Disusun oleh:
Ninda Rahma Wijaya 20200910170031
Suci Aulia Rifa’I 20200910170035
Nur Saadah 20200910170032
Pertiwi Purnawati 20200910170033
Puji syukur kami ucapkan atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat
rahmat-Nya kelompok dapat menyelesaikan makalah ini yang diberi judul
“Asuhan Keperawatan Pada Pasien Dengan Resiko Perilaku Kekerasan”.
Penyusunan makalah ini kelompok susun untuk memenuhi tugas yang telah
diberikan oleh dosen mata kuliah Keperawatan Jiwa.
Kelompok berharap dengan adanya makalah kelompok kami ini dapat digunakan
dalam menambah wawasan pembaca terutama mahasiswa/I keperawatan,
sehingga mampu memahami dan menerapkan Asuhan Keperawatan dan
penanganan pada pasien dengan resiko perilaku kekerasan.
Kelompok 5
DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Gangguan jiwa merupakan manifestasi dari bentuk penyimpangan perilaku
akibat adanya distorsi emosi sehingga ditemukan ketidakwajaran dalam
bertingkah laku. Hal itu terjadi karena menurunnya semua fungsi kejiwaan
[ CITATION Sut191 \l 1057 ] . Menurut (WHO, 2016 dalam [ CITATION Ind19 \l
1057 ] terdapat sekitar 35 juta orang terkena depresi, 60 juta orang terkena
bipolar dan 21 juta terkena skizofrenia. Data hasil (Riskesdas, 2018)
menunjukkan prevalensi gangguan mental emosional yang ditunjukan
dengan gejala depresi dan kecemasan mencapai sekitar 6,1% dari jumlah
penduduk Indonesia. Hasil riset kesehatan dasar Kementrerian Kesehatan
tahun 2013, secara umum gangguan jiwa dibagi menjadi gangguan jiwa
ringan meliputi semua gangguan mental emosional yang berupa kecemasan,
panik, dan gangguan alam perasaan dan gangguan jiwa berat yaitu
kelompok psikosa, seperti skizofrenia, gangguan skizotipa, waham
[ CITATION AhY19 \l 1057 ]
Pasien dengan resiko perilaku kekerasan yang dirawat di rumah sakit jiwa
sangat memerlukan dukungan dari tenaga kesehatan terutama dokter dan
perawat. Tenaga kesehatan yang memberikan perawatan pada pasien secara
holistik dan komperehensif adalah seorang perawat, jadi dalam hal
dukungan, sikap careing dengan pasien sangat diharapkan. Sesuai dengan
peran dan fungsi perawat, terdapat tiga ranah keperawatan kesehatan jiwa,
yaitu asuhan langsung, komunikasi dan manajeman. Dalam ranah ini
terdapat fungsi dan pesan parawat sebagai fungsi pengajaran, koordinasi,
delegasi dan kolaborasi [ CITATION Stu16 \l 1033 ]. Dalam fungsi asuhan
langsung ini merupakan peran perwat secara caring untuk memberikan
asuhan keperawatan dari pengkajian, penegakan diagnosa, membuat
perencanaan keperawatan serta melakukan evaluasi keperawatan.
Pada saat pasien sudah pulang ke rumah peran serta keluarga untuk
memberikan dukungan kepada pasien merupakan suatu yang diharapkan
untuk membantu pasien mengontrol diri dan perilakunya. Hal ini di
buktikan dengan salah satu peran dan fungsi keluarga adalah memberikan
fungsi afektif untuk pemenuhan kebutuhan psikososial anggota keluarganya
dalam memberikan dukungan dan kasih sayang. Dukungan keluarga adalah
sikap, tindakan dan penerimaan keluarga terhadap pasien atau penderita
sakit. Fungsi dan peran keluarga adalah sebagai sistem pendukung dalam
memberikan pertolongan dan bantuan bagi pasien yang menderita perilaku
kekerasan dan dapat bersifat mendukung selalu siap memberikan
pertolongan dengan bantuan jika diperlukan[ CITATION Nur14 \l 1033 ].
Dari data diatas menunjukkan bahwa peran perawat dan keluarga sangat
dibutuhkan untuk menangani masalah gangguan jiwa khususnya pada
pasien dengan resiko perilaku kekerasan. Asuhan keperawatan yang
diberikan diharapkan dapat menurunkan dan memberikan kontrol pada
pasien, sehingga tidak terjadi dampak lebih lanjut yang dapat diakibatkan
oleh resiko perilaku kekerasan yang dilakukan pasien, oleh karena itu,
sebagai calon perawat, penulis perlu untuk membahas lebih lanjut tentang
“Asuhan Keperawatan pada pasien dengan resiko perilaku kekerasan”.
