Anda di halaman 1dari 30

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN

DENGAN RESIKO PERILAKU KEKERASAN

(Disampaikan untuk memenuhi tugas mata kuliah “Keperawatan Medikal Jiwa”)

Disusun oleh:
Ninda Rahma Wijaya 20200910170031
Suci Aulia Rifa’I 20200910170035
Nur Saadah 20200910170032
Pertiwi Purnawati 20200910170033

FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN


PROGRAM TRANSFER
2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami ucapkan atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat
rahmat-Nya kelompok dapat menyelesaikan makalah ini yang diberi judul
“Asuhan Keperawatan Pada Pasien Dengan Resiko Perilaku Kekerasan”.
Penyusunan makalah ini kelompok susun untuk memenuhi tugas yang telah
diberikan oleh dosen mata kuliah Keperawatan Jiwa.

Kami mengucapkan terimakasih kepada ibu Ns. Slametiningsih,


S.Kep.,M.Kep.,Sp.Kep.J sebagai dosen pembimbing penyusunan makalah yang
telah membimbing dan mengarahkan kelompok dalam penyusunan makalah
kelompok ini. Kami juga tidak lupa mengucapkan terimakasih kepada teman-
teman yang telah membantu dalam penyelesaian makalah kelompok kami ini.

Kelompok berharap dengan adanya makalah kelompok kami ini dapat digunakan
dalam menambah wawasan pembaca terutama mahasiswa/I keperawatan,
sehingga mampu memahami dan menerapkan Asuhan Keperawatan dan
penanganan pada pasien dengan resiko perilaku kekerasan.

Jakarta, Februari 2020

Kelompok 5
DAFTAR ISI
BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Gangguan jiwa merupakan manifestasi dari bentuk penyimpangan perilaku
akibat adanya distorsi emosi sehingga ditemukan ketidakwajaran dalam
bertingkah laku. Hal itu terjadi karena menurunnya semua fungsi kejiwaan
[ CITATION Sut191 \l 1057 ] . Menurut (WHO, 2016 dalam [ CITATION Ind19 \l
1057 ] terdapat sekitar 35 juta orang terkena depresi, 60 juta orang terkena
bipolar dan 21 juta terkena skizofrenia. Data hasil (Riskesdas, 2018)
menunjukkan prevalensi gangguan mental emosional yang ditunjukan
dengan gejala depresi dan kecemasan mencapai sekitar 6,1% dari jumlah
penduduk Indonesia. Hasil riset kesehatan dasar Kementrerian Kesehatan
tahun 2013, secara umum gangguan jiwa dibagi menjadi gangguan jiwa
ringan meliputi semua gangguan mental emosional yang berupa kecemasan,
panik, dan gangguan alam perasaan dan gangguan jiwa berat yaitu
kelompok psikosa, seperti skizofrenia, gangguan skizotipa, waham
[ CITATION AhY19 \l 1057 ]

Resiko perilaku kekerasan merupakan suatu perilaku seseorang yang


menunjukkan tindakan berbahaya baik untuk diri sendiri, orang lain ataupun
lingkungan tempatnya berada, baik secara fisik, emosional seksual dan
verbal[ CITATION Sut16 \l 1033 ]. Perilaku kekerasan adalah suatu respons
marah yang di ungkapkan atau dilakukan secara maladaptif seperti halnya
perilaku amuk[ CITATION Sut16 \l 1033 ]. Berdasarkan prevalensi gangguan
mental emosional yang terjadi di indonesia pada penduduk usia >15 tahun
menurut [CITATION Ris18 \l 1033 ], yaitu sebanyak 706.688 atau 10,0%. Hasil
penelitian survey dokumentasi Rumah Sakit Jiwa Islam Klender Jakarta
Timur (2012) didapatkan data selama tahun 2011 bahwa 60% dari 650
pasien yang dirawat dengan riwayat perilaku kekerasan yang melakukan
kontrol kembali ke poliklinik jiwa [ CITATION Nur14 \l 1033 ].
Penyebab terjadinya perilaku kekerasan terdiri dari faktor biologis,
psikologis dan sosiokultural [ CITATION Nur181 \l 1033 ] . Perilaku kekerasan
yang dilakukan dapat berupa kekerasan secara fisik dan verbal. Tanda dan
gejala yang dapat dilakukan resiko perilaku kekerasan secara subjektif
seperti ungkapan berupa ancaman, kata-kata kasar, ingin melukai atau
memukul, secara objektif separti, wajah memerah, tegang, pandangan tajam,
mengatupkan rahang dengan kuat, mengepalkan tangan dan bicara kasar
dengan nada suara tinggi[ CITATION Sut16 \l 1033 ]. Akibat yang dapat
muncul dari perilaku kekerasan bisa melukai atau menciderai diri sendiri
atau orang lain, bahkan akan menimbulkan kematian yang dilakukan oleh
perilakunya [ CITATION Nur14 \l 1033 ].

Pasien dengan resiko perilaku kekerasan yang dirawat di rumah sakit jiwa
sangat memerlukan dukungan dari tenaga kesehatan terutama dokter dan
perawat. Tenaga kesehatan yang memberikan perawatan pada pasien secara
holistik dan komperehensif adalah seorang perawat, jadi dalam hal
dukungan, sikap careing dengan pasien sangat diharapkan. Sesuai dengan
peran dan fungsi perawat, terdapat tiga ranah keperawatan kesehatan jiwa,
yaitu asuhan langsung, komunikasi dan manajeman. Dalam ranah ini
terdapat fungsi dan pesan parawat sebagai fungsi pengajaran, koordinasi,
delegasi dan kolaborasi [ CITATION Stu16 \l 1033 ]. Dalam fungsi asuhan
langsung ini merupakan peran perwat secara caring untuk memberikan
asuhan keperawatan dari pengkajian, penegakan diagnosa, membuat
perencanaan keperawatan serta melakukan evaluasi keperawatan.

