Anda di halaman 1dari 19

MAKALAH

HUKUM DAN HAM DI INDONESIA

Disusun Guna Memenuhi Tugas


Kewarganegaraan Semester II
Pengampu: Drs. Atwal Arifin., Ak, M.Si.

Disusun Oleh :
SALMA ALFIAN DITA B200170081
AINUN ALVI FAZJRI B200170100
NURUL FAI FHUR JANAH B200170110

PROGRAM STUDI AKUNTANSI


FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
2021
A. PENDAHULUAN

Hak Asasi Manusia (HAM) dan demokrasi merupakan konsepsi

kemanusiaan dan relasi sosial yang dilahirkan dari sejarah peradaban manusia

di seluruh penjuru dunia. Konsepsi HAM dan demokrasi dalam

perkembangannya sangat terkait dengan konsepsi negara hukum. Dalam

sebuah negara hukum, sesungguhnya yang memerintah adalah hukum, bukan

manusia.

Hukum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku tidak boleh

ditetapkan dan diterapkan secara sepihak hanya untuk kepentingan penguasa,

hal ini bertentangan dengan prinsip demokrasi. Hukum tidak dimaksudkan

untuk hanya menjamin kepentingan beberapa orang yang berkuasa, melainkan

menjamin kepentingan keadilan bagi semua orang. Dengan demikian negara

hukum yang dikembangkan bukan absolute rechtsstaat, melainkan

democratische rechtsstaat.

Tujuan negara Indonesia sebagai negara hukum yang bersifat formal

tersebut mengandung konsekuensi bahwa negara berkewajiban untuk

melindungi seluruh warganya dengan suatu undang-undang terutama

melindungi hak-hak asasinya demi kesejahteraan hidup bersama.

Pengakuan akan Hak Asasi Manusia di Indonesia telah tercantum

dalam Undang-Undang Dasar 1945 yang sebenarnya lebih dahulu ada

dibandingkan dengan Deklarasi PBB yang lahir pada 10 Desember 1948.

Pengakuan akan Hak Asasi Manusia di Indonesia telah tercantum dalam

Undang-Undang Dasar 1945 dan peraturan perundang-undangan lainnya

adalah sebagai berikut:


1. Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 Alinea Pertama

2. Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 Alinea Keempat

3. Batang Tubuh Undang-Undang Dasar 1945

4. Ketetapan MPR

Ketetapan MPR mengenai Hak Asasi Manusia Indonesia tertuang

dalam ketetapan MPR No. XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia.

Berdasarkan hal itu, kemudian keluarlah Undang-Undang Nomor 39 Tahun

1999 Tentang Hak Asasi Manusia sebagai undang-undang yang sangat penting

kaitannya dalam proses jalannya Hak Asasi Manusia di Indonesia. Selain itu

juga Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi

Manusia.

Dalam penjelasan umum Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 Tentang

Hak Asasi Manusia, menyatakan bahwa sejarah bangsa Indonesia hingga kini

mencatat berbagai penderitaan, kesengsaraan dan kesenjangan sosial, yang

disebabkan oleh perilaku yang tidak adil dan diskriminatif atas dasar etnis, ras,

warna, kulit, budaya, bahasa, agama, golongan, jenis kelamin, dan status sosial

yang lain. Perilaku tidak adil dan diskriminatif tersebut merupakan

pelanggaran Hak Asasi Manusia, baik yang bersifat vertikal (dilakukan oleh

aparat negara terhadap warga negara atau sebaliknya) maupun horizontal

(antar warga negara sendiri) dan tidak sedikit yang masuk kategori

pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat ( grossviolation of human rights).

