Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH PERKEMBANNGAN PENGENDALIAN HAMA

TERPADU DI INDONESIA

Disusun oleh:
Fahira Islamiyah 4122.1.18.11.0016

JURUSAN AGROTEKNOLOGI
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS WINAYA MUKTI
Jl. Raya Bandung Sumedang No.29, Gunungmanik, Kec.
Tanjungsari, Kabupaten Sumedang, Jawa Barat 45362
2020
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan kami kemudahan
sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu. Tanpa
pertolongan-Nya tentunya kami tidak akan sanggup untuk menyelesaikan makalah ini
dengan baik. Shalawat serta salam semoga terlimpah curahkan kepada baginda
tercinta kita yaitu Nabi Muhammad SAW yang kita nanti-natikan syafa’atnya di
akhirat nanti.
Penulis mengucapkan syukur kepada Allah SWT atas limpahan nikmat sehat-
Nya, baik itu berupa sehar fisik maupun akal pikiran, sehingga penulis mampu untuk
menyelesaikan pembuatan makalah ini dengan tepat waktu.
Penulis tentu menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna
dan masih banyak terdapat kesalahan serta kekurangan di dalamnya. Untuk itu,
penulis mengharapkan kritik serta saran dari pembaca untuk makalah ini, supaya
makalah ini nantinya dapat menjadi makalah yang lebih baik lagi. Demikian, dan
apabila terdapat banyak kesalahan pada makalah ini penulis mohon maaf yang
sebesar-besarnya.

Rancaekek, 15 Juli 2020


Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR....................................................................................................i
DAFTAR ISI.................................................................................................................ii
BAB I.............................................................................................................................1
PENDAHULUAN.........................................................................................................1
B. Rumusan Masalah.....................................................................................................1
C. Tujuan.......................................................................................................................1
BAB II...........................................................................................................................2
PEMBAHASAN............................................................................................................2
A. Pengendalian Hama Terpadu....................................................................................2
B. Prinsip Dasar dan Ciri-Ciri Pengendalian Hama Terpadu........................................3
C. Perkembangan Pengendalian Hama Terpadu (PHT) di Indonesia...........................4
BAB III........................................................................................................................12
PENUTUP...................................................................................................................12
A. Kesimpulan.............................................................................................................12
B. Saran.......................................................................................................................12
DAFTAR PUSTAKA..................................................................................................13

ii
iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Gangguan Organisme pengganggu Tanaman (OPT) dapat mengakibatkan
penurunan kualitas dan hasil budidaya. Adanya gangguan OPT terhadap tanaman
budidaya mengharuskan petani melakukasn berbagai macam pengendalian. Pada
awalnya, pengendalian dilakukan secara fisik atau mekanik mengunkan alat
sederhana. Tetapi, semakin luasnya daerah pertanain menyebabkan cara-cara fisik
dan mekanik tidak mampu membendung lonjakan hama. Seiring berkembangnya
ilmu pengetahuan dan teknologi, para ahli perlindungan tananam mengembangkan
metode dan teknik pengendalian hama yang lebih efektif.
Konsep PHT pertama kali muncul pada tahun 1960-an. Hal itu didasari pada
kekhawatiran masyarakat dunia akan dampak penggunaan pestisida bagi kesehatan
manusia dan lingkungan hidup. Di indonesia, pada tahun 1968 pemerintaah
meluncurkan program bimbingan masal (BIMAS) sebagai upaya peningkatan
produksi padi melalui penggunaan bibit unggul beradaya hasil tinggi, pengolahan
tanah, pengairan, pemupukan, dan penggunaan pestisida yang pada saat itu disebut
“obat hama”.

B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan PHT?
2. Apa saja prinsip dasar dan ciri-ciri PHT?
3. Bagaimana perkembangan PHT di Indonesia?

