Anda di halaman 1dari 27

PENDAHULUAN

Manusia dalam menjalankan kehidupannya selalu melakukan kegiatan-


kegiatan yang senantiasa berkembang. Kegiatan-kegiatan itu yang
menjadikan kondisi kesehatan setiap manusia tidak selalu dalam keadaan baik
dan sehat, adakalanya manusia mengalami sakit, oleh karena itu manusia
berusaha memulihkan kesehatannya dengan cara berobat ke dokter yang
bersangkutan.

Seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, maka


semakin komplek jenis-jenis penyakit yang ditemukan para ahli dibidang
kedokteran. Sehingga dalam perkembangannya tidak saja diperlukan tenaga
kesehatan yang biasa akan tetapi juga memerlukan perawatan khusus dari
dokter ahli seperti operasi.

Sebelum dokter melakukan tindakan operasi medik, dokter berkewajiban


untuk memberikan informasi tentang jenis penyakit yang diderita pasien dan
tindakan medik yang akan dilakukan untuk menyelamatkan jiwa pasien serta
resiko-resiko yang mungkin timbul dari tindakan medik tersebut kepada
pasien dan keluarganya.

Karena informed consent merupakan perjanjian untuk melakukan tindakan


operasi medik, maka keberadaan informed consent sangat penting bagi para
pihak yang melakukan perjanjian pelayanan kesehatan, sehingga dapat
diketahui bahwa keberadaan informed consent sangat penting dan diperlukan
dirumah sakit.

Yang menjadi permasalahan adalah apakah isi dari formulir informed consent
itu sudah memenuhi syarat sahnya perjanjian dan apakah dengan adanya
formulir informed consent dapat dijadikan alat bukti yang sah apabila timbul
perselisihan dan bagaimana penyelesaiaannya.

Permasalahan diatas oleh penulis akan dikaji lebih lanjut untuk menambah
referensi wawasan kita terhadap formulir informed consent dalam
pelaksanaan tindakan operasi medik. Untuk menemukan suatu solusi
permasalahan diatas penulis menggali data-data dari berbagai referensi
kepustakaan yang relefan dengan permasalahan yang kemudian dianalisa.

Adapun ada beberapa penemuan penulis yang ditemukan dalam referensi


dapat digambarkan sebagai berikut : bahwa formulis informed consent
merupakan suatu perjanjian pelaksanaan tindakan medik antara dokter
dengan pasien atau keluarganya. Oleh karena itu, isi dari formulir infomed
consent harus memenuhi syarat sahnya perjanjian secara umum yang diatur
dalam pasal 1320 BW. Isi dari perjanjian itu dapat dijadikan Undang-undang
bagi mereka yang membuat perjanjian itu. Dan formulir informed consent
dapat dijadikan alat bukti yang sah apabila terjadi perselisihan antara pihak
rumah sakit (dokter) dengan pihak pasien atau keluarganya atas tindakan
operasi medik. Karena formulir informed consent merupakan surat perjanjian
pelayanan medik yang dibuat antara dokter dengan pasien atau keluarganya,
sebagaimana yang diatur didalam pasal 164 H.I.R bahwa surat yang dibuat
menurut undang-undang dan oleh pejabat umum merupakan bagian dari alat
bukti yang sah.

Dari uraian diatas, maka dapat disimpulkan bahwa formulir informed consent
sudah sesuai dengan syarat-syarat sahnya perjanjian karena dalam isi formulir
informed consent sudah tercantum pihak-pihak yang melakukan perjanjian,
tentang kecakapan pihak pasien, sedangkan suatu hal tertentu/obyeknya
adalah sudah pasti yaitu suatu pelayanan medik dan sebab yang halal bahwa
yang diperjanjikan merupakan suatu tindakan operasi yang tidak
bertentangan denga Undang-undang, kesusilaan dan ketertiban umum serta
dalam formulir informed consent ada saksi-saksi yang dapat memperkuat
perjanjian tersebut.

Jadi formulir informed consent dapat dijadikan alat bukti yang sah dalam
menyelesaikan perselisihan yang timbul dari tindakan medik yang dilakukan
dokter terhadap pasien, apabila ada tuntutan dari pihak pasien atau
keluarganya karena merasa tidak puas atas tidakan medik tersebut.

Persetujuan Tindakan Medik

Hubungan pasien, dokter dan rumah sakit (RS), selain berbentuk sebagai
hubungan medik, juga berbentuk sebagai hubungan hukum. Sebagai
hubungan medik, maka hubungan medik itu akan diatur oleh kaidah-kaidah
medik; sebagai hukungan hukum, maka hubungan hukum itu akan diatur oleh
kaidah-kaidah hukum.

Salah satu lembaga hukum yang ada dalam hubungan hukum antara dokter,
pasien dan RS adalah apa yang dikenal dengan lembaga persetujuan tindakan
medik (informed consent). Pada tahun 2008, telah diberlakukan Permenkes
no. 290/2008 tentang persetujuan tindakan medik.

Kaidah-kaidah hukum yang ada di dalam Permenkes no. 290/2008 itu, karena
baru beberapa tahun diterapkan, masih seringkali membingungkan, baik bagi
dokter maupun bagi pasien. Sebenarnya, kaidah-kaidah hukum yang ada di
dalam Permenkes no. 290/2008 itu sangat sederhana, tetapi permasalahannya
kaidah-kaidah yang ada di dalam Permenkes no. 290/2008 masih saja sering
disalahartikan. Selain itu, masih banyak hal yang belum diatur dalam
Permenkes no. 290/2008 itu, sehingga menimbulkan keraguan.

Dalam istilah informed consent, secara implisit tercakup tentang informasi


dan persetujuan (consent), yaitu persetujuan yang diberikan setelah pasien
informed (diberi informasi). Dapat dikatakan informed consent adalah
"persetujuan yang diberikan berdasarkan informasi".

Pasal 1 (a) Permenkes no. 290/2008 menetapkan: “Persetujuan tindakan


kedokteran adalah persetujuan yang diberikan oleh pasien atau keluarga
terdekat setelah mendapat penjelasan secara lengkap mengenai tindakan
kedokteran atau kedokteran gigi yang akan dilakukan terhadap pasien.”
Selanjutnya Permenkes no. 290/2008 menetapkan tentang :

 kewajiban tenaga kesehatan memberikan informasi, baik diminta


maupun tidak diminta ; diberikan secara adekuat tentang perlunya
tindakan medik dan resiko yang dapat ditimbulkannya ;

 informasi diberikan secara lisan dan cara penyampaian harus


disesuaikan dengan kondisi dan situasi pasien, dalam arti dokter harus
memberikan informasi selengkap-lengkapnya kecuali dokter menilai
bahwa informasi yang akan diberikan merugikan pasien atau pasien
menolak menerima informasi ; dalam hal ini, dengan persetujuan
pasien, maka dokter dapat meneruskan  informasi kepada keluarga
terdekat dari pasien dan didampingi oleh seorang perawat/paramedik ;

 informasi yang diberikan mencakup keuntungan dan kerugian dari


tindakan medik yang akan dilakukan, baik diagnostik maupun terapetik;

 informasi cukup diberikan secara lisan ; informasi harus diberikan secara


jujur dan benar kecuali dokter menilai  akan merugikan pasien dan
informasi tersebut dengan persetujuan pasien akan diberikan kepada
keluarga pasien ;

 pemberi informasi adalah dokter yang bersangkutan, dalam hal


berhalangan dapat diberikan oleh dokter lain dengan sepengetahuan
dan tanggungjawab dari dokter yang bersangkutan ;

 dibedakan antara tindakan operasi dan bukan operasi, untuk tindakan


operasi harus dokter yang memberikan informasi, untuk bukan tindakan
operasi sebaiknya oleh dokter yang bersangkutan, tetapi dapat juga
oleh perawat/paramedis ;

 jika perluasan operasi dapat diprediksi, maka informasi harus diberikan


sebelumnya, dalam hal ini tidak dapat diprediksi sebelumnya, maka
demi menyelamatkan jiwa pasien dapat dilaksanakan tindakan medik
dan setelah dilaksanakan tindakan, dokter yang bersangkutan harus
memberitahukan kepada pasien atau keluarganya ;

 semua tindakan medik yang akan dilakukan terhadap pasien harus


mendapatkan persetujuan dan persetujuan dapat diberikan secara
tertulis mau pun secara lisan ;

 untuk tindakan medik yang mengandung risiko tinggi harus dibuat


persetujuan secara tertulis dan ditandatangani oleh yang berhak
memberikan persetujuan ;

 yang berhak memberikan persetujuan, adalah pasien yang dalam


keadaan sadar dan sehat mental, telah berumur 21 tahun/telah
melangsungkan perkawinan ;

 bagi mereka yang telah berusia lebih dari 21 tahun tetapi di bawah
pengampuan maka persetujuan diberikan oleh wali/pengampu ; bagi
mereka yang di bawah umur (belum 21 tahun dan belum
melangsungkan perkawinan) diberikan oleh orang tua/wali/ keluarga
terdekat atau induk semang ;

 bagi pasien yang dalam keadaan tidak sadar/pingsan dan tidak


didampingi oleh keluarga terdekat dan secara medik memerlukan
tindakan segera, tidak diperlukan persetujuan ;

 yang bertanggungjawab atas pelaksanaan informasi dan persetujuan


adalah dokter; dalam hal dilaksanakan di RS/klinik, maka RS/klinik
tersebut ikut bertanggungjawab ;

 terhadap dokter yang melaksanakan tindakan medik tanpa persetujuan,


dikenakan sanksi administratif berupa teguran sampai dengan
pencabutan surat izin praktik.