Undang Undang Dasar Neraga RI Tahun 1945 menjamin bahwa setiap

orang berhak untuk bebas dari perlakuan diskriminatif. Bahkan Undang


Undang Dasar Neraga RI Tahun 1945 secara lengkap telah menjamin hak

asasi manusia dan juga hak-hak warga negara Indonesia. Hak-hak warga

negara yang diatur dalam Undang Undang Dasar Neraga RI Tahun 1945

merupakan hak-hak konstitusional seluruh warga negara Republik Indonesia,

sedangkan Pemerintah seharusnya melaksanakan kehendak rakyat termasuk

menjamin perlindungan, penegakan dan pemenuhan hak-hak rakyat yang

diatur dalam konstitusi. Dengan kata lain, setiap hak yang terkait dengan

warga negara dengan sendirinya bertimbal balik dengan kewajiban negara

untuk memenuhinya. Artinya, negara berkewajiban dan bertanggung jawab

menjamin agar semua hak dan kebebasan warga negara dihormati dan

dipenuhi sebaik-baiknya. Jaminan perlindungan atas terpenuhinya hak-hak

konstitusional tersebut tentu harus dipahami sebagai hak dari setiap warga

negara tanpa ada driskriminasi apapun.

Sebagai negara hukum (rechtstaat), Indonesia saat ini sedang

dihadapkan pada persoalan hukum dan keadilan masyarakat yang sangat

serius. Hukum dan keadilan masyarakat seolah seperti dua kutub yang saling

terpisah, tidak saling mendekat. Keadilan hukum bagi masyarakat, terutama

masyarakat miskin di negeri ini adalah sesuatu barang yang mahal. Keadilan

hukum hanya di miliki oleh orang-orang yang memiliki kekuatan dan akses

politik dan ekonomi saja. Sementara, masyarakat lemah atau miskin sangat

sulit untuk mendapatkan akses keadilan hukum dan bahkan mereka kerap kali

menjadi korban penegakan hukum yang tidak adil.


B. PENGERTIAN NEGARA HUKUM

Negara hukum menurut F.R Bothlingk adalah “De taat waarin de

wilsvrijheid van gezagsdragers is beperkt door grenzen van recht” (negara,

dimana kebebasan kehendak pemegang kekuasaan dibatasi oleh suatu

kehendak hukum). Lebih lanjut disebutkan bahwa dalam rangka

merealisasikan pembatasan pemegang kekuasaan tersebut maka diwujudkan

dengan cara, “Enerzijds in een binding van rechter administatie aan de wet,

anderjizds in een binding van de bevoegdheden van wetgever”, (disatu sisi

keterikatan hakim dan pemerintah terhadap undang-undang, dan sisi lain

pembatasan kewenangan oleh pembuat undang-undang). A.Hamid S. Attamini

dengan mengutip Burkens, mengatakan bahwa negara yang menempatkan

hukum sebagai dasar kekuasaan negara dan penyelenggaraan kekuasaan

tersebut dalam segala bentuknya dilakukan dibawah kekuasaan hukum.

Sedangkan secara sederhana negara hukum adalah yang penyelenggaraan

pemerintahannya dijalankan berdasarkan dan berseranakan hukum yang

berakar dalam seperangkat titik tolak normatif, berupa asas-asas dasar sebagai

asas-asas yang menjadi pedoman dan kriteria penilaian pemerintahan dan

perilaku pejabat pemerintah.

Arti negara hukum itu sendiri pada hakikatnya berakar dari konsep dan teori

kedaulatan hukum yang pada prinsipnya menyatakan bahwa kekuasaan

tertinggi didalam suatu negara adalah hukum, oleh sebab itu seluruh alat

perlengkapan negara apapun namanya termasuk warga negara harus tunduk

dan patuh serta menjunjung tinggi hukum tanpa terkecuali.

Menurut Krebe, negara sebagai pencipta dan pengerak hukum di dalam

segala kegiatannya harus tunduk pada hukum yang berlaku. Dalam arti ini
hukum membawahi negara. Berdasarkan pengertian hukum itu bersumber dari

kesadaran hukum rakyat, maka hukum mempunyai wibawa yang tidak

berkaitan dengan seseorang.

Konsep negara hukum kesejahteraan menjadi landasan kedudukan dan

fungsi pemerintah dalam negara-negara modern. Negara kesejahteraan

merupakan antitesis dari konsep negara hukum formal, yang didasari oleh

pemikiran untuk melakukan pengawasan yang ketat terhadap penyelenggara

kekuasaan negara.