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan PHT
2. Untuk mengetahui apa saja prinsip dasar dan konsep PHT
3. Untuk mengtahui perkembanagan PHT di Indonesia

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengendalian Hama Terpadu


Sejak Stern et al. pada tahun 1959 mencetuskan konsep PHT, para ahli
tanaman masih membatasi pengertian PHT sebagai teknologi pengendalian hama
hang memadukan semua teknik pengendalian hayati dan pengendalian kimawi
dengan tujuan membatasi penggunaan pestisida.
Pada tahun 1978, Smith menyatakan PHT adalah suatu pendekatan ekologi
yang bersifat multidisplin untuk pengelolaan populasi hama dengan memanfaatkan
beraneka ragam teknik pengendalian secara kompatiibel dalam satu kesatuan
kooordinasi pengelolaan. Sedangkan Botrell (1979) menekankan bahwa PHT adalah
pemilihan, perpaduan, dan penerapan pengendalian hama yang didasarkan pada
perhitungan dan penaksiran konsekuensi-konsekuensi ekonomi, ekologi dan
sosiologi.
Menurut Peraturan Menteri Pertanian No.48/Permentan/OT.140/10/2009
menyebutkan bahwa PHT adalah upaya pengendalian serangan organisme penganggu
tanaman dengan teknik pengendalian dalam suatu kesatuan untuk mencegah
timbulnya kerugian secara ekonomi dan kerusakan lingkungan hidup dan
menciptakan pertanian yang berkelanjutan. Prinsip PHT meliputi pemanfaatan musuh
alami, budidaya tanaman sehat, pengamatan berkala dan petani ahli PHT. Mariyono
dan Irham (2001) menunjukkan bahwa PHT berdampak positif terhadap ekonomi
petani karena mampu mengurangi penggunaan pestisida serta meningkatkan
pengetahuan dan keterampilan
petani secara tidak langsung.
Dari perkembanagan dan banyaknya pengertian dari PHT, dapat disepakati
bahwa pengendalian hama tanaman menggunakan konsep PHT harus
memperhitungkan aspek-aspek sosial, ekonomi, politik, budaya dan lingkungan
hidup.

2
B. Prinsip Dasar dan Ciri-Ciri Pengendalian Hama Terpadu
Pengendalian hama terpadu (PHT) memiki 4 prinsip dasar yang
mencerminkan konsep pengendalian hama dan penyakit yag berwawsan lingkungan
serta mendorong PHT secara nasional untuk pembangunan pertanian yang
berkelanjutan.
1. Budidaya tanaman sehat
Tanaman yang sehat memiliki daya tahan yang baik terhadap serangan hama
dan penyakit, sehingga tanaman tersebut sukar terserang hama dan penyakit.
Tanaman yang sehat juga memiliki kemampuan memulihkan dirinya sendiri
dari kerusakan akibat serangan hama dan penyakit. Untuk memperoleh
tanaman yang sehat, petani harus memperhatikan varietas yang akan
dibudidayakan, serta teknik penyemaian dan pemeliharaan yang tepat.
2. Memanfaatkan musuh alami
Untuk menerapkan PHT yang baik bagi lingkungan hidup, musuh alami dapat
dimanfaatkan dan terbukti mampu menekan populasi hama dan menurunkan
resiko kerusakan tanaman. Akibat serangaan hama dan penyakit. Pemanfaatan
musuh alami diharapkan dapat menjaga keseimbanagn populasi hama dan
populasi musuh alami. Sehingga tidak terjadi peledakan populasi hama
maupun pupulasi musuh alaminya.
3. Pengamatan dan pemantauan rutin
Saat menjalankan sistem PHT, pengamatan dan pemantauan harus dilakukan,
pemantauan dan pengamatan harus dilakukaan secara rutin dan berkala.
Pengamatan dan pemantauan dillakukan untuk mengetahui perkembangan
hama, kondisi tanaman, dan perkembangan populasi musuh alaminya. Hasil
dari pengamatan dan pemantauan digunakan sebagai dasar tindakan yang
harus dilakukan.
4. Petani sebagai ahli PHT
Pengendalian hama terpadu (PHT) sebaiknya dikembangkan oleh petani
sendiri, karena harus menyesuaikan dengan ekosistem daerah setempat.

