Anda di halaman 1dari 61

A.

Komponen-Komponen kurikulum

Kurikulum dapat diumpamakan sebagai suatu organisme manusia ataupun

binatang, yang memiliki susunan anatomi tertentu. Unsur atau komponen-komponen dan

anatomi tubuh kurikulum yang utama adalah:tujuan, isi atau materi, proses atau sistem

penyampaian dan media, serta evaluasi. Keempat komponen tersebut berkaitan erat satu

sama lain.

Suatu kurikulum harus memilild kesesuaian atau relevansi. Kesesuaian mi

meliputi dua hal. Pertama kesesuaian antara kurikulum dengan tuntutan, kebutuhan,

kondisi, dan perkembangan masyarakat. Kedua kesesuaian antarkomponen-komponen

kurikulum, yaitu isi sesuai dengan tujuan, proses sesuai dengan isi dan tujian, demikian

juga evaluasi sesuai dengan proses, isi dan tujuan kurikulum.

1. Tujuan

Telah dikemukakan bahwa, dalam kurikulum atau pengajaran, tujuan memegang

peranan penting, akan mengarahkan semua kegiatan pengajaran dan mewarnai

komponen-komponen kurikulum lainnya. Tujuan kurikulum dirumuskan berdasarkan dua

hal. Pertama perkembangan tuntutan, kebutuhan dan kondisi masyarakat. Kedua, didasari

oleh pemikiran-pemikiran dan terarah pada pencapaian nilai-nilai filosofis, terutama

falsafah negara. Kita mengenal beberapa kategori tujuan pendidikan, yaitu tujuan umum

dan khusus, jangka panjang, menengah, dan jangka pendek.

Dalam kurikulum pendidikan dasar dan menengah 1975/1976 dikenal kategori

tujuan sebagai berikut. Tujuan pendidikan nasional merupakan tujuari jangka panjang,

tujuan ideal pendidikan bangsa Indonesia. Tujuan institusional, merupakan sasaran

pendidikan sesuatu lembaga pendidikan. Tujuan kurikuler, adalah tujuan yang ingin
dicapai oleh sesuatu program studi. Tujuan instruksional yang merupakan target yang

harus dicapai oleh sesuatu mata pelajaran. Yang terakhir mi, masth dirinci lagi menjadi

tujuan instruksional umum dan khusus atau disebut juga objekt yang merupakan tujuan

pokok bahasan. Tujuan pendidikan nasional yang berjangka panjang merupakan suatu

tujuan pendidikan umum, sedangkan tujuan isntruksional yang berjangka waktu cukup

pendek merupakan tujuan yang bersifat khusus. Tujuan-tujuan khusus dijabarkan dan

sasaran-sasaran pendidikan yang bersifat umum yang biasanya abstrak dan luas, menjadi

sasaransasaran khusus yang lebih konkret, sempit, dan terbatas.

Dalam kegiatan belajar-mengajar di dalam kelas, tujuan-tujuan khusus lebih

diutamakan, karena lebih jelas dan mudah pencapaiannya. Dalam mempersiapkan

pelajaran, guru menjabarkan tujuan mengajarnya dalam bentuk tujuan-tujuan khusus atau

objectives yang yang bersifat operasional. Tujuan demikian akan menggambarkan “what

will the student be able to do as a result of the teaching that he was unable to do before”

(Rowntree, 1974: 5). Mengajar dalam kelas lebth menekankan tujuan khusus, sebab hal

it-u akan dapat memberikan gambaran yang lebih konkret, dan menekankan pada

perilaku siswa, sedang perumusan tujuan umum lebih bersifat abstrak, - pencapaiannya

memerlukan waktu yang lebih lama dan lebih sukar diukur.

Tujuan-tujuan mengajar dibedakan atas beberapa kategori, sesuai dengan perilaku

yang menjadi sasarannya. Gage dan Briggs mengemukakan lima kategori tujuan, yaitu

intellectual skills, cognitive strategies, verbal inforn-mtion, motor skills and attitudes

(1974, Mm. 23-24). Bloom mengemukakan tiga kategori tujuan mengajar sesuai dengan

domain-domain perilaku individu, yaitu domain kognitif, afektif, dan psikomotor.

Domain kognitif berkenaan dengan penguasaan kemampuan-kemampuan intelektual atau


berpikir. Domain afektif berkenaan dengan penguasaan dan pengembangan perasaan,

sikap, minat, dan nilai-nilai. Domain psikomotor menyangkut penguasaan dan

pengembangan keterampilan-keterampilan motorik.

Tujuan-tujuan khusus mengajar juga memiliki tingkat kesukaran yang berbeda-

beda. Bloom, (1975) membagi domain kognitif atas enam tingkatan dan yang paling

rendah, yaitu: pengetahuan, pemahaman, aplikasi, analisis, sintesis, dan evaluasi. Untuk

domain afektif Krathwohl dan kawan-kawan (1974) membaginya atas lima tingkatan

yang juga berjenjang, yaitu: menerima, merespons, menilai, mengorganisasi nilai, dan

karakterisasi nilai-nilai. Untuk domain psikomotor Anita Harrow (1971) membaginya

atas enam jenjang, yaitu: gerakan refleks, gerakan-gerakan dasar, kecakapan mengamati,

kecakapan jasmaniah, gerakan-gerakan keterampilan dan komunikasi yang

berkesinambungan.Perumusan tujuan mengajar yang berbentuk tujuan khusus

(objective),

memberikan beberapa keuntungan:

a) Tujuan khusus memudahkan dalam mengkomunikasikan maksud kegiatan mengajar-

belajar kepada siswa. Berdasarkan penelitian Mager dan Clark (1963) siswa yang

mengetahui tujuan-tujuan khusus suatu pokok bahasan, diberikan referensi dan sumber

yang memadai, dapat belajar sendiri dalam waktu setengah dan waktu belajar dalam kelas

biasa.

b) Tujuan khusus, membantu memudahkan guru-guru memilih dan menyusun bahan ajar.

c) Tujuan khusus memudahkan guru menentukan kegiatan belajar dan media mengajar.
d) Tujuan khusus memudahkan guru mengadakan penilaian. Dengan tujuan khusus guru

lebth mudah menentukan bentuk tes, lebth mudah merumuskan butir tes dan lebih mudah

menentukan kriteria pencapaiannya.

Di samping keuntungan-keuntungan di atas pengembangan tujuantujuan mengajar

yang bersifat khusus menghadapi beberapa kesukaran, yaitu: 1) Sukar menyusun tujuan-

tujuan khusus untuk domain afektif, 2) Sukar menyusun tujuan-tujuan khusus pada

tingkat tinggi. Untuk mengatasi kedua kesukaran di atas diperlukan keahlian, latihan dan

pengalaman yang mencukupi dan guru-guru. Kekurangan keahlian, latihan dan

pengalaman akan membawa guru-guru pada perumusan tujuan-tujuan yang bertaraf

rendah, yang mudah diukur. Kelemahan di atas akan menyebabkan penyusunan tujuan-

tujuan khusus bersifat mekanistis, dengan jumlah tujuan yang sangat banyak. Bagaimana

perumusan sesuatu tujuan khusus atau objective yang baik?

Beberapa ahli seperti Mager (1962), Banathy (1968), Rowntree (1974),

Gagne (1974), De Cecco (1977) dan Davies (1981) sepakat bahwa, tujuankhusus

merupakan suatu perilaku yang diperlihatkan siswa pada akhir iatu kegiatan belajar. Ahli-

ahli di atas juga memberikan beberapa sffikasi dan tujuan-tujuan mengajar khusus, yaitu:

a) Menggambarkan apa yang diharapkan dapat dilakukan oleh siswa, dengan: 1)

menggunakan kata-kata kerja yang menunjukkan tingkah laku yang dapat diamati, 2)

menunjukkan stimulus yang membangkitkan tingkah laku siswa, 3) memberikan

pengkhususan tentang sumber-sumber yang dapat digunakan siswa dan orang-orang yang

dapat diajak bekerjasama.

b) Menunjukkan mutu tingkah laku yang diharapkan dilakukan oleh siswa, dalam bentuk:

1) ketepatan atau ketelitian respons, 2) kecepatan, panjangnya dan frekeunsi respons.


c) Menggambarkan kondisi atau lingkungan yang menunjang tingkah kku siswa, berupa:

1) kondisi atau lingkungan fisik, 2) kondisi atau lingkungan psikologis.

2. Bahan ajar

Siswa belajar dalam bentuk interaksi dengan lingkungannya, lingkungan orang-orang,

alat-alat dan ide-ide. Tugas utama seorang guru adalah menciptakan lingkungan tersebut,

untuk mendorong siswa melakukan interaksi yang produktif dan memberikan

pengalaman belajar yang dibutuhkan. Kegiatan dan Iingkungan demikian dirancang

dalam suatu rencana mengajar, yang mencakup komponen-komponen: tujuan khusus,

sekuens bahan ajaran, strategi mengajar, media dan sumber belajar, serta evaluasi hasil

mengajar. Karena perumusan tujuan khusus strategi, dan evaluasi hasil mengajar dibahas

secara tersendiri, maka dalam bagian mi yang akan diuraikan hanya sekuens bahan ajar.

a. Sekuens bahan ajar

Untuk mencapai flap tujuan mengajar yang telah ditentukan diperlukan bahan ajar. Bahan

ajar tersusun atas topik-totpik dan sub-subtopik tertentu. Tiap topik atau subtopik

mengandung ide-ide pokok yang relevan dengan tujuan yang telah ditetapkan. Topik-

topik atau sub-subtopik tersebut tersusun dalam sekuens tertentu yang membentuk suatu

sekuens bahan ajar.

Ada beberapa cara untuk menyusun sekuens bahan ajar, yaitu:

1) Sekuens kronologis. Untuk menyusun bahan ajar yang mengandung urutan waktu,

dapat digunakan sekuens kronologis. Peristiwaperistiwa sejarah, perkembangan

historis suatu institusi, penemuanpenemuan ilmiah dan sebagainya dapat disusun

berdasarkan sekuens kronologis.


pembelajaran dianalisis, kemudian dicari suatu hierarki urutan bahan ajar untuk mencapai

tujuan-tujuan tersebut. Hierarki tersebut menggambarkan urutan perilaku apa yang mula-

mula harus dikuasai siswa, berturut-turut sampai dengan perilaku terakhir. Untuk bidang

studi tertentu dan pokok-pokok bahasan tertentu hierarki juga dapat mengikuti hierarki

tipe-tipe belajar dan Gagne. Gagne mengemukakan 8 tipe belajar yang tersusun secara

hierarkis mulai dan yang paling sederhana: signal learning, stimulus-respons learning,

motor-chain learning, verbal association, multiple discrimination, concept learning,

principle learning, dan problem-solving learning. (Gagne, 1970: 63-64).

3.Strategi mengajar

Penyusunan sekuens bahan ajar berhubungan erat dengan strategi atau metode mengajar.

Pada waktu guru menyusun sekuens suatu bahan ajar, ia juga harus memikirkan strategi

mengajar mana yang sesuai untuk menyajikan bahan ajar dengan urutan seperti itu.

Ada beberapa strategi yang dapat digunakan dalam mengajar. Rowntree (1974: 93-97)

membagi strategi mengajar itu atas Exposition - Discovery Learning dan Groups -

Individual Learning. Ausubel and Robinson (1969 : 43-45) membaginya atas strategi

Reception Learning- Discovery Learning dan Rote Learning- Meaningful Lerning.

a) Reception/Exposition Learning - Discovery Learning.

Reception dan exposition sesungguhnya mempunyai makna yang sama, hanya berbeda

dalam pelakunya. Reception learning dilthat dan sisi siswa sedangkan exposition dilihat

dan sisi guru. Dalam exposition atau reception learning keseluruhan bahan ajar

disampaikan kepada siswa dalam bentuk akhir atau bentuk jadi, baik secara lisan maupun

secara tertulis. Siswa tidak dituntut untuk mengolah, atau melakukan aktivitas lain

kecuali menguasainya. Dalam discovery learning bahan ajar tidak disajikan dalam bentuk
akhir, siswa dituntut untuk melakukan berbagai kegiatan menghimpun informasi,

membandingkan, mengkategorikan, menganalisis, mengintegrasikan, mereorganisasikan

bahan serta membuat kesimpulankesimpulan. Melalui kegiatan-kegiatan tersebut siswa

akan menguasainya, menerapkan, serta menemukan hal-hal yang bermanfaat bagi

dininya.

b) Rote learning - Meaningful Learning.

Dalam rote learning bahan ajar disampaikan kepada siswa tanpa mempenhatikan anti atau

maknanya bagi siswa. Siswa menguasai bahan ajar dengan menghafalkannya. Dalam

meaningful learning penyampaian bahan mengutamakan maknanya bagi siswa. Menurut

Ausubel and Robinson (1970: 52-53) sesuatu bahan ajar bermakna bila dihubungkan

dengan struktur kogrntif yang ada pada siswa. Struktur kognitif terdiri atas fakta-fakta,

data, konsep, proposisi, dalil, hukum dan teori-teori yang telah dikuasai siswa

sebelumnya, yang tersusun membentuk suatu struktur dalam pikiran anak. Lebih lanjut

Ausubel and Robinson menekankan bahwa reception-discovery learning dan rote-

meaningful learning dapat dikombinasikan satu sama lain sehingga membentuk 4

kombinasi strategi belajar-mengajar, yaitu: a) meaningful-reception learning, b) rote-

reception learning, c) meaningful-discovery learning, dan d) rote-discovery learning.

c) Group Learning - Individual Learning.

Pelaksanaan discovery learning menuntut aktivitas belajar yang bersifat individual atau

dalam kelompok-kelompok kecil. Discovery learning dalam bentuk kelas pelaksanaannya

agak sukar dan mempunyai beberapa masalah. Masalah pertama, karena kemampuan dan

kecepatan belajar siswa tidak sama, maka kegiatan discovery hanya akan dilakukan oleh

siswa-siswa yang pandai dan cepat, siswa-siswa yang kurang dan lambat, akan mengikuti
saja kegiatan dan menerima temuan-temuan anak-anak cepat. Di pihak lain anak-anak

lambat akan menderita kurang motif belajar, acuh tak acuh, dan kemungkinan menjadi

pengganggu kelas. Masalah lain adalah kemungkinan untuk bekeija sama, dalam kelas

besar tidak mungkin semua anak dapat bekerja sama. Kerja sama hanya akan dilakukan

oleh anak-anak yang aktif, yang lain mungkin hanya akan menanti atau menonton.

Dengan demikian akan terjadi perbedaan yang semakin jauh antara anak pandai dengan

yang kurang.