Pada saat pasien sudah pulang ke rumah peran serta keluarga untuk
memberikan dukungan kepada pasien merupakan suatu yang diharapkan
untuk membantu pasien mengontrol diri dan perilakunya. Hal ini di
buktikan dengan salah satu peran dan fungsi keluarga adalah memberikan
fungsi afektif untuk pemenuhan kebutuhan psikososial anggota keluarganya
dalam memberikan dukungan dan kasih sayang. Dukungan keluarga adalah
sikap, tindakan dan penerimaan keluarga terhadap pasien atau penderita
sakit. Fungsi dan peran keluarga adalah sebagai sistem pendukung dalam
memberikan pertolongan dan bantuan bagi pasien yang menderita perilaku
kekerasan dan dapat bersifat mendukung selalu siap memberikan
pertolongan dengan bantuan jika diperlukan[ CITATION Nur14 \l 1033 ].

Dari data diatas menunjukkan bahwa peran perawat dan keluarga sangat
dibutuhkan untuk menangani masalah gangguan jiwa khususnya pada
pasien dengan resiko perilaku kekerasan. Asuhan keperawatan yang
diberikan diharapkan dapat menurunkan dan memberikan kontrol pada
pasien, sehingga tidak terjadi dampak lebih lanjut yang dapat diakibatkan
oleh resiko perilaku kekerasan yang dilakukan pasien, oleh karena itu,
sebagai calon perawat, penulis perlu untuk membahas lebih lanjut tentang
“Asuhan Keperawatan pada pasien dengan resiko perilaku kekerasan”.

B. Tujuan Penulisan

1. Tujuan Umum
Mendapatkan pengalaman nyata didunia praktek lapangan dalam
memberikan asuhan keperawatan pada pasien dengan resiko perilaku
kekerasan melalui proses asuhan keperawatan jiwa.

2. Tujuan Khusus
Setelah melakukan penyelesaian karya tulis ilmiah ini diharapkan
penyusun mampu:
a. Melakukan pengkajian keperawatan pada pasien dengan resiko
perilaku kekerasan
b. Menentukan diagnosa keperawatan pasien dengan resiko perilaku
kekerasan
c. Membuat perencanaan keperawatan pada pasien dengan resiko
perilaku kekerasan
d. Melaksanakan tindakan keperawatan yang sesuai dengan
perencanaan pada pasien dengan resiko perilaku kekerasan
e. Melakukan evaluasi keperawatan pada pasien dengan resiko perilaku
kekerasan

C. Metode Penulisan
Metode penulisan yang digunakan penyusun dalam makalah karya tulis
ilmiah ini, yaitu menggunakan metode naratif dan deskriptif. Dalam
menggumpulkan data dengan cara studi kasus yang dilakukan secara
langsung untuk memberikan asuhan keperawatan pada pasien dengan resiko
perilaku kekerasan dan menggunakan studi kepustakaan dengan cara
mencari buku-buku refrensi yang sesuai dengan kasus kelolaan serta melalui
media elektronik seperti internet.

D. Sistematika Penulisan
Karya tulis ilmiah ini terdiri dari empat bab yang disusun secara sistematis,
bab I pendahuluan meliputi latar belakang penulisan, tujuan penulisan,
metode penulisan, dan sistematika penulisan, bab II tinjauan teori meliputi
konsep skizofrenia, konsep resiko perilaku kekerasan, dan konsep asuhan
keperawatan perilaku kekerasan, bab III tinjauan kasus adalah penyajian
kasus yang meliputi pengkajian keperawatan, diagnosa keperawatan,
perencanaan keperawatan, implementasi keperawatan, dan evaluasi
keperawatan, bab IV penutup yang meliputi kesimpulan dan saran; daftar
pustaka dan lampiran.
BAB II

TINJAUAN TEORI

A. Konsep Resiko Perilaku Kekerasan

1. Definisi
Perilaku kekerasan adalah suatu keadaan hilangnya kendali perilaku
seseorang yang diarahkan pada diri sendiri, orang lain, dan lingkungan [
CITATION Fitta \l 1033 ]. Perilaku kekerasan suatu keadaan dimana
seseorang melakukan tindakan yang dapat membahayakan secara fisik,
baik kepada diri sendiri maupun orang lain. Sering disebut juga gaduh
gelisah atau amuk dimana seseorang marah berespon terhadap suatu
stressor dengan gerakan motorik yang tidak terkontrol [ CITATION
Yos11 \l 1033 ]. Perilaku kekerasan atau agresif merupakan suatu bentuk
perilaku yang bertujuan untuk melukai seseorang secara fisik maupun
psikologis [ CITATION Muh15 \l 1057 ].