Beberapa masalah yang seringkali timbul, adalah pengertian informed


consent itu sendiri yang disalahartikan oleh pasien, dokter dan RS. Dokter/RS
berpendapat kalau pasien telah memberikan persetujuan untuk dilakukan
tindakan medik, maka berarti dokter/RS akan bebas dari tuntutan/gugatan
pasien, sebab dengan telah diberikannya persetujuan, berarti pasien telah
melepaskan haknya untuk menuntut/menggugat dan sebaliknya pasien
menganggap kalau sudah setuju, ya sudah kehilangan hak untuk menuntut
dan menggugat.

Konstruksi pemikiran di atas adalah salah, sebab persetujuan yang diberikan


oleh pasien kepada dokter/RS, adalah persetujuan untuk dilakukan tindakan
medik atas dirinya. Istilah umumnya dokter akan berkata: “saya permisi akan
melakukan tindakan medik”; dan pasien akan menjawab: “silakan
melakukan tindakan medik".

Dokter/RS harus meminta persetujuan pasien, sebagai misal kalau dokter/RS


melakukan tindakan operasi tanpa persetujuan pasien dapat dikategorikan
sebagai tindakan penganiayaan dan menurut hukum perdata dokter dapat
digugat telah melakukan perbuatan melawan hukum. Jadi, tidak perlu dokter
memaksa pasien untuk dilakukan tindakan medik.

Apabila dalam pelaksanaan tindakan medik, dokter melakukan


kesalahan/kelalaian, maka meskipun telah diberikan informed consent oleh
Pasien kepada dokter/RS, bahkan kalau pun dituliskan secara tegas di dalam
formulir informed consent, bahwa pasien setuju untuk tidak akan
menuntut/menggugat, apabila terjadi sesuatu yang tidak diinginkan, tetap
saja dokter/RS dapat dituntut dan atau digugat.

Dapat dituntut/digugatnya dokter tidak ada hubungannya dengan informed


consent, pelanggaran terhadap kewajiban informed consent, dokter/RS
“hanya” diberi sanksi administrasi yaitu berupa teguran sampai dengan
pencabutan izin praktik.

Dalam hal dokter melakukan kesalahan/kelalaian, kemudian


kesalahan/kelalaian itu menimbulkan kerugian kepada pasien, yang artinya
ada hubungan sebab akibat antara kesalahan dan kerugian, maka pasien
mempunyai hak untuk menggugat/menuntut dokter/RS.

Masalah lain adalah mengenai banyaknya informasi yang dapat/harus


diberikan kepada pasien. Leenan, seorang guru besar hukum kesehatan dari
Belanda memberikan pendapat tentang isi dari informasi yang dapat/harus
diberikan kepada pasien : diagnosis, terapi (dengan kemungkinan alternatif
terapi), tentang cara kerja dan pengalaman dokter, risiko, kemungkinan
perasaan sakit ataupun perasaan lainnya (misalnya gatal-gatal), keuntungan
terapi, dan prognosis.

Kemudian masalah lain dalam pemberian informasi adalah bahasa yang


dipakai oleh dokter dalam  menyampaikan informasi. Seperti diketahui
kebanyakan pasien adalah awam dengan bahasa kedokteran dan tidak semua
istilah-istilah kedokteran dapat diterjemahkan dengan mudah ke dalam
bahasa orang awam. Seharusnya dokter menggunakan bahasa yang mudah
dimengerti oleh pasien dan pasien yang tidak mengerti tidak segan-segan
untuk mengajukan pertanyaan kepada dokter.
Masalah selanjutnya mengenai informasi, adalah mengenai turut campur
keluarga dalam pemberian informasi. Peraturan mengatur, informasi diberikan
kepada pasien, dalam hal dokter menilai pasien tidak akan sanggup menerima
informasi, maka informasi dapat disampaikan ke keluarga terdekat, tetapi
dengan izin dari pasien.

Seringkali dokter memberikan informasi kepada keluarga pasien jauh lebih


rinci dibandingkan yang diberikan kepada pasien, bahkan tanpa izin pasien.
Hal ini sama dengan membuka rahasia jabatan dan diancam dengan hukuman
pidana.

Permenkes no. 290/2008 jelas telah menentukan bahwa bagi mereka yang di
atas 21 tahun/telah melangsungkan perkawinan dan dalam keadaan sadar
dan sehat mental berhak memberikan persetujuan. Dalam praktik, banyak
dokter/RS yang mensyaratkan selain pasien yang bersangkutan, juga adanya
pihak ketiga (keluarga terdekat, termasuk suami/istri) yang harus ikut
memberikan persetujuan. Kadang-kadang syarat mengikutsertakan pihak
ketiga (keluarga) menimbulkan masalah, yaitu dalam hal tidak ada
kesepakatan antara pasien dan keluarga mengenai tindakan medik yang akan
dilaksanakan.

Yang dipertanyakan disini adalah mengapa pihak RS mensyaratkan hal ini ?


Bukankah Permenkes no. 290/2008 tidak mewajibkan adanya izin dari
keluarga ?

Argumen dari RS adalah demi keamanan, takut digugat keluarga. Perlu


disadari kalau terjadi kesalahan/kelalaian, meskipun keluarga ikut memberikan
persetujuan, dokter/RS tidak dapat menghindarkan tanggung jawab hukum
dengan dalih keluarga telah memberikan persetujuan.

Seringkali menjadi masalah pula dalam kasus kecelakaan. Pada saat pasien
yang dibawa ke RS dalam keadaan kesadaran menurun dan dalam keadaan
kesakitan (tidak dalam keadaan tidak sadar/pingsan), apakah RS/dokter harus
memberikan informasi dulu dan meminta persetujuan dari pasien yang paling
sedikit memakan waktu lima menit, sedangkan sedetik pun berharga bagi
penyelamatan jiwa pasien ?

Seharusnya dokter/RS diberi pula hak untuk langsung melakukan tindakan


medik atau seminim mungkin memberikan informasi dan persetujuan lisan,
sudah cukup.

Hal ini tidak diatur dalam Permenkes no. 290/2008. Yang diatur hanyalah
dalam hal pasien tidak sadar/pingsan untuk menyelamatkan jiwa pasien tidak
diperlukan persetujuan. Juga kadang-kadang korban kecelakaan bukan hanya
satu-dua orang, kalau terjadi kecelakaan dengan korban massal, maka
kesempatan untuk memberikan informasi dan meminta persetujuan selain
merepotkan juga membuang waktu.

Dalam hal ini dokter/RS dihadapkan kepada dilema, menolong pasien atau
melindungi diri dengan perisai perlindungan hukum ? Seharusnya dokter lebih
mementingkan kepentingan pasien, mengenai gugatan keluarga seharusnya
dapat diselesaikan kemudian, diperlukan kesadaran dari keluarga pasien
bahwa dokter bekerja sepenuhnya untuk kepentingan pasien.

Harus diakui banyak masalah tentang informed consent yang membuat para
dokter/RS menjadi sangat khawatir, juga disebabkan masih banyak hal yang
belum diatur oleh Permenkes no. 290/2008. Sebaiknya pemerintah cq
kementrian kesehatan segera membentuk peraturan pelaksanaan dalam
bentuk peraturan pemerintah tentang informed consent, agar tidak terjadi
ketidakpastian hukum yang berlanjut, yang akhirnya akan merugikan pasien
dan dokter/RS khususnya serta masyarakat umumnya.

Persetujuan dan Penolakan Terhadap Tindakan Medis

        Tindakan Medis telah ditetapkan bahwa dalam keadaan tidak darurat,
seorang dokter harus meminta persetujuan pasien terhadap terapi sebelum
terapi diberikan. Terdapat dua teori tentang persetujuan pasien; teori
tradisional berdasarkan hukum penganiayaan dan teori baru yang
berdasarkan hukum kelalaian. Dalam beberapa wilayah hukum, kurangnya
persetujuan medis dianggap sebagai pelanggaran terhadap hak walaupun
tidak terjadinya suatu kelalaian. Hukum melindungi hak seseorang untuk
mengambil keputusan menerima atau menolak terapi, terlepas dari bijaksana
atau tidaknya keputusan tersebut. Prinsip dasar dalam hukum kita adalah
setiap orang memiliki hak untuk memutuskan hal-hal yang menyangkut tubuh
mereka. Hubungan dokter pasien dikenal sebagai “ fiduciary relationship”
yang berarti hubungan yang berlandaskan kepercayaan.

