Anda di halaman 1dari 9

LOMBA ESAI PELAJAR TINGKAT NASIONAL

CIPTEA: Teh Kombinasi Daun Ciplukan dan Daun Bakau Sebagai


Obat Demam Typhoid

B018

NATIONAL AVICENA COMPETITION

2018
HALAMAN PENGESAHAN

Karya esai ini diajukan untuk mengikuti Lomba Esai Pelajar Tingkat Nasional dalam acara
National Avicena Competition 2018.

Judul Esai : CIPTEA: Teh Kombinasi Daun Ciplukan dan Daun


Bakau Sebagai Obat Demam Typhoid.

Nama Peserta

a. Nama Lengkap : I Gusti Ngurah Trisna Meyana Putra

b. NIS : 10530

Guru Pembimbing

a. Nama Lengkap dan Gelar : Made Rai Rahayu, S.Pd, M.Si

b. NIP/NIK :-

Menyetujui, Denpasar, 10 Agustus 2018

Guru Pembimbing Nama Peserta

(Made Rai Rahayu, S.Pd, M.Si) (I Gusti Ngurah Trisna


Meyana Putra)

Mengetahui,

Kepala Sekolah SMA/SMK

(Drs. Ida Bagus Sudirga, M.Pd.H.)

NIP/NIK 196202211987031008

i
CIPTEA: Teh Kombinasi Daun Ciplukan dan Daun Bakau Sebagai Obat Demam
Typhoid

Di masa perubahan musim, ketika di awal musim panas air bersih mulai
kesulitan penyediaannya, atau pun di musim penghujan ketika kebersihan lingkungan
sulit terkendali, penyakit yang penyebarannya lewat makanan dan minuman mudah
muncul; salah satunya adalah penyakit demam typhoid.

Demam typhoid atau sering disebut dengan tifus abdominalis adalah penyakit
infeksi akut pada saluran pencernaan yang berpotensi menjadi penyakit multi
sistemik yang disebabkan oleh salmonella thypi (Muttaqin, A & Kumala, S, 2011).

Menurut Widogdo (2011), penyebab dari demam typhoid adalah salmonella


thypi, termasuk dalam genus salmonella yang tergolong dalam family
enterobacteriaceae. Salmonella bersifat bergerak, berbentuk batang, tidak
membentuk spora, tidak berkapsul, gram (-) . Tahan terhadap berbagai bahan kimia,
tahan beberapa hari/minggu pada suhu kamar, bahan limbah, bahan makanan kering,

bahan farmasi dan tinja. Salmonella mati pada suhu 54,4 dalam 1 jam, atau 60

dalam 15 menit. Salmonella mempunyai antigen O (stomatik), adalah komponen


dinding sel dari lipopolisakarida yang stabil pada panas, dan antigen H (flagellum)
adalah protein yang labil terhadap panas pada Salmonella typhi, juga pada
Salmonella Dubin dan Salmonella hirschfeldii terdapat anti gen Vi yaitu polisakarida
kapsul

Demam typhoid sendiri akan sangat berbahaya jika tidak segara di tangani
secara baik dan benar, bahkan menyebabkan kematian. Menurut data WHO (World
Health Organization) memperkirakan angka insidensi di seluruh dunia sekitar 17 juta
jiwa per tahun, angka kematian akibat demam typhoid mencapai 600.000 dan 70%
nya terjadi di Asia. Di Indonesia sendiri, penyakit typhoid bersifat endemik, menurut

1
WHO angka penderita demam typhoid di Indonesia mencapai 81% per 100.000
(Depkes RI, 2013).

2
Demam typhoid merupakan masalah global terutama di Negara dengan hygiene
buruk. Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit atau Centers for Disease
Control and Prevention, disingkat CDC Indonesia melaporkan prevalensi demam
typhoid mencapai 358-810/100000 populasi pada tahun 2007 dengan 64% penyakit
ditemukan pada usia 3-19 tahun, dan angka mortalitas bervariasi Antara 3,1 – 10,4%
pada pasien rawat inap. Dari persentase tersebut, jelas bahwa anak-anak sangat rentan
untuk mengalami demam typhoid, itulah sebabnya demam typhoid merupakan salah
satu penyakit yang memerlukan perhatian khusus. Penularan penyakit ini biasanya
dihubungkan dengan faktor kebiasaan makan, kebersihan lingkungan, keadaan fisik
anak, daya tahan tubuh dan derajat kekebalan anak.

Walaupun demam typhoid lebih banyak menyerang usus (usus memborok dan
menipis), namun sebenarnya yang diserang seluruh tubuh. Biasanya tanda-tanda
penyakit demam typhoid muncul sekitar 8-14 hari setelah tertular, sedangkan untuk
paratipes munculnya lebih cepat (1-10 hari). Penyakit ini terkadang disebut sebagai
penyakit yang dapat sembuh sendiri (self limitting), artinya asalkan tubuhnya “kuat”
(punya daya kebal) lalu tidak mendapat pengobatan dan tidak muncul penyulit
(komplikasi) maka penderita mungkin saja sembuh sendiri tanpa minum obat,
walaupun penderita menunjukkan sakitnya yang parah.

