Anda di halaman 1dari 6

Analisis Pola Makan Vegetarianisme dan Prevalensinya di Berbagai

Komunitas di Dunia dengan Implikasi Peran Perawat


Fardi Fajrian, 1906292004

Manusia membutuhkan makanan untuk hidup, dan makanan yang dipilih sangat
bergantung pada banyak faktor yang melekat di manusia tersebut, seperti demografi,
geografi, budaya, atau kondisi kesehatannya [ CITATION Ber16 \l 1057 ]. Beberapa
kelompok manusia banyak memakan makanan kaya protein seperti daging di Timur Tengah
atau sering sayur-mayur saja sebagai diet utama di India [CITATION Man20 \l 1057 ].
Kondisi ini bisa bervariasi dari suatu komunitas ke komunitas lain dan tidak menutup
kemungkinan adanya variasi dalam individu di komunitas. Salah satu pola makan yang paling
banyak ditemukan adalah vegetarianisme yang mana menghindari dan meminimalkan produk
hewani sebisa mungkin akibat keterbatasan sumber daya atau pilihan personal atau komunal
(Nezlek & Forestell, 2020). Uniknya pola makan ini adalah produk kultural yang berdampak
bagi kesehatan dan perawat sebagai promotor kesehatan wajib untuk memahami fenomena
ini. Maka, pengetahuan perawat tentang alasan, jenis, tingkat, dan prevalensi vegetarianisme
di berbagai komunitas di dunia penting sebagai bahan pertimbangan perawat dalam
melakukan promosi kesehatan untuk menjaga dan meningkatkan kesehatan komunitas di
mana dan kapan saja.
Alasan utama baik secara individual maupun komunal penerapan vegetarianisme
adalah kesehatan, seperti ingin meningkatkan kesehatan diri ‘sense of well being’ atau
penurunan berat badan (Hopwood dkk., 2020). Namun, kebanyakan komunitas atau individu
tidak hanya mendasarkannya pada alasan kesehatan personal namun juga pada alasan-alasan
moral (kultur dan agama) atau prososial (hak-hak hewan dan lingkungan) (Ruby dkk., 2013;
Paslakis dkk., 2020). Untuk alasan kultur dan agama, vegetarianisme adalah sebuah bentuk
kepatuhan tentang hukum-hukum dan filosofi nilai keagamaan tentang makanan yang suci
dan tidak diambil dengan membunuh makhluk hidup lain (hewan); contohnya seperi hukum
kosher Yahudi, hukum halal Islam, dan hukum ahimsa agama-agama dharmic (Hindu,
Buddha, atau Jain) (Fischer, 2016). Alasan tersebut lebih dominan di negara-negara Timur
karena jika berdasarkan pada basis lain, vegetarianisme lebih mungkin dilihat sebagai
penyimpangan sosial karena berupa identitas diri dan sosial yang masih minor jumlahnya
atau asing hingga aneh (Nezlek & Forestell, 2020). Di sisi lain, di negara-negara Barat,
identitas dan alasan vegetarianisme yang utama adalah tentang filosofi hidup, konservasi
ekologis, dan perlindungan hak hewani yang didorong dengan keinginan untuk mengubah
struktur sosial (Rosenfeld & Burrow, 2017; Nezlek & Forestell, 2020). Karenanya, alasan
individu atau komunitas dalam penerapan vegetarianisme sangat beragam dan tidak bisa
dikategorikan secara ketat dan tidak selalu memperhatikan dampak kesehatan sehingga
perawat penting untuk bisa mengeksplorasi dan mempromosikan kesehatan optimal individu
atau komunitas apa pun alasannya.