B. Tujuan Penulisan
1. Tujuan Umum
Mendapatkan pengalaman nyata didunia praktek lapangan dalam
memberikan asuhan keperawatan pada pasien dengan resiko perilaku
kekerasan melalui proses asuhan keperawatan jiwa.
2. Tujuan Khusus
Setelah melakukan penyelesaian karya tulis ilmiah ini diharapkan
penyusun mampu:
a. Melakukan pengkajian keperawatan pada pasien dengan resiko
perilaku kekerasan
b. Menentukan diagnosa keperawatan pasien dengan resiko perilaku
kekerasan
c. Membuat perencanaan keperawatan pada pasien dengan resiko
perilaku kekerasan
d. Melaksanakan tindakan keperawatan yang sesuai dengan
perencanaan pada pasien dengan resiko perilaku kekerasan
e. Melakukan evaluasi keperawatan pada pasien dengan resiko perilaku
kekerasan
C. Metode Penulisan
Metode penulisan yang digunakan penyusun dalam makalah karya tulis
ilmiah ini, yaitu menggunakan metode naratif dan deskriptif. Dalam
menggumpulkan data dengan cara studi kasus yang dilakukan secara
langsung untuk memberikan asuhan keperawatan pada pasien dengan resiko
perilaku kekerasan dan menggunakan studi kepustakaan dengan cara
mencari buku-buku refrensi yang sesuai dengan kasus kelolaan serta melalui
media elektronik seperti internet.
D. Sistematika Penulisan
Karya tulis ilmiah ini terdiri dari empat bab yang disusun secara sistematis,
bab I pendahuluan meliputi latar belakang penulisan, tujuan penulisan,
metode penulisan, dan sistematika penulisan, bab II tinjauan teori meliputi
konsep skizofrenia, konsep resiko perilaku kekerasan, dan konsep asuhan
keperawatan perilaku kekerasan, bab III tinjauan kasus adalah penyajian
kasus yang meliputi pengkajian keperawatan, diagnosa keperawatan,
perencanaan keperawatan, implementasi keperawatan, dan evaluasi
keperawatan, bab IV penutup yang meliputi kesimpulan dan saran; daftar
pustaka dan lampiran.
BAB II
TINJAUAN TEORI
1. Definisi
Perilaku kekerasan adalah suatu keadaan hilangnya kendali perilaku
seseorang yang diarahkan pada diri sendiri, orang lain, dan lingkungan [
CITATION Fitta \l 1033 ]. Perilaku kekerasan suatu keadaan dimana
seseorang melakukan tindakan yang dapat membahayakan secara fisik,
baik kepada diri sendiri maupun orang lain. Sering disebut juga gaduh
gelisah atau amuk dimana seseorang marah berespon terhadap suatu
stressor dengan gerakan motorik yang tidak terkontrol [ CITATION
Yos11 \l 1033 ]. Perilaku kekerasan atau agresif merupakan suatu bentuk
perilaku yang bertujuan untuk melukai seseorang secara fisik maupun
psikologis [ CITATION Muh15 \l 1057 ].
2. Etiologi
a. Faktor predisposisi
1) Faktor biologis
Hal yang dikaji pada faktor biologis meliputi adanya herediter
yaitu adanya anggota keluarga yang sering memperlihatkan
atau melakukan perilaku kekerasan, adanya anggota keluarga
yang mengalami gangguan jiwa, adanya riwayat penyakit atau
trauma kepala, dan riwayat penggunaan NAPZA (narkotika,
psikotropika, dan zat adiktif lainnya).
2) Faktor psikologis
Pengalaman marah merupakan respon psikologis terhadap
stimulus internal, eksternal, maupun lingkungan. Perilaku
kekerasan terjadi sebagai hasil dari akumulasi frustasi. Frustasi
terjadi apabila keinginan individu untuk mencapai sesuatu
menemui kegagalan atau terhambat. Salah satu kebutuhan
manusia adalah “berperilaku”, apabila kebutuhan tersebut tidak
dapat dipenuhi melalui berperilaku konstruktif, maka yang
akan muncul adalah individu tersebut berperilaku destruktif.