4. Media mengajar

Media mengajar merupakan segala macam bentuk perangsang dan alat yang disediakan

guru untuk mendorong siswa belajar. Perumusan di atas menggambarkan pengertian

media yang cukup luas, mencakup berbagai bentuk perangsang belajar yang sering

disebut sebagai audio visual aid, serta berbagai bentuk alat penyaji perangsang belajar,

berupa alat-alat elektronika seperti mesin pengajaran, film, audio cassette, video cassette,

televisi, dan komputer.

Rowntree (1974: 104-113) mengelompokkan media mengajar menjadi

lirna macam dan disebut Modes, yaitu Interaksi insani, realita, pictorial, simbol

tertulis, dan rekaman suara.

a)

Interaksi insani. Media mi merupakan komunikasi langsung antara dua orang atau lebih.

Dalam komunikasi tersebut kehadiran sesuatu pihak secara sadar atau tidak sadar

mempengaruhi perilaku yang lainnya.

5.

Evaluasi pengaj aran


Komponen utama selanjutnya setelah rumusan tujuan, bahan ajar, strategi mengajar, dan

media mengajar adalah evaluasi dan penyempurnaan. Evaluasi ditujukan untuk menilai

pencapaian tujuan-tujuan yang telah ditentukan serta menilai proses pelaksanaan

mengajar secara keseluruhan. Tiap kegiatan akan memberikan umpan balik, demikian

juga dalam pencapaian tujuan-tujuan belajar dan proses pelaksanaan mengajar. Umpan

balik tersebut digunakan untuk mengadakan berbagai usaha penyempurnaan baik bagi

penentuan dan perumusan tujuan mengajar, penentuan sekuens bahan ajar, strategi, dan

media mengajar.

a. Evaluasi has ii belajar-mengajar

Untuk menilai keberhasilan penguasaan siswa atau tujuan-tujuan khusus yang telah

ditentukan, diadakan suatu evaluasi. Evaluasi mi disebut juga evaluasi hasil belajar-

mengajar. Dalam evaluasi mi disusun butir-butir soal untuk mengukur pencapaian tiap

tujuan khusus yang telah ditentukan. Untuk tiap tujuan khusus minimal disusun satu butir

soal. Menurut lingkup luas bahan dan jangka waktu belajar dibedakan antara evaluasi

formatif dan evaluasi sumatif.

Evaluasi formatif ditujukan untuk menilai penguasaan siswa terhadap tujuan-tujuan

belajar dalam jangka waktu yang relatif pendek. Tujuan utama dan evaluasi formatif

sebenarnya lebih besar ditujukan untuk menilai proses pengajaran. Dalam kurikulum

pendidikan dasar dan menengah evaluasi formatif digunakan untuk menilai penguasaan

siswa setelah selesai mempelajari satu pokok bahasan. Hasil evaluasi formatif mi

terutama digunakan untuk memperbaiki proses belajar-mengajar dan membantu

mengatasi kesulitan-kesulitan belajar siswa. Dengan demikian evaluasi formatif, selain

berfungsi menilai proses, juga merupakan evaluasi atau tes diagnostik. Gronlund
(1976:489) mengemukakan fungsi tes formatif sebagai berikut: (1) to plan corrective

action for overcoming learning deficiences, (2) to aid in motivating learning, dan (3) to

increase retention and transfer or learning.

Evaluasi sumatif ditujukan untuk menilai penguasaan siswa terhadap tujuan-tujuan yang

lebih luas, sebagai hasil usaha belajar dalam jangka waktu yang cukup lama, satu

semester, satu tahun atau selama jenjang pendidikan. Evaluasi sumatif mempunyai fungsi

yang lebth luas daripada evaluasi formatif. Dalam kurikulum pendidikan dasar dan

menengah, evaluasi sumatif dimaksudkan untuk menilai kemajuan belajar siswa

(kenaikan kelas, kelulusan ujian) serta menilai efektivitas program secara menyeluruh. mi

sesuai dengan pendapat Grondhmd (1976: 499) bahwa evaluasi suinatif berguna bagi: (1)

assigning grades, (2) reporting learning progress to parents, pupils, and school personnel,

and (3) improving learning and instruction.

Untuk mengukur tingkat penguasaan siswa terhadap tujuan-tujuan yang telah ditentukan

atau bahan yang telah diajarkan ada dua macam norma yang digunakan, yaitu norm

referenced dan criterion referenced (Chauhan, 1979: 170- 177, Gronlund, 1976: 18-19,

Thorndike, 1976: 654). Dalam cirterion referenced penguasaan siswa yang diukur dengan

sesuatu tes hasil belajar dibandingkan dengan sesuatu kriteria tertentu umpamanya 80%

dan tujuan atau bahan yang diberikan. Dengan demikian dalam cirterion referenced ada

suatu kriteria standar. Dalam norm referenced, tidak ada suatu kriteria sebagai standar,

penguasaan siswa dibandingkan dengan tingkat penguasaan kawan-kawannya satu

kelompok. Dengan demikian norma yang digunakan adalah norma kelompok, yang lebih

bersifat relatif. Kelompok mi dapat berupa kelompok kelas, sekolah, daerah, ataupun

nasional. Dalam implementasi kurikulum atau pelaksanaan pengajaran, criterion


referenced digunakan pada evaluasi formatif, sedangkan norm referenced digunakan pada

evaluasi sumatif.

b. Evaluasi pelaksanaan mengajar

Komponen yang dievaluasi dalam pengajaran bukan hanya hasil belajarmengajar tetapi

keseluruhan pelaksanaan pengajaran, yang meliputi evaluasi komponen tujuan mengajar,

bahan pengajaran (yang menyangkut sekuens bahan ajar), strategi dan media pengajaran,

serta komponen evaluasi mengajar sendiri.

Stufflebeam dan kawan-kawan (1977: 243) mengutip Model Evaluasi dan EPIC, bahwa

dalam program mengajar komponen-komponen yang dievaluasi meliputi: komponen

tingkah laku yang mencakup aspek-aspek (subkomponen): kognitif, afektif dan

psikomotor; komponen mengajar mencakup subkomponen: isi, metode, organisasi,

fasilitas dan biaya; dan komponen populasi, yang mencakup: siswa, guru, administrator,

spesialis pendidikan, keluarga, dan masyarakat. Untuk mengevaluasi

komponenkomponen dan proses pelaksanaan mengajar bukan hanya digunakan tes tetapi

juga digunakan bentuk-bentuk nontes, seperti observasi, studi dokumenter, analisis hasil

pekerjaan, angket dan checklist. Evaluasi dapat dilakukan oleh guru atau oleh pihak-

pihak lain yang berwenang atau diberi tugas, seperti Kepala Sekolah dan Pengawas, tim

evaluasi Kanwil atau Pusat. Sesuai dengan prinsip sistem, evaluasi dan umpan balik

diadakan secara terus menerus, walupun tidak semua komponen mendapat evaluasi yang

sama kedalaman dan keluasannya. Karena sifathya menyeluruh dan terus menerus

tersebut maka evaluasi pelaksanaan sistem mengajar dapat dipandang sebagai suatu

monitoring.

6. Penyempurnaan pengajaran
Hasil-hasil evaluasi, baik evaluasi hasil belajar, maupun evaluasi pelaksanaan mengajar

secara keseluruhan, merupakan umpan balik bagi penyempurnaan-penyempurnaan lebih

lanjut. Komponen apa yang disempurnakan, dan bagimana penyempurnaan tersebut

dilaksanakan? Sesuai dengan komponen-komponen yang dievaluasi, pada dasarnya

semua komponen mengajar mempunyai kemungkinan untuk disempurnakan. Suatu

komponen mendapatkan prioritas lebih dulu atau mendapatkan penyempurnaan lebih

banyak, dilihat dan peranannya dan tingkat kelemahannya (Rowntree, 1974: 150-151).

Penyempurnaan juga mungkin

dilakukan secara langsung begitu didapatkan sesuatu informasi umpan balik, atau

ditangguhkan sampai jangka waktu tertentu bergantung pada urgensinya dan

kemungkinannya mengadakan penyempurnaan. Penyemirnaan mungkin dilaksanakan

sendiri oleh guru, tetapi dalam hal-hal tentu mungkin dibutuhkan bantuan atau saran-

saran orang lain baik sesama personalia sekolah atau ahli pendidikan dan luar sekolah.

Piyempumaan juga mungkin bersifat menyeluruh atau hanya menyangkut bagian-bagian

tertentu. Semua hal tersebut bergantung pada k2simpulan-kesimpulan hasil evaluasi.

B. Desain Kurikulum

Desain kurikulum menyangkut pola pengorganisasian unsur-unsur atau komponen

kurikulum. Penyusunan desain kurikulum dapat dilihat dan dua dimensi, yaitu dimensi

horisontal dan vertikal. Dimensi horisontal berkenaan dengan penyusunan dan lingkup isi

kurikulum. Susunan lingkup ml sering diintegrasikan dengan proses belajar dan

mengajarnya. Dimensi vertikal menyangkut penyusunan sekuens bahan berdasarkan

urutan tingkat kesukaran. Bahan tersusun mulai dan yang mudah, kemudian menuju pada

yang lebih sulit, atau mulai dengan yang dasar diteruskan dengan yang lanjutan.
Berdasarkan pada apa yang menjadi fokus pengajaran, sekurangkurangnya dikenal tiga

pola desain kurikulum, yaitu:

Subject centered design, suatu desain kurikulum yang berpusat pada bahan ajar.

Learner centered design, suatu desain kurikulum yang mengutamakan peranan siswa.

Problems centered design, desain kurikulum yang berpusat pada masalah-masalah yang

dihadapi dalam masyarakat.

Walaupun bertolak dan hal yang sama, dalam suatu pola desain terdapat beberapa variasi

desain kunikulum. Dalam subject centered design dikenal ada: the subject design, the

disciplines design dan the broad fields design. Pada problems centered design dikenal

pula the areas of living design dan the core design.

1. Subject centered design

Subject centred design curriculum merupakan bentuk desain yang paling populer, paling

tua dan paling banyak digunakan. Dalam subject centered design, kurikulum dipusatkan

pada isi atau materi yang akan diajarkan. Kurikulum tersusun atas sejumlah mata-mata

pelajaran, dan mata-mata

pelajaran tersebut diajarkan secara terpisah-pisah. Karena terpisah pisahnya itu maka

kurikulum ml disebut juga separated subject curriculum.

Subject centered desain berkembang dan konsep pendidikan kiasik yang menekankan

pengetahuan, nilai-nilai dan warisan budaya masa lalu, dan berupaya untuk

mewariskannya kepada generasi berikutnya. Karena mengutamakan isi atau bahan ajar

atau subject matter tersebut, maka desain kurikulum mi disebut juga subject academic

curriculum.
Model design curriculum mi mempunyai beberapa kelebihan dan kekurangan. Beberapa

kelebthan dan model desain kurikulum mi adalah:

1) mudah disusun, dilaksanakan, dievaluasi, dan disempurnakan, 2) para pengajarnya

tidak perlu dipersiapkan khusus, asal menguasai ilmu atau bahan yang akan diajarkani

sering dipandang sudah dapat menyampaikannya. Beberapa kritik yang juga merupakan

kekurangan model desain mi, adalah: 1) karena pengetahuan diberikan secara terpisah-

pisah, hal itu bertentangan dengan kenyataan, sebab dalam kenyataan pengetahuan itu

merupakan satu kesatuan, 2) karena mengutamakan bahan ajar maka peran peserta didik

sangat pasif, 3) pengajaran lebih menekankan pengetahuan dan kehidupan masa lalu,

dengari demikian pengajaran lebih bersifat verbalistis dan kurang praktis. Atas dasar

tersebut, para pengkritik menyarankan perbaikan ke arah yang lebih terintegrasi, praktis,

dan bermakna serta memberikan peran yang lebth aktif kepada siswa.

a. The Subject Design

The subject design curriculum merupakan bentuk desain yang paling murni dan subject

centered design. Materi pelajaran disajikan secara terpisah-pisah dalam bentuk mata-mata

pelajaran. Model desain mi telah ada sejak lama. Orang-orang Yunani dan kemudian

Romawi mengembangkan Trivium dan Quadrivium. Trivium meliputi gramatika, logika,

dan retorika, sedangkan Quadrivium, matematika, geometri, astronomi, dan musik. Pada

saat itu pendidikan tidak diarahkan pada mencari nafkah, tetapi pada pembentukan

pribadi dan status sosial (Liberal Art). Pendidikan hanya diperuntukkan bagi anak-anak

goongan bangsawan yang tidak usah bekerja mencari nafkah.

Pada abad 19 pendidikan tidak lagi diarahkan pada pendidikan umum (Liberal Art), tetapi

pada pendidikan yang lebih yang bersifat praktis, berkenaan dengan mata pencaharian
(pendidikan vokasional). Pada saat itu mulai berkembang mata-mata pelajaran fisika,

kimia, biologi, bahasa yang masih bersifat teoretis, juga berkembang mata-mata pelajaran

praktis seperti pertanian, ekonomi, tata buku, kesejahteraan keluarga, keterampilan, dan

lain-lain. Isi pelajaran diambil dan pengetahuan, dan nilai-nilai yang telah ditemukan oleh

ahli-ahli sebelumnya. Para siswa dituntut untuk menguasai semua pengetahuan yang

diberikan, apakah mereka menyenangi atau tidak, membutuhkannya atau tidak. Karena

pelajaran-pelajaran I,.

4)

5)

1)

2)

ut diberikannya secara terpisah-pisah, maka siswa menguasainya irpisah-pisah pula.

Tidak jarang siswa menguasai bahan hanya pada hafalan, bahan dikuasai secara

verbalistis.

Lebjh rinci kelemahan-kelemahan bentuk kurikulum mi adalah:

Kurikulum memberikan pengetahuan terpisah-pisah, satu terlepas dan yang laiiinya.

Isi kurikulum diambil dan masa lalu, terlepas dan kejadian-kejadian yang hangat, yang

sedang berlangsung saat sekarang. Kurikulum mi kurang memperhatikan minat,

kebutuhan dan pengalaman para peserta didik.

Isi kurilculum disusun berdasarkan sistematika ilmu sering menimbulkan kesukaran di

dalam mempelajari dan menggunakannya. Kurikulum lebih mengutamakan isi dan

kurang memperhatikan cara penyampaian. Cara penyampaian utama adalah ekspositori

yang menyebabkan peranan siswa pasif.


Meskipun ada kelemahan-kelemahan di atas, bentuk desain kurikulum mi mempunyai

beberapa kelebihan. Karena kelebihan-kelebihan tersebut bentuk kurikulum mi lebih

banyak dipakai.

