Anda di halaman 1dari 1

Nama : Haryo Putro Dirgantoro

NIM : 18/429785/HK/21748

Tugas Hukum Ketenagakerjaan D


Perubahan UU Ciptakerja terhadap UU No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
menyangkut pemutusan Hubungan Kerja dan Pengawasan Ketenagakerjaan

1. UU Cipta Kerja Nomor 11 Tahun 2020 mengubah ketentuan tentang pemutusan


hubungan kerja (PHK) antara pengusaha dan pekerja. Pengubahan ketentuan itu diatur
dalam Pasal 81 angka 37. Aturan ini mengubah ketentuan Pasal 151 UU
Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2003. Pasal 151 Ayat (1) menyebutkan bahwa
PHK sebisa mungkin tidak terjadi. Namun, Pasal 151 Ayat (2) menyebut, jika PHK
tidak dapat dihindari, pengusaha harus memberitahukan alasannya kepada
pekerja/buruh. Lalu, Pasal 151 Ayat (3) menyebutkan bahwa pekerja/buruh menolak
alasan tersebut, wajib ada perundingan bipartit dan jika tidak ada kesepakatan baru
bisa terjadi PHK ketika ada penetapan perselisihan hubungan industrial (PHI). Hal ini
mengubah Pasal 151 Ayat (2) UU Ketenagakerjaan yang mengatakan bahwa apabila
PHK bisa tidak dihindari, perusahaan wajib merundingkan dengan pekerja, atau
bukan sekadar memberi tahu alasan mereka di-PHK. Kemudian, Pasal 151 Ayat (3)
berbunyi, jika tidak ada persetujuan, PHK hanya bisa dilakukan jika ada penetapan
dari lembaga Perselisihan Hubungan Industrial. Dengan pengubahan pasal ini, maka
pengusaha dapat melakukan PHK secara sepihak karena belum tentu pula pekerja
dapat melakukan penolakan atas pemberitahuan hubungan kerja oleh perusahaan. Jika
negara bersikap netral, maka secara tidak langsung negara sebenarnya sedang
meninggalkan perannya untuk melindungi pekerja dan melindungi pengusaha.
2. Aturan Pesangon dalam UU Ketenagakerjaan juga mengalami perubahan dalam UU
Cipta Kerja. Pasal yang sempat mendapat sorotan adalah Pasal 156 ayat 1 terutama
perbedaan pada frasa 'Paling Banyak' dan 'Paling Sedikit' jika dibandingkan Undang-
Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Dalam UU nomor 13, Pasal
156 terkait PHK dan pesangon menggunakan frasa ‘paling sedikit’, Sedangkan di
UU Cipta Kerja, Pasal 156 ayat (1) berbunyi dalam hal terjadi pemutusan hubungan
kerja, pengusaha diwajibkan membayar uang pesangon dan/atau uang penghargaan
masa kerja dan uang penggantian hak yang seharusnya diterima. (2) Uang pesangon
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan 'paling banyak' sesuai kententuan
sebagai berikut. Namun Pasal itu kemudian diubah dalam UU yang sudah
ditandatangan Presiden dengan menghilangkan frasa 'paling banyak' sehingga Pasal
156 ayat 1 menjadi berbunyi: Dalam hal terjadi pemutusan hubungan kerja,
pengusaha wajib membayar uang pesangon dan/atau uang penghargaan masa kerja
dan uang penggantian hak yang seharusnya diterima.
3. Dalam RUU Cipta Kerja, Pemerintah menyiapkan program Jaminan Kehilangan
Pekerjaan (JKP) dalam skema pemberian tambahan besaran pesangon di UU Cipta
Kerja. JKP diberikan untuk pekerja yang mengalami pemutusan hubungan kerja. JKP
tertuang dalam pasal selipan pasal baru, yakni Pasal 46A RUU Cipta Kerja yang
berbunyi "Manfaat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterima oleh peserta setelah
mempunyai masa kepesertaan tertentu. Ketentuan lebih lanjut mengenai manfaat
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan masa kepesertaan tertentu sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah," tulis Pasal 46A. Dalam
UU Cipta Kerja menyatakan penyelenggaraan program JKP akan dilakukan oleh
pemerintah dan BPJS Ketenagakerjaan. JKP sendiri diselenggarakan secara nasional
berdasarkan prinsip asuransi sosial.

Anda mungkin juga menyukai