Dengan alasan dan motif beragam tersebut, tentu akan muncul banyak jenis-jenis dan
tipe vegetarianisme yang berbeda di tiap individu atau komunitas. Beberapa individu atau
komunitas mampu menganggap konsumsi sebagian produk hewani masih diterima namun
yang lain sangat-sangat menghindarinya. Tipe-tipe vegetarianisme yang umum adalah
sebagai berikut (Pawlak, 2017): semi-vegetarian (flexitarian), pesco-vegetarian, lacto-
vegetarian, ovo-vegetarian, lacto-ovo-vegatarian, vegan, dan raw-food vegan. Kata kuncinya
adalah semi mengurangi protein hewani, pesco hanya mengonsumsi protein hewani ikan,
lacto hanya mengonsumsi produk hewani berupa susu dan olahannya, ovo hanya
mengonsumsi produk hewani dari unggas, dan lacto-ovo menggabungkan produk susu dan
unggas (Paslakis dkk., 2020). Namun, tipe-tipe tersebut biasanya adalah transisi sebelum
benar-benar menerapkan diet vegetarian sesungguhnya yaitu penghindaran makanan yang
bersumber dari hewan dalam bentuk apa pun (Mehta, 2018). Kembali lagi, tidak semua
individu yang mengidentifikasi menjadi vegetarian memiliki motivasi yang cukup tinggi
untuk langsung menghindari produk makanan hewani atau memang memiliki filosofi berbeda
untuk tidak langsung benar-benar menghindarinya. Perawat yang sadar dan mengetahui tipe
diet vegetarian ini kemudian harus memperhatikan bagaimana keseimbangan kebutuhan
nutrisi apabila sumber-sumber protein ini dikurangi (Dorard & Mathieu, 2021) dan mencari
penggantinya melalui promosi kesehatan yang efektif dan sensitif secara kultural.
Di antara semua subkategori yang telah disebutkan, diet vegan atau veganisme adalah
sebuah gaya hidup dengan filosofi fundamental untuk menghindari semua bentuk eksploitasi
hewan, baik berupa konsumsi semua hasil hewani (daging, telur, susu, dan bahkan madu),
penggunaan pakaian dari hasil hewani seperti wol dan sutra, obat-obatan atau produk rumah
tangga lain dari ekstrak dan uji pada hewan, dan bahkan tidak menghadiri kebun binatang
[ CITATION The204 \l 1057 ]. Hampir keseluruhan vegan menyatakan bahwa hewan
memiliki hak-hak bebas dari siksaan dan pembunuhan dan kesadaran akan pentingnya
sustainability lingkungan berkelanjutan di samping alasan kesehatan (Ursula & Tobias,
2020). Filosofi ini membuat veganisme dianggap sebagai bentuk radikalisme oleh para
omnivor dan penyimpangan sosial hingga pembentukan stigma yang mampu menjadi faktor
risiko masalah kejiwaan individu (Markowski & Roxburgh, 2019; Paslakis dkk., 2020).
Selain itu, praktik veganisme yang tidak seimbang juga meningkatkan ancaman defisit nutrisi
penting seperti asam lemak jenuh, protein, vitamin B12 dan D, serta beberapa mineral lain
seperti kalsium; di samping manfaat yang luar biasa dalam mengatasi dan mencegah banyak
penyakit kronis seperti obesitas, diabetes melitus tipe 2, kanker, dan gangguan jantung
(Sakkas dkk., 2020). Setelah perawat mengetahui tentang veganisme, perawat wajib untuk
berdiskusi bersama klien vegan tentang nilai dan pandangan dirinya sebelum memberikan
alternatif-alternatif terutama nutrien esensial seperti vitamin B12 yang tidak bisa didapatkan
dari diet vegan saja tanpa harus menyalahi nilai dan filosofi klien. Perawat sebagai advokator
juga bertindak untuk memberikan klien sumber-sumber daya terkait veganisme yang sehat
tanpa harus mengompromikan kesehatan fisik klien.