Karena materi pelajaran diambil dan ilmu yang sudah tersusun secara sitematis logis,

maka penyusunannya cukup mudah. Bentuk ml sudah dikenal lama, baik oleh guru-guru

maupun orang tua, sehingga lebih mudah untuk dilaksanakan.

Bentuk mi memudahkan para peserta didik untuk mengikuti pendidikan di Perguruan

Tinggi, sebab pada Perguruan Tinggi umumnya digunakan bentuk ml.

Bentuk mi dapat dilaksanakan secara efisien, karena metode utamanya adalah metode

ekspositori yang dikenal tingkat efisiennya cukup tinggi.

Bentuk mi sangat ampuh sebagai alat untuk melestarikan dan mewariskan wanisan

budaya masa lalu.

Dengan adanya kelemahan-kelemahan di atas pengembang kurikulum subject design

tidak tinggal diam, mereka berusaha untuk memperbaikinya. Dalam rumpun subject

centerd, the broad field design merupakan pengembangan dan bentuk mi. Begitu juga

pengembangan bentuk-bentuk lain di luar subject centered, seperti activity atau

experience design, areas of living design dan core design.

3)

4)

5)

b. The Disciplines Design

Bentuk ml merupakan pengembangan dan subject design, keduanya masih menekankan

kepada isi atau mateni kurikulum. Walaupun bertolak dan hal yang sama tetapi antara
keduanya terdapat perbedaan. Pada subject design belum ada kriteria yang tegas tentang

apa yang disebut subject (ilmu). Belum ada perbedaan antara matematika, psikologi

dengan teknik atau cara mengemudi, semuanya disebut subject. Pada disciplines design

kriteria tersebut telah tegas, yang membedakan apakah suatu pengetahuan itu ilmu atau

subject dan bukan adalah batang tubuh keilmuannya. Batang tubuh keilmuan menentukan

apakah suatu bahan pelajaran itu disiplin ilmu atau bukan. Untuk menegaskan hal itu

mereka menggunakan istilah disiplin.

Isi kurikulum yang diberikan di sekolah adalah disiplin-disiplin ilmu. Menurut

pandangan mi sekolah adalah mikrokosmos dan dunia intelek, batu pertama dan hal itu

adalah isi dan kurikulum. Para pengembang kurikulum dan aliran mi berpegang teguh

pada disiplin-disiplin ilmu seperti: fisika, biologi, psikologi, sosiologi, dan sebagainya.

Perbedaan lain adalah dalam tingkat penguasaan, disciplines design tidak seperti subject

design yang menekankan penguasaan fakta-fakta dan informasi tetapi pada pemahaman

(understanding). Para peserta didik didorong untuk memahami logika atau struktur dasar

suatu disiplin, memahami konsep-konsep, ide-ide dan prinsip-prinsip penting, juga

didorong untuk memahami cara mencari dan menemukannya (modes of inquiry and

discovery). Hanya dengan menguasai hal-hal itu, kata mereka, peserta didik akan

memahami masalah dan mampu melihat hubungan berbagai fenomena baru.

Proses belajamya tidak lagi menggunakan pendekatan ekspositori yang menyebabkan

peserta didik lebih banyak pasif, tetapi menggunakan pendekatan inkuiri dan diskaveri.

Disciplines design sudah mengintegrasikan unsur-unsur progresifisme dan Dewey.

Bentuk mi memiliki beberapa kelebihan dibandingkan dengan subject design. Pertama,

kurikulum mi bukan hanya memiliki organisasi yang sistematik dan efektif tetapi juga
dapat memelihara integritas intelektual pengetahuan manusia. Kedua, peserta didik tidak

hanya menguasai serentetan fakta, prinsip hasil hafalan tetapi menguasai konsep,

hubungan dan proses-proses intelektual yang berkembang pada siswa.

Meskipun telah menunjukkan beberapa kelebihan bentuk, desain mi masth memiliki

beberapa kelamahan. Pertama, belum dapat memberikan pengetahuan yang terintegrasi.

Kedua, belum mampu mengintegrasikan sekolah dengan masyarakat atau kehidupan.

Ketiga, belum bertolak dan minat dan kebutuhan atau pengalaman peserta didik.

Keempat, susunan kurikulum belum efisien baik untuk kegiatan belajar maupun untuk

penggunaannya. Kelima, meskipun sudah lebih luas dibandingkan dengan subject design

tetapi secara akademis dan intelektual masih cukup sempit.

c. The Broad Fields Design

Baik subject design maupun disciplines design masih menunjukkan adanya

pemisahan antar-mata pelajaran. Salah satu usaha untuk menghilangkan

‘—jmii.iisahan tersebut adalah mengembangkan the broad filed design. Dalam ml mereka

menyatukan beberapa mata pelajaran yang berdekatan

berhubungan menjadi satu bidang studi seperti Sejarah, Geografi, dan

...Uxorni digabung menjadi Ilmu Pengetahuan Sosial, Aijabar, Ilmu Ukur,

Berhitung menjadi Matematika, dan sebagainya.

Tujuan pengembangan kurikulum broad field adalah menyiapkan para

swa yang dewasa mi hidup dalam dunia informasi yang sifatnya

Wesialistis, dengan pemahaman yang bersifat menyeluruh. Bentuk

iku1um mi banyak digunakan di sekolah dasar dan sekolah menengah

tama, di sekolah menengah atas penggunaannya agak terbatas apalagi


o perguruan tinggi sedikit sekali.

Ada dua kelebihan penggunaan kurikulum mi. Pertama, karena arnya bahan yang

terpisah-pisah, walaupun sudah terjadi penyatuan ,erapa mata kuliah masth

memungkinkan penyusunan warisan-warisan idaya secara sistematis dan teratur. Kedua,

karena mengintegrasikan erapa mata kuliah memungkinkan peserta didik melihat

hubungan tara berbagai hal.

Di samping kelebihan tersebut, ada beberapa kelemahan model kurikulum mi. Pertama

kemampuan guru, untuk tingkat sekolah dasar

guru mampu menguasai bidang yang luas, tetapi untuk tingkat yang lebth tinggi, apalagi

di perguruan tinggi sukar sekali. Kedua, karena bidang yang dipelajari itu luas, maka

tidak dapat diberikan secara mendetil, yang diajarkan hanya permukaannya saja. Ketiga,

pengintegrasian bahan ajar terbatas sekali, tidak menggambarkan kenyataan, tidak

memberikan pengalaman yang sesungguhnya bagi siswa, dengan demikian kurang

membangkitkan minat belajar. Keempat, meskipun kadarnya lebih rendah dibandingkan

dengan subject design, tetapi model mi tetap menekankan tujuan penguasaan bahan dan

informasi. Kurang menekankan proses pencapaian tujuan yang sifatnya afektif dan

kogriltif tingkat tinggi.

2. Learner-centered design

Sebagai reaksi sekaligus penyempurnaan terhadap beberapa kelemahan subject centered

design berkembang learner centered design. Desain mi berbeda dengan subject centered,

yang bertolak dan cita-cita untuk melestarikan dan mewariskan budaya, dan karena itu

mereka mengutamakan peranan isi dan kurikulum.


Learner centered, memberi tempat utama kepada peserta didik. Di dalam pendidikan atau

pengajaran yang belajar dan berkembang adalah peserta didik sendiri. Guru atau pendidik

hanya berperan menciptakan situasi belajar-mengajar, mendorong dan memberikan

bimbingan sesuai dengan kebutuhan peserta didik. Peserta didik bukanlah tiada daya, dia

adalah suatu organisme yang punya potensi untuk berbuat, berperilaku, belajar dan juga

berkembang sendiri. Learner centered design bersumber dan konsep Rousseau tentang

pendidikan alam, menekankan perkembangan peserta didik. Pengorganisasian kurikulum

didasarkan atas minat, kebutuhan dan tujuan peserta didik.

Ada dua ciri utama yang membedakan desain model learner centred dengan subject

centered. Pertama, learner centered design mengembangkan kurikulum dengan bertolak

dan peserta didik dan bukan dan isi. Kedua, learner centered bersifat not-preplanned

(kurikulum tidak diorganisasikan sebelumnya) tetapi dikembangkan bersama antara guru

dengan siswa dalam penyelesaian tugas-tugas pendidikan. Organisasi kurikulum

didasarkan atas masalah-masalah atau topik-topik yang menarik perhatian dan

dibutuhkan peserta didik dan sekuensnya disesuaikan dengan tingkat perkembangan

mereka.

Ada beberapa variasi model mi yaitu the activity atau experience design,

humanistic design, the open, free design, daj:i lain-lain. Pada tulisan mi akan

dikemukakan sebagian saja.

a. The Activity atau Experience Design

Model desain mi berawal pada abad 18, atas hasil karya dan Rousseau dan Pestalozzi,

yang berkembang pesat pada tahun 1920/1930-an pada masa kejayaan Pendidikan

Progresif.
Berikut beberapa ciri utama activity atau experience design. Pertama, struktur kurikulum

ditentukan oleh kebutuhan dan minat peserta didik. Dalam mengimplementasikan ciri mi

guru hendaknya: a) Menemukan minat dan kebutuhan peserta didik, b) Membantu para

siswa memilih mana yang paling penting dan urgen. Hal mi cukup sulit, sebab harus

dapat dibedakan mana minat dan kebutuhan yang sesungguhnya dan mana yang hanya

angan-angan. Untuk itu guru perlu menguasai benar perkembangan dan karakteristik

peserta didik.

Kedua, karena struktur kurikulum didasarkan atas minat dan kebutuhan peserta didik,

maka kurikulum tidak dapat disusun jadi sebelumnya, tetapi disusun bersama oleh guru

dengan para siswa. Demikian juga tujuan yang akan dicapai, sumber-sumber belajar,

kegiatan belajar dan prosedur evaluasi, dirumuskan bersama siswa. Istilah yang mereka

gunakan adalah teacher-student planning. Seperti dikemukakan oleh Smith, Stanley and

Shores (1977: 274-1725) bahwa tugas guru adalah:

discovering students interest, guiding students in selection of interest, helping groups and

individuals to plan and carryout learning activities, and assisting learners to appraise their

experience. In short, the teacher must prepare in advance to help learners decide what to

to do, how to do it, and how to evaluate the results. Ketiga, desain kurikulum tersebut

menekankan prosedur pemecahan masalah. Di dalam proses menemukan minatnya

peserta didik menghadapi hambatan atau kesulitan-kesulitan tertentu yang harus diatasi.

Kesulitankesulitan tersebut menunjukkan problema nyata yang dihadapi peserta didik.

Dalam menghadapi dan mengatasi masalah-masalah tersebut, peserta didik melakukan

proses belajar yang nyata, sungguh-sungguh Lrmakna, hidup dan relevan dengan
kehidupannya. Berbeda dengan subct design yang menekankan isi, activity design lebih

mengutamakan proses keterampilan memecahkan masalah).

Ada beberapa kelebihan dan desain kurikulum mi. Pertama, karena kegiatan pendidikan

didasarkan atas kebutuhan dan minat peserta didik, maka motivasi belajar bersifat

intrinsik dan tidak perlu dirangsang dan luar. Fakta-fakta, konsep, keterampilan dan

proses pemecahan dipelajari peserta didik karena hal itu mereka perlukan. Jadi belajar

benar-benar relevan dan bermakna. Kedua, pengajaran memperhatikan perbedaan

individual. Mereka turut dalam kegiatan belajar kelompok karena membutuhkannya,

demikian juga kalau mereka melakukan kegiatan individual. Ketiga, kegiatan-kegiatan

pemecahan masalah memberikan bekal kecakapan dan pengetahuan untuk menghadapi

kehidupan di luar sekolah.

Beberapa kritik yang menunjukkan kelemahan dilontarkan terhadap model desain

kurikulum mi.

Pertama, penekanan pada minat dan kebutuhan peserta didik belum tentu cocok dan

memadai untuk menghadapi kenyataan dalam kehidupan. Kehidupan dunia modern

sangat kompleks, peserta didik belum tentu mampu melihat dan merasakan kebutuhan-

kebutuhan esensial.

Kedua, kalau kurikulum hanya menekankan minat dan kebutuhan peserta didik, dasar apa

yang digunakan untuk menyusun struktur kurikulum. Kurikulum tidak mempunyai pola

dan struktur. Kedua kritik mi tidak semuanya benar, sebab beberapa tokoh activity design

telah mengembangkan struktur mi. Dewey dalam sekolah laboratoriumnya menyusun

struktur di sekitar kebutuhan manusia, kebutuhan sosial, kebutuhan untuk membangun,


kebutuhan untuk meneliti dan berekspenimen dan kebutuhan untuk berekspresi dan

keindahan.

Ketiga, activity design curriculum sangat lemah dalam kontinuitas dan sekuens bahan.

Dasar minat peserta didik tidak memberikan landasan yang kuat untuk menyusun

sekuens, sebab minat mudah sekali berubah karena pengaruh perkembangan, kematangan

dan faktor-faktor lingkungan. Beberapa usaha telah dilakukan untuk mengatasi

kelemahan ketiga mi: 1) usaha untuk menemukan sekuens perkembangan kemampuan

mental peserta didik, seperti perkembangan kemampuan kognitif dan Piaget, 2) penelitian

tentang pusat-pusat minat pada berbagai tingkat usia. Penemuan tentang pusat-pusat

minat yang lebih teninci dijadikan dasar penyusunan sekuens kurikulum. Keempat, kritik

terhadap model desain kurikulum mi dikatakan tidak dapat dilakukan oleh guru biasa.

Kurikulum mi menuntut guru ahli general education plus ahli psikologi perkembangan

dan human relation. Model desain mi sulit menemukan buku-buku sumber, karena buku

yang ada disusun berdasarkan subject atau discipline design. Kesulitan lain adalah

apabila peserta didik akan melanjutkan studi ke perguruan tinggi, sebab di perguruan

tinggi digunakan model subject atau discipline design.

3. Problem centered design

Problem centered design berpangkal pada filsafat yang mengutamakan peranan manusia

(man centered). Berbeda dengan learner centered yang mengutamakan manusia atau

peserta didik secara individual, problem centered design menekankan manusia dalam

kesatuan kelompok yaitu kesejahteraan masyarakat.

Konsep pendidikan para pengembang model kurikulum mi berangkat dan asumsi bahwa

manusia sebagai makhluk sosial selalu hidup bersama. Dalam kehidupan bersama mi
manusia menghadapi masalah-masalah bersama yang harus dipecahkan bersama pula.

Mereka berinteraksi, berkooperasi dalam memecahkan masalah-masalah sosial yang

mereka hadapi untuk meningkatkan kehidupan mereka.