Hukum Persetujuan Tradisional/Konvensional

Persetujuan tindakan medik adalah aspek yang melekat pada hubungan


dokter pasien yang harus dimengerti dokter tidak hanya sebagai kewajiban
hukum, tetapi juga sebagai bagian dari etika kedokteran. Pemberian
persetujuan secara tertulis atau tidak tergantung dari keadaan saat itu.
Dasar dari teori tradisional adalah hukum penganiayaan dan dinyatakan
pada persidangan tahun 1905 oleh hakim Cardozo, “Setiap manusia dewasa
dan sehat mental memiliki hak untuk menentukan apa yang akan dilakukan
terhadap tubuhnya dan ahli bedah yang melakukan operasi tanpa
persetujuannya dianggap telah melakukan panganiayaan..”

Dalam hukum, penganiayaan didefinisikan sebagai tindakan disengaja


untuk menyentuh atau menggunakan kekerasan terhadap orang lain tanpa
persetujuannya. Setiap tindakan sekecil apapun tanpa persetujuan orang yang
bersangkutan dapat dianggap penganiayaan. Tindakan medis tanpa
persetujuan, walaupun tindakan itu baik untuk pasien, dapat dianggap
penganiayaan.

Persetujuan baik langsung dan tidak langsung meniadakan


penganiayaan. Dengan adanya persetujuan, maka tidak ada penganiayaan.
Tetapi persetujuan dianggap tidak sah secara hukum bila diberikan atas dasar
paksaan atau penipuan. Persetujuan juga dianggap tidak sah bila tindakan
yang disetujui adalah tindakan melawan hukum atau persetujuan diberikan
oleh orang yang tidak punya kewenangan untuk memberikannya.

Penganiayaan dapat terjadi walaupun tidak ada kontak badan, misalnya


pemberian obat, pemeriksaan rontgen dan tindakan pengobatan lain tanpa
kontak langsung. Penghinaan terhadap pribadi seseorang juga dapat
dianggap penganiayaan walaupun tidak menyakiti secara fisik, seperti
meludahi wajah seseorang, atau mengangkat topi yang sedang dipakai
seseorang secara paksa.

PERSETUJUAN TINDAKAN LANGSUNG DAN TIDAK LANGSUNG

Persetujuan tindakan secara langsung

Persetujuan tindakan diberikan pasien dalam bentuk lisan maupun


tulisan. Persetujuan secara tertulis memiliki kekuatan lebih sebagai barang
bukti di pengadilan.

 Persetujuan tindakan secara tidak langsung

Persetujuan dapat diberikan secara tidak langsung. Pasien yang datang


ke tempat praktek untuk menjalankan prosedur rutin menyatakan
persetujuannya secara tidak langsung. Secara hukum persetujuan dinyatakan
sah apabila pasien telah mengerti tujuan terapi dan risikonya, serta ia dapat
menghentikan terapi kapan ia menghendakinya. Persetujuan tidak langsung
berisiko tinggi terhadap dokter, dan selayaknya hanya dilakukan terhadap
prosedur rutin. Untuk menghindari komplikasi legalitas, dokter harus
melakukan pencatatan lengkap dalam rekam medis mengenai terapi yang
diberikan dan penjelasan yang telah diberikan pada pasien mengenai terapi. 
Dalam persidangan sering ditemukan pernyataan tidak langsung yang
menyetujui tindakan. Sebagai contoh adalah saat seorang pasien yang
menuntut dokter karena melakukan vaksinasi tanpa persetujuan dirinya.
Pengadilan menemukan bahwa pasien tersebut dengan sukarela mengangkat
lengan baju dan tangannya untuk divaksinasi. Walaupun tanpa pernyataan
lisan atau tertulis, tindakan tersebut sudah dapat dianggap suatu persetujuan
terhadap vaksinasi.

Beberapa situasi medis dimana persetujuan tidak langsung biasa terjadi


adalah pada kasus-kasus darurat, anak di bawah umur yang memerlukan
perawatan darurat, orang yang tidak sehat secara mental, tidak tersedianya
wali yang sah, pasien koma, korban keracunan yang belum mampu
memberikan persetujuan saat itu, dan pasien yang tidak menandatangani
persetujuan tapi tidak keberatan terhadap pengobatan.

Ruang Lingkup Persetujuan

Secara umum, dokter melakukan penganiayaan bila ia bertindak


melampaui ruang lingkup persetujuan yang diberikan pasien. Seorang ahli
bedah yang bertindak melebihi yang telah disetujui pasien dapat dikatakan
melakukan penganiayaan. Begitu pula apabila ia melakukan tindakan yang
salah, yang tidak sesuai dengan persetujuan awal, maka ia juga dikatakan
melakukan penganiayaan.

Sebagai contohnya adalah seorang spesialis THT yang menyarankan


pasien untuk melakukan pengangkatan polip pada telinga kiri dan pasien
menyetujuinya. Ternyata saat operasi ia menemukan bahwa penyakit pada
telinga kanan lebih parah daripada telinga kiri dan memutuskan untuk
melakukan ossiculectomy pada telinga kanan. Pasien menuntut dokter di
pengadilan Minnesota. Pengadilan memutuskan bahwa izin untuk
mengoperasi telinga kiri tidak dapat dipakai untuk mengoperasi telinga
kanan.

Pada sebagian besar yurisdiksi, dokter dinyatakan dapat memperluas


prosedur yang dilakukan melebihi persetujuan dalam keadaan darurat. Pada
banyak negara, ahli bedah dapat memperluas tindakan bila saat operasi
ditemukan keadaan abnormal dan terapi diperlukan segera untuk
keselamatan pasien. Bila pasien menyetujui dokter untuk melakukan tindakan
pengobatan terhadap penyakit tertentu dan bukan atas prosedur tertentu,
maka pengadilan akan membenarkan segala tindakan yang dilakukannya.

Persetujuan Oleh Anak Dibawah Umur


Tindakan medis yang sifatnya tidak darurat terhadap anak dibawah
umur (batas usia ditentukan oleh negara tempat tinggalnya) harus atas
persetujuan orangtua atau walinya. Sebagai pengecualian yang membolehkan
anak di bawah umur untuk mengambil keputusan tanpa persetujuan orangtua
adalah :

 Anak sudah menikah


 Sudah menjadi orangtua walaupun tidak menikah
 Pengecualian hukum pada : penyalahgunaan bahan kimia, penyakit
kelamin, kontrasepsi, pemeriksaan fisik pada perkosaan, aborsi dan
psikoterapi
 Kasus gawat darurat

Pada kasus gawat darurat yang mengancam nyawa, tidak dibutuhkan


persetujuan orangtua. Pada kasus yang harus ditangani segera tapi tidak
mengancam nyawa, tetap diperlukan persetujuan. Misalnya pada seorang
ortopedist yang menangani patah tulang femur pada anak. Reduksi harus
segera dilakukan untuk mencegah kerusakan neurovaskular permanen. Pada
kasus ini yang harus dilakukan pertama kali adalah menenangkan pasien, lalu
menghubungi orang tua. Langkah selanjutnya ortopedis tersebut harus
melakukan pertimbangan medis rasional, dengan mengutamakan
kepentingan pasien untuk memutuskan sampai berapa lama ia dapat
menunggu persetujuan orangtua dengan ancaman risiko infeksi tulang dan
kerusakan neurovaskular permanen pada pasien.

Persetujuan Oleh Pasangan

Dalam hukum Amerika, tidak diperlukan persetujuan pasangan dalam


melakukan tindakan medis, walaupun pasien dinyatakan inkompeten, kecuali
pasangan ditunjuk oleh pengadilan sebagai pengambil keputusan atas diri
pasien.

Sebagai contoh adalah kasus Janney di Maryland. Ny. Janney menjalani


operasi pengangkatan payudara kanan akibat kanker yang sebelumnya telah
disetujui olehnya. Kemudian suaminya menuntut dokter karena melakukan
operasi tanpa persetujuan dirinya. Pengadilan menyatakan bahwa Ny. Janney
dibenarkan untuk memutuskan perawatan atas dirinya tanpa persetujuan
suami.

Kasus yang serupa juga terjadi pada pasangan Murray, dimana suami
menuntut atas panhisterektomi yang dilakukan terhadap istrinya. Pengadilan
memutuskan bahwa seorang istri secara hukum berhak untuk memiliki
penghasilan terpisah, dan  memutuskan tindakan yang terbaik untuk
kesehatan serta kelangsungan hidupnya.
Pada tahun 1976, Pengadilan tinggi Amerika mengeluarkan pernyataan
mengenai hukum aborsi yaitu :

1. Sebelum melakukan aborsi pada 12 minggu pertama kehamilan,


seorang wanita harus memberikan persetujuan secara tertulis bahwa ia
telah memahami dan menyetujui tindakan dan menandatangani
pernyataan secara sukarela tanpa paksaan.
2. Seorang wanita yang ingin melakukan aborsi harus mendapatkan
persetujuan suami, kecuali dokter menyatakan bahwa aborsi diperlukan
untuk menyelamatkan nyawa ibu.
3. Wanita yang belum menikah dan berusia dibawah 18 tahun harus
mendapat persetujuan secara tertulis dari orangtua atau orang yang
bertanggung jawab terhadapnya.

