya. Pengadilan
memutuskan bahwa seorang istri secara hukum berhak untuk memiliki
penghasilan terpisah, dan memutuskan tindakan yang terbaik untuk
kesehatan serta kelangsungan hidupnya.
Pada tahun 1976, Pengadilan tinggi Amerika mengeluarkan pernyataan
mengenai hukum aborsi yaitu :
Ada tiga sudut pandang legal dalam menilai hak seseorang untuk
menentukan keputusan atas dirinya. Sudut pandang pertama berdasarkan
hukum penganiayaan, bahwa setiap tindakan yang menimbulkan kontak
tanpa izin adalah suatu bentuk penghinaan. Sudut pandang kedua
berdasarkan hukum modern informed consent, dimana dokter wajib
memberikan informasi yang dibutuhkan dalam pertimbangan pasien dalam
mengambil keputusan terapi. Sudut pandang ketiga adalah berdasarkan hak
atas privasi, keputusan untuk menjalankan terapi adalah hak privasi seseorang
yang tidak boleh dilanggar.
INFORMED CONSENT
Dokter harus menyadari bahwa informed consent memiliki dasar moral dan
etik yang kuat. Menurut American College of Physicians’ Ethics Manual ,
pasien harus mendapat informasi dan mengerti tentang kondisinya sebelum
mengambil keputusan. Berbeda dengan teori terdahulu yang memandang
tidak adanya informed consent menurut hukum penganiayaan, kini hal ini
dianggap sebagai kelalaian. Informasi yang diberikan harus lengkap, tidak
hanya berupa jawaban atas pertanyaan pasien.
Setelah hubungan dokter pasien terbentuk, dokter memiliki kewajiban
untuk memberitahukan pasien mengenai kondisinya; diagnosis, diagnosis
banding, pemeriksaan penunjang, terapi, risiko, alternatif, prognosis dan
harapan. Dokter seharusnya tidak mengurangi materi informasi atau memaksa
pasien untuk segera memberi keputusan. Informasi yang diberikan
disesuaikan dengan kebutuhan pasien.
Elemen-elemen Informed Consent
Pasien memiliki hak atas informasi tentang kecurigaan dokter akan
adanya penyakit tertentu walaupun hasil pemeriksaan yang telah dilakukan
inkonklusif.
1. Hasil Pemeriksaan
Pasien memiliki hak untuk mengetahui hasil pemeriksaan yang telah
dilakukan. Misalnya perubahan keganasan pada hasil pap smear. Apabila
infomasi sudah diberikan, maka keputusan selanjutnya berada di tangan
pasien.
2. Risiko
Risiko yang mungkin terjadi dalam terapi harus diungkapkan disertai upaya
antisipasi yang dilakukan dokter untuk terjadinya hal tersebut. Reaksi alergi
idiosinkratik dan kematian yang tak terduga akibat pengobatan selama ini
jarang diungkapkan dokter. Sebagian kalangan berpendapat bahwa
kemungkinan tersebut juga harus diberitahu pada pasien. Jika seorang
dokter mengetahui bahwa tindakan pengobatannya berisiko dan terdapat
alternatif pengobatan lain yang lebih aman, ia harus memberitahukannya
pada pasien. Jika seorang dokter tidak yakin pada kemampuannya untuk
melakukan suatu prosedur terapi dan terdapat dokter lain yang dapat
melakukannya, ia wajib memberitahukan pada pasien.
3. Alternatif
Dokter harus mengungkapkan beberapa alternatif dalam proses diagnosis
dan terapi. Ia harus dapat menjelaskan prosedur, manfaat, kerugian dan
bahaya yang ditimbulkan dari beberapa pilihan tersebut. Sebagai contoh
adalah terapi hipertiroidisme. Terdapat tiga pilihan terapi yaitu obat,
iodium radioaktif, dan subtotal tiroidektomi. Dokter harus menjelaskan
prosedur, keberhasilan dan kerugian serta komplikasi yang mungkin
timbul.
4. Rujukan/ konsultasi
Dokter berkewajiban melakukan rujukan apabila ia menyadari bahwa
kemampuan dan pengetahuan yang ia miliki kurang untuk melaksanakan
terapi pada pasien-pasien tertentu. Pengadilan menyatakan bahwa dokter
harus merujuk saat ia merasa tidak mampu melaksanakan terapi karena
keterbatasan kemampuannya dan ia mengetahui adanya dokter lain yang
dapat menangani pasien tersebut lebih baik darinya.
5. Prognosis
Pasien berhak mengetahui semua prognosis, komplikasi, sekuele,
ketidaknyamanan, biaya, kesulitan dan risiko dari setiap pilihan termasuk
tidak mendapat pengobatan atau tidak mendapat tindakan apapun. Pasien
juga berhak mengetahui apa yang diharapkan dari dan apa yang terjadi
dengan mereka. Semua ini berdasarkan atas kejadian-kejadian beralasan
yang dapat diduga oleh dokter. Kejadian yang jarang atau tidak biasa
bukan merupakan bagian dari informed consent.