Konsep-konsep mi menjadi landasan pula dalam pendidikan dan pengembangan

kurikulum. Berbeda dengan learner centered, kurikulum mereka disusun sebelumnya

(preplanned). Isi kurikulum berupa masalahmasalah sosial yang dihadapai peserta didik

sekarang dan yang akan datang. Sekuens bahan disusun berdasarkan kebutuhan,

kepentingan dan kemampuan peserta didik. Problem centered design menekankan pada

isi maupun perkembangan peserta didik. Minimal ada dua variasi model desain

kurikulum mi, yaitu The Areas of living design, dan The Core design.

a. The Areas of Living Design

Perhatian terhadap bidang-bidang kehidupan sebagai dasar penyusunan kurikulum telah

dimulai oleh Herbert Spencer pada abad 19, dalam tulisan yang berjudul What

knowledge is of most Worth? Areas of living design seperti learner centered design

menekankan prosedur belajar melalui pemecahan masalah. Dalam prosedur belajar thi

tujuan yang bersifat proses (process objectives) dan yang bersifat isi (content objectives)

diintegrasikan. Penguasaan informasi-informasi yang lebth bersifat pasif tetap

dirangsang. Ciri lain dan model desain mi adalah menggunakan pengalaman dan situasi-

situasi nyata dan peserta didik sebagai pembuka jalan dalam mempelajari bidang-bidang

kehidupan. Strategi yang sama juga digunakan dalam subject centered design, tetapi

pelaksanaannya mengalami kesulitan, sebab dalam desain tersebut hubungan mata

pelajaran dengan bidang dan pengalaman hidup peserta didik sangat keciL Sebaliknya

dalam the areas of living hubungannya besar sekali. Tiap pengalaman peserta didik
sangat erat hubungannya dengan bidang-bidang kehidupan sehingga dapat dikatakan

suatu desain kurikulum bidang-bidang kehidupan yang dirumuskan dengan baik akan

merangkumkan pengalaman-pengalaman sosial peserta didik. Dengan demikian, desain

mi sekaligus menarik minat peserta didik dan mendekatkannya pada pemenuhan

kebutuhan hidupnya dalam masyarakat.

Desain mi mempunyai beberapa kebaikan dibandingkan dengan

bentuk desain-desain Iainnya.

Pertama, the areas of living design merupakan the subject matter design tetapi dalam

bentuk yang terintegrasi. Pemisahan antara subject dihilangkan oleh problema-problema

kehidupan sosial. Kedua, karena kurikulum diorganisasikan di sekitar problema-problema

peserta didik dalam kehidupan sosial, maka desain liii mendorong penggunaan prosedur

belajar pemecahan masalah. Prinsip-prinsip belajar aktif dapat diterapkan dalam model

desain in Ketiga, menyajikan bahan ajar dalam bentuk yang relevan, yaitu untuk

memecahkan masalah-masalah dalam kehidupan. Melalui kurikulum irii para peserta

didik akan memperoleh pengetahuan, dan dapat mengintemalisasi artinya. Keempat

desain tersebut menyajikan bahan ajar dalam bentuk yang fungsional, sebab diarahkan

pada pemecahan masalah peserta didik, secara langsung dipraktikkan dalam kehidupan.

Lebih dan itu kurikulum ml membawa peserta didik dalam hubungan yang lebih dekat

dengan masyarakat. Kelima, motivasi belajar datang dan dalam din peserta didik, tidak

perlu dirangsang dan luar.

Beberapa kritik dilontarkan dan menunjukkan kelemahan model desain mi. Pertama,

penentuan lingkup dan sekuens dan bidang-bidang kehidupan yang sangat esensial

(penting) sangat sukar, timbul organisasi isi kurikulum yang berbeda-beda. Kedua,
sebagai akibat dan kesulitan pertama, maka lemahnya atau kurangnya mntegritas dan

kontinuitas organisasi isi kurikulum. Ketiga, desain tersebut sama sekali mengabaikan

warisan budaya, padahal apa yang telah ditemukan pada masa lalu penting untuk

memahami dan memecahkan masalah-masalah masa kini. Keem pat, karena kunikuluni

hanya memusatkan perhatian pada pemecahan masalah sosial pada saat sekarang, ada

kecenderungan untuk mengindoktrinasi peserta didik dengan kondisi yang ada, peserta

didik tidak melihat alternatif lain, baik mengenai masa lalu maupun masa yang akan

datang, desain tersebut akan mempertahankan status quo. Kelima, sama halnya dengan

knitik terhadap learner centered design, baik guru maupun buku dan media lain tidak

banyak yang disiapkan untuk model tersebut sehingga dalam pelaksanaannya akan

mengalami beberapa kesulitan.

B The core design

The core desgin kurikulum timbul sebagai reaksi utama kepada separate subjects design,

yang sifatnya terpisah-pisah. Dalam mengintegrasikan bahan ajar, mereka memilih mata-

mata pelajaran/bahan ajar tertentu sebagai inti (core). Pelajaran lainnya dikembangkan di

sekitar core tersebut. Karena pengaruh Pendidikan Progresif, berkembang teori tentang

core design yang didasarkan atas pandangan Progresif. Menurut konsep mi inti-inti bahan

ajar dipusatkan pada kebutuhan individual dan sosial.

Terdapat banyak variasi pandangan tentang the core design. Mayoritas memandang core

curriculum sebagai suatu model pendidikan atau program pendidikan yang memberikan

pendidikan umum. Pada beberapa kurikulum yang berlaku di Indonesia dewasa mi, core

curriculum disebut kelompok mata kuliah atau pelajaran dasar umum, dan diarahkan pada

pengembangan kemampuan-kemampuan pribadi dan sosial. Kalau kelompok mata


kuliah/pelajaran spesialisasi diarahkan pada pengusaan keahlian/kejuruan tertentu, maka

kelompok mata pelajaran mi ditujukan pada pembentukan pribadi yang sehat, baik,

matang, dan warga masyarakat yang mampu membina keija sama yang baik pula.

The core curriculum diberikan guru-guru yang memiliki penguasaan dan berwawasan

luas, bukan spesialis. Di samping memberikan pengetahuan, nilai-nilai dan keterampilan

sosial, guru-guru tersebut juga memberikan bimbingan terhadap perkembangan sosial

pribadi peserta didik.

Ada beberapa variasi desain core curriculum yaitu: (1) the separate subject

core, (2) the correlated core, (3) the fused core, (4) the activity/experience core, (5)

the areas of living core, dan (6) the social problems core.

The separate subjects core. Salah satu usaha untuk mengatasi keterpisahan antar-mata

pelajaran, beberapa mata pelajaran yang dipandang

mendasari atau menjadi inti mata pelajaran lainnya dijadikan core.

The correlated core. Model desain mi pun berkembang dan the separate

subjects design, dengan jalan mengintegrasikan beberapa mata pelajaran

yang erat hubungannya.

The fused core. Kurikulum mi juga berpangkal dan separate subject, pengintegrasiannya

bukan hanya antara dua atau tiga pelajaran tetapi Iebth banyak. Sejarah, Geografi,

Antropologi, Sosiologi, Ekonomi dipadukan menjadi Studi Kemasyarakatan. Dalam studi

mi dikembangkan tema-tema masalah umum yang dapat ditinjau dan berbagai sudut

pandang.
The activity/experience core. Model desain mi berkembang dan pendidikan progresif

dengan learner centerd design-nya. Seperti halnya pada learner centered, the acitivity

/experience core dipusatkan pada minat-minat dan kebutuhan peserta didik.

The areas of living core. Desain model mi berpangkal juga pada

pendidikan progresif, tetapi organisasinya berstruktur dan dirancang

sebelumnya. Berbentuk pendidikan umum yang isinya diambil dan

masalah-masalah yang muncul di masyarakat. Bentuk desain mi dipandang sebagai core

design yang paling murni dan paling cocok untuk program pendidikan umum.

The social problems core. Model desain ml pun merupakan produk dan pendidikan

progresif. Dalam beberapa hal model mi sama dengan the areas of living core.

Perbedaannya terletak pada the areas of licing core didasarkan atas kegiatan-kegiatan

manusia yang unviversal tetapi tidak berisi hal yang kontroversial, sedangkan the social

problems core didasarkan atas problemaproblema yang mendasar dan bersifat

kontroversial. Beberapa contoh masalah sosial yang menjadi tema model core design mi

adalah kemiskinan, kelaparan, inflasi, rasialisme, perang senjata nuklir, dan sebagainya.

Hal- hal di atas adalah sesuatu yang mendesak untuk dipecahkan dan berisi suatu

kontroversial bersifat pro dan kontra. The areas of living core cenderung memelihara dan

mempertahankan kondisi yang ada, sedang the social problems core mencoba

memberikan penilaian yang sifatnya kritis dan sudut sistem nilai sosial dan pribadi yang

berbeda.

Penyusunan kurikulum the social problems core, mengikuti pola seperti yang

digambarkan dengan urutan pertanyaan-pertanyaan berikut:

1. Bagairnana gambaran masyarakat yang ada dewasa mi?


2. Apa akibatnya bila kita terus mempertahankan kondisi yang ada mi?

3. Bagairnana gambaran keadaan masyarakat yang ideal?

4. Jika gambaran pada pertanyaan 3 berbeda dengan pertanyaan 2, usaha apa yang dapat

dilakukan untuk mengatasinya, baik secara kelompok maupun individual.

Kurikulum the social problems core tidak bersifat kaku, terbuka untuk penyempurnaan

pada setiap saat, agar tetap mutakhir dan relevan dengan perkembangan masyarakat.

Sekuens kurikulum disusun dengan memperhatikan pninsip-prinsip psikologis, seperti:

kematangan, minat, tingkat kesukaran, pengalaman dan penguasaan sebelumnya.

Terhadap model-model desain di atas dapat ditambahkan dua model lain yang juga

menekankan pendidikan umurn yaitu the unencapsulation design dan Becker’s

Humanistic design.

The lJnencapsulation design. Model desain mi menupakan reaksi terhadap encapsulation.

Menurut konsep encapsulation manusia memiliki kemampuan untuk mengamati dan

memahami selunuh yang ada di dimia mi, tetapi kenyataarlnya karena berbagai

hambatan, hanya sebagman kecil yang mereka kuasai. The lJnencapsulation design

diarahkan pada pengembangan manusia yang lebih baik, yang memiliki pengetahuan dan

kemampuan yang lebth lengkap, tepat dan seimbang. Menunut Joseph Royce, pencetus

konsep mi, pengetahuan dan kemampuan yang demikian akan tercapai melalui

penggunaan empat cana penguasaan, yaitu melalui: pemikiran (rasionalisme),

pengamatan (empinisme), perasaan (intuisisme), dan kepercayaan (otonitanianisme).

Beckers’s Humanistic Design. Desain mi juga sama dengan uncaptulsation menekankan

pendidikan umum. Becker ingin mengembangkan suatu model pendidikan yang dapat

menghilangkan “keterasingan” (alination yang mempunyai makna yang sama dengan


encapsulation). Ta bercita-cita ingin mendidik anak menjadi manusia “ideal” yaitu

manusia sejati (authentic) tidak palsu atau pura-pura, percaya kepada din sendiri (self

reliant) dan menyatu dengan masyarakatnya. Desain kurikulum dan Becker lebth

menekankan pada isi danipada proses. Isi kunikulurnnya dipusatkan pada tiga bidang,

yaitu 1) Dimensi individu, 2) Dimensi sosial dan historis, dan 3) Dimensi teologis.

Dimensi individu membahas keadaan dan keberadaan manusia, dimensi sosial dan

historis membahas kehidupan kemasyarakatan dan sejarah perkembangan manusia,

sedangkan dimensi teologis membahas keharusan manusia beragama dan bahaya-bahaya

sekulerisme.
BAB 7

PROSES PENGAJARAN

A. Keseimbangan Antara Isi dan Proses

Baik dalam uraian tentang model-model konsep kurikulum, maupun dalam macam-

macam desain kurikulum, masalah isi dan proses pengajaran selalu menjadi tema dan

titik tolak. Hal itu disebabkan kedudukan kedua komponen kurikulum tersebut sangat

penting. Dengan demikian, tidak mengherankan apabila ada yang berpendapat bahwa

kurikulum itu tidak lain dan suatu program pendidikan yang berisi jalinan antara isi

dengan proses penyampaiannya. Pendapat demikian tidak seluruhnya benar tetapi

mengandung kebenaran, mengingat kedua komponen tersebut berperanan sebagai kunci.

Telah kita ketahui dalam uraian-uraian yang terdahulu bahwa ada konsep-konsep

kurikulum yang lebih mengutamakan isi dan ada pula yang mengutamakan proses.

Keduanya mempunyai kelebihan dan kekurangan. Mengingat kelebthan dan kekurangan

masing-masing maka keseimbangan ataupun keserasian antara keduanya merupakan

pemecahan yang paling praktis, walaupun bukan berarti tanpa menghadapi kesulitan-

kesulitan. Kedua komponen kurikulum tersebut dapat saling menghambat, yang satu

mengurangi kualitas yang lainnya. Di dalam pelaksanaan kurikulum kita mengharapkan

para siswa menguasai sebanyak-banyaknya bahan yang terbaik dan diperoleh dengan cara

yang terbaik pula. Meskipun ideal hal tersebut sangat sulit kita capai, namun bukan

sesuatu yang mustahil. Kesulitannya bukan saja disebabkan adanya ciri yang cenderung

kontradiktif antara keduanya, tetapi juga karena banyaknya faktor yang turut

mempengaruhi pelaksanaan kurikulum atau pengajaran. Keberhasilan pengajaran atau


pelaksanaan suatu kurikulum sangat dipengaruhi kondisi dan aktivitas siswa, guru, serta

para pelaksana kurikulum lainnya; oleh kondisi lingkungan fisik, sosial budaya dan

psikologis sekitar, oleh kondisi dan kelengkapan sarana dan prasarana, baik di sekolah

maupun dalam keluarga. Pendidikan dan pengajaran selalu berlangsung dalam

keterbatasan-keterbatasan, baik keterbatasan kemampuan, fasilitas, waktu, tempat

maupun biaya. Yang harus selalu diupayakan oleh para penyusun, pengembang dan

pelaksana pendidikan umumnya, kurikulum khususnya, adalah mengoptimalkan hasil

sesuai dengan kondisi yang ada, di samping mengoptimalkan isi dan prosesnya sendiri.

B. IsiKwikulum

Pertanyaan yang selalu muncul pada para perencana pendidikan dan pengembang

kurikulum adalah, bahan apakah yang harus diajarkan kepada siswa, dan apa tujuannya?