3
Ekosistem di setiap daerah berbeda, sehingga sistem PHT di suatu wilayah
tertentu belum tentu cocok jika diterapkan pada wilayah lainnya. Agar mampu
menerapkan PHT di wilayahnya, maka petani harus aktif dalam mempelajari
dan mengembangkan konsep PHT.
Ciri-Ciri Pengendalian Hama Terpadu:
1) Penerapan pengendalian hama terpadu (PHT) dilakukan secara
bersistem, terpadu dan terrkoordinasi dengan baik.
2) Sasarannya adalah produksi dan ekonomi tercapai tanpa merusak
lingkungan hidup dan aman bagi kesehatan manusia.
3) Mempertahankan produksi dan mengedepankan kualitas produk
pertanian.
4) Mempertahankan populasi hama atau tingkat serangan hama dibawah
ambang ekonomi, ambang kendali dan ambang tindakan.
5) Mengurangi dan membatasi penggunaan pestisida kimia
6) Penggunaan pestisida kimia merupakan alternatif terakhir apabila
teknik pengendalian yang ramah lingkungan tidak mampu mengatasi.

C. Perkembangan Pengendalian Hama Terpadu (PHT) di Indonesia


Sejalan dengan perkembangan ilmu pe-ngetahuan dan teknologi, PHT tidak
lagi dipandang sebagai teknologi, tetapi telah menjadi suatu konsep dalam
penyelesaian masalah lapangan (Kenmore 1996). Pada tahun 1996 Waage
menggolongkan konsep PHT ke dalam dua kelompok, yaitu konsep PHT teknologi
dan PHT ekologi. Konsep PHT teknologi merupakan pengembangan lebih lanjut dari
konsep awal yang dicetuskan oleh Stern et al. (1959), yang kemudian di-kembangkan
oleh para ahli melalui agenda Earth Summit ke-21 di Rio de Janeiro pada tahun 1992
dan FAO.
Tujuan dari PHT teknologi adalah untuk membatasi penggunaan insektisida
sintetis dengan memperkenalkan konsep ambang ekonomi sebagai dasar penetapan
pengendalian hama. Pendekatan ini mendorong penggantian pestisida kimia dengan

4
teknologi pengendalian alternatif, yang lebih banyak memanfaatkan bahan dan
metode hayati, termasuk musuh alami, pestisida hayati, dan feromon. Dengan cara
ini, dampak negatif penggunaan pestisida terhadap kesehatan dan lingkungan dapat
dikurangi (Untung 2000).
Konsep PHT ekologi berangkat dari perkembangan dan penerapan PHT dalam
sistem pertanian di tempat tertentu. Dalam hal ini, pengendalian hama didasarkan
pada pengetahuan dan informasi tentang dinamika populasi hama dan musuh alami
serta keseimbangan ekosistem. Berbeda dengan konsep PHT teknologi yang masih
menerima teknik pengendalian hama secara kimiawi berdasarkan ambang ekonomi,
konsep PHT ekologi cenderung menolak pengendalian hama dengan cara kimiawi.
Di indonesia, sejak tahun 1968 upaya peningkatan padi secara nasional sudah
dijalankan dengan adanya program bimbingan massal (BIMAS) melalui penggunaan
bibit unggul beradaya hasil tinggi, pengolahan tanah, pengairan, pemupukan, dan
penggunaan pestisida yang pada saat itu disebut “obat hama”. Dengan menerapkan
teknologi panca usaha secara parsial berupa varietas unggul IR5 dan IR8,
pemupukan, dan penyemprotan hama dari udara. Inovasi ini berhasil meningkatkan
produksi beras menjadi 12,25 juta ton pada tahun 1969 dari 11,67 juta ton pada tahun
1968.
Konsep PHT di Indonesia dimulai saat meledaknya populasi hama wereng
cokelat akibat penggunaan pestisida yang berlebihan. Wereng coklat ditemukan
sebagai hama padi di Indonesia pada tahun 1930-an, saat itu masih merupakan hama
minor. Sejak tahun 1970, ledakan wereng coklat terjadi di berbagai daerah dan dalam
area yang luas khususnya di Jawa, Sumatera Utara, dan Bali (Kalshoven 1981). Pada
tahun 1972 dilaporkan adanya serangan wereng coklat pada varietas Pelita I/1
(dilepas tahun 1971) di Pulau Jawa dan Sumatera, bahkan sampai ada yang puso.
Populasi wereng coklat yang menyerang Pelita I/1 (tidak mempunyai gen ketahanan)
tersebut dinamakan biotipe 1. Serangan ini makin lama makin meluas. Untuk
menanggulanginya diintroduksi varietas tahan dari IRRI, yaitu IR26 yang mempunyai
gen ketahanan Bph1. Varietas ini mampu menurunkan serangan wereng coklat, tetapi

