Anda di halaman 1dari 3

Nama : Yosafat Prasetya Atmaja

NIM : 20/459162/KT/09327

Review Webinar “Tambang dan Banjir Bandang?”

Pada tanggal 13 Februari 2021, terdapat sebuah webinar yang diadakan oleh
Tropenbos Indonesia (TI) yang bekerjasama dengan Masyarakat Konservasi Tanah & Air
dengan judul “Tambang dan Banjir Bandang”. Acara ini dimoderatori oleh Dr. Maria
Ratnaningsih sebagai wakil ketua umum Masyarakat Konservasi Tanah dan Air Indonesia.
Serial webinar ini diadakan agar dapat menjadi bekal bagi para pengikut webinar untuk bisa
berkontribusi terhadap permasalahan pengelolaan lahan di Indonesia. Selain itu, webinar ini
juga diadakan karena memiliki tema yang relevan dan menarik untuk dibahas lebih lanjut
bersama para ahli yang dihadirkan. Setiap permasalahan selalu memiliki dua sisi koin yang
berbeda, tidak terkecuali dengan tambang. Di sisi positifnya, dapat dilihat manfaat
pertambangan adalah untuk pembangunan dan pemasukan ekonomi, Sementara itu jika
dilihat dari sisi negatifnya, pertambangan akan selalu menimbulkan dampak yang buruk
terhadap lingkungan, termasuk pertanyaan yang akan dibahas khusus di webinar ini, apakah
pertambangan memiliki korelasi dengan terjadinya banjir bandang.
Yang menjadi narasumber pertama adalah Dr. Ir. Harry Santoso yang merupakan
Pembina dan Pengurus Pusat MKTI. Terdapat beberapa isu yang dihadapi di bidang
pertambangan dan pembangunan wilayah, antara lain pembangunan berkelanjutan, tumpang
tindih lahan, peti dan tambang rakyat, perizinan berlebihan, rehabilitasi/reklamasi pasca
tambang, keterlanjuran, banjir dan tanah longsor, tata ruang wilayah, community
development, serta pembangunan pasca wilayah tambah. Pemulihan Rencana Tata Ruang
Wilayah (RTRW) seharusnya menjadi solusi bagi permasalahan ini dengan cara memastikan
lokasi sumber daya alam (tambang) yang dapat dimanfaatkan sebagai usaha pertambangan.
Selain itu pembangunan wilayah pasca tambang juga diperlukan untuk membenahi areal yang
sudah terlanjur “rusak” yang dicontohkan dengan pembangunan Solar Farm (PLTS) di Jambi,
pembangunan Taman Rekreasi Agrowisata Kampung Reklamasi Air Jangkang yang
ditunjang oleh PLTS, pengembangan peternakan ikan kakap-kerapu putih di Bangka
Belitung, serta pembudidayaan porang di Bangka Belitung. Sehingga dapat disimpulkan pada
sesi yang pertama ini bahwa diperlukan internalisasi pengolahan DAS di dalam RTRW serta
bagaimana membangun kerjasama antar pemerintah provinsi/kabupaten dalam penanganan
wilayah DAS yang dicontohkan dari banjir di Kalimantan Selatan disebabkan oleh rusaknya
bagian hulu DAS yang terdapat di Kalimantan Tengah. Perlu ditemukan solusi yang paling
efektif dari Integrated Water Management yang sudah lama dipikirkan dan disadari tetapi
sampai saat ini belum ditemukan. Serta otoritas ilmiah juga seharusnya yang menjadi
panglima dalam menyelesaikan masalah ini, bukan otoritas politik.
Yang menjadi narasumber kedua adalah Dr. Lana Saria yang merupakan Direktur
Teknik dan Lingkungan Mineral dan Batubara, serta Kementrian ESDM. Terdapat 3 dasar
hukum yang mengatur tentang pertambangan; yaitu Kepmen ESDM No. 1827/2018, PP No.
78 Tahun 2010, dan Undang-Undang No. 3 Tahun 2020. Reklamasi adalah kegiatan yang
dilakukan sepanjang tahapan usaha pertambangan untuk menata, memulihkan, dan
memperbaiki kualitas lingkungan dan ekosistem agar dapat berfungsi kembali sesuai fungsi
awalnya. Pada umumnya, pelaksanaan reklamasi terdiri dari 3 tahap yang merupakan
eksplorasi (pengajuan rencana reklamasi), operasi produksi (penetapan dan penempatan
jaminan dan/atau jaminan pascatambang yang dibarengi dengan pelaksanaan reklamasi saat
operasional penambangan berlangsung), dan yang terakhir adalah pelaksanaan pascatambang.
Reklamasi dimulai dari proses penataan lahan yang dilanjutkan dengan pengelolaan air, lalu