Pola makan vegetarianisme yang mencakup veganisme seperti yang sudah dijelaskan
sebelumnya sangat terkait dengan kultur komunitas individu. India sebagai negara mayoritas
penganut Hinduisme dan agama-agama dharmic lain memiliki prevalensi vegetarian sebesar
40% (Dorard & Mathieu, 2021) karena adanya ajaran ‘ahimsa’ atau non-violence (Mace &
McCulloch, 2020). Ajaran agama dan budaya ini kemudian menjadi dasar hidup dan makan
penganutnya yang kemudian menerapkan vegetarianisme atau veganisme sebagai upaya
aktualisasi diri dan pemenuhan kebutuhan spiritual atau identitas strata sosial (Sathyamala,
2018). Di sisi lain, beberapa agama dan budaya yang menerapkan peraturan diet yang lebih
spesifik seperti kosher dan halal akan lebih mudah untuk memilih variasi makanan yang
sesuai dengan agama dan budaya namun jika harus bepergian biasanya akan mengambil pola
makan vegetarian untuk menghindari produk hewani yang tidak sesuai (dengan beberapa
kesulitan) (Yu-Chin dkk., 2019). Beberapa komunitas di negara Barat melihat vegetarianisme
sebagai budaya yang memiliki kesadaran etis dan moral yang lebih tinggi dan asosiasi
tentang kehidupan yang lebih sehat dan keterkaitan dengan alam yang lebih tinggi terlepas
dari ajaran agama (Ruby dkk., 2013). Menilik hal ini, bisa disimpulkan bahwa setiap budaya
memiliki kesadaran tersendiri dalam pemilihan pola makan dan gaya hidup yang dipercaya
lebih baik dari praktik yang lain, sebagai contoh vegetarianisme yang bisa jadi dipandang
lebih diterima dari konsumsi daging. Kesadaran kultural ini menjadikan perawat untuk bisa
memberikan asuhan yang penuh penerimaan dan pendekatan yang tidak menghakimi karena
kepercayaan komunitas yang berbeda-beda.
Di Indonesia sendiri, pola makan vegetarianisme dan segala tipenya masih kurang
banyak dikenal sebagai identitas diri dan sosial, namun banyak praktik pola makan yang bisa
dikategorikan sebagai vegetarianisme. Kemungkinan besar halangan adanya klaim sosial atas
identitas vegetarian adalah stigma dan prasangka tentangnya sebagai sesuatu yang aneh dan
tidak wajar untuk menolak berkat alam atas melimpahnya sumber makanan (Rosenfeld &
Tomiyama, 2020). Namun, direktur Indonesian Vegan Society dalam artikel The Jakarta Post
menyebutkan bahwa sekitar dua juta populasi Indonesia bisa dikategorikan sebagai
vegetarian atau vegan [ CITATION The18 \l 1057 ]. Selain itu, prevalensi angka penyakit
non-communicable di Indonesia yang cukup tinggi dan beragam membutuhkan adanya
modifikasi diet yang mampu mengurangi faktor risiko penyakit tersebut (Schröders dkk.,
2017). Hal ini kemudian banyak edukasi kesehatan untuk mengurangi konsumsi makanan
hewani seperti daging dan organ dalam yang telah terbukti sangat tidak sehat, yang mana
vegetarianisme moderat adalah alternatif terbaik yang bisa diterapkan oleh berbagai
komunitas di Indonesia baik sebagai pencegahan atau pengobatan seperti yang telah
dijelaskan sebelumnya. Karenanya, perawat sebagai tenaga kesehatan dengan pengetahuan
mendalam tentang kesehatan bisa memberikan konseling, edukasi, serta promosi modifikasi
gizi dan jenis makanan yang sehat bagi seluruh kliennya [ CITATION Ede18 \l 1057 ].