3) Faktor sosio kultural
Teori lingkungan sosial (social environment theory)
menyatakan bahwa lingkungan sosial sangat mempengaruhi
sikap individu untuk berespon asertif atau agresif. Dalam sosio
kultural terdapat adanya norma yang berlaku dalam
masyarakat. Normal merupakan kontrol masyarakat pada
kekerasan. Hal ini didefinisikan ekspresi perilaku kekerasan
yang diterima atau tidak diterima akan menimbulkan sanksi.
Kadang kontrol sosial yang sangat ketat dapat menghambat
ekspresi marah yang sehat dan menyebabkan individu memilih
cara yang maladaptif lainnya, serta budaya asertif di
masyarakat membantu individu untuk berespon terhadap marah
yang sehat [ CITATION Fit15 \l 1057 ].
Faktor sosial yang dapat menyebabkan timbulnya agresivitas
atau perilaku kekerasan yang maladaptif antara lain sebagai
berikut:
a) Ketidakmampuan memenuhi kebutuhan hidup
b) Status dalam perkawinan
c) Hasil dari orang tua tunggal (single parent)
d) Pengangguran
e) Ketidakmampuan mempertahankan hubungan interpersonal
dan struktur keluarga dalam sosial kultural.
b. Faktor presipitasi
Faktor presipitasi perilaku kekerasan pada setiap individu bersifat
unik, yakni berbeda satu orang dengan yang lain. Stressor tersebut
dapat merupakan penyebab yang berasal dari dalam maupun luar
individu. Faktor dari dalam individu meliputi kehilangan relasi
atau hubungan dengan orang yang dicintai atau berarti (putus
pacar, perceraian, dan kematian), kehilangan rasa cinta,
kekhawatiran terhadap penyakit fisik, kelemahan, rasa percaya
menurun, hilang kontrol, dan lain-lain. Sedangkan faktor luar
individu meliputi serangan terhadap fisik, lingkungan yang ribut,
kritikan yang mengarah pada penghinaan, dan tindakan kekerasan.
3. Manifestasi klinis
Tanda dan gejala perilaku kekerasan yang dapat diobservasi dan
diidentifikasi [ CITATION Yos11 \l 1033 ] adalah:
a. Fisik
Muka memerah dan tanpak tegang, mata melotot / pandangan
tajam, tangan mengepal, rahang mengatup, wajah memerah dan
tegang, postur tubuh kaku, mengatupkan rahang dengan kuat, dan
jalan mondar-mandir.
b. Verbal
Bicara kasar, suara tinggi, membentak dan berteriak, mengancam
secara verbal atau fisik, mengumpat dengan kata-kata kotor, suara
keras, dan ketus.
c. Perilaku
Melempar atau memukul benda/orang lain, menyerang orang lain,
melukai diri sendiri/orang lain, merusak lingkungan, dan
amuk/agresif.
d. Emosi
Tidak adekuat, tidak aman dan nyaman, rasa terganggu, dendam
dan jengkel, tidak berdaya, bermusuhan, mengamuk, ingin
berkelahi, menyalahkan, dan menuntut.
e. Intelektual
Mendominasi, cerewet, kasar, berdebat, meremehkan, dan
sarkasme.
f. Spiritual
Merasa diri berkuasa, merasa diri benar, mengkritik pendapat
orang lain, menyinggung perasaan orang lain, tidak peduli, dan
kasar.
4. Rentang Respon
Perilaku kekerasan merupakan suatu rentang emosi dan ungkapan
kemarahan yang dimanifestasikan dalam bentuk fisik. Kemarahan
tersebut merupakan suatu bentuk komunikasi dan proses penyampaian
pesan dari individu. Orang yang mengalami kemarahan adalah suatu
keinginan untuk menyampaikan pesan bahwa seseorang tersebut tidak
setuju, tersinggung, merasa tidak dianggap, merasa tidak diturut atau
diremehkan. Marah yang dialami individu memiliki rentang dimulai
dari respon adaptif sampai maladaptif [ CITATION Yos11 \l 1033 ] dan
[ CITATION Nur181 \l 1033 ].
Keterangan:
Asertif merupakan kemarahan yang diungkapkan tanpa menyakiti atau
menyalahkan orang lain dan memberikan kelegaan. Frustasi merupakan
kegagalan mencapai tujuan kepuasan saat marah karena tidak
realistis/terhambat dan klien tidak dapat menemukan alternatif.