Konsep negara hukum berakar dari paham kedaulatan hukum yang pada

hakikatnya berprinsip bahwa kekuasaan tertinggi di dalam suatu negara adalah

berdasarkan atas hukum. Negara hukum merupakan substansi dasar dari

kontrak sosial setiap negara hukum. Dalam kontrak tersebut tercantum

kewajiban-kewajiban terhadap hukum untuk memelihara, mematuhi dan

mengembangkan dalam konteks pembangunan hukum.

Di Indonesia, pelaksanaan negara hukum mengalami pasang surut. Selama

kurun parlementer (1950-1957) negara hukum menjadi ideologi pengabsahan

republik konstitusional, tetapi banyak diantara simbol-simbolnya secara

konservatif dikaitkan dengan lembaga, prosedur dan berbagai kitab undang-

undang hukum Belanda yang dilestarikan sampai masa kemerdekaan. Dalam

kurun demokrasi terpimpin (1958-1965), negara hukum tenggelam dibawah

tekanan petrimonialisme rezim dan ideologinya yang radikal-populis, yang

mengutamakan keadilan subntantif dari pada keadilan proseduler. Dengan

lainnya Orde Baru,perbincangan mengenai negara hukum bangkit kembali

dengan cepat, sebagian sebagai reaksi terhadap demokrasi terpimpin namun


lebih jelas dan mendalam dari pada yang sudah-sudah. Selama awal kurun

Orde Baru, sampai kira-kira tahun 1971, para pendukung negara hukum boleh

dikata lebih optimistis.

Pada Era Reformasi saat ini, perjuangan menegakkan negara hukum

memegang sangat nampak dipermukaan, terutama dengan lahirnya berbagai

berundang-undangan yang lebih responsif dengan tuntunan masyarakat.

Namun demikian, hal ini belum bisa menjamin akan diimplementasikannya

negara hukum yang lebih substansial.

Aristoteles berpendapat bahwa pengertian negara hukum itu timbul dari

polis yang mempunyai wilayah negara kecil, seperti kota dan berpenduduk

sedikit, tidak seperti negara-negara sekarang ini yang mempunyai wilayah luas

dan berpenduduk banyak (vlakte staat). Dalam polis itu segala urusan negara

dilakukan dengan musyawarah (acclesia), dimana seluruh warga negaranya

ikut serta dalam urusan penyelenggaraan negara.21

Pada masa itu yang dimaksud dengan negara hukum ialah negara yang

berdiri diatas hukum yang menjamin keadilan kepada warga negaranya.

Keadilan merupakan syarat bagi tercapainya kebahagiaan hidup untuk warga

negaranya, dan sebagai dasar dari pada keadilan itu perlu diajarkan rasa susila

kepada setiap manusia agar ia menjadi warga negara yang baik.22 Demikian

pula peraturan hukum yang sebenarnya hanya ada jika peraturan hukum itu

mencerminkan keadilan bagi pergaulan hidup antar warga negaranya.


C. STRATA HUKUM DI INDONESIA

Berdasarkan UU No. 12 Tahun 2011, maka jenis dan hierarki

Peraturan Perundang-undangan sesuai urutan dari yang tertinggi adalah:

1) Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

( UUD 1945)

2) Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat ( Tap MPR)

3) Undang-undang (UU) atau Peraturan Pemerintah Pengganti

Undang-undang ( Perppu)

4) Peraturan Pemerintah ( PP)

5) Peraturan Presiden ( Perpres)

6) Peraturan Daerah ( Perda) Provinsi

7) Peraturan Kabupaten atau Kota

Kekuatan hukum Peraturan Perundang-undangan adalah sesuai dengan

hierarki Peraturan Perundang-undangan. Berikut ini penjelasan masing-masing

Peraturan Perundang-undangan tersebut:

1. Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

(UUD 1945) UUD 1945 adalah hukum dasar dalam Peraturan

Perundang-undangan. UUD 1945 merupakan peraturan tertinggi dalam

tata urutan Peraturan Perundang-undangan nasional.