2. Etiologi
a. Faktor predisposisi
1) Faktor biologis
Hal yang dikaji pada faktor biologis meliputi adanya herediter
yaitu adanya anggota keluarga yang sering memperlihatkan
atau melakukan perilaku kekerasan, adanya anggota keluarga
yang mengalami gangguan jiwa, adanya riwayat penyakit atau
trauma kepala, dan riwayat penggunaan NAPZA (narkotika,
psikotropika, dan zat adiktif lainnya).
2) Faktor psikologis
Pengalaman marah merupakan respon psikologis terhadap
stimulus internal, eksternal, maupun lingkungan. Perilaku
kekerasan terjadi sebagai hasil dari akumulasi frustasi. Frustasi
terjadi apabila keinginan individu untuk mencapai sesuatu
menemui kegagalan atau terhambat. Salah satu kebutuhan
manusia adalah “berperilaku”, apabila kebutuhan tersebut tidak
dapat dipenuhi melalui berperilaku konstruktif, maka yang
akan muncul adalah individu tersebut berperilaku destruktif.
3) Faktor sosio kultural
Teori lingkungan sosial (social environment theory)
menyatakan bahwa lingkungan sosial sangat mempengaruhi
sikap individu untuk berespon asertif atau agresif. Dalam sosio
kultural terdapat adanya norma yang berlaku dalam
masyarakat. Normal merupakan kontrol masyarakat pada
kekerasan. Hal ini didefinisikan ekspresi perilaku kekerasan
yang diterima atau tidak diterima akan menimbulkan sanksi.
Kadang kontrol sosial yang sangat ketat dapat menghambat
ekspresi marah yang sehat dan menyebabkan individu memilih
cara yang maladaptif lainnya, serta budaya asertif di
masyarakat membantu individu untuk berespon terhadap marah
yang sehat [ CITATION Fit15 \l 1057 ].
Faktor sosial yang dapat menyebabkan timbulnya agresivitas
atau perilaku kekerasan yang maladaptif antara lain sebagai
berikut:
a) Ketidakmampuan memenuhi kebutuhan hidup
b) Status dalam perkawinan
c) Hasil dari orang tua tunggal (single parent)
d) Pengangguran
e) Ketidakmampuan mempertahankan hubungan interpersonal
dan struktur keluarga dalam sosial kultural.

b. Faktor presipitasi
Faktor presipitasi perilaku kekerasan pada setiap individu bersifat
unik, yakni berbeda satu orang dengan yang lain. Stressor tersebut
dapat merupakan penyebab yang berasal dari dalam maupun luar
individu. Faktor dari dalam individu meliputi kehilangan relasi
atau hubungan dengan orang yang dicintai atau berarti (putus
pacar, perceraian, dan kematian), kehilangan rasa cinta,
kekhawatiran terhadap penyakit fisik, kelemahan, rasa percaya
menurun, hilang kontrol, dan lain-lain. Sedangkan faktor luar
individu meliputi serangan terhadap fisik, lingkungan yang ribut,
kritikan yang mengarah pada penghinaan, dan tindakan kekerasan.

3. Manifestasi klinis
Tanda dan gejala perilaku kekerasan yang dapat diobservasi dan
diidentifikasi [ CITATION Yos11 \l 1033 ] adalah:
a. Fisik
Muka memerah dan tanpak tegang, mata melotot / pandangan
tajam, tangan mengepal, rahang mengatup, wajah memerah dan
tegang, postur tubuh kaku, mengatupkan rahang dengan kuat, dan
jalan mondar-mandir.
b. Verbal
Bicara kasar, suara tinggi, membentak dan berteriak, mengancam
secara verbal atau fisik, mengumpat dengan kata-kata kotor, suara
keras, dan ketus.
c. Perilaku
Melempar atau memukul benda/orang lain, menyerang orang lain,
melukai diri sendiri/orang lain, merusak lingkungan, dan
amuk/agresif.
d. Emosi
Tidak adekuat, tidak aman dan nyaman, rasa terganggu, dendam
dan jengkel, tidak berdaya, bermusuhan, mengamuk, ingin
berkelahi, menyalahkan, dan menuntut.
e. Intelektual
Mendominasi, cerewet, kasar, berdebat, meremehkan, dan
sarkasme.
f. Spiritual
Merasa diri berkuasa, merasa diri benar, mengkritik pendapat
orang lain, menyinggung perasaan orang lain, tidak peduli, dan
kasar.

4. Rentang Respon
Perilaku kekerasan merupakan suatu rentang emosi dan ungkapan
kemarahan yang dimanifestasikan dalam bentuk fisik. Kemarahan
tersebut merupakan suatu bentuk komunikasi dan proses penyampaian
pesan dari individu. Orang yang mengalami kemarahan adalah suatu
keinginan untuk menyampaikan pesan bahwa seseorang tersebut tidak
setuju, tersinggung, merasa tidak dianggap, merasa tidak diturut atau
diremehkan. Marah yang dialami individu memiliki rentang dimulai
dari respon adaptif sampai maladaptif [ CITATION Yos11 \l 1033 ] dan
[ CITATION Nur181 \l 1033 ].

Respon adaptif Respon maladaptif

Asertif Frustasi Pasif Agresif Amuk

Diagram 2.1: Rentang respon perilaku kekerasan [ CITATION


Nur181 \l 1057 ]

Keterangan:
Asertif merupakan kemarahan yang diungkapkan tanpa menyakiti atau
menyalahkan orang lain dan memberikan kelegaan. Frustasi merupakan
kegagalan mencapai tujuan kepuasan saat marah karena tidak
realistis/terhambat dan klien tidak dapat menemukan alternatif.
Pasif merupakan respon lanjutan dimana pasien tidak mampu
mengungkapkan perasaannya, tidak berdaya, dan menyerah. Agresif
merupakan perilaku destruktif atau klien mengekspresikan secara fisik
tapi masih terkontrol dan mendorong orang lain dengan ancaman.
Sedangkan amuk adalah perilaku destruktif atau perasaan marah dan
bermusuhan yang kuat tidak terkontrol, disertai dengan amuk dan
merusak lingkungan.

B. Konsep Asuhan Keperawatan Resiko Perilaku Kekerasan


1. Pengkajian
Pengkajian yang dilakukan pada pasien dengan resiko perilaku
kekerasan dengan cara wawancara adalah sebagai berikut [ CITATION
Nur181 \l 1057 ]:
a. Coba ceritakan ada kejadian apa/apa yang menyebabkan adna
marah?
b. Coba anda ceritakan apa yang anda rasakan ketika marah?
c. Perasaan apa yag anda rasakan ketika marah?
d. Sikap atau perilaku atau tindakan apa yang dilakukan saat anda
marah?
e. Apa akibat dari cara marah yang anda lakukan?
f. Apakah dengan cara yang digunakan penyebab marah anda hilang?
g. Menurut anda apakah ada cara lain untuk mengungkapkan
kemarahan anda?