proses revegetasi (penanaman kembali), dan berakhir di proses penyelesaian akhir yang dapat
berupa pemanfaatan lahan menjadi lahan pertanian, area wisata, dan lainnya. Dapat
disimpulkan bahwa masih banyak kegiatan pertambangan yang tidak memiliki izin sehingga
menyebabkan hilangnya pemasukan negara dan kerusakan lingkungan akibat tidak adanya
perbuatan restorasi dan reklamasi yang dilakukan dan menimbulkan stereotipe di masyarakat
bahwa kegiatan pertambangan selalu berdampak buruk. Padahal tidak sedikit kegiatan
pertambangan yang mengikuti prosedur dan memiliki izin sehingga tidak akan menyebabkan
kerusakan lingkungan yang perlu diapresiasi. Berbagai peraturan dan perundang-undangan
sudah dibuat untuk mengontrol dan mengatur dampak ekologi dari kegiatan pertambangan
yang jika pelaksanaannya benar maka tidak akan berpengaruh terhadap kualitas, daya dukung
dan daya tampung lingkungan
Yang menjadi narasumber ketiga adalah Dr. Irdika Mansur yang merupakan Dosen
Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB, serta Pengurus Pusat MKTI. Berbagai hal dapat
dilakukan sebagai upaya konservasi tanah dan air pada industri pertambangan, seperti
penggunaan kembali material tanah hasil pembukaan lahan, pembuatan parit dan guludan
sejajar kontur, pembuatan sedimend pond, dan penanaman cover crop di lereng-lereng dan
tanggul. Terdapat berbagai cara alternatif dan inovatif yang dapat dipikirkan untuk
meminimalisir pengeluaran perbaikan/pemulihan lahan bekas pertambangan seperti yang
terjadi dalam pembangunan waduk di Bogor. Sehingga dapat disimpulkan bahwa pada saat
membuka lahan, menambang, sampai reklamasi lahan bekas tambang KTA harus dilakukan
oleh perusahaan untuk keamanan operasi maupun melindungi lingkungan dan masyarakat
sekitar tambang. Perlu untuk mempertimbangkan ulang aturan penutupan lubang tambang
karena potensi peran pentingnya untuk mengatur air seperti pada pertanian yang dilakukan di
Danau Inle, Myanmar. Salah satu indikator yang menunjukkan bahwa suatu perusahaan
tambang telah melakukan pengelolaan lahan dengan baik adalah saat tidak adanya laporan
longsor maupun jebolnya fasilitas pengelolaan air di areal tambang. Aturan kebijakan
reklamasi tambang, teknologi, dan implementasi di lapangan telah membuktikan tutupan
lahan dapat dipulihkan, sekarang merupakan waktunya untuk melakukan pemanfaatan lahan
bekas tambang yang harus didukung oleh banyak pihak.
Pertanyaan yang menurut saya paling menarik adalah pertanyaan dari Ibu Pratiwi
yang menanyakan apakah lahan bekas tambang (khususnya void/lubang bekas tambang) yang
diubah menjadi daerah penanaman tanaman pangan dan budidaya ikan layak dikonsumsi
hasilnya mengingat lahan bekas tambang umumnya mengandung logam-logam beracun.
Jawaban yang diberikan oleh Dr. Lana Saria adalah pada prinsipnya reklamasi harus
memenuhi kualitas lingkungan, sehingga pada saat area bekas tambang itu ingin dikelola
menjadi area tertentu yang bermanfaat maka kualitasnya harus memenuhi standar kualitas
lingkungan sesuai peruntukannya. Jika diolah menjadi budidaya ikan, maka air di area
tersebut pasti sudah memenuhi standar kualitasnya, begitu juga dengan penanaman tanaman
pangan yang sudah melalui uji toksikologi.
Pada akhirnya, yang dapat saya simpulkan dari webinar ini adalah banjir bandang
yang disebabkan oleh pertambangan hanya terjadi jika suatu perusahaan tambang tidak
berizin / melakukan pertambangan ilegal. Sementara itu, tidak mungkin bagi suatu
perusahaan tambang yang sudah mengikuti peraturan perundang-undangan dan memiliki izin
dapat menyebabkan kerusakan ekologis (termasuk banjir bandang) karena sudah melalui
perencanaan yang matang dan sesuai dengan standar kualitas lingkungan yang ditetapkan
kementerian ESDM.

Anda mungkin juga menyukai