2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (Tap MPR) Ketetapan

MPR adalah putusan MPR yang ditetapkan dalam sidang MPR

meliputi Ketetapan MPR Sementara dan Ketetapan MPR yang masih

berlaku. Sebagaimana dalam Pasal 2 dan Pasal 4 Ketetapan MPR RI


Nomor I/MPR/2003 tentang Peninjauan Terhadap Materi dan Status

Hukum Ketetapan MPR Sementara dan MPR 1960 sampai 2002 pada

7 Agustus 2003. Berdasarkan sifatnya, putusan MPR terdiri dari dua

macam yaitu Ketetapan dan Keputusan. Ketetapan MPR adalah

putusan MPR yang mengikat baik ke dalam atau keluar majelis.

Keputusan adalah putusan MPR yang mengikat ke dalam majelis saja

3. UU atau Perppu UU adalah Peraturan Perundang-undangan yang

dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dengan persetujuan

bersama Presiden. Perppu adalah Peraturan Perundang-undangan yang

ditetapkan oleh Presiden dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa.

Mekanisme UU atau Perppu adalah sebagai berikut: Perppu diajukan

ke DPR dalam persidangan berikut. DPR dapat menerima atau

menolak Perppu tanpa melakukan perubahan. Bila disetujui oleh DPR,

Perppu ditetapkan menjadi UU. Bila ditolak oleh DPR, Perppu harus

dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

4. Peraturan Pemerintah (PP) PP adalah Peraturan Perundang-

undangan yang ditetapkan oleh Presiden untuk menjalankan UU

sebagaimana mestinya. PP berfungsi untuk menjalankan perintah

Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi atau dalam

menyelenggarakan kekuasaan pemerintahan.

5. Peraturan Presiden (Perpres) Perpres adalah Peraturan Perundang-

undangan yang ditetapkan oleh Presiden untuk menjalankan perintah

Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi atau dalam

menyelenggarakan kekuasaan pemerintahan.


6. Peraturan Daerah (Perda) Provinsi Perda Provinsi adalah Peraturan

Perundang-undangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat

Daerah (DPRD) Provinsi dengan persetujuan bersama Gubernur.

Termasuk dalam Peraturan Daerah Provinsi adalah Qanun yang

berlaku di Provinsi Aceh dan Peraturan Daerah Khusus (Perdasus)

serta Peraturan Daerah Provinsi (Perdasi) yang berlaku di Provinsi

Papua dan Provinsi Papua Barat.

7. Perda Kabupaten atau Kota Perda Kabupaten atau Kota adalah

Peraturan Perundang-undangan yang dibentuk oleh DPRD Kabupaten

atau Kota dengan persetujuan bersama Bupati atau Walikota.

Termasuk dalam Peraturan Daerah Kabupaten atau Kota adalah Qanun

yang berlaku di Kabupaten atau Kota di Provinsi Aceh.

Makna tata urutan Peraturan Perundang-undangan Dalam Penjelasan

Pasal 7 ayat 2 Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011, yang dimaksud dengan

hierarki adalah penjenjangan setiap jenis Peraturan Perundang-undangan.

Penjenjangan didasarkan asas bahwa Peraturan Perundang-undangan yang

lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan Peraturan Perundang-undangan

yang lebih tinggi. Asas tersebut sesuai dengan Stufen Theory atau Teori

Tangga dari ahli hukum Hans Kelsen dalam General Theory of Law and State

(1945).

Peraturan Perundang-undangan lain yaitu selain jenis dan hierarki

tersebut, masih ada jenis Peraturan Perundang-undangan lain yang diakui

keberadaannya. Peraturan Perundang-undangan lain ini juga mempunyai


kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan Perundang-

undangan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan.