Faktor penyebab terjadinya resiko perilaku kekerasan adalah:


a. Faktor predisposisi
Faktor pengalaman yang dialami oleh setiap orang merupakan
faktor predisposisi, yaitu kemungkinan terjadi atau tidak terjadi
perilaku kekerasan apabila faktor berikut ini terjadi [ CITATION
Afn15 \l 1033 ], yaitu:
1) Psikologis
Kegagalan yang dialami dapat menimbulkan frustasi yang
kemudian dapat timbul agresif atau amuk.
Masa kecil yang tidak menyenangkan yaitu perasaan ditolak,
dihina, dianiaya atau sanksi penganiayaan.
2) Perilaku
Reinforcement yang diterima pada saat melakukan kekerasan,
sering mengoservasi kekerasan di rumah maupun di luar
rumah, sehingga aspek ini menstimulasi individu mengadopsi
perilaku kekerasan.

3) Sosial budaya
Budaya yang tertutup atau membalas secara diam (pasif
agresif) dan kontrol sosial yang tidak pasti terhadap perilaku
kekerasan akan menciptakan seolah-olah perilaku kekerasan
yang diterima (permissive).
4) Bioneurologis
Terjadinya perilaku kekerasan dapat disebabkan oleh kerusakan
limbik, lobus frontal, lobus temporal, dan ketidakseimbangan
neurotransmitter.

b. Faktor presipitasi
Faktor presipitasi dapat bersumber dari klien, lingkungan atau
interaksi dengan orang lain. Kondisi klien seperti kelemahan fisik
(penyakit fisik), keputusasaan serta percaya diri yang kurang dapat
menyebabkan perilaku kekerasan. Situasi lingkungan yang ribut,
padat, kritikan yang mengarah pada penghinaan, kehilangan orang
yang dicintai (pekerjaan), dan kekerasan. Interaksi sosial yang
provokatif dan konflik dapat pula memicu perilaku kekerasan.

c. Perilaku
Perilaku yang berkaitan dengan perilaku kekerasan [ CITATION
Afn15 \l 1057 ], antara lain:
1) Menyerang atau menghindar (fight of flight)
Keadaan ini respon fisiologis timbul karena kegiatan sistem
saraf otonom bereaksi terhadap sekresi epineprhrin yang
menyebabkan terkanan darah meningkat, takikardi, wajah
merah, pupil melebar, sekresi HCL meningkat, peristaltik
gaster menurun, pengeluaran urin dan saliva meningkat,
konstipasi, kewaspadaan yang meningkat disertai ketegangan
otot, seperti rahang terkatup, tangan dikepal, tubuh menjadi
kaku, dan disertai reflek yang cepat.
2) Menyatakan secara asertif
Perilaku yang sering ditampilkan individu dalam
mengekspresikan kemarahan yaitu perilaku pasif, agresif, dan
asertif. Perilaku asertif merupakan cara yang terbaik
mengekspresikan marah karena individu dapat
mengekspresikan rasa marahnya tanpa menyakiti orang lain
secara fisik maupun psikologis, serta perilaku ini juga dapat
mengembangkan diri klien.
3) Memberontak (acting out)
Perilaku yang muncul biasanya disertai akibat konflik perilaku
(acting out) untuk menarik perhatian orang lain.
4) Perilaku kekerasan
Tindakan kekerasan atau amuk yang ditujukan pada diri
sendiri, orang lain, maupun lingkungan.

d. Mekanisme koping
Mekanisme koping adalah upaya yang diharapkan pada
penatalaksanaan stress, termasuk upaya untuk penyelesaian
masalah langsung dan mekanisme pertahanan yang digunakann
untuk melindungi [ CITATION Muh15 \l 1057 ].
1) Sublimasi
Menerima suatu sasaran pengganti artinya saat mengalami
suatu dorongan, penyalurannya ke arah lain. Misalnya
seseorang yang sedang marah melampiaskan kemarahannya
pada obyek lain seperti meremas adonan kue dan meninju
tembok. Tujuan dari tindakan tersebut adalah untuk
mengurangi ketegangan akibat rasa marah.
2) Proyeksi
Menyalahkan orang lain mengenai kesukarannya atau
keinginannya yang tidak baik. Misalnya seorang wanita muda
yang menyangkal bahwa ia mempunyai perasaan seksual
terhadap rekan sekerjanya, berbalik menuduh bahwa temannya
tersebut mencoba merayu dan mencumbunya.
3) Represi
Mencegah pikiran yang menyakitkan atau membahayakan
masuk ke alam sadar. Misalnya seorang anak yang sangat benci
pada orang tuanya yang tidak disukainya. Akan tetapi menurut
ajaran atau didikan yang diterimanya sejak kecil, membenci
orang tua adalah hal yang tidak baik dan dikutuk oleh Tuhan
sehingga perasaan kecil itu ditekannya dan akhirnya ia dapat
melupakannya.
4) Reaksi formasi
Mencegah keinginan yang berbahaya bila diekspresikan dengan
melebih-lebihkan sikap dan perilaku yang berlawanan dan
menggunakannya sebagai rintangan. Misalnya seorang yang
tertarik pada teman suaminya, akan memperlakukan orang
tersebut dengan kasar.
5) Deplacement
Melepaskan perasaan yang tertekan, melampiaskan pada obyek
yang tidak begitu berbahaya seperti yang pada mulanya yang
membangkitkan emosi itu. Misalnya Timmy berusia 4 tahun
yang marah karena ia baru saja mendapat hukuman dari ibunya
karena menggambar di dinding kamarnya, mulai bermain
perang-perangan dengan temannya.
e. Sumber koping
Sumber koping merupakan pilihan-pilihan atau strategi yang
membantu menentukan apa yang dapat dilakukan atau apa yang
beresiko. Sumber koping adalah faktor pelindung. Hal yang
termasuk sumber koping adalah asset finansial/kemampuan
ekonomi, kemampuan dan keterampilan, dukungan sosial,
motivasi, serta gabungan semua tingkat hirarki sosial (sel, jaringan,
organ, sistem tubuh, individu, keluarga, kelompok, komunitas,
masyarakat, dan lingkungan). Sumber koping lain yang meliputi
kesehatan dan energi, dukungan spiritual, keyakinan positif,
keterampilan penyelesaian masalah, keterampilan sosial, sumber
materi, serta kesehatan fisik [CITATION Kel16 \l 1057 ].