Pertanyaan mi menyangkut isi kurikulum atau isi pengajaran. Isi kurikulum atau

pengajaran bukan hanya terdiri atas sekumpulan pengetahuan atau kumpulan informasi,

tetapi harus merupakan kesatuan pengetahuan terpilth dan dibutuhkan, baik bagi

pengetahuan itu sendiri maupun bagi siswa dan lingkungannya.

Beberapa program pengembangan pendidikan, terutama pengembangan kurikulum pada

sekolah dasar dan menengah, telah dilakukan dengan mengikutsertakan para sarjana,

dosen, ahli-ahli pendidikan selain guru, dan berbagai bidang ilmu pengetahuan. Mereka

telah berusaha menyusun isi kurikulum atau pengajaran, bukan saja didasarkan atas

perkembangan ilmu pengetahuan, tetapi juga disesuaikan dengan karakteristik

perkembangan anak dan konsep-konsep modern tentang hakikat pengalaman belajar.

Meskipun demikian pertanyaan tentang karakteristik bahan yang akan diajarkan masih

selalu timbul. Ahli pendidikan, Jerome S. Bruner dan Amerika Serikat mencoba
memberikan jawaban atas pertanyaan tersebut, yaitu dengan mengemukakan konsep

struktur bahan pengajaran. Pengembangan konsep mi tidaklah terjadi begitu saja, tetapi

dilatarbelakangi oleh keadaan dan perkembangan pendidikan, khususnya pendidikan

dasar dan menengah di Amerika Serikat.

Salah satu faktor yang mendorong diperlukannya pengembangan kurikulum adalah

karena perkembangan universitas di Amerika Serikat pada pertengahan pertama abad 20

sangat menekankan pada pengembangan ilmu dan penelitian. Hasil-hasil perkembangan

ilmu dan penelitian hanya menjadi santapan para saijana dan cendekiawan. Anak-anak

sekolah menengah, apalagi anak sekolah dasar bahkan para mahasiswa tingkat persiapan

tidak pernah memperoleh pengetahuan tersebut. Para sarjana dan cendekiawan tidak

pernah turut serta dalam pengembangan kurikulurn sekolah dasar dan sekolah menengah.

Dengan demikian, program Sekolah kurang berbobot dan jauh ketinggalan dan

perkembangan ilmu pengetahuan. Sekarang hal itu telah dapat diatasi, para sarjana dan

cendekiawan yang turut serta dalam penyusunan kurikulum dan perencanaan program

sekolah, menyiapkan buku teks serta berbagai media pendidikan. Dewasa mi para ahli

psikologi di Amerika Serikat, banyak yang mulai beralih membahas masalah-masalah

belajar di sekolah. Sayangnya perhatian para ahli tersebut masih lebih banyak tercurah

pada studi tentang bakat dan kecakapan, serta aspek-aspek sosial dan psikologis dalam

pendidikan, dan kurang memperhatikan masalah struktur intelek dan kegiatan dalam

kelas.

Dalam tujuan pendidikan di Amerika Serikat, ada dualisme yang membutuhkan

keseimbangan, yaitu antara kegunaan (useful), dengan keindahan (ornamental). Sekolah

diharapkan dapat mengajarkan semua yang berguna dan semua yang indah. Pengertian
berguna mengandung dua pengertian, pertama dalam bentuk penguasaan keterampilan

(skill), dan kedua pemahaman umum (general understanding). Keterampilan merupakan

kecakapan-kecakapan khusus yang dikuasai seseorang. Keterampilan sangat berhubungan

erat dengan profesi seseorang. Pemahaman umum, merupakan penguasaan hal-hal. yang

berhubungan erat dengan masalah kehidupan, baik sebagai pribadi maupun sebagai

warga masyarakat. Menyusun program pendidikan yang seimbang antara pendidikan

umum dengan pendidikan keterampilan sening cukup sukar.

Dewasa mi konsep proses belajar berangsur-angsur pindah dan pemahaman umum pada

penguasaan keterampilan khusus. Studi tentang transfer belajar, dahulu berkenaan dengan

disiplin-disiplin formal bagaimana menguasai kemampuan analisis, sintesis, penilaian,

dan sebagainya melalui berbagai bentuk latihan, sekarang transfer lebth banyak

berkenaan dengan latihan keterampilan khusus. Akibatnya selama pertengahan pertama

abad 20, sangat kurang penekanan pada penguasaan struktur atau penguasaan

pengetahuan secara menyeluruh.

Apa yang dimaksud dengan penguasaan struktur? Penguasaan struktur merupakan

pemahaman suatu bahan pelajaran secara menyeluruh dan penuh arti. Belajar struktur

adalah belajar secara keseluruhan (utuh), yakni hal-hal yang saling berhubungan

terintegrasi menjadi satu kesatuan. Penguasaan struktur dalam penyusunan kalimat,

umpamanya, memungkinkan anak dengan cepat menyusun banyak kalimat didasarkan

atas model struktur yang dipelajari, walaupun tidak mengetahui aturarinya.

Dalam penyusunan kurikulum, masalah mengajarkan struktur perlu mendapatkan

perhatian utama, sebab keberhasilan pelaksanaan suatu kurikulum sangat dipengaruhi

oleh hal tersebut. Ada beberapa pertanyaan umum, sebelum seseorang sampai pada
pertanyaan-pertanyaan yang lebth khusus. Contoh pertanyaan umum, apakah tujuan

pendidikan suatu sekolah. Setelah merumuskan jawaban pertanyaan tersebut, baru

mengajukan pertanyaan yang lebth khusus, umpamanya, apakah manfaat mata-mata

pelajaran yang diberikan. Jawaban terhadap pertanyaan pertama dapat dihubungkan

dengan sifat masyarakat yaitu tuntutan dan kebutuhannya, juga dapat dihubungkan

dengan pemenuhan kebutuhan pribadi dan masyarakat (kesejahteraan individu dan

masyarakat).

Pendidikan yang menekankan struktur, mengutamakan pendidikan intelek, tetapi tidak

berarti pendidikan segi lain diabaikan. Pendidikan yang menekankan struktur bukan saja

dapat berhasil dengan baik pada anak-anak yang cerdas, tetapi juga pada anak-anak biasa

bahkan anak-anak yang kurang mampu. mi tidak berarti urutan dan isi bahan pelajaran

bagi mereka sama.

Ada empat hal pokok penting dalam proses pendidikan. Pertama, peranan struktur bahan,

dan bagaimana hal tersebut menjadi pusat kegiatan belajar. Hal yang sangat penting

dalam menyusun dan mengembangkan kunikulum adalah bagaimana membenikan

pengertian kepada siswa tentang struktur yang mendasar terhadap tiap mata pelajaran.

Bagaimana mengajarkan struktur mendasar secara efektif, serta bagaimana menciptakan

kondisi belajar yang mendukung hal tersebut. Kedua, proses belajar menekankan pada

berpikir intuitif. Berpikir intuitif merupakan teknik intelektual untuk mencapai formulasi

tentatif tanpa mengadakan analisis langkah demi langkah. Ketiga, masalah kesiapan

(readiness) dalam belajar. Pada masa lalu, sekolah banyak membuang waktu untuk

mengajarkan hal-hal yang tenlalu sulit bagi anak, karena kurang memperhatikan kesiapan
belajar. Keempat, dorongan untuk belajar (learning motives) serta bagaimana

membangkitkan motif tersebut.

Tujuan belajar lebth dan sekadar untuk mendapatkan kepuasan atau menguasai

pengetahuan. Belajar menyiapkan peserta didik untuk menghadapi masa yang akan

datang. Ada dua macam belajar untuk menghadapi masa yang akan datang. Pertama,

aplikasi belajar dalam tugastugas khusus, atau pekeiaan-pekerjaan khusus. Hal itu

merupakan transfer belajar dalam berbagai bentuk keterampilan. Kedua, transfer belajar

dalam bentuk prinsip-prinsip dan sikap-sikap. Tipe belajar yang kedua bukan merupakan

belajar keterampilan tetapi belajar ide-ide yang bersifat umum, yang dapat digunakan

untuk mengenal dan memecahkan berbagai masalah kehidupan. Jenis transfer yang kedua

merupakan inti proses pendidikan, merupakan proses perluasan dan pendalaman yang

terus menerus dan ide-ide dasar dan ide-ide umum. Keberlanjutan pnoses belajar tersebut

sangat bergantung pada tingkat penguasaan stnuktur bahan yang akan diajarkan. Agar

seonang siswa mampu mengenal apakah suatu ide dapat diaplikasikan atau tidak terhadap

situasi baru, ia harus mempunyai gambanan yang jelas tentang hakikat fenomena yang

dihadapinya. Sebab yang terpenting dalam belajar ide-ide adalah yang dipelajarinya harus

dapat diaplikasikan secara luas pada masalah-masalah banu.

Untuk itu ada beberapa hal yang perlu dipenhatikan. Pertama, dan mi merupakan hal

yang sangat penting, bagaimana menyusun kurikulum yang dapat diajankan oleh guru

biasa, tenhadap murid biasa, yang dapat menefleksikan pninsip-prinsip dasar dan

berbagai bentuk inkuiri. Hal itu meyangkut dua masalah yaitu bagaimana memilih bahan

yang akan diajarkan serta alat-alat pelajaran yang dapat memberikan tekanan utama pada

pengembangan ide-ide dan sikap. Kemudian, bagaimana menentukan tingkat-tingkat


bahan yang akan diajarkan itu sesuai dengan kemampuan dan tingkat perkembangan para

siswa. Agar dapat memenuhi kedua hal tersebut, dibutuhkan partisipasi dan ahli-ahli yang

terbaik dalam bidangnya dalam penyusunan kurikulum sekolah. Kedua, yang perlu

mendapatkan perhatian yang sungguh-sungguh adalah bagaimana para siswa menguasai

ide-ide dasar dan berbagai bidang studi, bukan saja berkenaan dengan pengetahuan

umum, tetapi juga dengan perkembangan sikap berinkuiri, perkembangan kemampuan

memperkirakan (predictive ability) dan pemecahan masalah oleh anak sendiri.

Seorang ahli fisika memiliki sikap tertentu terhadap alam semesta serta menguasai cara

memahami sistem alam semesta. Siswa yang belajar fisika juga perlu memiliki sikap

tersebut, bila ia belajar fisika, tentunya agar yang dipelajarinya itu berguna bagi proses

berpikirnya. Untuk mencapai hal tersebut yang terpenting adalah menyediakan bahan,

memberikan kesempatan dan mendorong anak untuk mencari dan menemukan aturan

yang sebelumnya tidak diketahui. Menemukan hubungan, persamaan, perbedaan di antara

ide-ide, hal itu bukan saja menghasilkan pemahaman ten- tang suatu masalah tetapi juga

akan menumbuhkan kepercayaan kepada din sendiri. Para ahli berpendapat bahwa hal itu

tidak mungkin dapat dicapai hanya dengan memperhatikan penyusunan sekuens bahan

ajar saja, tetapi juga harus memperhatikan metode untuk mengajarkan hal tersebut.

Metode utama mengajarkan konsep belajar seperti di atas adalah dengan menggunakan

metode inkuiri. Metode inkuiri banyak digunakan dalam mengajarkan IPA dan

Matematika, tetapi sesungguhnya metode inkuiri cukup membenikan hasil yang baik bila

digunakan dalam mengajarkan ilmu-ilmu sosial.

Bagaimana pengetahuan-pengetahuan dasar dijalin dengan minat dan kemampuan anak.

Hal itu membutuhkan pemahaman yang dalam serta kejujuran yang sungguh-sungguh
untuk menyajikan fenomena-fenomena baik dalam penyusunan kurikulum maupun dalam

penyajian di kelas. Pengetahuan dasar yang dihubungkan dengan fenomena-fenomena

tersebut harus disajikan dengan benar, menarik minat dan memberikan manfaat.

Minimal ada empat hal yang merupakan manfaat belajar atau mengajarkan struktur dasar:

Pertama, pemahaman tentang hal-hal yang bersifat fundamental memungkinkan

penguasaan bahan ajar secara lebih komprehensif. Hal itu bukan hanya berlaku bagi IPA

dan Matematika tetapi juga bagi ilmu-ilmu sosial. Anak yang sudah memahami latar

belakang, tujuan dan dasar-dasar pembentukan ASEAN akan dengan mudah memahami

berbagai bentuk kerja sama dan kegiatan ASEAN. Kedua, berhubungan dengan

kemampuan ingatan manusia. Menurut beberapa hasil penelitian, ingatan manusia

tentang hal-hal yang detail yang ditempatkan dalam suatu hubungan pola struktur, mudah

sekali dilupakan. Agar sesuatu bahan ajar dapat mudah dan lama dikuasai perlu disimpan

atau disajikan dalam bentuk yang sederhana yang mewakili hal yang lebth kompleks.

Perwakilan yang sederhana tersebut disebut regenerative. Contoh regenerative dalam IPA

dan Matematika adalah rumus-rumus. Suatu rumus yang sederhana merupakan prasarana

dan representasi dan hal yang cukup kompleks. Dalam ilmu sosial juga dikenal rumus,

kaidah, prinsip tertentu. Selain hal-hal tersebut regerative juga dapat berupa peta, bagan,

model, dan sebagainya.

Belajar struktur dasar dapat menjamin berbagai bentuk lupa atau kehilangan penguasaan.

Dengan belajar struktur dasar suatu kehilangan tidak akan berbentuk kehilangan total,

hal-hal yang tersisa dapat membantu menyusun kembali apa-apa yang sudah hilang atau

terlupakan. Suatu teori yang balk bukan hanya merupakan alat untuk memahami

fenomena yang dihadapinya sekarang, tetapi juga untuk mengingatnya besok.


Ketiga, pemahaman prinsip-prinsip dan ide-ide fundamental merupakan syarat utama

untuk mengadakan transfer. Pemahaman tentang hal yang umum memungkinkan

menguasai banyak hal yang sifatnya khusus, sebab penguasaan hal umum memungkinkan

penguasaan model pemahaman. Ide, bahwa prmsip dan konsep merupakan dasar bagi

transfer merupakan hal yang sudah lama dikenal.

Keem pat, penekanan pada struktur dan prinsip-prinsip mengajar yang fundamental dapat

mempersempit jarak antara pengetahuan elementer dengan pengetahuan yang lebth

lanjut.

C. ProsesBelajar

Kegiatan mengajar tidak dapat dilepaskan dan belajar, sebab keduanya merupakan dua

sisi dan sebuah mata uang. Mengajar merupakan suatu upaya yang dilakukan guru agar

siswa belajar. Apabila kita mengkaji teoriteori mengajar yang ada, hampir seluruhnya

dikembangkan atau bertolak dan teori belajar.