Dalam pekan pertama penderita akan menunjukkan gejala tipes yang khas, meliputi
badan merasa lemah, sedikit pening-pening menetap, badan nyeri semua seperti
terserang flu, demam tinggi yang terus-menerus, batu-batuk, kadang-kadang disertai
hidung berdarah (mimisan), nyeri perut atau kembung, nafsu makan hilang, sembelit,
frekuensi denyut nadi rendah meskipun demam. Jika tanpa pengobatan maka dalam
pekan kedua gejala-gejala akan tampak lebih parah; mungkin muncul mencret. Limpa
mungkin teraba membesar; muncul bercak kemerah-merahan di kulit selama
beberapa hari. Pekan ketiga merupakan pekan berbahaya karena selain keadaan dapat
kian parah, penyulit dapat muncul; misalnya jebolnya lambung yang diikuti infeksi
ikutan yang parah karena infeksi oleh kuman lain yang ada di makanan ataupun

2
minuman. Kadang - kadang yang terjadi adalah perdarahan usus yang dikenali
dengan munculnya berak yang hitam seperti petis. Penyulit ini dapat memunculkan
kelemahan hebat (pingsan, shock) ataupun bahkan kematian. Setelah lewat pekan
ketiga ataupun keempat penderita yang selamat akan mulai menunjukkan tanda-tanda
kesembuhan. Penderita yang dulunya sehat “sempurna” (termasuk yang telah
mendapat imunisasi CHOTYPA) ataupun diobati dan dirawat dengan tepat
berpeluang lebih cepat sembuh.

Pengobatan Demam typhoid ini sebenarnya beragam dari zaman ke zaman,


diantaranya, dulu (sebelum 1970) dikenal secara umum bahwa demam typhoid ini
obatnya adalah kloramfenikol, namun kini dokter sudah meninggalkan obat itu. Ini
karena kuman penyakit demam typhoid ini sudah banyak yang resistant (tak mempan
lagi) pada obat kloramfenicol itu. Kemudian dokter beralih ke obat ampisilin dan
trimetoprim-sulfamethoxazole (TMZ-SMZ). Namun sejak 1980 ketiga macam obat
itu juga sudah dianggap tak mempan untuk mengobati demam typhoid. Obat
fluoroquinolone yang sudah dipakai dunia sejak 2003 pun di tahun 2006 sudah mulai
terkesan tak mempan. Oleh karena itu obat yang digunakan saat ini sudah bersifat
“untung - untungan”, karena nyatanya sekitar 60 % dari penderita yang diobati
dengan obat-obat itu sembuh juga. Hanya saja tak mudah meramalkan siapa yang
akan gagal jika diobati dengan obat-obat itu. Namun demikian kemajuan ilmu farmasi
juga mengembangkan obat-obat itu ke dalam bentuk baru dengan mengadakan
perubahan-perubahan atas struktur kimiawinya agar mempan lagi untuk pengobatan
yang baik,

Beberapa bahan yang dapat dijadikan alternatif obat demam typhoid oleh
bakteri Salmonella typhi yaitu daun ciplukan (Physalis angulata L.) dan daun bakau
(Rhizopora apiculata BI.). Ciplukan (Physalis angulata L.) merupakan tanaman
herbal yang memiliki akar, batang, daun, bunga, buah, dan biji. Akar tunggang dan
serabut, berbentuk bulat, dan berwarna putih, percabangannya tumbuh melebar
kesamping dan bahkan sebagian mendatar hingga menyentuh tanah, tingginya bisa

3
mencapai 2 meter, percabangan terjadi pada daun keenam hingga kesepuluh
(Anonim, 2010). Daun berwarna hijau, permukaan berbulu, bentuk meruncing,
berurat jelas, tulang daun menyirip, daun bergerigi pada bagian tepinya, ujung daun
meruncing, pangkal daun runcing, panjang daun 5-12 cm dan lebar 4-7 cm, daun
tipis, cepat layu, berbau langu, dan rasanya sangat pahit. Panjang tangkai daun
berkisar 2-3 cm, dan berwarana hijau. Biasanya tumbuhan ini juga jarang diketahui
karena sudah mulai berkurang keberadaanya di perkotaan, tetapi jika dicari ke desa –
desa dan daerah persawahan beberapa tumbuhan ini masih bisa ditemui
keberadaannya. Namun, di luar dari kelangkaan tersebut beberapa penelitian
menyebutkan bawah daun dari tumbuhan ciplukan (Physalis angulata L.) bisa
dimanfaatkan sebagai antibakteri karena mengandung saponin, flavonoid, dan juga
polifenol.