Peraturan Perundang-undangan yang dimaksud mencakup peraturan

yang ditetapkan oleh:

1) MPR

2) DPR

3) DPD

4) Mahkamah Agung (MA)

5) Mahkamah Konstitusi (MK)

6) Badan Pemeriksa Keuangan (BPK)

7) Komisi Yudisial

8) Bank Indonesia (BI)

9) Menteri, badan, lembaga atau komisi yang setingkat yang dibentuk

dengan UU atau Pemerintah atas perintah UU

10) DPRD Provinsi

11) Gubernur

12) DPRD Kabupaten atau Kota

13) Bupati atau Walikota

14) Kepala Desa atau yang setingkat

Secara khusus, Peraturan Menteri yang dimaksud adalah peraturan

yang ditetapkan oleh menteri berdasarkan materi muatan dalam rangka

penyelenggaraan urusan tertentu dalam pemerintahan.

Urutan peraturan perundang-undangan sebelumnya Sebagai informasi,

UU No. 12 tahun 2011 tersebut menggantikan UU No. 10 Tahun 2004. Dalam


UU. No. 10 Tahun 2004, tata urutan peraturan perundang-udnangan adalah

sebagai berikut:

1) UUD 1945

2) UU atau Perpu

3) Peraturan Pemerintah

4) Peraturan Presiden

5) Peraturan Daerah, meliputi: Peraturan Daerah Provinsi, Peraturan

Daerah Kabupaten atau Kota, dan Peraturan Desa atau peraturan yang

setingkat.

D. RATIFIKASI HAM (PENGAKUAN INDONESIA TERHADAP

PEMBERLUKAN HAM)

HAM dalam Pelaksanaan Politik Luar Negeri Indonesia Nilai-nilai HAM telah

diintegrasikan sebagai bagian pokok pelaksanaan politik luar negeri melalui upaya

pengarusutamaan, yang didasarkan pada: Pelaksanaan kewajiban konstitusional,

mengingat HAM sebagai nilai universal telah sepenuhnya diintegrasikan dalam

Undang-Undang Dasar RI melalui amandemen dari tahun 1999 hingga 2002.

Pemajuan dan perlindungan HAM dalam konteks ini dimaknai tidak hanya pada

tataran nasional tapi juga tataran global. Pemahaman bahwa HAM telah menjadi

faktor penting dalam hubungan internasional, dan telah menjadi bagian alami dalam

hubungan bilateral, regional maupun global. Pemahaman bahwa polugri harus

memproyeksikan perkembangan dinamis di bidang pemajuan dan perlindungan HAM

pada tingkat nasional. Indonesia aktif dalam membangun kerja sama dan kemitraan di

bidang HAM dalam hubungan bilateral ataupun kerja sama multilateral pada
tingkatan di kawasan ataupun global. Diplomasi HAM Indonesia memiliki tujuan 2

arah yang saling memperkuat, yaitu: ikut serta dalam upaya pemajuan dan

perlindungan HAM bersama pada tingkat regional dan global di bidang HAM, serta

memperkuat upaya nasional di bidang-bidang HAM melalui kerja sama internasional

Dalam hubungan bilateral, Indonesia telah memiliki forum dialog bilateral HAM

reguler dengan sejumlah negara. Dalam tingkatan regional, Indonesia turut

membentuk badan khusus HAM dalam kerangka kerjasama ASEAN dan OKI.

Sedang dalam tataran global, Indonesia aktif dalam pembahasan berbagai isu HAM

baik di dalam mekanisme HAM PBB maupun di luar mekanisme HAM PBB.

Ratifikasi ham ( pengakuan indonesia terhafap pemberlakuan ham) hal ini

dibuktikan Ratifikasi perjanjian internasional di Indonesia berdasarkan Pasal 11

UndangUndang Dasar 1945, Surat Persiden RI Nomor : 2826/HK/1960 dan UU

Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional, yakni pengesahan/ratifikasi

dalam bentuk undang-undang dan keputusan presiden. dalam praktek ratifikasi

bentuk pengesahan traktat sebagai berikut : 1) Kerja sama DPR dan Presiden yang

menghasilkan undang-undang, misalnya Undang-undang Nomor 9 Tahun 1974

tentang Perjanjian Ekstradisi antara Indonesia dan Malaysia. Juga Undangundang

Nomor 2 Tahun 1978 tentang Perjanjian Ekstradisi antara Indonesia dan Thailand. 2)