f. Pohon masalah

Resiko tinggi mencederai orang lain

Perilaku Kekerasan GSP: halusinasi

Inefektif proses terapi HDR Isolasi sosial

Koping keluarga Berduka disfungsional

Diagram 2.2: Pohon masalah perilaku kekerasan (Stuart dan


Sundeen, 1997 dalam [ CITATION Yos11 \l 1033 ])

2. Diagnosa keperawatan
Menurut Carpenito, 1998 dalam [ CITATION Fitta \l 1033 ], diagnosis
keperawatan adalah penilaian klinis tentang respons aktual atau
potensial dari individu, keluarga, dan masyarakat terhadap masalah
kesehatan/proses kehidupan. Rumusan diagnosis yaitu Permasalahan
(P) berhubungan dengan Etiologi (E) dan keduanya ada hubungan
sebab akibat secara ilmiah. Perumusan diagnosis keperawatan jiwa
mengacu pada pohon masalah yang sudah dibuat.
Rumusan diagnosis keperawatan yang menggunakan typology single
diagnosis, maka rumusan diagnosis adalah menggunakan etiologi saja.

Menurut Stuat dan Sundeen, 1997 dalam [ CITATION Yos11 \l 1033 ],


diagnosa keperawatan yang muncul pada perilaku kekerasan adalah
sebagai berikut:
a. Perilaku kekerasan
b. Perubahan persepsi sensori: halusinasi
c. Harga diri rendah kronis
d. Isolasi sosial
e. Berduka disfungsional
f. Inefektif proses terapi
g. Koping keluarga inefektif.

3. Rencana Keperawatan
Rencana keperawatan terdiri dari tujuan umum, tujuan khusus, dan
rencana tindakan keperawatan. Dalam merumuskan tujuan keperawatan
harus SMART, yaitu spesific (fokus kepada klien/rumusan tujuan harus
jelas), measurable (dapat diukur), achieveble (tujuan yang harus
dicapai), reasonable (tujuan yang dipertanggungjawabkan secara
ilmiah), dan time (batasan waktu dicapai dan jelas batas waktunya)
(Dermawan, 2012 dalam [ CITATION Ade18 \l 1033 ] . Adapun
perencanaan yang dapat dilakukan pada klien dengan resiko perilaku
kekerasan [ CITATION Sut16 \l 1033 ] adalah sebagai berikut:
Tujuan umum:
Klien dan keluarga mampu mengatasi atau mengendalikan perilaku
kekerasan.

Rencana keperawatan tersebut dirangkum dalam strategi pelaksanaan


individu dan keluarga. Strategi pelaksanaan tindakan keperawatan pada
klien dengan Resiko Perilaku Kekerasan [ CITATION Sar18 \l 1033 ],
adalah:
Strategi pelaksanaan individu:
a. SP 1 Resiko Perilaku Kekerasan: mengontrol perilaku kekerasan
dengan cara fisik
Tujuan Khusus:
Setelah dilakukan … kali interaksi diharapkan klien dapat
mengontrol perilaku kekerasan dengan cara fisik: tarik nafas dalam
dan pukul bantal/kasur.
Kriteria Hasil:
Setelah … kali interaksi klien dapat membina hubungan saling
percaya; Klien dapat mengidentifikasi: penyebab perilaku
kekerasan, tanda-tanda perilaku kekerasan, jenis perilaku kekerasan
yang pernah dilakukan, kontruktif atau cara-cara sehat dalam
mengungkapkan kemarahan, dan dapat memperagakan cara
mengontrol perilaku kekerasan dengan fisik (tarik nafas dalam dan
pukul bantal/kasur).
Tindakan keperawatan:
1) Membina hubungan saling percaya
2) Mengidentifikasi penyebab perilaku kekerasan
3) Mengidentifikasi tanda dan gejala perilaku kekerasan
4) Mengidentifikasi perilaku kekerasan yang biasa dilakukan
5) Mengidentifikasi akibat perilaku kekerasan
6) Mengidentifikasi cara konstruktif dalam merespon kemarahan
7) Mengontrol perilaku kekerasan dengan cara fisik (teknik
relaksasi nafas dalam dan pukul bantal/kasur)

b. SP 2 Resiko Perilaku Kekerasan: mengontrol marah dengan minum


obat teratur
Tujuan Khusus:
Setelah dilakukan … kali interaksi diharapkan klien dapat
mengontrol perilaku kekerasan dengan cara minum obat.
Kriteria Hasil:
Klien dapat menjelaskan: manfaat minum obat, kerugian tidak
minum obat, nama obat, bentuk dan warna obat, dosis yang
diberikan kepadanya, waktu pemakaian, cara pemakaian, efek yang
dirasakan, dan klien menggunakan obat sesuai program.
Tindakan keperawatan:
1) Evaluasi latihan nafas dalam dan pukul bantal
2) Latih cara mengontrol marah dengan minum obat teratur
3) Menyusun jadwal kegiatan harian