1. Belajar intuitif

Ada suatu pertanyaan mendasar berkenaan dengan proses belajar, yaitu apakah proses

belajar lebih baik menekankan pada berpikir intuitif atau

berpikir analitik?

Pengamatan menunjukkan bahwa dalam berbagai kegiatan belajar penilaian di sekolah,

tekanan lebih banyak diberikan pada kemampuan untuk memformulasikan secara

eksplisit, dan pada kemampuan anak memreproduksikan penguasaan secara verbal dan

numerikal. Belum banyak diketahui apakah penekanan tersebut menghambat

perkembangan pemahaman intuitif atau tidak. Kita dapat membedakan antara inarticulate

genius dengan articulate idiocy. Inarticulate genius diperlihatkan oleh anak yang
menguasai secara mendalam konsep-konsep bahan ajar, tetapi kurang mampu

menyatakan secara verbal. Pada articulate ideocy anak pandai menyatakan dengan kata-

kata tetapi tak punya kemampuan untuk menggunakan konsep-konsep tersebut. Dua

contoh pemahaman intuitif, pertama seseorang telah cukup lama menghadapi suatu

persoalan, tiba-tiba ia menemukan pemecahan walaupun belum didasarkan atas

pembuktian formal, kedua, seorang dapat dengan cepat memberikan jawaban dugaan

terhadap sesuatu persoalan dengan benar. Seseorang pemikir intuitif yang baik dilahirkan

dengan kekhususan tertentu, tetapi efektivitas intuitifnya dilandasi oleh pengetahuan yang

kuat tentang bidang yang berhubungan dengan kekhususan tersebut. Pengetahuan yang

secara sistematis dikuasainya dapat menunjang berpikir intuitif, atau variabel-variabel

yang mempengaruhinya.

Apakah berpikir intuitif?

Orang lebih mudah membahas atau melakukan pemikiran analitik yang lebih bersifat

konkret daripada berpikir intuitif yang lebth abstrak. Berpikir analitik meliputi suatu

rentetan langkah-langkah. Langkah-langkah tersebut bersifat eksplisit dan biasanya dapat

disampaikan kepada orang lain. Hasil-hasil pemikiran mi berupa informasi atau suatu

operasi. Model pemikiran mi menggunakan proses pemikiran secara deduktif dengan

bantuan model konsep matematika atau logika, menggunakan prinsip penelitian,

eksperimen dan analisis statistik.

Berpikir intuitif tidak memiliki langkah-langkah yang dapat dirumuskan secara pasti dan

teliti, lebih merupakan suatu manuver yang didasarkan atas persepsi implisit dan

keseluruhan masalah. Pemikir sampai pada suatu jawaban mungkin benar mungkin juga

tidak, dengan sedikit pernyataan tentang proses pencapaiannya. Ia sering jarang dapat
menjelaskan bagaimana memperoleh jawaban, mungkin juga ia tidak menyadari aspek-

aspek dan situasi masalah yang ia hadapi/kerjakan. Biasanya proses pemikiran intuitif mi

berkenaan dengan domain kognitif, terutama dengan struktur pengetahuan, yang

memungkinkan ia melangkah atau meloncat atau memotong jalan pendek untuk sampai

pada suatu jawaban atau pemecahan. Hasil berpikir intuitif dapat dicek dengan

kesimpulan dan hasil analitik, apakah induktif atau deduktif. Kedua model pemikiran irii

dapat saling komplemen. Melalui berpikir intuitif seseorang memungkinkan sampai pada

jawaban atau pemecahan yang sama sekali tak dapat dipecahkan atau lambat sekali bila

menggunakan pemecahan melalui proses analitik. Kemungkinan dapat terjadi pada suatu

saat pemikir intuitif dapat menemukan masalah yang sama sekali tak dapat ditemukan

oleh pemikir analitik. Pemecahan intuitif mungkin dapat lebih cepat dibandingkan

dengan pemecahan analitik. Hasil pemecahan intuitif dapat dicek oleh hasil pemecahan

analitik.

Intuisi sering diartikan sebagai immediate apprehension atau cognition. Immediate

apprehension merupakan lawan dan mediate apprehension. Mediate apprehension

menunjukkan penguasaan dan pengenalan tak langsung melalui penggunaan metode

formal, analitis dan pembuktian-pembuktian. Immediate apprehension merupakan

pengenalan atau penguasaan langsung tanpa mengikuti langkah-langkah formal.

Menangkap pengertian dan struktur masalah atau situasi tanpa menggunakan alat atau

cara analitis. Dalam berpikir intuitif, hipotesis dirumuskan dengan cepat,

mengkombinasikan beberapa konsep sebelum diketahui faedahnya.

Di sekolah terutama dalam bidang science dan matematika dewasa mi sangat

dipentingkan proses-proses berpikir analitik. Para perencana kurikulum perlu berusaha


menemukan bagaimana mengembangkan pemikiran intuitif pada murid-murid seawal

mungkin. Seharusnya sebelum murid-murid diperkenalkan dengan metode analitik

terlebih dahulu ditanamkan pemahaman intuitif. Situasi belajar intuitif di sekolah akan

sangat ditentukan oleh sifat bahan pelajaran. Bahan pelajaran yang berisi banyak

perkiraan, memberikan kemungkinan pemahaman dan pengalaman yang luas,

mengundang spontanitas, dapat banyak membantu kegiatan berpikir intuitif bagi murid-

muridnya.

Faktor-faktor apa yang mempengaruhi berpikir intuitif? Faktor pertama, adalah

predisposisi, yang berkenaan dengan dimiliki atau tidak dimilikinya kemampuan intuitif

dalam suatu bidang tertentu serta kekuatan intuitif pada bidang tersebut. Apakah

perkembangan intuisi seorang siswa menyerupai gurunya yang berpikir itu? Mungkin ya,

mungkin juga tidak. Kemungkinan kemampuan intuitif seorang siswa berkembang

melalui imitasi sederhana dengan gurunya, dapat juga berkembang melalui identifikasi

yang cukup kompleks. Guru yang biasa menerka jawaban suatu persoalan, lalu

mengeceknya dengan cara analitis kritis akan lebih mengembangkan kemampuan

berpikir intuitifnya daripada guru yang memecahkan persoalan dengan cara analitis.

Seseorang yang mempunyai pemahaman yang cukup luas dalam bidang tertentu akan

mudah memberikan pemecahan intuitif dibandingkan dengan orang yang kurang

menguasai.

Seorang spesialis dalam bidang kedokteran (dokter) dalam pertemuan pertamanya dengan

pasiennya mengemukakan beberapa pertanyaan, mengadakan pemeriksaan sirigkat lalu

memberikan diagnosis. Untuk pengalaman pertama diagnosis irituitif yang dilakukan

dokter tersebut mungkin kurang sempurna dibandingkan dengan diagnosis yang bersifat
analisis langkah-langkah formal yang dilakukan oleh seorang dokter muda. Untuk

selanjutnya, diagnosis yang bersifat intuitif (clinical prediction) dapat lebih berhasil

dibandingkan dengan diagnosis analitis (actuarial prediciton). Hal itu juga tidak berarti

bahwa prediksi intuitif selalu lebih berhasil daripada prediksi analitis. Dan uraian di atas

tampak di samping variabel predisposisi yang mempengaruhi berpikir intuitif, juga

imitasi atau identifikasi dengan seorang pengintuitif, penguasaan atau pemahaman dalam

bidang tertentu serta pengalaman.

Bagaimana pengaruh atau peranan prosedur heuristik terhadap proses berpikir intuitif?

Prosedur heuristik merupakan lawan dan prosedur algoritma. Algonitma merupakan

prosedur pemecahan suatu masalah yang mengikuti urutan yang teliti, selangkah demi

selangkah. Prosedur heuristik merupakan prosedur pemecahan masalah yang tidak

mengikuti urutan langkah demi langkah pemecahan lebih bersifat menyeluruh dan

fleksibel. Prosedur heuristik dengan menggunakan analogi, simetri, pengujian kondisi,

visualisasi pemecahan yang dilakukan secara berulang-ulang akan sangat menunjang

proses berpikir intuitif.

Apakah dengan berpikir intuitif anak dilatih untuk sekadar mengirangira? Padahal di

sekolah sering mengira-ngira dianggap suatu kemalasan. Dengan berpikir intuitif

memang anak diminta untuk mengira-ngira, tetapi suatu perkiraan yang selalu dicek

dengan pembuktian, dengan proses pemikiran analitis. Berpikir intuitif didasari oleh

keyakinan pada din sendiri dan keberanian dan siswa. Seorang yang berpikir intuitif tidak

boleh takut berbuat salah, tetapi juga tidak boleh menutupi kesalahan. Pemikir intuitif

harus jujur, pengecekan kesalahan dengan pembuktian melalui proses berpikir analitis

dapat memperbaiki dan mengembangkan kemampuan berpikir intuitif seseorang.


Di sekolah keberanian anak untuk melakukan pemikiran intuitif sering dihambat bahkan

dthilangkan, karena adanya sistem ganjaran dan hukuman. Sistem pemberian angka di

sekolah juga sering menghambat keberanian berpikir intuitif. Penilaian lebih mudah

dilakukan dalam proses berpikir analitik daripada intuitif karena proses analitis lebth

berkenaan dengan faktafakta. Untuk mendidik anak berpikir intuitif, diperlukan guru

yang bukan saja mempunyai kemampuan intuitif, tetapi juga memiliki sensitivitas, ia

dapat membedakan kesalahan intuitif dengan kesalahan karena kebodohan. Untuk

mendidik pemikiran intuitif dibutuhkan guru yang mampu memberikan

persetujuan/pembenaran dan sekaligus membenikan koreksi dan bimbingan pada siswa

yang sedang berintuisi. Dengan berpikir intuitif anak dapat berkembang bukan saja lebih

cerdas dan lebih berpengalaman tetapi juga lebih intuitif dalam menghadapi berbagai

masalah. 2. Belajar bermakna

Ausubel dan Robinson (1969) membedakan dua dimensi dan proses belajar, yaitu

dimensi cara menguasai pengetahuan dan cara menghubungkan pengetahuan baru dengan

struktur ide yang telah ada. Pada dimensi yang pertama dibedakan tipe belajar yang

bersifat mencari (discovery learning) dan yang bersifat menerima (reception learning).

Pada dimensi kedua, dibedakan antara belajar yang bersifat menghafal (rote learning) dan

belajar bermakna (meaningfull learning).

Dalam belajar menerima keseluruhan bahan pelajaran disajikan kepada si pelajar dalam

bentuk yang sudah sempurna. Si pelajar tinggal menerima saja tanpa mengadakan usaha-

usaha pengolahan, atau pemrosesan lebih lanjut. Pada belajar mencari atau belajar

diskoveri karena bahan ajar disajikan dalam bentuk yang belum selesai, maka si pelajar

harus berusaha mencari dan menyelesaikannya sendiri. Dalam belajar menghafal siswa
berusaha menguasai bahan tanpa mengetahui maknanya, sedang pada belajar bermakna

siswa mempelajari sesuatu bahan ajar dengan berusaha memahami makna atau artinya.

Keempat tipe belajar tesebut sebenarnya hanya merupakan kencederungan-

kecenderungan. Cenderung ke arah mencari atau menerima ke arah menghafal atau

mendapatkan makna. Keseluruhan tipe belajar tersebut juga bisa berkombinasi satu sama

lain, membentuk tipe belajar menerima-bermakna, mencari bermakna, menghafal

menerima, dan menghafal mencari.

a. Konsep-Konsep Dasar

Ada dua hal penting dalam konsep belajar bermakna, yaitu struktur kognitif dan materi

pengetahuan baru. Struktur kognitif merupakan segala pengetahuan yang telah dimiliki

siswa sebagai hasil dan kegiatan belajar yang lalu. Dalam belajar bermakna pengetahuan

baru harus mempunyai hubungan atau dihubungkan dengan struktur kognitifnya.

Hubungan tersebut akan terjadi karena adanya kesamaan isi (substantiveness) dan secara

beraturan (non-arbitrer). Kedua sifat hubungan tersebut menunjukkan adanya

kebermaknaan logis materi yang akan dipelajari. Jadi kebermaknaan logis mi merupakan

sifat dan materi yang akan dipelajari, tetapi tidak berarti menjamin bahwa itu bermakna

bagi siswa.

Agar hal itu bermakna bagi siswa, ada dua tambahan persyaratan. Pertama, suatu materi

memiliki kebermaknaan logis berarti bahwa materi tersebut dapat dihubungkan dengan

konsep-konsep yang telah ada pada siswa. Agar materi baru dapat difahami siswa, maka

ia sendini harus memiliki materi yang sesuai dengan hal itu. Bila siswa dalam struktur

kognitifnya telah memiliki materi, ide-ide yang sesuai, yang memungkinkan materi baru

dapat dihubungkan padanya secara subtantif dan non-arbitrer, maka materi tersebut telah
memiliki kebermaknaan potensial (potential meaningfulness).Kedua, suatu materi

memiliki kebermaknaan potensial, sebab siswa dapat memberikan makna, tetapi hal itu

bergantung pada kemauan siswa untuk memberi makna atau tidak. Apabila si siswa

mempunyai kesiapan untuk memberi makna maka terjadilah belajar bermakna

(meaningful learning).

Kalau disimpulkan belajar bermakna mi menuntut tiga persyaratan:

1. Materi yang dipelajari harus dapat dihubungkan dengan struktur kognitif secara

beraturan karena adanya kesamaan isi.

2. Siswa harus memiliki konsep yang sesuai dengan materi yang akan dipelajarinya.

3. Siswa hams mempunyai kemauan atau motif untuk menghubungkan konsep tersebut

dengan struktur kognitifnya.

Makna merupakan hasil suatu proses belajar berrnakna. Hal itu juga akan menjadi isi

kognitif atau isi dan penyadaran yang muncul bila materi yang punya makna potensial

dihubungkan dengan struktur kognitif. Belajar bermakna dan belajar manghafal bukan

dua hal yang benar-benar bersifat dikotomis, tetapi hanya menunjukkan apakah sesuatu

kegiatan belajar lebth mengarah pada bermakna atau kurang bermakna.