Penyampaian naskah berikut keputusan Presiden kepada DPR sekedar untuk diketahui

saja, atau pengesahan berbentuk Keppres, misalnya Keppres No. 1 Tahun 1977 dan

Keppres No. 6 Tahun 1978 tersebut di atas. Selain itu terdapat pula bentuk; 3)

Keterangan Pemerintah di hadapan Rapat Gabungan Komisi DPR. Misalnya Surat

Keterangan Pemerintah yang disampaikan oleh Menteri Negara Ekuin/Ketua

Bappenas dihadapan rapat Gabungan Komisi I, VII dan X DPR RI Tanggal 10

Februari 1975 perihal Persetujuan Kerjasama Ekonomi antara Indonesia dan


Pemerintah Laos, yang ditandatangani tanggal 31 Januari 1975. 4) Menteri Luar

Negeri langsung menyampaikan kepada DPR secara informal. Misalnya Direktur

Jendral Politik atas nama Menteri Luar Negeri telah menyampaikan surat yang

ditandatangani oleh Pjs Direktur Perjanjian Internasional dengan Surat Nomor

20/45/1976/29 antara DPR; sebuah agreement tertanggal 28 Januari1976 antara

Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Canada. Agreement itu berisi bantuan

keuangan Pemerintah Canada sebesar US $ 25.000.000

E. CONTOH KASUS TENTANG KEPUTUSAN PENGADILAN HAM

INTERNASIONAL

Upaya Penyelesaian Kasus Etnis Rohingya di Myanmar atas Pelanggaran HAM

Berat berdasarkan Hukum Internasional:

Dalam pasal 33 Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa dijelaskan bahwa untuk

menyelesaikan kasus seharusnya menggunakan cara diplomasi terlebih dahulu

sebelum ke ranah hukum. Hal tersebut berbunyi sebagai berikut :

 Ayat 1, Pihak-pihak yang tersangkut dalam sesuatu pertikaian yang jika

berlangsung secara terus menerus mungkin membahayakan

 Ayat 2, Bila dianggap perlu, Dewan Keamanan meminta kepada pihak-pihak

bersangkutan untuk menyelesaikan pertikaiannya dengan cara-cara yang

serupa itu

Pemeliharaan perdamaian dan keamanan nasional, pertama-tama harus mencari

penyelesaian dengan jalan perundingan, penyelidikan, mediasi, konsiliasi, arbitrasi,

penyelesaian menurut hukum melalui badan-badan atau pengaturan-pengaturan

regional, atau dengan cara damai lainnya yang dipilih mereka sendiri.
Berdasarkan pada pasal 33 Piagam PBB, para pihak yang bersengketa (etnis

rohingya dan pemerintah Myanmar serta warga Myanmar) dapat menyelesaikan

permasalahan yang terjadi dengan menggunakan mediasi terlebih dahulu. Apabila

cara tersebut tidak berhasil, Dewan Keamanan PBB dapat mengajukan kasus yang

terjadi ke peradilan internasional seperti International Criminal Court yang diatur

dalam statuta roma tahun 1998.

F. PENEGAKAN HUKUM DI INDONESIA

Penegakan hukum adalah sistem yang di dalamnya terdapat anggota pemerintah

yang bertindak secara terorganisir untuk menegakkan hukum dengan cara

menemukan, menghalangi, memulihkan, atau menghukum orang-orang yang

melanggar undang-undang dan norma hukum yang mengatur masyarakat tempat

anggota penegakan hukum tersebut berada.