Pengadilan tinggi menyatakan bahwa pengguguran kandungan pada


trimester pertama sepenuhnya menjadi pertimbangan dan wewenang dokter,
negara tidak memiliki wewenang untuk melarangnya. Setelah trimester
pertama dimana dianggap janin sudah viable, pengguguran kandungan
dilarang kecuali terdapat indikasi kuat untuk menyelamatkan nyawa ibu.

Di Pengadilan tinggi Danforth, dinyatakan bahwa pengguguran


kandungan pada 12 minggu pertama kehamilan tidaklah membutuhkan
persetujuan pasangan atau orangtua (bagi kehamilan pada anak di bawah
umur), karena negara sendiripun tidak memiliki wewenang atas hal tersebut.

Dokter dapat bertindak atas persetujuan pasangan pada pasien yang


dinyatakan tidak kompeten untuk mengambil keputusan. Persetujuan
pasangan pada pasien yang kompeten tidak dapat digunakan untuk
menggantikan persetujuan pasien sendiri. Persetujuan pasangan pada pasien
kompeten tidak dibutuhkan walaupun terapi yang akan dilakukan dapat
mempengaruhi pernikahan pasien. Tetapi disarankan untuk berdiskusi dengan
pasien dan pasangan mengenai terapi yang dapat mempengaruhi
kemampuan reproduksi dan seksual pasien. Walaupun persetujuan suami
terhadap inseminasi buatan yang dilakukan istri tidak dibutuhkan, tapi suami
yang tidak menyetujui hal itu akan menolak merawat anak hasil inseminasi,
bahkan dapat terjadi perceraian. Maka sebaiknya inseminasi dilakukan setelah
disetujui kedua pihak.

 Persetujuan oleh Anggota Keluarga

Hukum Amerika tidak mengakui adanya hak keluarga untuk mengambil


keputusan atas diri pasien kecuali anggota keluarga tersebut telah ditunjuk
sebagai wali yang bertanggung jawab oleh pengadilan atau merupakan wali
bagi anak di bawah umur. Karen Quinlan, berusia 21 tahun, mengalami
overdosis fenobarbital dan Librium dan mengalami koma. Ayahnya meminta
agar perawatan dihentikan dan disetujui oleh pengadilan.

Sudut Pandang Legal

Ada tiga sudut pandang legal dalam menilai hak seseorang untuk
menentukan keputusan atas dirinya. Sudut pandang pertama berdasarkan
hukum penganiayaan, bahwa setiap tindakan yang menimbulkan kontak
tanpa izin adalah suatu bentuk penghinaan. Sudut pandang kedua
berdasarkan hukum modern informed consent, dimana dokter wajib
memberikan informasi yang dibutuhkan dalam pertimbangan pasien dalam
mengambil keputusan terapi. Sudut pandang ketiga adalah berdasarkan hak
atas privasi, keputusan untuk menjalankan terapi adalah hak privasi seseorang
yang tidak boleh dilanggar.

INFORMED CONSENT

Tujuan dari informed consent adalah agar pasien mendapat informasi


yang cukup untuk dapat mengambil keputusan atas terapi yang akan
dilaksanakan. Informed consent juga berarti mengambil keputusan bersama.
Hak pasien untuk menentukan nasibnya dapat terpenuhi dengan sempurna
apabila pasien telah menerima semua informasi yang ia perlukan sehingga ia
dapat mengambil keputusan yang tepat. Pengecualian dapat dibuat apabila
informasi yang diberikan dapat menyebabkan guncangan psikis pada pasien.

Dokter harus menyadari bahwa informed consent memiliki dasar moral dan
etik yang kuat. Menurut American College of Physicians’ Ethics Manual ,
pasien harus mendapat informasi dan mengerti tentang kondisinya sebelum
mengambil keputusan. Berbeda dengan teori terdahulu yang memandang
tidak adanya informed consent menurut hukum penganiayaan, kini hal ini
dianggap sebagai kelalaian. Informasi yang diberikan harus lengkap, tidak
hanya berupa jawaban atas pertanyaan pasien.

Saat Untuk Memberi Informasi

        Setelah hubungan dokter pasien terbentuk, dokter memiliki kewajiban
untuk memberitahukan pasien mengenai kondisinya; diagnosis, diagnosis
banding, pemeriksaan penunjang, terapi, risiko, alternatif, prognosis dan
harapan. Dokter seharusnya tidak mengurangi materi informasi atau memaksa
pasien untuk segera memberi keputusan. Informasi yang diberikan
disesuaikan dengan kebutuhan pasien.
Elemen-elemen Informed Consent

Suatu informed consent harus meliputi :

1. Dokter harus menjelaskan pada pasien mengenai tindakan, terapi dan


penyakitnya
2. Pasien harus diberitahu tentang hasil terapi yang diharapkan dan
seberapa besar kemungkinan keberhasilannya
3. Pasien harus diberitahu mengenai beberapa alternatif yang ada dan
akibat apabila penyakit tidak diobati
4. Pasien harus diberitahu mengenai risiko apabila menerima atau
menolak terapi

Risiko yang harus disampaikan meliputi efek samping yang mungkin


terjadi dalam penggunaan obat atau tindakan pemeriksaan dan operasi
yang dilakukan. 

Ruang Lingkup Pemberian Informasi

Ruang lingkup dan materi informasi yang diberikan tergantung pada


pengetahuan medis pasien saat itu. Jika memungkinkan, pasien juga
diberitahu mengenai tanggung jawab orang lain yang berperan serta dalam
pengobatan pasien.

Di Florida dinyatakan bahwa setiap orang dewasa yang kompeten


memiliki hak dasar menentukan tindakan medis atas dirinya termasuk
pelaksanaan dan penghentian pengobatan yang bersifat memperpanjang
nyawa. Beberapa pengadilan membolehkan dokter untuk tidak
memberitahukan diagnosis pada beberapa keadaan. Dalam
mempertimbangkan perlu tidaknya mengungkapkan diagnosis penyakit yang
berat, faktor emosional pasien harus dipertimbangkan terutama kemungkinan
bahwa pengungkapan tersebut dapat mengancam kemungkinan pulihnya
pasien.

        Pasien memiliki hak atas informasi tentang kecurigaan dokter akan
adanya penyakit tertentu walaupun hasil pemeriksaan yang telah  dilakukan
inkonklusif. 

HAL-HAL YANG DIINFORMASIKAN :

1. Hasil Pemeriksaan
Pasien memiliki hak untuk mengetahui hasil pemeriksaan yang telah
dilakukan. Misalnya perubahan keganasan pada hasil pap smear. Apabila
infomasi sudah diberikan, maka keputusan selanjutnya berada di tangan
pasien.
2. Risiko
Risiko yang mungkin terjadi dalam terapi harus diungkapkan disertai upaya
antisipasi yang dilakukan dokter untuk terjadinya hal tersebut. Reaksi alergi
idiosinkratik dan kematian yang tak terduga akibat pengobatan selama ini
jarang diungkapkan dokter. Sebagian kalangan berpendapat bahwa
kemungkinan tersebut juga harus diberitahu pada pasien. Jika seorang
dokter mengetahui bahwa tindakan pengobatannya berisiko dan terdapat
alternatif pengobatan lain yang lebih aman, ia harus memberitahukannya
pada pasien. Jika seorang dokter tidak yakin pada kemampuannya untuk
melakukan suatu prosedur terapi dan terdapat dokter lain yang dapat
melakukannya, ia wajib memberitahukan pada pasien.
3. Alternatif
Dokter harus mengungkapkan beberapa alternatif dalam proses diagnosis
dan terapi. Ia harus dapat menjelaskan prosedur, manfaat, kerugian dan
bahaya yang ditimbulkan dari beberapa pilihan tersebut. Sebagai contoh
adalah terapi hipertiroidisme. Terdapat tiga pilihan terapi yaitu obat,
iodium radioaktif, dan subtotal tiroidektomi. Dokter harus menjelaskan
prosedur, keberhasilan dan kerugian serta komplikasi yang mungkin
timbul.
4. Rujukan/ konsultasi
Dokter berkewajiban melakukan rujukan apabila ia menyadari bahwa
kemampuan dan pengetahuan yang ia miliki kurang untuk melaksanakan
terapi pada pasien-pasien tertentu. Pengadilan menyatakan bahwa dokter
harus merujuk saat ia merasa tidak mampu melaksanakan terapi karena
keterbatasan kemampuannya dan ia mengetahui adanya dokter lain yang
dapat menangani pasien tersebut lebih baik darinya.
5. Prognosis
Pasien berhak mengetahui semua prognosis, komplikasi, sekuele,
ketidaknyamanan, biaya, kesulitan dan risiko dari setiap pilihan termasuk
tidak mendapat pengobatan atau tidak mendapat tindakan apapun. Pasien
juga berhak mengetahui apa yang diharapkan dari dan apa yang terjadi
dengan mereka. Semua ini berdasarkan atas kejadian-kejadian beralasan
yang dapat diduga oleh dokter. Kejadian yang jarang atau tidak biasa
bukan merupakan bagian dari informed consent. 