c. SP 3 Resiko Perilaku Kekerasan: mengungkapkan rasa marah


secara verbal
Tujuan Khusus:
Setelah dilakukan … kali interaksi diharapkan klien dapat
mengontrol perilaku kekerasan dengan cara verbal (menolak
dengan baik, meminta dengan baik, dan mengungkapkan perasaan
dengan baik).
Kriteria hasil:
Klien dapat memperagakan cara mengungkapkan rasa marah secara
verbal (menolak dengan baik, meminta dengan baik,
mengungkapkan perasaan dengan baik).
Tindakan keperawatan:
1) Evaluasi jadwal kegiatan harian (latihan fisik (SP I) dan
minum obat (SP 2)
2) Latihan mengungkapkan rasa marah secara verbal (menolak
dengan baik, meminta dengan baik, mengungkapkan perasaan
dengan baik)
3) Menyusun jadwal latihan menungkapkan marah secara verbal

d. SP 4 Resiko Perilaku Kekerasan: mengontrol PK dengan cara


spiritual
Tujuan Khusus:
Setelah dilakukan … kali interaksi diharapkan klien dapat
mengontrol perilaku kekerasan dengan cara spiritual.
Kriterian hasil:
Klien dapat memperagakan cara mengontrol perilaku kekerasan
dengan cara spiritual: zikir/doa dan meditasi sesuai agamanya
Tindakan keperawatan:
1) Evaluasi dan diskusikan hasil latihan SP 1, 2, dan 3
2) Latihan mengontrol PK dengan cara spiritual
3) Buat jadwal latihan spiritual yang telah dilatih.

Strategi Pelaksanaan Keluarga:


a. SP 1 keluarga: cara merawat klien dengan resiko perilaku
kekerasan
Tujuan Khusus:
Setelah dilakukan … kali interaksi keluarga mampu menjelaskan
cara merawat dengan resiko perilaku kekerasan.
Tindakan Keperawatan:
1) Diskusikan pentingnya peran serta keluarga sebagai pendukung
klien dalam mengatasi resiko perilaku kekerasan
2) Diskusikan potensi keluarga untuk membantu klien mengatasi
perilaku kekerasan
3) Jelaskan pengertian, penyebab, akibat, dan cara merawat klien
dengan resiko perilaku kekerasan yang dapat dilaksanakan oleh
keluarga.
4) Peragakan cara merawat klien (menangani PK).

b. SP 2 keluarga: evaluasi merawat


Tujuan Khusus:
Keluarga mengungkapkan rasa puas dalam merawat klien dengan
resiko perilaku kekerasan.
Tindakan Keperawatan:
1) Beri kesempatan keluarga untuk memperagakan ulang cara
perawatan terhadap klien
2) Beri pujian kepada keluarga setelah peragaan
3) Tanyakan perasaan keluarga setelah mencoba cara yang telah
dilatihkan.

Terapi Aktivitas Kelompok:


TAK ini terdiri dari 5 sesi (Keliat, 2015) yaitu:
a. Sesi 1 mengenal perilaku kekerasan yang biasa dilakukan
Tujuan: klien dapat menyebutkan stimulasi penyebab
kemarahannya, menyebutkan respons yang dirasakan saat marah,
menyebutkan reaksi yang dilakukan saat marah, dan menyebutkan
akibat perilaku kekerasan.
b. Sesi 2 mencegah perilaku kekerasan secara fisik
Tujuan: klien dapat menyebutkan kegiatan fisik yang biasa
dilakukan oleh klien, menyebutkan kegiatan fisik yang dapat
mencegahperilaku kekerasan, dan klien dapat mendemonstrasikan
dua kegiatan fisik yang dapat mencegah perilaku kekerasan.
c. Sesi 3 mencegah perilaku kekerasan dengan cara interaksi sosial
asertif (verbal)
Tujuan: klien dapat mengungkapkan keinginan dan permintaan
tanpa memaksa serta dapat mengungkapkan penolakan dan rasa
sakit hati tanpa kemarahan.
d. Sesi 4 mencegah perilaku kekerasan dengan cara spiritual
Tujuan: klien dapat melakukan mencegah perilaku kekerasan
dengan cara spiritual.
e. Sesi 5 mencegah perilaku kekerasan dengan patuh mengonsumsi
obat
Tujuan: klien dapat menyebutkan keuntungan patuh minum obat,
menyebutkan akibat/kerugian tidak patuh minum obat, dan dapat
menyebutkan lima benar cara minum obat.
4. Implementasi Keperawatan
Sebelum tindakan keperawatan diimplementasikan, perawat perlu
memvalidasi apakah rencana yang ditetapkan masih sesuai dengan
kondisi pasien saat ini (here and now) serta melakukan evaluasi diri
sendiri apakah mampu secara interpersonal, intelektual, dan teknikal
sesuai dengan tindakan yang akan dilaksanakan. Apabila tidak ada
hambatan, maka tindakan keperawatan dapat diimplementasikan.
Ketika implementasi tindakan keperawatan, perawat harus membuat
kontrak dengan pasien dengan menjelaskan apa yang akan dikerjakan
dan peran serta pasien yang diharapkan. Perawat perlu memperhatikan
standar tindakan keperawatan yang telah ditentukan dan aspek legal
yaitu mendokumentasikan apa yang telah dilaksanakan [ CITATION
Ibr11 \l 1033 ].