Walaupun istilah ini biasanya mencakup polisi, pengadilan, dan lembaga koreksi

masyarakat, namun isitilah ini biasanya dipakai juga untuk orang-orang (termasuk

mereka yang bukan anggota kepolisian resmi) yang secara langsung terlibat dalam

patroli dan pengamatan untuk mencegah atau menggalangi dan menemukan aktivitas

kriminal, dan untuk orang-orang yang menginvestigasi kejahatan dan menangkap

pelaku kejahatan, baik secara individual atau dalam bentuk organisasi penegakan

hukum, baik kepolisian maupun yang lainnya. Di dalam organisasi kepolisian terdapat

unit-unit, misalnya: polisi yang menyamar, detektif, investigasi, gugus tugas tertentu

(geng, obat-obatan, dll.) yang berbeda-beda dari satu tempat ke tempat yang lainnya.
G. PENEGAKAN HAM DI INDONESIA

Pelaksanaan Hak Asasi Manusia di Indonesia dianggap kurang terlaksana dengan

baik. Kasus-kasus yang terjadi di Indonesia seperti penanganan Aceh, Timor Timur,

Maluku, Poso, Papua, Semanggi dan Tanjung Priok dianggap sebagai pelaksanaan

perlindungan Hak Asasi Manusia yang belum berjalan. Dalam rangka memberikan

jaminan perlindungan terhadap Hak Asasi Manusia dan menangani masalah-masalah

yang berkaitan dengan penegakkan Hak Asasi Manusia, pemerintah telah melakukan

langkah-langkah antara lain: (1) pembentukan Komisi Hak Asasi Manusia (Komnas

HAM) berdasarkan Keputusan Presiden nomor 5 tahun 1993 pada tanggal 7 Juni

1993, yang kemudian dikukuhkan lagi melalui undang-undang nomor 39 tahun 1999

tentang Hak Asasi Manusia (2)penetapan Undang-Undang nomor 26 tahun 2000

tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia; (3) pembentukan Pengadilan Hak Asasi

Manusia Ad Hoc dengan Keputusan Presiden, untuk memeriksa dan memutuskan

perkara pelanggaran HAM berat yang terjadi sebelum diundangkannya Undang-

Undang nomor 26 tahun 2000; (4) pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliaasi

sebagai alternative penyelesaian pelanggaran Ham diluar Pengadilan HAM

sebagaimana diisyaratkan oleh Undang-Undang tentang HAM; (5) meratifikasi

berbagai konvensi internasional tentang Hak Asasi Manusia. Sementara itu, konvensi

yang telah diratifikasi berkaitan dengan penegakkan Hak Asasi Manusia di Indonesia

adalah: (1) Konvensi Jenewa tanggal 12 Agustus 1949 (diratifikasi dengan Undang-

Undang nomor 59 tahun 1958); (2) Konvensi tentang Hak Politik Kaum Perempuan

(diratifikasi dengan Undang-Undang nomor 68 tahun 1958); (3) Konvensi tentang

Penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap Perempuan (diratifikasi dengan

Undang-Undang nomor 7 tahun 1984); (4) Konvensi tentang Hak Anak ( diratifikasi

dengan Undang-Undang nomor 36 tahun 1990); (5) Konvensi tentang Pelarangan,


Pengembangan, Produksi, dan Penyimpanan senjata biologis dan beracun serta

Pemusnahannya (diratifikasi dengan Keppres nomor 58 tahun 1991); (6) Konvensi

Internasional terhadap Apartheid dalam Olahraga (diratifikasi dengan Undang-

Undang nomor 48 tahun 1993); (7) Konvensi menentang Penyiksaan dan Perlakuan

atau Penghukuman lain yang kejam, tidak manusiawi, atau merendahkan martabat

manusia (diratifikasi dengan Undang-Undang nomor 5 tahun 1998); (8) Konvensi

Organisasi Buruh Internasional nomor 87 tahun 1998 tentang kebebasan berserikat

dan Perlindungan Hak untuk Berorganisasi (diratifikasi dengan Undang-Undang

nomor 83 tahun 1998); (9) Konvensi tentang Penghapusan semua bentuk Diskriminasi

Rasial (diratifikasi dengan Undang-Undang nomor 29 tahun 1999); (10) Konvensi

tentang Penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadapperempuan (diratifikasi

dengan Undang-Undang nomor 23 tahun 2004 tentang Penghapusan kekerasan dalam

rumah Tangga).