Standar Pengungkapan Yang Dikembangkan Oleh Pengadilan

Dua pendekatan diadaptasi oleh pengadilan dalam menggambarkan


lapangan kewajiban pengungkapan seorang dokter - standar pengungkapan
profesional, standar pengungkapan umum, atau standar pasien secara layak.
Dibawah standar pengungkapan profesional, tugas dokter untuk
membuka rahasia diatur oleh standar pelaku medis, dilakukan di dalam
lingkungan yang sama atau serupa. Standar pengungkapan ini yang diatur
seterusnya baik oleh undang-undang maupun hukum umum pada mayoritas
peraturan Amerika Serikat menetapkan bahwa seorang dokter harus memberi
informasi sesuai dengan pelayanan kedokteran terkini. Banyak pengadilan
telah menegakkan standar pelaksana medis dalam komunitas yang sama atau
serupa, di bawah lingkungan yang sama atau serupa. Jika seorang dokter
bertugas untuk mengungkapkan suatu fakta dan jika begitu, fakta apa yang
wajib diberitahukan bergantung pada yang biasa dilakukan pada komunitas
setempat.

Standar pengungkapan umum atau standar pasien secara layak, yang


ditetapkan seterusnya oleh undang-undang atau hukum umum dalam
peraturan minoritas yang bermakna, membebankan tugas pada dokter untuk
memberitahu setiap informasi yang akan bergantung pada proses pembuatan
keputusan oleh pasien. Hal ini berbeda-beda sesuai kemampuan pasien untuk
memahaminya. Bahkan dalam pengakuan medis ahli yang mendukung,
seseorang dapat saja melanggar standar pengungkapan yang seharusnya
dalam peraturan ini jika juri berkesimpulan bahwa informasi spesifik yang
tidak diberitahukan akan berpengaruh bermakna terhadap keputusan pasien
apakah akan menjalani terapi tertentu atau tidak. Standar umum membiarkan
juri untuk memutuskan apakah dokter memberikan informasi yang cukup
pada pasien untuk membuat pilihan terhadap tatalaksana, sedangkan standar
profesional membiarkan dokter untuk menunjukkan apakah ia memberikan
informasi yang cukup sesuai standar pelayanan medis dalam komunitas
tersebut. Perkembangan terkini adalah pengadilan yang mengadaptasi bentuk
standar umum.

Sekali telah ditegakkan, baik oleh standar profesional atau umum,


bahwa pasien tidak menerima informasi yang biasanya dibutuhkan untuk
membuat pilihan bijak mengenai apakah akan menolak atau menyetujui
terapi, pengadilan akan memperhatikan materi dari informasi yang kurang
tersebut; yaitu akankah seseorang menolak atau menyetujui jika berada dalam
lingkungan yang sama atau serupa. Dengan kata lain, apakah kurangnya
informasi menyebabkan kecacatan/kerugian yang memang sudah diduga atau
akankah pasien tetap menyetujuinya dalam keadaan apapun. Tergantung dari
peraturan yang terlibat, pengadilan telah menetapkan satu dari dua standar
yaitu standar objektf (juri memutuskan apakah pasien dalam keadaan serupa
akan menolak terapi) atau standar subyektif (juri memutuskan apakah pasien
yang sebenarnya akan menolak terapi). Kebanyakan peraturan  mengikuti
standar objektif.

Siapa Yang Mengungkapkan ?


Siapa yang bertanggung jawab untuk mendapatkan informed consent
pasien - pengadilan umumnya telah menempatkan tugas ini pada dokter yang
didatangi pasien pada waktu ada pertanyaan. Pengadilan umumnya
mengenali bahwa dokter, bukan perawat atau paramedis lainnya,
berkemampuan untuk mendiskusikan tatalaksana dan penanganannya.
Perawat atau paramedis lainnya mungkin hanya penambah atau pelengkap
informasi spesifik dari dokter dengan informasi umum tergantung situasi
pasien. Dokter, selain dari dokter pertama pasien, memiliki kewajiban yang
independen untuk memberi informasi mengenai risiko, keuntungan, dan
alternatif pilihan yang ditujukan padanya.

Pengadilan sangat jelas dalam opini tertulisnya bahwa tanggung jawab


untuk memperoleh informed consent dari pasien tetap dengan dokter dan
tidak dapat didelegasikan. Dokter dapat mendelegasikan otoritasnya
(wewenangnya) untuk memperoleh informed consent kepada dokter lain
namun tidak dapat mendelegasikan tanggung-jawabnya untuk mendapatkan
informed consent yang tepat.

Peranan Rumah Sakit

            Pertanyaan yang sering muncul, terutama dari dokter yang berpraktek
di rumah sakit adalah ”Apakah rumah sakit memiliki tanggung jawab untuk
menjamin bahwa pasien menerima informasi yang cukup meskipun
pengadilan telah menempatkan tugas primer kepada dokter?”

            Dalam teori respondeat superior, manajer rumah sakit dapat ditahan
dengan dokter pegawai rumah sakit yang lalai untuk memperoleh informed
consent yang dapat menimbulkan kecacatan dan kegawatan pada pasien.
Kebijakan rumah sakit harus mengatur mengenai bagaimana informed
consent diperoleh. Perawat atau petugas rumah sakit lainnya harus menunda
terapi yang sudah direncanakan dokter jika persetujuan yang sebelumnya
sudah diberikan ditarik kembali oleh pasien, sehingga dokter dapat
mengklarifikasi kembali keputusan pasien. Pengadilan cenderung untuk
menjatuhkan kewajiban yang lebih ketat kepada rumah sakit untuk
memastikan bahwa dokter memperoleh persetujuan/penolakan sebelum
melakukan tindakan.

Bentuk Persetujuan/Penolakan

Rumah sakit memiliki tugas untuk menjamin bahwa informed consent


sudah didapat. Istilah untuk kelalaian rumah sakit tersebut yaitu "fraudulent
concealment". Pasien yang akan menjalani operasi mendapat penjelasan dari
seorang dokter bedah namun dioperasi oleh dokter lain dapat saja menuntut
malpraktik dokter yang tidak mengoperasi karena kurangnya informed
consent dan dapat menuntut dokter yang mengoperasi untuk kelanjutannya.

Bentuk persetujuan tidaklah penting namun dapat membantu dalam


persidangan bahwa persetujuan diperoleh. Persetujuan tersebut harus
berdasarkan semua elemen dari informed consent yang benar yaitu
pengetahuan, sukarela dan kompetensi.

Beberapa rumah sakit dan dokter telah mengembangkan bentuk


persetujuan yang merangkum semua informasi dan juga rekaman permanen,
biasanya dalam rekam medis pasien. Format tersebut bervariasi sesuai dengan
terapi dan tindakan yang akan diberikan. Saksi tidak dibutuhkan, namun saksi
merupakan bukti bahwa telah dilakukan informed consent. Informed consent
sebaiknya dibuat dengan dokumentasi naratif yang akurat oleh dokter yang
bersangkutan. 

Otoritas Untuk Memberikan Persetujuan

Seorang dewasa dianggap kompeten dan oleh karena itu harus


mengetahui terapi yang direncanakan. Orang dewasa yang tidak kompeten
karena penyakit fisik atau kejiwaan dan tidak mampu mengerti tentu saja
tidak dapat memberikan informed consent yang sah. Sebagai akibatnya,
persetujuan diperoleh dari orang lain yang memiliki otoritas atas nama pasien.
Ketika pengadilan telah memutuskan bahwa pasien inkompeten, wali pasien
yang ditunjuk pengadilan harus mengambil otoritas terhadap pasien.

Persetujuan pengganti ini menimbulkan beberapa masalah. Otoritas


seseorang terhadap persetujuan pengobatan bagi pasien inkompeten
termasuk hak untuk menolak perawatan tersebut. Pengadilan telah
membatasi hak penolakan ini untuk kasus dengan alasan yang tidak rasional.
Pada kasus tersebut, pihak dokter atau rumah sakit dapat memperlakukan
kasus sebagai keadaan gawat darurat dan memohon pada pengadilan untuk
melakukan perawatan yang diperlukan. Jika tidak cukup waktu untuk
memohon pada pengadilan, dokter dapat berkonsultasi dengan satu atau
beberapa sejawatnya.

Jika keluarga dekat pasien tidak setuju dengan perawatan yang


direncanakan atau jika pasien, meskipun inkompeten, mengambil posisi
berlawanan dengan keinginan keluarga, maka dokter perlu berhati-hati.
Terdapat beberapa indikasi dimana pengadilan akan mempertimbangkan
keinginan pasien, meskipun pasien tidak mampu untuk memberikan
persetujuan yang sah. Pada kebanyakan kasus, terapi sebaiknya segera
dilakukan (1) jika keluarga dekat setuju, (2) jika memang secara medis perlu
penatalaksanaan segera, (3) jika tidak ada dilarang undang-undang.
Cara terbaik untuk menghindari risiko hukum dari persetujuan
pengganti bagi pasien dewasa inkompeten adalah dengan membawa masalah
ini ke pengadilan.