Suatu kegiatan belajar yang kurang bermakna akan muncul apabila:

1. Materi yang dipelajari kurang memilik kebermaknaan logis.

2. Siswa kurang memiliki konsep-konsep yang sesuai dalam struktur kognitifnya.

3. Siswa kurang memiliki kesiapan untuk melakukan kegiatan belajar bermakna.

Belajar bermakna akan menghasilkan konsep-konsep, ide-ide baru yang punya makna,

penuh arti, jelas, nyata perbedaannya dengan yang lain. Konsep yang demikian tidak

akan mudah digoyahkan dibandingkan dengan konsep-konsep yang dibentuk melalui


hubungan atau asosiasi arbitrer. Dengan belajar bermakna, siswa akan menguasai dan

mengingat konsep-konsep inti. Dalam belajar menghafal sering konsep inti dan konsep

bukan inti berbaur dan saling menghambat, tetapi dalam belajar makna keduanya bisa

dibedakan dengan jelas.

Mengapa seseorang melakukan kegiatan belajar dengan menghafal. Minimal ada tiga

sebab utama:

1) Mereka belajar dan pengelaman yang kurang menyenangkan yang secara material

memberikan jawaban yang benar, tetapi kurang memberikan hubungan yang bermakna.

Adanya tuntutan memberikan jawaban yang bersifat fakta-fakta sering mendorong siswa

untuk belajar dengan cara mengingat dan menghafal. Siswa mengalami kecemasan yang

cukup besar. Hal mi kemungkinan besar disebabkan karena ia gagal dalam menguasai

pelajaran, atau karena kurang yakin akan kemampuan belajar bermakna. Untuk mengatasi

kecemasan tersebut Ia belajar dengan cara menghafal. Siswa berada dalam suatu tekanan

untuk selalu memperhatikan keberhasilan dan kelancaran belajar, atau menyembunyikan

kekurangan-kekurangannya.

h. Macam-Macam Belajar Bermakna

Makna merupakan isi dan struktur kognitif, yang terjadi karena materi yang memiliki

kebermaknaan potensial disatukan dengan struktur kognitif. Proses penyatuan tersebut

berbeda-beda dan dapat diletakkan dalam suatu hierarki dan yang bersifat represensional

sampai dengan belajar tingkat inggi, perbuatan belajar kreatif.

Belajar represensional merupakan suatu proses belajar untuk mendapatkan arti atau

makna dan simbol-simbol. Kalau orang tua mengatakan kucing sambil menunjuk seekor

kucing, maka pada struktur kognitif anak akan terbentuk rangsangan internal yang akan
memberi makna pada kata kucing sebagai binatang kucing. Kata kucing menjadi simbol

yang mewakili binatang kucing. Melalui proses representasi tersebut anak akan mengenal

banyak nama dan tiap benda punya nama endiri. Belajar represensional juga benlaku bagi

nama-nama bukan benda. Kata depan terjadi melalui hubungan antara dua objek seperti

kucing di atas meja, air di dalam gelas dsb.

Belajar konsep dapat mempunyai makna logis dan makna psikologis. Makna logis

terbentuk melalui fenomena adanya benda-benda yang dikelompokkan karena memiliki

ciri-ciri yang sama. Berbagai macam kucing dan harimau karena cirinya yang sama,

dikelompokkan sebagai kucing. Dalam makna logis ada ciri-ciri utama yang

menunjukkan sekumpulan sifat-sifat yang dimiliki oleh setiap anggota suatu kelas

konsep. Ciri-ciri utama tersebut berbeda antara suatu kelas konsep dengan kelas yang

lain. Makna psikologis suatu konsep terbentuk dalam dua tahap. Pada tahap pertama

konsep terbentuk melalui pengalaman nyata. Secara induktif anak menemukan ciri-ciri

utama benda-benda tertentu. Melalui permainan dengan bermacam-macam warna dan

bentuk kubus anak akan memiliki konsep tentang kubus, walaupun tidak tahu namanya.

Pada tahap berikutnya bila anak telah bersekolah ia belajar makna konsep secara formal

dan nama dan kata-kata. Kedua tahap proses pembentukan makna konsep tersebut terjadi

hampir dalam semua kegiatan anak belajar konsep. Pembentukan konsep selanjutnya

terjadi melalui proses asimilasi yaitu definisi-definisi.

Belajar proposisi. Proposisi atau kaidah merupakan suatu kalimat yang

menunjukkan hubungan antara dua hal. Proposisi mi ada yang bersifat umum,

3. Hubungan macam- macam belaj ar dengan taksonomi Bloom


Macam-macam belajar yang telah diuraikan sebelum mi, menunjukkan adanya beberapa

kategori tingkah laku belajar, yaitu belajar bermakna, menghafal menerima, dan

diskaveri. Belajar bermakna pun berbeda-beda pula dan yang bersifat represensional

sampai dengan belajar kreatif. Karena adanya pengkategorian tersebut maka dapat dicari

hubungannya dengan kategori belajar atau taksonomi dan Bloom.

Karena pengetahuan atau knowledge Bloom lebth banyak berhubangan dengan ingatan

maka dapat dikelompokkan sebagai belajar menghafal (rote learning). Mulai dan

pemahaman sampai dengan evaluasi dapat dikategorikan sebagai belajar bermakna.

Belajar konsep dan preposisi dapat disamakan dengan pemahaman, pemecahan masalah

dengan analitis dan kreativitas dengan sintesis yang sukar dimasukkan dalam kategori

tersebut adalah aplikasi dan evaluasi.

Dan pembandingan dengan taksonomi Bloom juga dapat ditarik kesimpulan bahwa

macam-macam belajar bermakna ml, lebih menyangkut ranah kognitif. Ranah afektif dan

psikomotor tidak tercakup dengan macam-macam kategori belajar ml.

4. Mengingat dan lupa

Belajar merupakan proses menguasai makna dan sesuatu bahan pelajaran yang secara

potensial bermakna. Mengingat merupakan suatu proses memelihara penguasaan sesuatu

makna baru. Lupa merupakan kemunduran atau kehilangan penguasaan suatu makna

yang telah dikuasai.

Suatu konsep baru dipelajari oleh individu, diingat untuk beberapa saat dan sebagian ada

yang terlupakan. Proses mi terjadi dalam dua langkah: (1) penguasaan dan penyimpanan,

(2) mengingat dan lupa.


Penguasaan dan penyimpanan. Suatu konsep dipelajari dengan cara yang bermakna dan

disatukan dengan konsep-konsep yang telah ada dalam struktur kognitif. Jnteraksi antara

konsep baru dengan konsep-konsep yang telah ada menimbulkan suatu makna. Makna

baru tersebut mungkin mengubah, memperluas, mempersempit konsep yang telah ada,

tetapi dalam bebe rapa hal mungkin juga tidak mengubah konsep lama.

Dalam struktur kognitif suatu konsep baru, tidak hanya berhubungan dengan suatu

konsep tetapi dengan beberapa konsep yang telah ada. Kekuatan hubungan dengan

masing-masing konsep tidak selalu sama, ada yang kuat sekali, lemah sekali di samping

yang tidak berhubungan sama sekali.

Mengingat dan lupa. Konsep-konsep baru yang kurang umum, melalui periode waktu

bersatu atau berasimilasi dengan konsep-konsep yang telah ada. Keadaan tersebut dapat

terjadinya pengurangan makna, karena terjadi pengurangan hubungan (reduksi). Karena

proses asimilasi dan reduksi tersebut berjalan spontan dan berangsur-angsur maka

konsep-konsep tersebut terlupakan.

Ada dua tingkat kritis untuk mengingat kembali konsep yang terlupakan. Tingkat yang

tertinggi berada pada tingkat yang berhubungan dengan mengingat kembali (recall). Bila

suatu konsep di bawah tingkat recall maka anak tidak dapat mengingatnya kembali. Suatu

konsep yang berada di bawah tingkat recall, mungkin masth terletak di atas tingkat

recognition. Sesuatu yang terlupakan sama sekali, kalau dipelajari kembali akan teijadi

recognition.

Apabila dirangkumkan maka ada tiga faktor yang mempengaruhi

penguasaan kembali konsep dan ingatan:

Kekuatan hubungan antara konsep yang telah ada dengan konsep baru.
Efektivitas usaha untuk menguasai kembali konsep yang terlupakan, baik yang

memperkuat penguasaan kembali, maupun yang menghambat lupa.

Macam penguasaan apakah pada tingkat recall atau recognition.

5. Kelebihan belajar bermakna

Suatu bahan dipelajari secara bermakna atau dihafal bergantung pada (1)

sifat bahan apakah secara potensial bermakna atau tidak bermakna, (2)

kesiapan si pelajar sendiri untuk melakukan belajar bermakna.

Hasil belajar bermakna lebth lama dikuasai daripada belajar menghafal. Dengan

demikian belajar bermakna lebih efisien dibandingkan dengan belajar menghafal. Hal itu

disebabkan adanya hubungan yang substantif dan non-arbitrer dengan konsep-konsep

yang ada dalam struktur kognitif. Keadaan demikian memungkinkan sejumlah besar

bahan dapat disatukan dalam struktur kognitif dengan penguasaan yang lebih efektif.

Hubungan suatu konsep yang dipelajari dengan bermakna dengan struktur kognitif

menyebabkan konsep tersebut lebih lama dikuasai dalam ingatan. Dalam belajar yang

bersifat menghafal hubungannya tidak mendalam, karena terjadi hubungan secara

arbitrer, terputus-putus dan terisolasi.

6. Inhibisi proaktif dan retroaktif

Salah satu penyebab utama dan lupa pada belajar bermakna adalah pengurangan makna

dan suatu konsep dalam struktur kognitif.

Pada belajar yang bersifat menghafal, masalah lupa disebabkan oleh

hilangnya atau lemahnya asosiasi antara dua hal. Dalam belajar mengingat

ada dua hambatan (inhibition) yang mungkin terjadi yaitu hambatan proaktif dan

retroaktif. Hambatan proaktif merupakan hambatan dalam mengingat sesuatu karena


adanya pengaruh dan bahan yang telah dipelajari lebih dahulu, Hambatan retroaktif

merupakan hambatan dalam mengingat yang lama karena bahan baru.

Ketimpangan isi yang diajarkan dan yang diingat. Sering terjadi perbedaan antara isi

bahan yang diajarkan dengan diingat, hal itu dilatarbelakangi oleh beberapa hal:

a) Ketidakjelasan, kekacauan, keraguan arti sesuatu konsep sejak awal proses belajar,

karena kekurangtepatan makna konsep pokok dalam struktur kognitif. Kekurangstabilan

dan kekurangjelasan konsepkonsep pokok tersebut, menyebabkan terjadinya perbedaan

isi antara bahan baru dengan konsep pokok.

b) Pada saat memberikan penafsiran pertama terhadap bahan baru yang bersifat selektif,

terjadi kesalahan dan penghilangan atau pengurangan ciri-ciri. Pada fase mengingat

kembali bahan-bahan tersebut cenderung terjadi pengurangan terhadap konsep-konsep

yang telah ada dalam struktur kognitif. Jika suatu bahan baru salah penafsirannya karena

adanya kelainan dalam struktur kognitif, kesalahan tersebut akan menetap malah akan

diperkuat pada masa-masa asimilasi.

c) Kesalahan dan penyimpangan dapat terjadi bila suatu makna yang telah tersimpan

dirumuskan kembali secara verbal.

Dalam menerima suatu konsep baru terjadi “leveling” dan “sharpening”. Leveling adalah

penyusutan bentuk yang tidak lazim dalam bentuk yang lebih lazim, sedang sharpening

adalah penajaman suatu konsep atau perangsang menjadi lebih sempurna lebih baik.

Masalah lupa memiliki nilai positif dan juga nilai negatif. Nilai positifnya adalah

menyeleksi ide- ide baru mana yang lebih stabil, lebih penting dan lebih memperkuat

konsep-konsep yang telah ada, dan tidak mengingat semua perangsang yang masuk.
Mengingat bermakna yaitu memasukkan konsep-konsep penting dalam struktur kognitif

sangat penting bagi kegiatan belajar lebih lanjut dan kegiatan-kegiatan pemecahan

masalah sebab konsep-konsep tersebut merupakan pijakan dan bahan yang akan diolah

dalam proses belajar selanjutnya. Penguasaan konsep-konsep penting sering

mengabaikan konsep-konsep atau detail-detail yang kurang penting. Hal itu disebabkan

bahan-bahan yang tidak penting sudah tercakup dalam hal-hal yang penting. Karena

merasa sudah tercakup sering terlupakan. Sebab lain, terjadi karena bahan-bahan baru

yang kurang penting tersebut dalam penyatuannya dengan yang telah ada kurang stabil,

kurang kuat, kurang jelas sehingga mudah sekali terlupakan. Tiap bahan pelajaran dapat

diajarkan kepada anak secara efektif bila sesuai dengan tingkat perkembangan anak

tersebut. Ada tiga masalah penting berkenaan dengan penyesuaian bahan ajar dengan

perkembangan anak:

1. Perkembangan intelek

Hasil penelitian berkenaan dengan perkembangan intelek anak menunjukkan, bahwa tiap

tingkat perkembangan mempunyai karakteristik tertentu tentang cara anak meithat

lingkunganriya dan cara memberi arti bagi dirinya sendiri. Mengajarkan suatu bahan

pelajaran kepada anak, adalah mempresentasikan struktur bahan pelajaran sesuai dengan

cara anak memandang atau mengartikan bahan pelajaran tersebut. Pengajaran merupakan

suatu translation. Suatu dugaan umum bahwa ide atau konsep dapat direpresentasikan

dengan sebenar-benarnya dan sebaik-baiknya sesuai dengan tingkat pemikiran anak pada

tingkat usia tertentu, dan representasi pertama diperkuat dan diperbaiki pada tingkat

selanjutnya.
Menurut Piaget, ada empat tingkat perkembangan anak: Tingkat pertama adalah tingkat

Sensory motor, masa lahir sampai 2 tahun merupakan masa perkembangan kemampuan

bergerak dan merespons terhadap rangsangan. Ymgkat kedua, masa 2 sampai 7 tahun

disebut tingkat Pre— operasional. Tugas perkembangan anak pada masa mi terutama

membentuk hubungan antara pengalaman dengan kegiatan. Melalui berbagai kegiatan

anak bermanipulasi dengan lingkungan. Tingkat mi mulai dan perkembangan awal

berbahasa sampai anak mampu belajar bermanipulasi dengan simbol-simbol.

Kemampuan simbolik utama yang harus dipelajari anak, adalah bagaimana

merepresentasikan dunia luar melalui pembentukan simbol-simbol anak, tidak ada batas

perbedaan antara motif dan peranan dirinya dengan kegiatan lingkungannya. Matahari

bergerak karena didorong oleh Tuhan, dan bintang-bintang tidur seperti dia. Anak tidak

dapat membedakan antara tujuan dengan cara atau alat untuk mencapainya. Hal itu

karena anak lebth dipengaruhi oleh intuisi daripada oleh kegiatan simbolik, lebth banyak

dipengaruhi perbuatan trial and error daripada hasil pemikiran.