Pasif merupakan respon lanjutan dimana pasien tidak mampu
mengungkapkan perasaannya, tidak berdaya, dan menyerah. Agresif
merupakan perilaku destruktif atau klien mengekspresikan secara fisik
tapi masih terkontrol dan mendorong orang lain dengan ancaman.
Sedangkan amuk adalah perilaku destruktif atau perasaan marah dan
bermusuhan yang kuat tidak terkontrol, disertai dengan amuk dan
merusak lingkungan.
3) Sosial budaya
Budaya yang tertutup atau membalas secara diam (pasif
agresif) dan kontrol sosial yang tidak pasti terhadap perilaku
kekerasan akan menciptakan seolah-olah perilaku kekerasan
yang diterima (permissive).
4) Bioneurologis
Terjadinya perilaku kekerasan dapat disebabkan oleh kerusakan
limbik, lobus frontal, lobus temporal, dan ketidakseimbangan
neurotransmitter.
b. Faktor presipitasi
Faktor presipitasi dapat bersumber dari klien, lingkungan atau
interaksi dengan orang lain. Kondisi klien seperti kelemahan fisik
(penyakit fisik), keputusasaan serta percaya diri yang kurang dapat
menyebabkan perilaku kekerasan. Situasi lingkungan yang ribut,
padat, kritikan yang mengarah pada penghinaan, kehilangan orang
yang dicintai (pekerjaan), dan kekerasan. Interaksi sosial yang
provokatif dan konflik dapat pula memicu perilaku kekerasan.
c. Perilaku
Perilaku yang berkaitan dengan perilaku kekerasan [ CITATION
Afn15 \l 1057 ], antara lain:
1) Menyerang atau menghindar (fight of flight)
Keadaan ini respon fisiologis timbul karena kegiatan sistem
saraf otonom bereaksi terhadap sekresi epineprhrin yang
menyebabkan terkanan darah meningkat, takikardi, wajah
merah, pupil melebar, sekresi HCL meningkat, peristaltik
gaster menurun, pengeluaran urin dan saliva meningkat,
konstipasi, kewaspadaan yang meningkat disertai ketegangan
otot, seperti rahang terkatup, tangan dikepal, tubuh menjadi
kaku, dan disertai reflek yang cepat.
2) Menyatakan secara asertif
Perilaku yang sering ditampilkan individu dalam
mengekspresikan kemarahan yaitu perilaku pasif, agresif, dan
asertif. Perilaku asertif merupakan cara yang terbaik
mengekspresikan marah karena individu dapat
mengekspresikan rasa marahnya tanpa menyakiti orang lain
secara fisik maupun psikologis, serta perilaku ini juga dapat
mengembangkan diri klien.
3) Memberontak (acting out)
Perilaku yang muncul biasanya disertai akibat konflik perilaku
(acting out) untuk menarik perhatian orang lain.
4) Perilaku kekerasan
Tindakan kekerasan atau amuk yang ditujukan pada diri
sendiri, orang lain, maupun lingkungan.
d. Mekanisme koping
Mekanisme koping adalah upaya yang diharapkan pada
penatalaksanaan stress, termasuk upaya untuk penyelesaian
masalah langsung dan mekanisme pertahanan yang digunakann
untuk melindungi [ CITATION Muh15 \l 1057 ].
1) Sublimasi
Menerima suatu sasaran pengganti artinya saat mengalami
suatu dorongan, penyalurannya ke arah lain. Misalnya
seseorang yang sedang marah melampiaskan kemarahannya
pada obyek lain seperti meremas adonan kue dan meninju
tembok. Tujuan dari tindakan tersebut adalah untuk
mengurangi ketegangan akibat rasa marah.
2) Proyeksi
Menyalahkan orang lain mengenai kesukarannya atau
keinginannya yang tidak baik. Misalnya seorang wanita muda
yang menyangkal bahwa ia mempunyai perasaan seksual
terhadap rekan sekerjanya, berbalik menuduh bahwa temannya
tersebut mencoba merayu dan mencumbunya.
3) Represi
Mencegah pikiran yang menyakitkan atau membahayakan
masuk ke alam sadar. Misalnya seorang anak yang sangat benci
pada orang tuanya yang tidak disukainya. Akan tetapi menurut
ajaran atau didikan yang diterimanya sejak kecil, membenci
orang tua adalah hal yang tidak baik dan dikutuk oleh Tuhan
sehingga perasaan kecil itu ditekannya dan akhirnya ia dapat
melupakannya.