Kemampuan Memberi Perijinan

Perijinan harus diberikan oleh pasien yang secara fisik dan psikis
mampu memahami informasi yang diberikan oleh dokter selama komunikasi
dan mampu membuat keputusan terkait dengan terapi yang akan diberikan.
Pasien yang menolak diagnosis atau tatalaksana tidak menggambarkan
kemampuan psikis yang kurang. Paksaan tidak boleh digunakan dalam usaha
persuasif. Pasien seperti itu membutuhkan wali biasanya dari keluarga
terdekat atau yang ditunjuk pengadilan untuk memberikan persetujuan
pengganti.

Jika tidak ada wali yang ditunjuk pengadilan, pihak ketiga dapat diberi
kuasa untuk bertindak atas nama pokok-pokok kekuasaan tertulis dari
pengacara. Jika tidak ada wali bagi pasien inkompeten yang sebelumnya telah
ditunjuk oleh pengadilan, keputusan dokter untuk memperoleh informed
consent diagnosis dan tatalaksana kasus bukan kegawatdaruratan dari
keluarga atau dari pihak yang ditunjuk pengadilan tergantung kebijakan
rumah sakit. Pada keadaan dimana terdapat perbedaan pendapat diantara
anggota keluarga terhadap perawatan pasien atau keluarga yang tidak dekat
secara emosional atau bertempat tinggal jauh, maka dianjurkan
menggunakan laporan legal dan formal untuk menentukan siapa yang dapat
memberikan perijinan bagi pasien inkompeten.

Pengecualian Terhadap Materi Pemberitahuan

Terdapat empat pengecualian yang dikenal secara umum terhadap


tugas dokter untuk membuat pemberitahuan meskipun keempatnya tidak
selalu ada.

Pertama, seorang dokter dapat saja dalam pandangan profesionalnya


menyimpulkan bahwa pemberitahuan memiliki ancaman kerugian terhadap
pasien yang memang dikontradiinkasikan dari sudut pandang medis. Hal ini
dikenal sebagai ”keistimewaan terapetik” atau ”kebijaksanaan
profesional”. Dokter dapat memilih untuk menggunakan kebijaksanaan
profesional terapetik untuk menjaga fakta medis pasien atau walinya ketika
dokter meyakini bahwa pemberitahuan akan membahayakan atau merugikan
pasien. Tergantung situasinya, dokter boleh namun tidak perlu membuka
informasi ini kepada keluarga dekat yang diketahui.
Kedua, pasien yang kompeten dapat meminta untuk tidak diberitahu.
Pasien dapat melepaskan haknya untuk membuat informed consent.

Ketiga, dokter berhak untuk tidak menyarankan pasien mengenai


masalah yang diketahui umum atau jika pasien memiliki pengetahuan aktual,
terutama berdasarkan pengalaman di masa lampau.

Keempat, tidak ada keharusan untuk memberitahu pada kasus


kegawatdaruratan dimana pasien tidak sadar atau tidak mampu memberikan
persetujuan sah dan bahaya gagal pengobatan sangat nyata.

Kasus Kegawatdaruratan dan Informed Consent

Umumnya, hukum melibatkan persetujuan pasien selama keadaan


gawat darurat. Pengadilan biasanya menunda pada keadaan-keadaan yang
membutuhkan penanganan segera untuk perlindungan nyawa atau kesehatan
pasien karena tidak memungkinkan untuk memperoleh persetujuan baik dari
pasiennya maupun orang lain yang memegang otoritas atas nama pasien.
Pengadilan mengasumsikan bahwa seorang dewasa yang kompeten, sadar,
dan tenang akan memberikan persetujuan untuk penanganan menyelamatkan
nyawa. Penting untuk didokumentasikan keadaan yang terjadi saat gawat
darurat. Pada keadaan tersebut, dokter harus mencatat hal-hal berikut ini : 1)
penanganan untuk kepentingan pasien, 2) terdapat situasi gawat darurat, 3)
keadaan tidak memungkinkan untuk mendapatkan persetujuan dari pasien
atau dari orang lain yang memegang otoritas atas nama pasien.

Kenyataan bahwa tatalaksana yang diberikan mungkin memang


disarankan secara medis atau mungkin akan berguna di waktu mendatang
tidaklah cukup untuk melakukannya tanpa persetujuan. Jika dokter tidak yakin
apakah kondisi pasien betul-betul membutuhkan tindakan segera tanpa
persetujuan, maka dokter tersebut perlu melakukan konfirmasi dengan
sejawatnya.

        Peraturan umum terkait persetujuan penanganan keadaan gawat darurat
pada seorang anak sama saja dengan orang dewasa. Pengadilan biasanya
menunda menyetujui dokter yang mengobati pasien anak “dewasa muda”
(diatas 15 tahun) yang sudah dapat memberi persetujuan penanganan
keadaan gawat darurat terhadap dirinya. Namun, tetap perlu diperhatikan
untuk membuat informed consent dengan menghubungi orang tua pasien
atau orang lain yang bertanggung jawab atas pasien tersebut.

Penyebab Kasus di Pengadilan


Pada dasarnya, kasus informed consent diambil dan gabungan dari hal-
hal berikut, yaitu: penganiayaan/serangan fisik, ketidakpedulian terkait tugas
pengungkapan, prasangka kurangnya informed consent, aspek etik dan
hukum terhadap harga diri, otonomi, dan kehidupan.

Kasus-kasus yang terkait dengan persetujuan pasien hampir semuanya


satu serangan dan berhubungan dengan perlakuan dokter yang disengaja dan
tidak lege artis. Sebagian dari kasus mula-mula menimbulkan pertanyaan
apakah kegagalan mendapatkan persetujuan dari pasien lebih dikarenakan
pengabaian daripada penganiayaan. Pada tahun 1957, Pengadilan Tinggi
California menahan dokter atas kasus kegagalan dokter tersebut memberikan
informasi yang cukup untuk membuat keputusan akibat pengabaian, bukan
karena penganiayaan.

Pengadilan menegaskan bahwa seorang dokter dikatakan melanggar


tugasnya terhadap pasien dan membuatnya harus bertanggung jawab atas
dirinya sendiri jika ia menolak memberikan keterangan yang diperlukan untuk
membuat informed consent yang benar. Pengadilan agaknya sekarang ini
setuju bahwa pengabaian merupakan penyebab yang tepat atas kasus tidak
dilakukannya pemberian keterangan informed consent secara benar kepada
pasien. Kasus yang didasari penganiyaan masih ditemukan namun biasanya
termasuk kasus dimana 1) pasien telah memberikan persetujuan untuk satu
tindakan namun tindakan lainnya sudah lebih dulu dilakukan, 2) dokternya
tidak mengungkapkan kecacatan yang dimungkinkan berasal dari
penanganan non-kegawatdaruratan yang diajukan, 3) dokter melakukan
prosedur eksperimental tanpa memberitahu dasar eksperimen tersebut pada
pasien.

Kasus yang semakin meningkat di pengadilan, mengharuskan juri


menentukan apakah dokter memang tidak memberikan informasi yang
diperlukan seorang pasien untuk membuat keputusan yang rasional dan
intelektual terhadap penanganan yang direncanakan pada dirinya. Beberapa
kasus di persidangan tidak membutuhkan kesaksian ahli, namun beberapa
kasus lainnya memerlukan kesaksian ahli menyangkut pertanyaan materialitas
informasi yang tidak diberikan, dan apakah kerugian yang diduga
berhubungan dengan proses diagnostik atau terapeutik. Bergantung pada
hukum yang berlaku, satu dari dua uji digunakan oleh juri ketika menentukan
apakah pasien akan menolak penanganan yang direncanakan : 1) tes subjektif,
dimana juri yang menentukan apakah pasien sebenarnya akan menolak, 2) tes
objektif, dimana juri menentukan apakah orang dengan berpikir secara
rasional dan jika berada dalam posisi pasien akan menolak penanganan yang
direncanakan. Kenyataanya, kerugian yang telah terjadi sering mewarnai
temuan juri.
Pertanyaan terkini yang masih sulit dijawab adalah seberapa banyak
informasi yang legal untuk diberikan. Peradilan berusaha memberikan
tuntunan pada profesi medis. Pada cobbs v. Grant, Pengadilan Tinggi
California menyatakan lebih jauh bahwa tidak dibutuhkan komunikasi semua
hal yang luas termasuk semua komplikasi yang mungkin (lengthy polysyllabic
discourse on all possible complications ) atau kursus singkat pendidikan
kedokteran (mini course of medical science).

Pandangan lainnya menurut Cantebury  v. Spence, batasan komunikasi


dokter ke pasien harus diukur dari kebutuhan pasien, dan kebutuhan tersebut
merupakan bahan informasi untuk keputusan pasien. Sehingga, tes untuk
menentukan apakah suatu risiko harus dikemukakan atau tidak ialah
kepentingan bahan informasi tersebut kepada keputusan pasien : semua risiko
yang berpotensi mempengaruhi keputusan pasien tidak boleh disembunyikan.
Dan untuk melindungi kepentingan pasien dalam menetukan keputusan
pengobatan terhadap dirinya, maka hukum sendirilah yang harus menjadi
acuan standar untuk pengungkapan yang adekuat.