Kekurangan utama pada tingkat mi adalah anak belum memiliki konsep perbedaan atau

perlawanan (reversibility). Bila suatu benda berubah anak belum dapat menangkap ide

bahwa benda tersebut dapat dikembalikan pada keadaan asalnya. Kekurangan tersebut

sering menghambat penguasaan ide dasar bidang studi tertentu terutama matematika dan

fisika. Tingkat ketiga, masa antara 7 sampai 11 tahun, merupakan masa anak sekolah,

disebut juga tingkat “concrete operational”. Tingkat ini merupakan tingkat operasional

yang berbeda dengan tingkat pertama yang semata-mata hanya aktif.

Operasi merupakan pengumpulan data tentang dunia sekitarnya, kemudian

ditransformasikan sehingga dapat disusun dan digunakan secara selektif dalam


memecahkan masalah. Operasi bersifat internalisasi dan reversible. Internalisasi berarti

bahwa anak memecahkan masalah bukan dengan cara trial and error tetapi dengan

pemikiran, trial and error digurtakan untuk menjadi pembantu atau bahan pembanding

pemikiran. Reversibility diperlukan, karena dalam operasi dibutuhkan adanya “complete

compensation”. Suatu operasi dapat dikompensasi dengan operasi sebaliknya.

Pengurangan dikompensasi oleh penjumlahan, perkalian oleh pembagian.

Dengan operasi konkret anak mengembangkan struktur internalnya. Struktur internal

merupakan hal yang sangat esensial, karena dengan struktur internal anak mampu

beroperasi. Pada din anak ada sistem simbolik internal yang merepresentasikan dunia

luar. Agar anak menguasai apa yang diajarkan, maka bahan ajar harus disesuaikan

dengan “bahasa” struktur internal tersebut. Operasi konkret dibimbing oleh “logika

kelas” dan “logika” hubungan yang merupakan alat penstrukturan kenyataan yang

dthadapinya dan pernah dialaminya pada saat yang lalu, tetapi ia belum mampu

menghadapi kemungkinan-kemungkinan yang sama sekali asing baginya. mi tidak berarti

anak yang beroperasi secara konkret tidak mampu mengantisipasi hal-hal yang tidak ada.

Anak belum mampu secara sistematik melampaui informasi yang dibenikan, untuk

mendeskripsikan apa yang terjadi.

Tingkat keempat, masa antara 11 sampai dengan 14 tahun, merupakan tingkat “formal

operation”. Kegiatan intelektual anak didasarkan atas kemampuan beroperasi pada

tingkat hipotetis dan bukan lagi pada tingkat pengalaman, atau terbatas pada apa yang

telah dikenalnya. Seorang anak mampu memikirkan kemungkinan vaniabel-vaniabel, dan

bahkan mampu mendeduksi hubungan potensial yang dapat dicek dengan percobaan atau

pengamatan. Operasi intelektual telah berkembang sampai pada tingkat semacam operasi
logis ahli logika, sarjana atau para pemikir lainnya. Pada tingkat mi anak mampu

membenikan pernyataan formal atau pernyataan axiomatik pada ide-ide yang konknet,

sebelum langkah pemecahan masalah. Pada tingkat operasi konkret anak mampu

menangkap secara intuitif dan konkret, sejumlah ide-ide dasar ilmu pengetahuan.

Yang sangat pentirg dalam mengajarkan konsep-konsep dasar adalah anak dibantu untuk

berkembang dan benpikir konkret pada menggunakan cara benpikir yang lebih

konseptual. Hal itu akan sia-sia saja, bila guru mengajarkannya dengan cara menyajikan

penjelasan-penjelasan formal yang didasarkan atas logika, kurang disesuaikan dengan

cara berpikir anak serta kunang mengaplikasikannya. Dalam pengajaran matematika

sering anak bukan belajar “aturan matematis”, tetapi belajar menggunakan alatalat atau

resep-resep matematis tanpa memahaminya.

Perkembangan intelek anak bukanlah suatu rangkaian perkembangan yang bersifat

tertutup, tetapi terbuka, merespons terhadap pengaruh lingkungannya terutama

lingkungan sekolah. Perkembangan intelek anak perlu ditunjang oleh kesempatan-

kesempatan yang berguna agar berkembang lebih pesat. Menurut David Page seorang

ahli dan guru yang sangat berpengalaman dalam mengajar matematika, dalam pengajaran

dan Taman Kanak-Kanak sampai Perguruan Tinggi dalam perkembangan intelek

menunjukkan kecenderungan yang sama, bahwa anak lebih spontan, lebih kreatif, lebth

energik dibandingkan dengan orang dewasa. Belajar anak dalam segala hal lebth cepat

dibandingkan dengan orang tua.

2. Kegiatan belajar

Belajar sesuatu bidang pelajaran, minimal meliputi tiga proses. Pertama, proses

mendapatkan atau memperoleh informasi baru untuk melengkapi atau menggantikan


informasi yang telah dimiliki atau menyempumakan pengetahuan yang telah ada. Kedua,

trarisformasi, yaitu proses memanipulasi pengetahuan agar sesuai dengan tugas yang

baru. Transformasi meliputi cara-cara mengolah informasi untuk sampai pada kesimpulan

yang lebih tinggi. Ketiga, proses evaluasi untuk mengecek apakah manipulasi sudah

memadai untuk dapat menjalankan tugas mencapai sasaran. Apakah kesimpulan yang

telah dilakukan dengan saksama, dapat dioperasikan dengan baik.

Dalam mempersiapkan bahan pelajaran, biasanya kita susun bahan pelajaran tersebut

dalam rentetan episode (satuan pelajaran). Dalam tiap episode terdapat ketiga proses di

atas. Episode belajar dapat panjang, juga dapat pendek, berisi banyak konsep, atau hanya

beberapa konsep saja. Dalam menyajikan bahan pelajaran sesuai dengan kemampuan dan

kebutuhan murid, episode-episode bahan pelajaran, kita manipulasi dengan beberapa

cara. Cara-cara yang biasa dilakukan adalah: memperpanjang atau memperpendek isi

episode, memberikan ganjaran dalam bentuk pujian, pemberian gelar juara, dan

sebagainya, mempersiapkan pertanyaan yang dapat memberikan motivasi intrinsik atau

ekstrinsik.

3. Spiral kurikulum

Jika prinsip-prinsip perkembangan anak telah diperhatikan, bahan ajar telah disusun

dalam urutan yang logis dan cukup mendorong perkembangan dan keadaan

memungkinkan untuk memperkenalkannya seawal mungkin; apakah anak akan menjadi

orang dewasa dan berpengetahuan. Bila sudah cukup berpengetahuan apakah menjadi

orang dewasa yang lebih baik? Bila jawabannya cenderung ke arah tidak atau tidak jelas

(ambigius), hal itu menunjukkan belum adanya keteraturan dalam materi kurikulum.
Kurikulum bukan sesuatu yang statis tertutup, tetapi merupakan spiral terbuka.

Kurikulum memiliki struktur bahan ajar, yang disusun atau dibentuk di sekitar prinsip-

prthsip, masalah-masalah dan nilai-nilai dalam masyarakat. Kurikulum selalu

membutuhkan baik anak didik maupun masyarakat sekitamya.

E. Minat dan Motif Belajar

Dalam perencanaan kurikulum sering dibedakan antara tujuan jangka panjang dan tujuan

jangka pendek. Seorang yang berpendirian lebth praktis lebih mengutamakan tujuan

jangka pendek, yang dapat dicapai dengan penggunaan bahan yang singkat serta metode

yang sederhana. Orang yang lebih ideal, lebih mengutamakan tujuan jangka panjang,

karena tujuan jangka pendek tidak memberikan arah sama sekali. Kedua macam tujuan

tersebut sama pentingnya dan diperlukan dalam pelaksanaan program. Tujuan jangka

panjang merupakan tujuan akhir pendidikan (the end of education), penting, sebab

merupakan sasaran akhir, tetapi tujuan jangka pendek juga penting sebab dengan tujuan

tersebut lebih konkret, lebih mudah dicapai dan akan selalu ditemukan tujuan yang baru

menuju sasaran akhir.

Pendidikan di Amerika Serikat dewasa mi sangat menekankan pada keunggulan

(excellence). Masalahnya, untuk mencapai hal tersebut, apa yang harus diajarkan,

bagaimana mengajarkannya serta bagaimana membangkitkan minat belajar murid.

Pencapaian keunggulan bukan hanya bagi anak-anak yang cerdas tetapi juga ditujukan

bagi anak-anak biasa. Konsep pendidikan atau pengajaran hanya dipersiapkan bagi anak

ratarata agar sesuai bagi setiap kelompok anak, adalah kurang tepat. Persoalannya,

bagaimana menyiapkan bahan pengajaran yang dapat merangsang minat belajar anak

cerdas, tetapi juga tidak mematikan minat atau tetap mendorong minat belajar anak-anak
yang tidak cerdas. Untuk mencapai cita-cita pendidikan unggul dibutulikan kurikulum

yang sesuai, pendidikan guru yang efektif, menggunakan alat-alat bantu pengajaran yang

cukup serta diciptakan berbagai usaha pemberian motivasi.

Pembangkitan motif belajar pada anak, sukar dilaksanakan apabila proses belajar lebih

menekankan pada satuan-satuan kurikulum, sistem kenaikan kelas, sistem ujian, serta

mengutamakan kontinuitas dan pendalaman belajar.

Mengenai pemusatan perhatian dan minat belajar terletak dalam suatu

kontinum yang bergerak dan sikap apatis atau sama sekali tidak menaruh cukup

berpengetahuan apakah menjadi orang dewasa yang lebih baik? Bila jawabannya

cenderung ke arah tidak atau tidak jelas (ambigius), hal itu menunjukkan belum adanya

keteraturan dalam materi kurikulum.

Kurikulum bukan sesuatu yang statis tertutup, tetapi merupakan spiral terbuka.

Kurikulum memiliki struktur bahan ajar, yang disusun atau dibentuk di sekitar prinsip-

prinsip, masalah-masalah dan nilai-nilai dalam masyarakat. Kurikulum selalu

membutuhkan baik anak didik maupun masyarakat sekitamya. minat sampai dengan yang

sangat berminat. Minat atau perhatian belajar mi sangat berhubungan dengan kegiatan

belajar. Kegiatan belajar juga bergerak dan yang aktif, yang berbentuk suatu proyek yang

berisi kegiatan kompetitif, yang banyak membangkitkan minat belajar anak sampai

dengan kegiatan yang bersifat excessive yakni setiap anak secara pasif menanti giliran

penugasan, yang banyak memberikan kebosanan dan apatisme.

Pembangkitan minat belajar pada anak, ada yang bersifat sementara (jangka pendek), dan

ada juga yang lebih bersifat menetap (jangka panjang). Terdapat perbedaan usaha untuk

membangkitkan minat yang bersifat sementara dengan yang lebth bersifat menetap.
Penggunaan film, audio visual aid, dan lain-lain dapat membangkitkan minat yang

bersifat sementara. Untuk yang lebih berjangka lama, film, audio visual aid, dan lain-lain

dapat menimbulkan kepasifan. Film dan audio visual aid merupakan alat yang

berorientasi pada hiburan, seperti halnya kebudayaan komunikasi massa dapat

menimbulkan kepasifan dan sikap monoton. Sikap belajar menonton yang pasif (the

spectator’s possitivy) merupakan hal yang membahayakan dalam perkembangan anak.

Untuk membangkitkan minat yang lebih bersifat menetap (jangka panjang), langkah

pertama yang harus diusahakan adalah membangkitkan otonomi yang aktif, yang

merupakan lawan dan kepenontonan yang pasif. Motif belajar pada anak umumnya

campuran, antara yang bersifat sementara, antara otonomi aktif dengan menonton.

Beberapa hal dapat diusahakan untuk membangkitkan motif belajar pada anak yaitu

pemilihan bahan pengajaran yang berarti bagi anak, menciptakan kegiatan belajar yang

dapat membangkitkan dorongan untuk menemukan (discovery), menerjemahkan apa

yang akan diajarkan dalam bentuk pikiran yang sesuai dengan tingkat perkembangan

anak. Sesuatu bahan pengajaran yang berarti bagi anak yang disajikan dalam bentuk yang

sesuai dengan tingkat kemampuan berpikir anak, dan disampaikan dalam bentuk anak

lebih aktif, anak banyak terlibat dalam proses belajar dapat membangkitkan motif belajar

yang lebth berjangka panjang.

Salah satu sistem untuk membangkitkan motif belajar para siswa, yang sekarang sedang

dikembangkan adalah yang disebut meritocracy. Meritocracy merupakan sistem

pengajaran yang menekankan pada kompetisi atau persaingan. Dalam sistem meritocracy

siswa mempunyai kesempatan untuk maju terus sesuai dengan prestasi belajar yang

dicapainya. Posisi dalam sekolah selanjutnya ditentukan oleh record di sekolah


sebelumnya. Kesempatan pendidikan selanjutnya bahkan juga kesempatan pekerjaan

selanjutnya, ditentukan oleh sukses sebelumnya. Dalam sistem meritocracy anak yang

pandai dapat berkembang pesat, jauh meninggalkan teman-temannya, tetapi sebaliknya

anak yang kurang pandai akan jauh tertinggal. Sistem meritocracy dapat membangkitkan

motif yang sangat besar bagi anakanak yang pandai, tetapi dapat mematahkan semangat

anak-anak yang kurang. Sistem meritocracy selain mempunyai beberapa kebaikan, juga

mempunyai beberapa efek negatif terutama berkenaan dengan suasana belajar. Efek yang

kurang baik dalam suasana belajar dapat dikontrol dengan perencanaan yang matang.

Dalam sekolah yang menekankan sistem kompetitif, dibutuhkan usaha-usaha remedial

terutama untuk anak-anak lambat belajar. Penyuluhan khusus sering dibutuhkan bukan

saja oleh anak-anak yang lambat tetapi juga anak cepat. Remedial dan penyuluhan bukan

satu-satunya jawaban untuk mengatasi masalah belajar yang bersifat kompetitif. Salah

satu kelemahan sistem meritocracy adalah terlalu menekankan pada science dan

teknologi, pelajaran yang berkenaan dengan humanisme kurang sekali. Hal itu dapat

diatasi dengan menggunakan sistem pendidikan yang pluralistis. Pendidikan seni, musik,

drama serta pendidikan humanitas lainnya sangat membantu untuk mencapai

keseimbangan.

Anda mungkin juga menyukai