Vegetarianisme adalah fenomena sosial yang menarik untuk dikaji lebih lanjut oleh
perawat sebagai pemberi asuhan keperawatan untuk meningkatkan kesehatan kliennya, baik
individu maupun komunitas. Individu atau komunitas memiliki beragam alasan dan latar
belakang untuk menerapkan pola makan atau bahkan gaya hidup ini yang mana melahirkan
berbagai tipe dan variasi yang sesuai dengan alasannya masing-masing. Perawat wajib untuk
bisa sensitif secara kultural dalam memahami fenomena ini dan melihatnya sebagai sesuatu
yang normal dan bukan penyimpangan sosial. Perawat juga perlu untuk memberikan edukasi
terkait bagaimana individu atau komunitas bisa mendapatkan manfaat yang lebih dibanding
risiko pada pola makan vegetarian dan semua tipenya. Setiap budaya memiliki pandangan
tersendiri sehingga perawat juga sebaiknya menyesuaikan ketika melakukan promosi
kesehatan. Oleh karena itu, penting bagi perawat untuk bisa mengeksplorasi bersama klien
gaya hidup yang dipilihnya selama memberikan dampak kesehatan secara holistik dana
meningkatkan kesejahteraan hidup.
Referensi
Berman, A., Snyder, S., & Frandsen, G. (2016). Kozier and Erb's Fundamentals of Nursing
(Concepts, Process, and Practice) (10 ed.). Hoboken, New Jersey: Pearson Education
Inc. Dipetik 3 Desember 2020
Dorard, G., & Mathieu, S. (2021). Vegetarian and omnivorous diets: A cross-sectional study
of motivation, eating disorders, and body shape perception. Appetite, 156, 104972.
Dipetik 3 Desember 2020, dari https://doi.org/10.1016/j.appet.2020.104972
Edelman, C. L., & Kudzma, E. C. (2018). Health Promotion Throughout the Lifespan (9 ed.).
St. Louis: Elsevier, Inc. Dipetik 3 Desember 2020
Fischer, J. (2016). Markets, religion, regulation: Kosher, halal and Hindu vegetarianism in
global perspective. Geoforum, 69, 67–70. Dipetik 3 Desember 2020, dari
https://doi.org/10.1016/j.geoforum.2015.12.011
Hopwood, C. J., Bleidorn, W., Schwaba, T., & Chen, S. (2020). Health, environmental, and
animal rights motives for vegetarian eating. PLOS ONE, 15(4), e0230609. Dipetik 3
Desember 2020, dari https://doi.org/10.1371/journal.pone.0230609
Mace, J. L., & McCulloch, S. P. (2020). Yoga, Ahimsa and Consuming Animals: UK Yoga
Teachers’ Beliefs about Farmed Animals and Attitudes to Plant-Based Diets.
Animals : An Open Access Journal from MDPI, 10(3), 480. Dipetik 3 Desember 2020,
dari https://doi.org/10.3390/ani10030480
Manchester Community College. (2020, April 16). 2.8: Diets around the World. Dipetik 3
Desember 2020, dari Medicine LibreTexts:
https://med.libretexts.org/Courses/Manchester_Community_College_(MCC)/Manche
ster_Community_College_-
_Introduction_to_Nutrition/02%3A_A_Healthy_Diet/2.08%3A_Diets_around_the_W
orld
Markowski, K. L., & Roxburgh, S. (2019). “If I became a vegan, my family and friends
would hate me:” Anticipating vegan stigma as a barrier to plant-based diets. Appetite,
135, 1–9. Dipetik 3 Desember 2020, dari https://doi.org/10.1016/j.appet.2018.12.040
Mehta, V. (2018). Vegetarian Diet: A Boon or Bane for Health? Journal of Medical
Research and Innovation, 2(1 SE-Editorial). Dipetik 3 Desember 2020, dari
https://doi.org/10.15419/jmri.84
Nezlek, J. B., & Forestell, C. A. (2020). Vegetarianism as a social identity. Current Opinion