Dalam Cantebury, dokter ditahan karena tidak memberitahukan 1%


risiko paralysis terkait dengan laminektomi. Pengadilan lebih menekankan
pentingnya nature of the undisclosed risk daripada angka matematis
kemungkinan kejadiannya.

Beberapa pengadilan yang mengikuti keputusan Cantebury telah


mengikuti acuan pasien yang logis. Namun secara umum, hukumnya agak
terbagi menjadi dua acuan, dengan beberapa peraturan mengambil hasil
percampuran satu tes dengan lainnya.

Bukti-bukti Pengungkapan yang Adekuat

Dokumentasi informed consent tertulis merupakan kunci penting bagi


kedua pihak dalam proses peradilan yang muncul kemudian. Bentuk
persetujuan tertulis yang ditandatangani pasien menunjukkan bukti
dokumentasi yang lebih kuat, dimana, setidaknya dalam satu hukum,
membentuk keyakinan bahwa persetujuan yang sah telah diperoleh. Perlu
juga dicantumkan waktu, lokasi, orang yang hadir, isi dialog, dan terapi yang
disetujui. Besarnya nilai bukti dari persetujuan tertulis tersebut bergantung
pada spesifisitas informasi dalam diskusi antara dokter dan pasien.

Bentuk informed consent dan catatan kemajuan pasien dari dokter


sebaiknya juga termasuk pernyatan oleh dokter yang menjelaskan bahwa
pasien mampu memahami perjalanan penyakitnya, prosedur diagnostik dan
terapi yang direncanakan, serta mampu memahami segala risiko mengikuti
saran yang diajukan, risiko tidak mengikuti saran yang diajukan, atau
mengikuti prosedur diagnostik atau terapeutik alternatif. Pernyataan tersebut
sering sudah mencakup juga pengakuan bahwa dokter telah menjawab
pertanyan-pertanyaan pasien. Penandatanganan formulir informed consent
kosong tidak akan dapat menjadi bukti yang mendukung. Begitu juga, jika
yang bertandatangan adalah orang yang buta huruf dan tidak ada indikasi
yang menunjukkan bahwa informed consent yang tepat sudah dilakukan.
Harus diingat bahwa undang-undang informed consent menandakan bahwa
terdapat keabsahan keyakinan jika informed consent ditandatangani.

Dalam menangani kasus terkait dengan instruksi atau informed consent


dalam rekam medis, segala hambatan bahasa harus dicatat sebagaimana
bekerja dengan penerjemah. Catatan dibuat dengan memperhatikan literatur
yang disediakan kepada pasien atau perwakilannya. Catatan itu penting untuk
mengkonfirmasi bahwa salinan instruksi dikomunikasikan dengan pasien dan
setiap kegagalan mematuhi instruksi seperti halnya konfirmasi bahwa pasien
diinformasikan risiko ketidakpatuhan.

Beban Bukti

Pada kasus malpraktik medis, kerugian telah diperkirakan akan terjadi


sebagai akibat dari kesalahan terapi. Dalam konteks informed consent, proses
peradilan dapat dimulai bahkan ketika tidak ada kesalahan terapi. Pasien akan
meng-komplain bukan karena terapi yang diabaikan namun adakah
penyampaian seluruh risiko atau alternatif yang tersedia sehingga pasien tidak
akan menjalani terapi dan kemudian tidak akan ada kerugian. Sebagaimana
dalam kasus malpraktik medis lainnya, penting untuk penggugat pada kasus
informed consent untuk menetapkan bahwa bahaya atau kerugian yang
dialami merupakan akibat dekat dari pelanggaran tugas atau pelanggaran
standar pelayanan medis. Ketika pasien tidak menerima informasi yang cukup
untuk membuat keputusan dan selanjutnya pasien tersebut mengalami luka,
pasien tersebut dapat dengan sukses menuntut dokternya bahkan ketika
persetujuan tradisional sudah ada dan penampilan dokternya sempurna.
Penting dicatatat, bahwa pasien harus dapat menunjukkan bukti bahwa
kurangnya informed consent (tidak menerima informasi yang cukup)
merupakan penyebab kerugian.

Aturan“tetapi untuk”(“but for” rule)

Bergantung pada peraturan yang terlibat, pengadilan menggunakan


dua pendekatan dalam menentukan apakah kurangnya informed consent
menyebabkan kerugian yaitu pendekatan subjektif (jika pasien yang
sebenarnya telah menolak consent) atau pendekatan objektif (jika seorang
individu yang berada dalam kondisi yang sama dengan pasien). Dari sudut
pandang praktis, terlepas dari pendekatan mana yang digunakan, jurilah yang
memutuskan apakah pasien akan menolak terapi jika dokternya memberitahu
informasi kerugian tersebut.

Pengetahuan mengenai berbagai risiko medis yang memang


diakibatkan dari praktek kedokteran diluar pengetahuan awam, dan oleh
karena itu dibutuhkan kesaksian ahli. Saksi ahli harus menyatakan dalam
kesaksiannya bahwa laporan kerugian tersebut merupakan akibat dari
tindakan diagnosis dan terapi dan kerugian tersebut memang merupakan
risiko terapi yang diketahui dapat menjadi penyebabnya.

Perlindungan Terhadap Kasus Kurangnya Informed Consent

Hal terbaik dan terbanyak diyakini untuk menghadapi kasus kurangnya


informed consent yaitu adanya sesi konseling yang didokumentasi. Dari
beberapa pengalaman profesi medis, banyak pasien yang lupa atau salah
menginterpretasi apa yang dokter katakan selama sesi informed consent.

Perlindungan lainnya mencakup kurangnya kapasitas seseorang


terhadap consent misalnya koma, psikosis, atau kelompok yang dianggap
lemah (dapat saja kompeten namun tidak didukung kapasitas hukum untuk
consent). Pertahanan lainnya mencakup pernyataan ”Memang kenapa!”
Dengan adanya pernyataan tersebut, pengadilan mengganggap dokternya
memaksa pasien menyetujui terapi meskipun sudah diinformasikan risiko
yang ada.

Perlindungan bahaya yang berlebihan (unduly alarming defense)


memberikan dokter pembela kesempatan untuk menilai bahwa materi
informasi dirahasiakan karena dokter tersebut bertindak dalam kepentingan
terbaik bagi pasien. Diterimanya pembelaan tersebut oleh juri tergantung dari
kemampuan dokter untuk membentuk pengetahuan yang dapat dipercaya
dari karakter emosional pasien. Pembelaan ini menjadi lebih rumit dalam
terminologinya dengan mengganti istilahnya dengan ” therapeutic
priviledge” (keistimewaan terapeutik). Dokter harus membuktikan bahwa ia
menggunakan keistimewaan terapeutik untuk kepentingan terbaik bagi
pasien; sebaliknya pasien akan menolak terapi yang efektif dan diperlukan
dan/atau akan memberikan pengaruh yang buruk bagi kesehatan pasien.

Asumsi risiko

Doktrin asumsi risiko berarti pasien mengerti segala kemungkinan risiko


yang tidak dapat dicegah baik mengikuti terapi maupun tidak mengikuti
terapi dan mengetahui persetujuan terhadap tindakan yang terpilih. Ketika
diaplikasikan, biasanya hal ini merupakan pembelaan yang baik terhadap
kasus pengabaian.
Bentuk persetujuan yang sudah ditandatangani disesuaikan dengan
waktu merupakan bukti yang sah sudah didapat. Asumsi itu dapat disangkal
oleh pasien bila pasien dapat menunjukkan kualitas informed consent-nya
kurang. Misalnya:

 Bahasanya terlalu teknis


 Perilaku dokter terlalu antagonis, agresif dan meremehkan
 Pasien terlalu emosional
 Pasien dalam keadaan sedasi
 Tidak ada waktu konsultasi

Beberapa perlindungan undang-undang terhadap informed consent :

 Pasien tidak ingin diberitahu atau bagaimanapun juga pasti akan


menjalankan tindakan yang direncanakan.
 Risiko sudah dianggap biasa atau kemungkinan terjadinya risiko sangat
kecil.
 Keistimewaan terapetik berhasil ketika dokter ingin menghindari efek
samping atau perburukan kesehatan pasien.
 Kegawatdaruratan atau situasi penting lainnya.