5
hanya dapat bertahan sekitar 3/4 musim karena pada tahun 1976 dilaporkan serangan
wereng coklat pada varietas IR26, IR28, IR30, dan IR34 di Sumatera Utara, Aceh,
Banyuwangi, dan Bali. Wereng coklat yang menyerang varietas IR26 dinamakan
biotipe 2 (Mochida 1978).
Pada tahun 1977, Peter Kenmore, seorang mahasiswa S3 University of
California Berkeley mulai meneliti ekologi wereng cokelat di IRRI. Dia menemukan
bahwa terdapat musuh alami yang menyebabkan popoulasi hama wereng cokelat dan
hama-hama lainnya rendah. Seperti laba-laba, capung, berbagai jenis kumbang dan
berbagai serangga parasitoid yang merusak telur, nimfa dan imago wereng cokelat.
Penggunaan pestisida yang berlebihan selain mendorong munculnya biotipe wereng
baru, juga mematikan musul alaminya yang mengakibatkan resurgensi hama (target
pest resurgence) dan ledakan hama sekunde (secondary pest outbreak). Tetapi temuan
ini kurang mendapat perhatian di Indonesia bahkan oleh IRRI. IRRI terus sibuk
berpacu menghasilkan varietas tahan wereng baru yang selalu dipatahkan dengan
adanya wereng cokelat biotipe baru.
Penelitian mengenai ekologi wereng cokelat di Indonesia dilakukan oleh Ida
Nyoman Oka dari Deptan dan Kasumbogo Untung dari UGM pada awal 1980-an.
Varietas dengan gen ketahanan bph2 seperti IR42 dilepas tahun 1980 untuk meredam
serangan wereng coklat biotipe 2. Namun, varietas ini pun tidak bertahan lama. Pada
musim hujan 1981/1982 terjadi serangan wereng coklat pada varietas IR42 di
Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara.
Setelah dilakukan pengujian, wereng coklat yang menyerang IR42 tersebut
adalah biotipe 3. Untuk menghadapi wereng coklat biotipe 3 diintroduksikan varietas
IR56 (gen ketahanan Bph3) pada tahun 1983 dan IR64 (gen ketahanan Bph1+) pada
tahun 1986 serta IR74. Dari ketiga varietas tersebut, hanya IR64 yang disukai petani
karena mempunyai rasa nasi enak, hasil tinggi, dan tahan terhadap wereng coklat
biotipe 3, sedangkan IR56 dan IR74 tidak disukai petani karena nasinya pera. Sejak
itu banyak varietas padi dilepas sebagai keturunan atau perbaikan dari IR64, salah
satunya ialah varietas Ciherang.

6
Ketika pada tahun 1985 terjadi lagi peledakan populasi wereng cokelat,
seorang staf Depkeu mengingatkan Menkeu bahwa subsidi pestisida sudah terlalu
besar dan perlu diacari cara untuk mengurangi penggunaan pestisida. Kemudian
dengan berdasar pada hasil-hasil penelitian ekologi wereng cokelat yang dilakukan di
Indonesia, mendorong dikeluarkannya Intruksi Presiden (Inpres) No. 3/1987 yang
mencabut ijin dan melarang peredaran 57 jenis pestisida.
Inpres ini menjadi tonggak awal konsep PHT di Indonesia karena dalam
periode 1989-1999 melalui program Sekolah La-pang PHT (SLPHT) Departemen
Pertanian berhasil melatih lebih dari satu juta petani, khususnya untuk tanaman padi
dan tanaman pangan lainnya. Hal ini tentu penting artinya dalam meningkatkan
kesejahteraan petani melalui PHT dalam praktek pertanian yang baik. Program
nasional tersebut ditangani langsung oleh BAPPENAS dan memungkinkan Indonesia
menjadi negara berkembang yang berhasil menerpkan PHT.
Selanjutnya pada tahun 1997 Kepmentan No. 887/Kts/OT.210/9/97,
Pengendalian OPT harus memenuhi aspek ekologi, aspek ekonomis, aspek sosial dan
aspek teknis serta pengendalian pencegahan dan penanggulangan OPT pra tanam,
pertumbuhan pasca panen. Kemudian pada tahun 2000 UU No. 29 tahun 2000
tentang Perlindungan Varietas Tanaman. Sesuai dengan peraturan pemerintah Nomor
25 Tahun 2000 menjelaskan bahwa pemerintah pusat mempunyai kewenangan dalam
melaksanakan pengaturan dan pengawasan produksi, peredaran, penggunaan dan
pemusnahan pestisida.
Keuntungan penerapan PHT setelah petani dilatih melalui SLPHT antara lain
adalah:
 Berkurangnya biaya pengenda-lian hama/penyakit tanaman.
 Berkurangnya frekuensi aplikasi pestisida dari rata-rata 3 kali menjadi 1
kali/periode tanam.
 Berubahnya wawasan petani dalam hal penggunaan pestisida, yaitu dari
aplikasi untuk pen-cegahan ke aplikasi berdasar-kan hasil pengamatan.