Pertanyaan yang sering muncul, terutama dari dokter yang berpraktek
di rumah sakit adalah ”Apakah rumah sakit memiliki tanggung jawab untuk
menjamin bahwa pasien menerima informasi yang cukup meskipun
pengadilan telah menempatkan tugas primer kepada dokter?”
Dalam teori respondeat superior, manajer rumah sakit dapat ditahan
dengan dokter pegawai rumah sakit yang lalai untuk memperoleh informed
consent yang dapat menimbulkan kecacatan dan kegawatan pada pasien.
Kebijakan rumah sakit harus mengatur mengenai bagaimana informed
consent diperoleh. Perawat atau petugas rumah sakit lainnya harus menunda
terapi yang sudah direncanakan dokter jika persetujuan yang sebelumnya
sudah diberikan ditarik kembali oleh pasien, sehingga dokter dapat
mengklarifikasi kembali keputusan pasien. Pengadilan cenderung untuk
menjatuhkan kewajiban yang lebih ketat kepada rumah sakit untuk
memastikan bahwa dokter memperoleh persetujuan/penolakan sebelum
melakukan tindakan.
Bentuk Persetujuan/Penolakan
Perijinan harus diberikan oleh pasien yang secara fisik dan psikis
mampu memahami informasi yang diberikan oleh dokter selama komunikasi
dan mampu membuat keputusan terkait dengan terapi yang akan diberikan.
Pasien yang menolak diagnosis atau tatalaksana tidak menggambarkan
kemampuan psikis yang kurang. Paksaan tidak boleh digunakan dalam usaha
persuasif. Pasien seperti itu membutuhkan wali biasanya dari keluarga
terdekat atau yang ditunjuk pengadilan untuk memberikan persetujuan
pengganti.
Jika tidak ada wali yang ditunjuk pengadilan, pihak ketiga dapat diberi
kuasa untuk bertindak atas nama pokok-pokok kekuasaan tertulis dari
pengacara. Jika tidak ada wali bagi pasien inkompeten yang sebelumnya telah
ditunjuk oleh pengadilan, keputusan dokter untuk memperoleh informed
consent diagnosis dan tatalaksana kasus bukan kegawatdaruratan dari
keluarga atau dari pihak yang ditunjuk pengadilan tergantung kebijakan
rumah sakit. Pada keadaan dimana terdapat perbedaan pendapat diantara
anggota keluarga terhadap perawatan pasien atau keluarga yang tidak dekat
secara emosional atau bertempat tinggal jauh, maka dianjurkan
menggunakan laporan legal dan formal untuk menentukan siapa yang dapat
memberikan perijinan bagi pasien inkompeten.
Peraturan umum terkait persetujuan penanganan keadaan gawat darurat
pada seorang anak sama saja dengan orang dewasa. Pengadilan biasanya
menunda menyetujui dokter yang mengobati pasien anak “dewasa muda”
(diatas 15 tahun) yang sudah dapat memberi persetujuan penanganan
keadaan gawat darurat terhadap dirinya. Namun, tetap perlu diperhatikan
untuk membuat informed consent dengan menghubungi orang tua pasien
atau orang lain yang bertanggung jawab atas pasien tersebut.
Beban Bukti
Asumsi risiko
Menolak Persetujuan
Seorang laki-laki atau perempuan adalah pemilik badannya sendiri dan
boleh secara terbuka menolak tindakan medis untuk lifesaving. Seorang
dokter sangat mengetahui sebuah operasi atau tindakan medis lain yang
diperlukan atau penting bagi pasien, tetapi hukum tidak mengijinkan dokter
mengganti keputusannya tersebut dengan berbagai bentuk penipuan atau
pemalsuan.
Hukum di Amerika menegakkan hak seorang dewasa yang kompeten
untuk menolak tindakan bahkan tindakan lifesaving. Pengadilan umumnya
mengaplikasikan prinsip hukum tradisional bahwa tidak boleh menyentuh
seseorang tanpa persetujuan, atau penegakan amandemen pertama
mengenai hak kebebasan melaksanakan ajaran agama mendahului kewajiban
dokter untuk merubah tindakan. Misalnya anggota aliran Jehovah yang
menolak transfusi darah berdasarkan interpretasi harfiah dari larangan Injil
untuk meminum darah. Namun, beberapa pengadilan berusaha mencari dasar
yang bias digunakan untuk melakukan tindakan yang diperlukan. Pengadilan
tersebut biasanya mengesahkan tindakan untuk melindungi hidup atau
kesehatan anak-anak dan bayi atas dasar bahwa anak-anak akan ditelantarkan
dibawah undang-undang pemerintah jika tatalaksana ditolak atau pemerintah
berhutang tanggungjawab penting untuk melindungi anak-anaknya.
Beberapa pengadilan menyatakan bahwa pasien tua yang menderita penyakit
pada stadium terminal dapat menolak tindakan yang memperpanjang
hidupnya, terutama jika tindakan tersebut sangat sakit dan bahwa rumah sakit
serta dokter yang terlibat tidak melakukan tindakan kriminal.
Informed Refusal