Tips Konseling Dalam Memeperoleh Informed Consent

Di bawah ini beberapa kiat ketika mencoba untuk memperoleh informed


consent:

1. Catat isi konseling.


Dokter seharusnya mencatat bukti bahwa informed consent telah
diberikan kepada pasien.
2. Menerima doktrin.
Beberapa dokter menentang penerimaan doktrin informed consent di
tempat praktiknya. Di lain pihak, tidak ada atau sedikit kesempatan doktrin
tersebut akan dihapuskan karena informed consent berasal dari hak
penentuan diri sendiri dan hak untuk berhati-hati terhadap pelanggaran
kebebasan pribadi seseorang. Apalagi informed consent memiliki nilai
moral dan etik yang kuat.
3. Hadirkan orang ketiga (tenaga kesehatan) saat melakukan konseling.
Pasien mungkin enggan bertanya kepada dokter, tetapi lebih nyaman
bertanya kepada tenaga kesehatan lain sebagai orang ketiga, sehingga
orang ketiga ini dapat memberitahu dokter apa yang tidak dimengerti oleh
pasien.

Hak Pasien Yang Kompeten Untuk Menolak Tatalaksana


Sumber-sumber hak untuk menolak tatalaksana, bahkan untuk lifesaving,
adalah :

1. Hukum pemukulan yang mencegah pemeriksaan pasien tanpa persetujuan.


2. Informed consent yang didasarkan atas kelalaian dan berasal dari hak
penentuan diri sendiri.
3.   Semangat demokrasi Amerika : Orang-orang Amerika mempunyai hak
untuk bertindak yang hampir tidak terkekang, asalkan tindakan tersebut
tidak mengganggu hak orang lain dan tidak melanggar undang-undang
tertentu atau undang-undang tertulis yang umum dipakai.
4. Konstitusi Amerika Serikat: Berdasarkan mahkamah agung Amerika, hak
untuk kebebasan pribadi (hak melawan pelanggaran kebebasan pribadi)
jelas tercantum dalam Bills of Rights, terutama amandemen ke-1, 3, 4, 5, 9.
Mahkamah agung menyatakan bahwa hak melawan pelanggaran
kebebasan pribadi mencakup hak untuk menikah dengan mengabaikan
ras, warna kulit, atau keyakinan, dan hak kepemilikan literature pornografi
secara pribadi, meskipun sebenarnya illegal.

Hak Untuk Menolak Tatalaksana Lifesaving Tidak Absolut

Hak untuk menolak tatalaksana tidak absolut. Beberapa pengecualian


dari prinsip ini terjadi dimana penolakan-penolakan tertentu bertentangan
dengan hukum Amerika seperti pemeliharaan hidup, pencegahan bunuh diri,
perlindungan pihak ketiga, dan perlindungan integritas profesi kedokteran
secara etis.

            Hak seseorang untuk menolak tatalaksana lifesaving diimbangi oleh


hukum Amerika mengenai kehidupan manusia. Ketika pengadilan dipetisi
untuk tidak mengindahkan hak pasien menolak tatalaksana, proses
peninjauan kasus ini tidak sewenang-wenang. Sedikitnya empat hukum
Amerika digunakan oleh sebagian besar pengadilan untuk menentukan
apakah pemerintah seharusnya tidak mengindahkan hak pasien untuk
menolak tatalaksana. Hanya dengan satu hukum di bawah ini cukup untuk
tidak mengindahkan hak pasien menolak tindakan.

1. Pemeliharaan hidup manusia adalah hukum tertinggi pemerintah.


2. Pemerintah memiliki hukum yang memaksakan untuk tidak mengindahkan
hak seseorang menolak tindakan lifesaving untuk melindungi pihak ketiga
(anak-anak, dewasa yang tidak kompeten, dan pasangan hidup) dari tidak
memilikinya kesempatan untuk memanfaatkan orangtua, wali, atau
pasangan hidup yang hidup sehat.
3. Pemerintah memiliki tanggungjawab untuk mencegah bunuh diri. Menurut
sudut pandang hukum, bunuh diri adalah tindakan secara langsung atau
mengganggu terhadap diri sendiri, terutama dirancang untuk mengakhiri
hidup.
4. Pemerintah memiliki hukum mengenai perlindungan integritas profesi
kedokteran secara etis. Pengadilan akan melindungi dokter dari
pemaksaan untuk melakukan atau tidak melakukan tindakan tanpa
pemeriksaan atau kesempatan mundur dari kasus.

            Abe Perlmutter adalah seorang laki-laki berusia 73 tahun yang


mengalami quadriplegia akibat sklerosis lateral amiotropik progresif yang
tidak dapat bernapas tanpa respirator mekanik. Perlmutter meminta respirator
dilepas. Dokternya menolak karena takut dituduh melakukan pembunuhan
terhadap seseorang tanpa berdasarkan hukum. Pengadilan mengatakan
bahwa pasien yang kompeten secara mental dan hukum, telah mengerti
semua konsekuensi, dapat meminta dihentikannya alat bantu hidup meskipun
tidak ada hukum pemerintah yang mengatur. Jika kasus semacam ini muncul,
dokter tidak perlu bertindak buru-buru dan sebaiknya konsultasi kepada
pengacara rumah sakit.

            Hubert Hamilton, seorang laki-laki berusia 35 tahun, penganut aliran


Jehovah, ditembak menembus dadanya pada tahun 1973. Pembedahan tanpa
transfusi akan mengakibatkan kematian. Hakim mengijinkan transfusi setelah
memastikan bahwa Hamilton telah mengerti sepenuhnya konsekuensi atas
keputusannya untuk tidak menyetujui transfusi darah, bahwa dia telah
bercerai dengan istrinya, dan dia mempunyai anak berusia dua tahun dimana
dirinya adalah satu-satunya semangat bagi anaknya. Kasus ini adalah salah
satu contoh pemerintah tidak mengindahkan hak pasien menolak tindakan
berdasarkan kepercayaannya untuk melindungi pihak ketiga yang tidak
bersalah.

Menolak Persetujuan

Padanan hak pasien untuk menyetujui tindakan adalah hak menolak


tindakan yang dianjurkan setelah pemberian keterangan oleh dokter, dan hak
membatalkan persetujuan sebelumnya. Pengadilan umumnya setuju bahwa
jika tidak ada kegawatdaruratan, seorang pasien dewasa yang kompeten
boleh menolak tindakan medis.

            Seorang laki-laki atau perempuan adalah pemilik badannya sendiri dan
boleh secara terbuka menolak tindakan medis untuk lifesaving. Seorang
dokter sangat mengetahui sebuah operasi atau tindakan medis lain yang
diperlukan atau penting bagi pasien, tetapi hukum tidak mengijinkan dokter
mengganti keputusannya tersebut dengan berbagai bentuk penipuan atau
pemalsuan.
            Hukum di Amerika menegakkan hak seorang dewasa yang kompeten
untuk menolak tindakan bahkan tindakan lifesaving. Pengadilan umumnya
mengaplikasikan prinsip hukum tradisional bahwa tidak boleh menyentuh
seseorang tanpa persetujuan, atau penegakan amandemen pertama
mengenai hak kebebasan melaksanakan ajaran agama mendahului kewajiban
dokter untuk merubah tindakan. Misalnya anggota aliran Jehovah yang
menolak transfusi darah berdasarkan interpretasi harfiah dari larangan Injil
untuk meminum darah. Namun, beberapa pengadilan berusaha mencari dasar
yang bias digunakan untuk melakukan tindakan yang diperlukan. Pengadilan
tersebut biasanya mengesahkan tindakan untuk melindungi hidup atau
kesehatan anak-anak dan bayi atas dasar bahwa anak-anak akan ditelantarkan
dibawah undang-undang pemerintah jika tatalaksana ditolak atau pemerintah
berhutang tanggungjawab penting untuk melindungi anak-anaknya.
Beberapa pengadilan menyatakan bahwa pasien tua yang menderita penyakit
pada stadium terminal dapat menolak tindakan yang memperpanjang
hidupnya, terutama jika tindakan tersebut sangat sakit dan bahwa rumah sakit
serta dokter yang terlibat tidak melakukan tindakan kriminal.

            Penolakan tindakan umumnya diacuhkan oleh pengadilan. Namun


demikian, persetujuan atau penolakan pasien terhadap tindakan medis harus
tetap dicatat di dalam rekam medis.

 Informed Refusal

  Padanan doktrin informed consent adalah informed refusal. Pengadilan


memperluas konsep informed consent mencakup informed refusal. Ketika
pasien atau keluarganya menolak diagnosis atau tindakan, mereka seharusnya
dijelaskan mengenai konsekuensi dari penolakannya secara profesional dan
rahasia. Jika seorang pasien direncanakan untuk mendapat pemeriksaan atau
tindakan medis, dokter harus memberikan keterangan mengenai semua hal
mencakup risiko-risiko yang ingin diketahui pasien sebelum tindakan atau
prosedur dilakukan.

 Perintah ‘No Code’ Untuk Pasien yang Kompeten

Pada kasus dimana seorang pasien yang mampu menyetujui atau


menolak perintah do not resuscitate, penandaan ‘no code’ seharusnya
tidak dikeluarkan tanpa persetujuan pasien. Seorang dokter dapat dikenakan
ganti rugi pada kesalahan dalam menentukan apakah seorang pasien
kompeten dan menderita penyakit stadium terminal sebelum pasien tersebut
menyetujui pemasukan ‘no code’ pada berkasnya.

Anda mungkin juga menyukai