4) Reaksi formasi
Mencegah keinginan yang berbahaya bila diekspresikan dengan
melebih-lebihkan sikap dan perilaku yang berlawanan dan
menggunakannya sebagai rintangan. Misalnya seorang yang
tertarik pada teman suaminya, akan memperlakukan orang
tersebut dengan kasar.
5) Deplacement
Melepaskan perasaan yang tertekan, melampiaskan pada obyek
yang tidak begitu berbahaya seperti yang pada mulanya yang
membangkitkan emosi itu. Misalnya Timmy berusia 4 tahun
yang marah karena ia baru saja mendapat hukuman dari ibunya
karena menggambar di dinding kamarnya, mulai bermain
perang-perangan dengan temannya.
e. Sumber koping
Sumber koping merupakan pilihan-pilihan atau strategi yang
membantu menentukan apa yang dapat dilakukan atau apa yang
beresiko. Sumber koping adalah faktor pelindung. Hal yang
termasuk sumber koping adalah asset finansial/kemampuan
ekonomi, kemampuan dan keterampilan, dukungan sosial,
motivasi, serta gabungan semua tingkat hirarki sosial (sel, jaringan,
organ, sistem tubuh, individu, keluarga, kelompok, komunitas,
masyarakat, dan lingkungan). Sumber koping lain yang meliputi
kesehatan dan energi, dukungan spiritual, keyakinan positif,
keterampilan penyelesaian masalah, keterampilan sosial, sumber
materi, serta kesehatan fisik [CITATION Kel16 \l 1057 ].
f. Pohon masalah
2. Diagnosa keperawatan
Menurut Carpenito, 1998 dalam [ CITATION Fitta \l 1033 ], diagnosis
keperawatan adalah penilaian klinis tentang respons aktual atau
potensial dari individu, keluarga, dan masyarakat terhadap masalah
kesehatan/proses kehidupan. Rumusan diagnosis yaitu Permasalahan
(P) berhubungan dengan Etiologi (E) dan keduanya ada hubungan
sebab akibat secara ilmiah. Perumusan diagnosis keperawatan jiwa
mengacu pada pohon masalah yang sudah dibuat.
Rumusan diagnosis keperawatan yang menggunakan typology single
diagnosis, maka rumusan diagnosis adalah menggunakan etiologi saja.
3. Rencana Keperawatan
Rencana keperawatan terdiri dari tujuan umum, tujuan khusus, dan
rencana tindakan keperawatan. Dalam merumuskan tujuan keperawatan
harus SMART, yaitu spesific (fokus kepada klien/rumusan tujuan harus
jelas), measurable (dapat diukur), achieveble (tujuan yang harus
dicapai), reasonable (tujuan yang dipertanggungjawabkan secara
ilmiah), dan time (batasan waktu dicapai dan jelas batas waktunya)
(Dermawan, 2012 dalam [ CITATION Ade18 \l 1033 ] . Adapun
perencanaan yang dapat dilakukan pada klien dengan resiko perilaku
kekerasan [ CITATION Sut16 \l 1033 ] adalah sebagai berikut:
Tujuan umum:
Klien dan keluarga mampu mengatasi atau mengendalikan perilaku
kekerasan.
5. Evaluasi Keperawatan
Evaluasi merupakan proses yang berkelanjutan untuk menilai efek dari
tindakan keperawatan yang telah dilakukan pada pasien dan keluarga.
Evaluasi ada dua macam, yaitu evaluasi proses (formatif) yang
dilakukan setiap selesai melaksanakan tindakan, sedangkan evaluasi
hasil (sumatif) yang dilakukan dalam membandingkan respon pasien
pada tujuan khusus dan umum yang diharapkan. Evaluasi yang
diharapkan dengan pendekatan SOAP, yaitu S (respon subyektif pasien
terhadap tindakan keperawatan yang telah dilaksanakan), O (respon
obyektif pasien terhadap tindakan keperawatan yang telah
dilaksanakan), A (analisis terhadap data subyektif dan obyektif untuk
menyimpulkan apakah masalah masih tetap ada, muncul masalah baru,
atau ada data yang kontradiksi terhadap masalah yang ada), dan P
(tindak lanjut berdasarkan hasil analisis respon pasien [ CITATION Fit15 \l
1057 ].
TINJAUAN KASUS
BAB IV
PENUTUP
DAFTAR PUSTAKA