Klien dengan masalah gangguan jiwa memerlukan teknik yang berbeda


dengan yang memiliki masalah kesehatan fisik. Karakteristik yang
dimiliki oleh perawat dalam melakukan interaksi dengan klien
gangguan jiwa [ CITATION Sar18 \l 1057 ] adalah sebagai berikut:
a. Tidak menghakimi
Pendekatan yang tidak menghakimi adalah tidak melakukan
tindakan kasar atau tindakan yang didasarkan atas keputusan
berdasarkan kesimpulan kepihak kepada klien baik verbal maupun
non verbal.
Cara yang dapat dilakukan agar dapat melakukan tindakan yang
menghakimi adalah meningkatkan kesadaran diri perawat,
memberikan kesempatan kepada klien mengungkapkan pikiran dan
perasaannya, menghargai klien sebagai orang yang mampu
diberikan tanggung jawab, serta memberikan klien kesempatan
untuk mengambil keputusan.
b. Menerima
Penerimaan menegaskan klien sebagaimana adanya dan mengakui
bahwa klien memiliki hak untuk mengekspresikan emosi dan
pikirannya. Perawat yang memiliki sifat menerima terlihat dari
sikap menghargai pikiran dan perasaan klien serta membantu
mereka untuk memahami diri sendiri.
c. Hangat
Sikap hangat terlihat perhatian kepada klien dan mengungkapkan
kesenangan dalam merawat klien. Sikap hangat klien dapat
diungkapkan secara non verbal, sikap positif, nada yang ramah,
dan senyum yang hangat. Mencondongkan badan ke depan dan
mempertahankan kontak mata, sentuhan fisik, menerima, dan tidak
membuat rasa takut pada klien.
d. Empati
Empati berarti memahami pikiran dan perasaan klien serta ikut
merasakan perasaannya tapi ikut terlarut didalamnya. Dalam
mencapai empati terdapat 2 proses yang dilewati yaitu memahami
perasaan klien observasi dan memvalidasi perasaan klien dengan
cara meminta klien mengungkapkan perasaannya.
e. Keaslian
Ketika kita berkomitmen dengan klien, maka kita harus bersikap
profesional yang berperan sebagai tenaga kesehatan yang
memberikan layanan kesehatan dengan tujuan untuk
menyembuhkan klien.
f. Kongruensi
Kongruensi yaitu kesesuaian antara komunikasi verbal dan non
verbal untuk menumbuhkan hubungan saling percaya antara
perawat dan klien.
g. Sabar
Sabar artinya memberikan klien ruang untuk mengungkapkan
perasaan, berpikir, mengambil keputusan, dan memberikan
kesempatan untuk membuat perencanaan sesuai keinginan dan
kebutuhannya.
h. Hormat
Sikap hormat termasuk pertimbangan untuk klien, komitmen
melindungi mereka dari bahaya lain, serta percaya terhadap
kemampuan mereka dalam menyelesaikan masalah atau melakukan
perawatan secara mandiri.
i. Dapat dipercaya
Ketika kita dipercaya oleh klien, maka kita menjadi tempat
bergantung dan bertanggung jawab. Sikap yang dibangun untuk
menumbuhkan kepercayaan klien adalah komitmen terhadap
waktu, menjaga janji, dan konsisten terhadap sikap.
j. Terbuka
Sikap terbuka dapat ditumbuhkan dengan mendengarkan klien,
percaya dengan apa yang mereka lakukan dan tidak menghakimi.
k. Humor
Humor dapat menciptakan hubungan yang hangat dengan klien,
menghilangkan rasa takut, dan khawatir klien terhadap perawat.
Beberapa teknik komunikasi yang perlu dilakukan oleh perawat untuk
menanggapi pesan yang disampaikan klien yaitu:
a. Mendengarkan aktif: proses aktif menerima informasi dan
mempelajari respon seseorang terhadap pesan yang diterima
b. Pertanyaan terbuka: mendorong klien untuk menyeleksi topik yang
akan dibicarakan
c. Restating: mengulangi pikiran utama yang diekspresikan klien
dengan menggunakan kata-kata sendiri
d. Refleksi: mengulang kembali apa yang dibicarakan pasien
e. Klarifikasi: berupaya menyampaikan ide atau pikiran klien yang
tidak jelas dan meminta klien menjelaskan kembali
f. Focusing: komunikasi yang dilakukan untuk membatasi area
diskusi sehingga menjadi lebih spesifik dan dimengerti
g. Berbagi persepsi: meminta klien memastikan pemahaman perawat
mengenai apa yang klien pikirkan
h. Diam: tidak ada komunikasi verbal, memberikan kesempatan pada
klien untuk mengutarakan pikirannya
i. Identifikasi tema: menyatakan isu atau masalah yang terjadi
berulang kali
j. Humor: pengelaran energi melalui lelucon.

5. Evaluasi Keperawatan
Evaluasi merupakan proses yang berkelanjutan untuk menilai efek dari
tindakan keperawatan yang telah dilakukan pada pasien dan keluarga.
Evaluasi ada dua macam, yaitu evaluasi proses (formatif) yang
dilakukan setiap selesai melaksanakan tindakan, sedangkan evaluasi
hasil (sumatif) yang dilakukan dalam membandingkan respon pasien
pada tujuan khusus dan umum yang diharapkan. Evaluasi yang
diharapkan dengan pendekatan SOAP, yaitu S (respon subyektif pasien
terhadap tindakan keperawatan yang telah dilaksanakan), O (respon
obyektif pasien terhadap tindakan keperawatan yang telah
dilaksanakan), A (analisis terhadap data subyektif dan obyektif untuk
menyimpulkan apakah masalah masih tetap ada, muncul masalah baru,
atau ada data yang kontradiksi terhadap masalah yang ada), dan P
(tindak lanjut berdasarkan hasil analisis respon pasien [ CITATION Fit15 \l
1057 ].

Rencana tindak lanjut dapat berupa hal sebagai berikut:


a. Rencana dilanjutkan (jika masalah tidak berubah)
b. Rencana dimodifikasi (jika masalah tetap, sudah dilaksanakan
semua tindakan tetapi hasil belum memuaskan)
c. Rencana dibatalkan (jika ditemukan masalah baru dan bertolak
belakang dengan masalah yang ada)
d. Rencana selesai apabila tujuan sudah tercapai dan perlu
mempertahankan keadaan baru.