Sementara itu bakau (Rhizopora apiculata BI.) merupakan tanaman yang


biasanya hidup di daerah rawa – rawa. Jenis Rhizophoraceae khususnya Rhizophora
apiculata tumbuh pada tanah yang berlumpur, berpasir, dan tergenang. Tumbuhan ini
dapat mencapai ketinggian 30 m dengan diameter pohon mencapai 50 cm.
Pemanfaatan tumbuhan ini sebagai antibakteri Salmonella typhi dengan
memanfaatkan daunnya dengan cara mengisolasi daun bakau (Rhizopora apiculata
BI.) agar mendapatkan jamur endofit yang mempunyai efek sebagai antibakteri, salah
satunya bakteri Salmonella typhi penyebab demam typhoid.
Mengolah daun ciplukan (Physalis angulata L.) dan daun bakau (Rhizopora
apiculata BI.) agar bisa dijadikan obat dan antibakteri Salmonella typhi penyebab
demam typhoid, salah satu caranya adalah dengan mengolahnya menjadi teh. Teh
merupakan seduhan minuman dari bahan alam yang biasanya daun. Teh bermanfaat
sebagai antioksidan dan bersifat antimikroba (Taylerson, 2012). Cara membuat
Ciptea atau teh dari kombinasi daun ciplukan (Physalis angulata L.) dan daun bakau
(Rhizopora apiculata BI.) tergolong mudah dan sederhana hanya perlu menyiapkan
daun ciplukan dan daun bakau yang sudah diisolasi dalam cawan petri dalam waktu

4
2x24 jam. Setelah semua bahan siap, jemur daun ciplukan dan daun bakau pada sinar
terik matahari, jika sudah kering, bahan tersebut siap digunakan sebagai teh.
Tahapan selanjutnya adalah menyeduh air hangat, setelah air tersebut hangat
tuangkan pada gelas yang sudah berisi daun ciplukan dan daun bakau yang sudah
dikeringkan dan sudah di potong kecil – kecil, setelah itu saring teh tersebut agar
tidak terdapat ampasnya, teh siap dikonsumsi. Namun, jika kurang suka dengan
rasanya karena agak sedikit pahit, bisa ditambahkan sedikit madu, karena selain
rasanya yang manis, madu juga dipercaya sebagai antibakteri.
Namun, berdasarkan uraian diatas, teh ini juga memiliki beberapa
kekurangan. Diantaranya, daun ciplukan yang rasanya agak pahit dan jarang
diketahui oleh orang, selain itu daun ciplukan pada saat ini juga jarang ditemukan,
kecuali jika mencarinya ke daerah persawahan mungkin masih ada beberapa. Selain
itu, daun bakau juga tidak mudah untuk mendapatkannya, karena harus pergi ke
daerah rawa rawa ataupun tanah yang lembab atau berlumpur untuk mendapatkannya,
seperti di Bali bisa di depatkan di sekitar daerah Serangan.
Berdasarkan uraian diatas, diperlukan peran pemerintah agar melaksankan
sosialisasi – sosialisasi kepada masyarakat, agar mengetahui potensi – potensi
tanaman yang bisa dijadikan obat seperti daun ciplukan (Physalis angulata L.) ini,
walaupun kurang terkenal dan terdengar asing di telinga masyarakat, namun
diharapkan dengan adanya sosialisasi ini masyarakat diharapkan mulai menaman
ataupun membudidayakan tanaman ini, agar jika nanti terkena demam typhoid lebih
mudah untuk mengolahnya sendiri tanpa perlu membeli obat – obatan ke apotek.

5
DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2017. Data Penderita Penyakit Typhoid Menurut WHO. Tersedia pada:
http://aici.co.id/tag/data-penderita-penyakit-thypoid-menurut-who/. Diakses pada
5 Agustus 2018.

Anonim. 2013. Tipes, Penyakit Yang Menantang. Tersedia pada:


http://jatim.kemenag.go.id/file/file/mimbar321/hxqa1369883194.pdf. Diakses
pada 5 Agustus 2018.

Aryanti, E., Immy, S., Suripto. 2015. Kandungan Fitokimia Beberapa Jenis
Tumbuhan Lokal yang Sering Dimanfaatkan Sebagai Bahan Baku Obat di Pulau
Lombok. Pros Sem Nas Masy Biodiv Indon. 1(2):388-391.
Awaloei, H., Jimmy P., Robert B., dan Vivi S. 2015. Uji Efek Antibakteri Daun
Mangrove Rhizophora apiculata Terhadap Bakteri Pseudomonas aeruginosa
dan Staphylococcus aureus. Kandidat Skripsi Bagian Farmakologi dan Terapi
Kedokteran Universitas Sam Ratulangi Manado. 3(1):399-405.
Evendi, Agus. 2017. Uji Fitokimia dan Anti Bakteri Ekstrak Daun Salam (Syzygium
polyanthum) Terhadap Bakteri Salmonella typhi dan Escherichia coli Secara In
Vitro. Mahakam Medical Laboratory Technology Journal. 2(1):1-9.
Hidayati, I., N. 2016. Bab II Tinjauan Pustaka. Tersedia pada:
http://repository.ump.ac.id/1088/3/ISNAENI%20NURUL%20HIDAYATI
%20BAB%20II.pdf. Diakses pada 5 Agustus 2018.

Krismawati, H., Langkah, S., dan Subagus W. 2015. Streptomycetes Penghasil


Antibiotik yang Berasosiasi dengan Rhizosfer Beberapa Spesies Mangrove.
Plasma. 1(2):59-70.

Anda mungkin juga menyukai