7
Di tingkat makro, meskipun subsidi pestisida untuk petani sudah dihapus,
produksi padi nasional tidak berkurang bahkan terus meningkat, meskipun dengan
laju yang melandai dalam dekade terakhir. Hal ini meyakinkan sebagian orang bahwa
tanpa pestisida, produksi padi dapat dipertahankan bahkan ditingkatkan. Keyakinan
tersebut menimbulkan persepsi bahwa PHT dapat dilakukan tanpa pestisida, satu hal
yang menyimpang dari konsep PHT.
Teknik penerapan PHT yang dianjurkan oleh Pusat Penelitian Padi
Internasional (IRRI) cukup sederhana, yaitu tidak melakukan aplikasi insektisida
pada tanaman padi hingga berumur 45 hari setelah tanam. Teknik ini berhasil
diterapkan di Vietnam, tetapi tidak dapat diterapkan sepenuhnya di Indonesia karena
adanya masalah hama penggerek batang dan penyakit tungro. Khusus untuk penyakit
tungro, periode tanaman peka ber-ada pada stadia muda, yaitu saat tidak
diperbolehkan untuk aplikasi pestisida. Di daerah yang hanya dihadapkan pada
masalah wereng coklat, teknik tersebut dapat diterapkan.
Dalam implementasinya di lapang, teknik tersebut tidak memperhatikan hasil
pengamatan, yang menjadi salah satu komponen penting dalam penerapan PHT. Hal
ini bertentangan dengan tujuan SLPHT yang memberikan kesempatan kepada petani
untuk mengambil keputusan sesuai dengan hasil pengamatan mereka di lapang.
Dalam bercocok tanam padi, PHT tidak bisa diimplementasikan sebagai satu
kegiatan yang mandiri, tetapi merupakan bagian dari sistem produksi. Tujuan utama
dari usaha tani padi adalah mendapatkan hasil yang tinggi dengan keuntungan yang
tinggi pula dalam proses produksi yang ramah ling-kungan. Oleh karena itu, PHT
perlu diintegrasikan dan menjadi bagian penting dari budi daya padi yang baik (good
agronomy practice).
Pada dasarnya teknik budi daya padi mempengaruhi perkembangan hama dan
penyakit. Di masa yang akan datang, PHT sebaiknya menjadi satu paket dengan budi
daya padi dalam sistem pengelolaan tanaman terpadu (PTT), sesuai dengan
rekomendasi Komisi Padi Internasional kepada FAO pada per-temuan ke-9 tahun
1998 di Mesir.