Evaluasi kemampuan pasien mengatasi resiko perilaku kekerasan


berhasil apabila pasien dapat:
a. Menyebutkan penyebab, tanda dan gejala perilaku kekerasan,
perilaku kekerasan yang biasa dilakukan, dan akibat dari perilaku
kekerasan
b. Mengontrol perilaku kekerasan secara teratur sesuai jadwal
1) Secara fisik: tarik nafas dalam dan pukul bantal/kasur
2) Secara sosial/verbal: meminta, menolak, dan mengungkapakn
perasaan dengan cara baik
3) Secara spiritual
4) Terapi psikofarma
c. Mengidentifikasi manfaat latihan yang dilakukan dalam
mencegah perilaku kekerasan.
e. Evaluasi kemampuan keluarga mengatasi resiko perilaku
kekerasan berhasil apabila keluarga dapat:
1) Mengenal masalah yang dirasakan dalam merawat pasien
(pengertian, tanda dan gejala, dan proses terjadinya resiko
perilaku kekerasan)
2) Mencegah terjadinya perilaku kekerasan
3) Menunjukan sikap yang mendukung dan menghargai pasien
4) Memotivasi pasien dalam melakukan cara mengontrol
perasaan marah
5) Menciptakan suasana keluarga dan lingkungan yang
mendukung pasien mengontrol perasaan marah
6) Mengevaluasi manfaat asuhan keperawatan dalam mencegah
perilaku kekerasan pasien
7) Melakukan follow up ke puskesmas, mengenal tanda kambuh
dan melakukan rujukan.
BAB III

TINJAUAN KASUS
BAB IV

PENUTUP
DAFTAR PUSTAKA

(Riskesdas), R. K. (2018, Februari senin). Badan Penelitian dan Pengembangan


Kesehatan Kementerian RI tahun 2018. Retrieved from
http://www.depkes.go.id/resources/download/infoterkini/materi_rakorpop_2
018/Hasil%20Riskesdas%202018.pdf
Afnuhazi, R. (2015). Komunikasi terapeutik dalam keperawatan jiwa.
Yogyakarta: Katalog Dalam Terbitan.
Andina, E. (2014). Budaya Kekerasan Antar Anak di Sekolah Dasar. Jurnal Info
Singkat Kesejahteraan Sosial, Vol.6 No.1.
Fadilla, A. R. (2016). Evaluasi Ketepatan Penggunaan Antipsikotik. Sainstech
Farma Vol.9.
Fitryasari, R. P. (2015). Buku ajar keperawatan kesehatan jiwa. Jakarta: Salemba
Medika.
Ghifary, R. (2018). Super Santri. Yogyakarta: Diandra Kreatif.
Ibrahim, A. S. (2011). Skizofrenia Spliting Personality. Tanggerang: Jelajah Nusa.
Keliat, B. A. (2011). Manajemen Kasus Gangguan Jiwa: CMHN (Intermediate
Course). Jakarta: EGC.
Keliat, B. A. (2011). Manajemen Kasus Gangguan Jiwa: CMHN (Intermediate
Course). Jakarta: EGC.
Keliat, B. A. (2015). Keperawatan Jiwa:Terapi Aktivitas Kelompok ed. 2. Jakarta:
EGC.
Maulana, I., & dkk. (2019). Penyuluhan kesehatan Jiwa untuk Meningkatkan
Pengetahuan Masyarakat tentang Masalah Kesehatan Jiwa di Lingkungan
Sekitarnya. Fakultas Keperawatan, Universitas Padjajaran, 218-225.
Muhith, A. (2015). Pendidikan keperawatan jiwa. Yogyakarta: KDT.
Nuraenah, d. (2014). Hubungan dukungan Keluarga dan Beban Keluarga dalam
Merawat Anggota dengan Riwayat Perilaku Kekerasan Di RS Jiwa Islam
Klender Jakarta Timur 2012. Jurnal Keperawatan Jiwa.
Nurhalimah. (2018). Modul Ajar Konsep Keperawatan Jiwa. Jakarta: AIPViKI.
Rinawati, & Alimansur. (2016). Analisa Faktor-Faktor penyebab Gangguan Jiwa
Menggunakan Pendekatan Model Adaptasi Stres Stuart. Jurnal Ilmu
Kesehatan , Vol.5 No.1.
Sarfika, R. F. (2018). Buku ajar keperawatan dasar 2 komunikasi terapeutik
dalam keperawatan. Padang: Andalas University Press.
Stuart, G. W. (2016). Prinsip dan Praktik Keperawatan Kesehatan Jiwa Stuart,
Ed. Indonesia Pertama. Singapore: Elsevier.
Stuart.Gail.W. (2016). Keperawatan Kesehatan Jiwa. Indonesia: Elsever.
Sumara, D., & dkk. (2017). Kenakalan Remaja dan Penanganannya. Jurnal
Penelitian & PPM, 346 - 353.
Sutejo. (2016). Keperawatan Jiwa. Yogyakarta: Pustaka Baru.
Sutejo. (2019). Keperawatan Jiwa "Konsep dan praktik Asuhan Keperawatan
Jiwa Gangguan Jiwa dan Psikososial". Yogyakarta: Pustaka Baru Press.
Tumanggor. (2018). Asuhan Keperawatan pada Klien Skizofrenia dengan
pendekatan NANDA, NIC, NOC, dan ISDA. Jakarta: Salemba Medika.
Yosep, & dkk. (2009). Pengalaman Traumatik Penyebab Gangguan Jiwa
( Skizofrenia) Pasien Di Rumah Sakit Jiwa Cimahi. Majalah Kedokteran
Bandung, Vol.41 No.4.
Yosep, I. (2011). Keperawatan Jiwa. Bandung: PT Refika Aditama.
Yosep, I. d. (2016). Buku ajar keperawatan jiwa. Bandung: Refika Aditama.
Yusuf, A., & dkk. (2019). Kesehatan Jiwa: Pendekatan Holistik Dalam Asuhan
Keperawatan. Jakarta: Mitra Wacana Media.

Anda mungkin juga menyukai