in Food Science, 33, 45–51. Dipetik 3 Desember 2020, dari
https://doi.org/10.1016/j.cofs.2019.12.005
Paslakis, G., Richardson, C., Nöhre, M., Brähler, E., Holzapfel, C., Hilbert, A., & de Zwaan,
M. (2020). Prevalence and psychopathology of vegetarians and vegans – Results from
a representative survey in Germany. Scientific Reports, 10(1), 6840. Dipetik 3
Desember 2020, dari https://doi.org/10.1038/s41598-020-63910-y
Pawlak, R. (2017). Vegetarian Diets in the Prevention and Management of Diabetes and Its
Complications. Diabetes Spectrum : A Publication of the American Diabetes
Association, 30(2), 82–88. Dipetik 3 Desember 2020, dari
https://doi.org/10.2337/ds16-0057
Rosenfeld, D. L., & Burrow, A. L. (2017). Vegetarian on purpose: Understanding the
motivations of plant-based dieters. Appetite, 116, 456–463. Dipetik 3 Desember 2020,
dari https://doi.org/10.1016/j.appet.2017.05.039
Rosenfeld, D. L., & Tomiyama, A. J. (2020). Taste and health concerns trump anticipated
stigma as barriers to vegetarianism. Appetite, 144, 104469. Dipetik 3 Desember 2020,
dari https://doi.org/10.1016/j.appet.2019.104469
Ruby, M. B., Heine, S. J., Kamble, S., Cheng, T. K., & Waddar, M. (2013). Compassion and
contamination. Cultural differences in vegetarianism. Appetite, 71, 340–348. Dipetik
3 Desember 2020, dari https://doi.org/10.1016/j.appet.2013.09.004
Sakkas, H., Bozidis, P., Touzios, C., Kolios, D., Athanasiou, G., Athanasopoulou, E., Gerou,
I., & Gartzonika, C. (2020). Nutritional Status and the Influence of the Vegan Diet on
the Gut Microbiota and Human Health. Medicina (Kaunas, Lithuania), 56(2), 88.
Dipetik 3 Desember 2020, dari https://doi.org/10.3390/medicina56020088
Sathyamala, C. (2018). Meat-eating in India: Whose food, whose politics, and whose rights?
Policy Futures in Education, 17(7), 878–891. Dipetik 3 Desember 2020, dari
https://doi.org/10.1177/1478210318780553
Schröders, J., Wall, S., Hakimi, M., Dewi, F. S. T., Weinehall, L., Nichter, M., Nilsson, M.,
Kusnanto, H., Rahajeng, E., & Ng, N. (2017). How is Indonesia coping with its
epidemic of chronic noncommunicable diseases? A systematic review with meta-
analysis. PLOS ONE, 12(6), e0179186. Dipetik 3 Desember 2020, dari
https://doi.org/10.1371/journal.pone.0179186
The Jakarta Post News Desk. (2018, Maret 7). Vegan festivals to promote local dishes to
foreign visitors. Dipetik 3 Desember 2020, dari The Jakarta Post:
https://www.thejakartapost.com/news/2018/03/07/vegan-festivals-to-promote-local-
dishes-to-foreign-visitors.html
The Vegan Society. (2020). Definition of veganism. Dipetik 3 Desember 2020, dari The
Vegan Society: https://www.vegansociety.com/go-vegan/definition-veganism
Ursula, P., & Tobias, S. (2020). From diet to behaviour: exploring environmental- and
animal-conscious behaviour among Austrian vegetarians and vegans. British Food
Journal, 122(11), 3249–3265. Dipetik 3 Desember 2020, dari
https://doi.org/10.1108/BFJ-06-2019-0418
Yu-Chin, H., Li-Hsin, C., Cih-Wei, L., & Jui-Lin, S. (2019). Being a vegetarian traveller is
not easy. British Food Journal, 122(6), 1983–1998. Dipetik 3 Desember 2020, dari
https://doi.org/10.1108/BFJ-09-2019-0675

Anda mungkin juga menyukai