8
PTT sebagai model atau pendekatan dalam budi daya pertanian mulai diuji
coba pada MH 1999/ 2000 di Balai Penelitian Tanaman Padi, Sukamandi, Jawa Barat.
Kom-ponen PTT meliputi penanaman benih muda tunggal, perbaikan aerasi tanah,
penggunaan pupuk organik, efisiensi pemupukan N dengan menggunakan bagan
warna daun, aplikasi pupuk P dan K berdasarkan hasil analisis tanah, dan efisiensi
penggunaan pestisida dengan PHT.
Hubungan PHT dengan Pertanian Berkelanjutan
Sistem pertanian berkelanjutan merupakan tujuan jangka panjang PHT dengan
sasaran pencapaian produksi tinggi, produk berkualitas, perlindungan dan
peningkatan kemampuan tanah, air, dan sumber daya lainnya, pembangunan
perekonomian desa agar makmur (thriving), dan kehidupan yang lebih baik bagi
keluarga petani dan komunitas pertanian pada umumnya. Hal ini baru akan terwujud
pada beberapa dekade mendatang karena pertanian ber-kelanjutan sampai saat ini
belum memiliki model atau alternatif dalam hubungannya dengan pertanian yang
ekonomis yang dapat dirujuk (Earles 2002).
Konsep pertanian berkelanjutan muncul akibat implementasi pertanian
modern yang menurunkan kualitas sumber daya alam. Pertanian modern dengan input
tinggi mampu meningkatkan hasil tanaman, namun di sisi lain menimbulkan
kerusakan lingkungan yang untuk memperbaikinya diperlukan biaya yang besar.
Kerusakan lingkungan antara lain terlihat dari hilangnya permukaan tanah,
pencemaran air, hilangnya biodiversitas, ketergantungan pada sumber daya yang
tidak dapat di-perbarui, meningkatnya biaya produksi dan jatuhnya harga hasil
pertanian.
PHT dalam pertanian berkelanjutan dalam proses produksinya sangat mem-
perhatikan keadilan terhadap masyarakat, khususnya petani produsen dan konsumen.
Oleh karena itu, perlu diterapkan ekolabel yang memberi penghargaan (rewarding)
kepada petani yang telah berproduksi dengan benar. Juga perlu memperhatikan
konsumen yang turut berkontribusi dalam pengembangan pertanian yang baik, mem-

9
beri peluang kepada petani untuk membedakan sendiri pasar/tempat penjualan, dan
bahkan bila perlu ada kontrak antara petani produsen dan pedagang.
Aternatif Kebijakan Implementasi PHT
PHT pada pengimplementasian nya tidak selamanya baik. Adakalanya
terdapat kekeliruan seperti penggunaan pestisida yang sangat toksik, residu di atas
batas maksimum residu (BMR), dan pencemaran lingkungan, yang pada akhirnya
merusak kesehatan masyarakat. Oleh karena itu, perlu adanya alternatif dalam
pengimplementasian PHT :
1. Teknologi Pengendalian Hama secara Hayati
Pengendalian hayati secara inundasi ada-lah memasukkan musuh
alami dari luar dengan sengaja ke pertanaman untuk mengendalikan hama.
Inundasi yang dapat dilakukan adalah penggunaan cendawan Beauveria
bassiana dan Metarhizium anisopliae sebagai agens hayati.
Efektivitas biakan B. bassiana terhadap wereng coklat mencapai 40%
(Baehaki et al. 2001). Cendawan ini selain dapat mengendalikan wereng
coklat, juga dapat digunakan untuk mengendalikan walang sangit (Tohidin et
al. 1993), Darna catenata (Daud dan Saranga 1993), dan lembing batu
(Caraycaray 2003). Formulasi cendawan M. anisopliae dapat menurunkan
populasi hama sampai 90%.
2. Perbaikan Teknik Budi Daya
Perbaikan teknik budi daya merupakan alternatif dalam melindungi
tanaman, menekan perkembangan hama, dan memudahkan berkembangnya
musuh alami. Penggunaan bahan organik dan sisa-sisa tanaman dalam budi
daya padi dapat meningkatkan perkembangan serangga netral, serangga turis,
serangga pemakan bangkai (scavenger), dan serangga pe-makan sisa bahan
organik (detritus). Se-rangga-serangga tersebut masuk ke dalam rantai
makanan predator seperti laba-laba, P. fuscifes, Coccinella, dan Paedonia
nigrofasciata yang berguna untuk menekan hama tanaman padi.
3. Varietas Tahan Wereng