H. KESIMPULAN

Proses Ratifikasi Perjanjian Internasional harus melalui tahap persetujuan oleh

para utusan yang berwenang, persetujuan melalui penandatanganan terhadap teks

traktat, persetujuan melalui pertukaran dokumen diantara Negara-negara untuk

diikat, sampai ke persetujuan melalui ratifikasi, adapun persetujuan dengan

aksesi bila traktat menetapkan demikian, syarat pembatas pada traktat,

selanjutnya barulah pemberlakuan suatu traktat, dan diterapkan traktat tersebut.

Ratifikasi perjanjian internasional di Indonesia berdasarkan Pasal 11

UndangUndang Dasar 1945, Surat Persiden RI Nomor : 2826/HK/1960 dan UU

Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional, yakni

pengesahan/ratifikasi dalam bentuk undang-undang dan keputusan presiden.


Mekanisme ratifikasi perjanjian internasional tersebut tidak tertera secara baku,

dan tegas dalam UU No. 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional. Bahwa

praktik mengenai ratifikasi negara kitapun agak tidak menentu dan lambat.

Lambatnya kerja ratifikasi ini dapat dilihat pada jumlah undang- undang ratifikasi

yang dihasilkan oleh pemerintah dan DPR setiap tahunnya yang paling banyak

hanya mencapai 7 (tujuh) ratifikasi saja. Masih banyak pula perjanjian

internasional di berbagai bidang yang belum diratifikasi oleh Indonesia. Dalam

memajukan, melindungi dan memantau pelaksanaan Hak-hak Asasi Manusia

berdasarkan International Bills of Human Rights Indonesia meratifikasi 2 (dua)

kovenan HAM internasional yaitu : Kovenan Internasional tentang Hak-hak

Ekonomi, Sosial dan Budaya (International Covenant on Economic, Social, and

Cultural Rights) yang diratifikasi menjadi Undang-undang Nomor.11 Tahun

2005, Konvenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik (International

Covenant on Civil and Political Rights) 1966 yang diratifikasi Indonesia dan

menjadi Undang-undang Nomor. 12 Tahun 2005.

I. PENUTUP

Perlu adanya upaya publikasi yang lebih, agar setiap perjanjian internasional

yang telah diratifikasi lebih banyak diketahui oleh hakim-hakim pengadilan, dan

kepada masyarakat sendiri.

Perlu dibuatnya undang-undang baru yang ketentuan praktik ratifikasinya

lebih jelas, cepat dan tegas. Selain itu, perlu dibuat suatu lembaga yang

mengingatkan ratifikasi, dan tenaga ahli yang cukup untuk mengkaji berbagai

perjanjian internasional yang dibuat yang memastikan setiap perjanjian

internasional yang diratifikasi dapat terlaksana penerapannya


J. REFERENSI

Antonio Cassese, Hak Asasi Manusia Di Dunia Yang Berubah, Yayasan Obor,

Jakarta, 2010

Boer Moana, Hukum Internasional Pengertian, Peranan dan Fungsi dalam Era

Dinamika Global, PT. Alumni, Bandung, 2005

Boer Mauna, Hukum Internasional (Pengertian, Peranan, dan Fungsi dalam Era

Dinamika Global), PT Alumni, Bandung, 2008

Budi Lazarusli, Syahmin A.K., Suksesi Negara Dalam Hubungannya Dengan

Perjanjian Internasional, Remadja Karya, Bandung, 1986

Chairul Anwar, Hukum Internasional Pengantar Hukum Bangsa-Bangsa,

Djambatan, Jakarta, 1989

Cornelius Tangkere, Hukum Perjanjian Internasional, Fakultas Hukum Unsrat,

2014 Damos Dumoli Agusman, Dasar Konstitusional Perjanjian Internasional

Mengais Latar Belakang dan Dinamika Pasal 11 UUD 1945, Opinio Juris,

Volume 04, JanuariApril 2012

Anda mungkin juga menyukai