10
Balai Besar Penelitian Tanaman Padi (BB Padi) telah menghasilkan
beberapa varietas unggul padi yang tahan terhadap wereng cokelat. Sebagian
dari varietas yang dilepas tersebut belum diidentifikasi gen ketahanannya,
namun dapat ditelusuri dan diketahui dari tetua persilangannya. Ketahanan
varietas sebelum dilepas diketahui secara fenotipe dari hasil skrining massal
atau uji penapisan di rumah kaca terhadap galur-galur harapan.
Beberapa varietas menggunakan donor dari varietas diferensial, seperti
Bahbutong dan Barumun yang mempunyai ketahanan yang berasal dari PTB
33. Varietas IR56, IR60, IR62, IR70, IR72, dan IR74 merupakan varietas
yang diidentifikasi mempunyai gen Bph3 yang berasal dari Rathu Heenati.
Bahbutong dan Barumun merupakan varietas yang sudah lama dilepas, yaitu
tahun 1985 dan 1991. Walaupun belum teridentifikasi gen ketahanannya,
berdasarkan asal persilangan dapat diketahui bahwa sifat ketahanannya
diperoleh dari PTB 33 yang mempunyai gen ketahanan bph2 dan Bph3.
Varietas tahan terbaru yang dilepas adalah Inpari 13, Inpari 31, dan
Inpari 33. Inpari 13 dilepas tahun 2010, merupakan hasil introduksi dari IRRI
dengan nomor seleksi OM1490, asal persilangan dari OM606/IR18348-36-3-3
(BB Padi 2013). Varietas tersebut terdeteksi memiliki alel gen Bph1 dan Bph3
melalui analisis polymerase chain reaction (PCR) menggunakan marka DNA
(deoxyribo-nucleic acid) terkait Bph1, bph2, bph3, dan bph4 (Damayanti dan
Utami 2014). Inpari 13 telah terbukti ketahanannya terhadap wereng coklat
populasi lapang.
Varietas Inpari 31 dengan nomor seleksi B12743-MR-18-2-3-8
merupakan hasil persilangan dari Pepe/BP342B-MR-1-3-KN-1-2-3-6-MR-3-
BT-1, sedangkan Inpari 33 (nomor seleksi B11742-RS*2-3-MR-5-5-1-Si-1-3)
adalah hasil persilangan BP360E-MR-79-PN-2/IR71218-38-4-3// BP360E-
MR-79-PN-2. Kedua varietas tersebut belum diidentifikasi gen ketahanannya
terhadap wereng coklat.

11
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
PHT adalah upaya pengendalian serangan organisme penganggu tanaman
dengan teknik pengendalian dalam suatu kesatuan untuk mencegah timbulnya
kerugian secara ekonomi dan kerusakan lingkungan hidup dan menciptakan pertanian
yang berkelanjutan.
Konsep PHT pertama kali muncul pada tahun 1960-an. Hal itu didasari pada
kekhawatiran masyarakat dunia akan dampak penggunaan pestisida bagi kesehatan
manusia dan lingkungan hidup. Di indonesia, pada tahun 1968 pemerintaah
meluncurkan program bimbingan masal (BIMAS) sebagai upaya peningkatan
produksi padi melalui penggunaan bibit unggul beradaya hasil tinggi, pengolahan
tanah, pengairan, pemupukan, dan penggunaan pestisida yang pada saat itu disebut
“obat hama”.

B. Saran
Dalam mengimplementasi konsep PHT sebaiknya diperhatikan aspek-aspek
seperti aspek ekonomi, sosial, budaya, dan juga lingkungan.

12
DAFTAR PUSTAKA
Sari, N., Fatchiya, A., & Tjitropranoto, P. (2016). Tingkat Penerapan Pengendalian
Hama Terpadu (PHT) Sayuran di Kenagarian Koto Tinggi, Kabupaten Agam,
Sumatera Barat. Jurnal Penyuluhan, 12(1).

Iswanto, E. H., Susanto, U., & Jamil, A. (2016). Perkembangan dan tantangan
perakitan varietas tahan dalam pengendalian wereng coklat di Indonesia.
Effendi, Suherlan Baehaki. (2009). STRATEGI PENGENDALIAN HAMA
TERPADUTANAMAN PADI DALAM PERSPEKTIF PRAKTEKPERTANIAN
YANG BAIK (GOOD AGRICULTURALPRACTICES)1. 2(1): 65-78
https://everythingaboutnature.wordpress.com/2017/12/30/penerapan-pht-di-
indonesia/
http://muditadpt.blogspot.com/2016/11/konsep-dan-perkembangan-
pengendalian.html
http://203.190.37.42/publikasi/wr254035.pdf

13

Anda mungkin juga menyukai