Anda di halaman 1dari 6

PEMBAHASAN

Memberikan edukasi informasi obat pada pasien adalah salah satu tugas seorang
apoteker. Pasien memiliki beragam keadaan, dimana ada beberapa keadaan khusus pada
pasien diantaranya adalah pada pasien usia lanjut, terinaly ill, dan difabel. Hal ini adalah
salah satu tantangan seorang apoteker, dimana ia dituntut untuk memiliki skill khusus untuk
mengedukasi serta memberikan informasi obat pada pasien dengan keadaan tersebut.

Rancangan ini membahas mengenai cara memberikan edukasi informasi obat yang
tepat pada pasien terminaly ill wanita diatas 25 tahun yang menderita kanker serviks, pasien
menerima penyakitnya namun ia tidak mau menerima informasi obat. Pasien dengan kondisi
seperti ini perlu diberikan edukasi dan informasi secara khusus terkait penyakitnya agar dapat
mendukung jalannya terapi.

Kanker adalah penyakit akibat pertumbuhan tidak normal dari sel-sel jaringan tubuh
yang berubah menjadi sel kanker. Dari perkembangannya, sel-sel kanker ini dapat meyebar
ke bagian tubuh lainnya sehingga dapat menyebabkan kematian. Berdasarkan data instalasi
deteksi dini dan promosi kesehatan RS Kanker Dharmais, 2010-2013, kanker serviks
menempati urutan ke 2 jumlah kasus baru dan kasus kematian akibat kanker. Dampak
psikologis berupa perasaan cemas pada pasien penderita kanker karena khawatir akan
dampak yang terjadi, seperti perubahan bentuk fisik dan kematian dapat mengganggu proses
pengobatan. Banyaknya penderita kanker serviks serta dampak psikologis pasien melatar
belakangi rancangan kali ini.

Komunikasi secara verbal dan non verbal pada pasien untuk keperluan edukasi dan
informasi obat sangat dibutuhkan agar informasi yang disampaikan apoteker dapat dimengerti
dan diterima dengan baik oleh pasien. Komunikasi yang dapat dilakukan adalah sebgai
berikut.

Komunikasi adalah transfer informasi penting bagi mereka yang terlibat. Ini adalah
proses dimana suatu pesan dihasilkan dan dikirim oleh satu orang lalu diterima dan
diterjemahkan oleh yang lain orang. Namun, makna yang dihasilkan oleh penerima dapat
berbeda dari pengirim
pesan yang dimaksudkan. Pada dunia kesehatan, proses komunikasi antara tenaga kesehatan
dan pasien memiliki dua fungsi utama :
1. Menetapkan hubungan yang berkelanjutan antara profesional dan pasien.
2. Menyediakan pertukaran informasi yang diperlukan untuk menilai kondisi kesehatan
pasien,
menerapkan pengobatan masalah medis, dan mengevaluasi efek pengobatan pada
kualitas hidup pasien.
Pada kasus ini, tenaga kesehatan dihadapkan pada kondisi pasien dengan terminally ill
dimana pasien belum dapat menerima penyakitnya akan tetapi masih dapat menerima
informasi. Maka, perlu dilakukan perlakuan pra-edukasi agar komunikasi saat edukasi
nantinya dapat efektif dan mencapai 2 tujuan di atas.
Langkah pertama, mengatasi terlebih dahulu bahwa kondisi pasien adalah tidak mau
menerima bahwa dirinya mengidap penyakit tersebut. Maka sebelum dilakukan edukasi,
seorang edukator harus mampu :
1. Memberi pengertian bahwa hidup dengan terminally ill bukanlah hal yang mustahil
dan bukanlah akhir dari segala-galanya.
2. Taktik ini juga dapat dibantu dengan memberi motivasi
3. Memberi contoh pasien lain yang mampu hidup dengan penyakitnya
4. Menyadarkan pasien bahwa mereka masih memiliki kehidupan yang harus dijalani,
seperti menjalankan perannya dalam keluarga.
Langkah kedua, edukator harus mengetahui, memperhatikan, dan melakukan beberapa hal
sebelum dilakukan edukasi dengan pasien terminally ill. Masyarakat umumnya takut untuk
berinteraksi dengan pasien terminally ill karena mereka tidak ingin mengatakan hal yang
“salah” tentang penyakitnya dan membuat si pasien marah. Namun hal ini mengakibatkan si
pasien tidak nyaman, dan berpresepsi bahwa bercerita tentang penyakitnya dan kematian
merupakan hal yang salah sehingga mereka cenderung menyimpan segala keluhnya sendiri.
Hal tersebut dapat menjadi suatu barrier besar karena si pasien tidak akan ingin menceritakan
masalahnya, pada tenaga kesehatan sekalipun. Maka sebagai tenaga kesehatan dan edukator,
mulanya kita harus menyadari dan mengubah mind set kita tentang kematian, bahwa
kematian bukanlah sesuatu yang tidak dapat diterima, jadikan bahwa kematian bukan hal
yang unacceptable. Dengan begitu mereka dapat merasa terbuka dan meningkatkan interaksi
kita dengan mereka. Hal ini juga akan membuka mereka untuk menyuarakan keprihatinan
mereka juga. Tenaga kesehatan tidak harus menghindari berbicara dengan mereka. Tidak
berinteraksi dengan mereka hanya memberikan kontribusi lebih lanjut terhadap isolasi
mereka dan mungkin menegaskan kembali bahwa berbicara tentang kematian itu tidak
nyaman. Dengan begitu, barrier utama antara edukator dan pasien dapat dihilangkan sehingga
proses edukasi dapat efektif dan mencapai tujuan.
Setelah itu dilakukan proses edukasi secara umum seperti pada pasien normal, yaitu :
 Untuk melakukan wawancara pasien lebih efisien dilakukan hal sebagai berikut :
1. Hindari membuat rekomendasi selama fase pengumpulan-informasi dari wawancara.
Hal ini dapat membuat pasien menjadi mengurungkan niat dalam menyampaikan
kondisinya sehingga apoteker dapat kehilangan informasi penting.
2. Jangan beralih dari satu hal ke hal lainnya yang dapat membingungkan pasien.
3. Apoteker harus dapat menjaga tujuan pertanyaan, jangan biarkan pasien mendominasi
bagaimana proses edukasi berlangsung
4. Apoteker harus mengetahui apabila terdapat ketidakmampuan pasien dalam menerima
informasi spesifik yang mana hal ini akan mempengaruhi cara apoteker menyajian
materi. Misalnya kemampuan membaca, kemampuan bahasa, dan visi atau
pendengaran yang mengalami penurunan, semua akan mempengaruhi teknik yang
digunakan dalam wawancara dan konseling
5. Menjaga objektivitas dengan tidak membiarkan sikap, keyakinan, atau prasangka
pasien mempengaruhi pemikiran Anda.
6. Menyadari pesan nonverbal pasien.
7. Menciptakan suasana saling menghormati
8. Jangan berasumsi bahwa sebelumnya informasi tertentu sudah dibahas oleh dokter
dan pasien
9. Jangan menganggap pasien memahami semua informasi yang diberikan.
10. Jangan berasumsi bahwa jika pasien memahami apa yang dibutuhkan, mereka dapat
mengambil obat dengan benar
11. Jangan berasumsi bahwa pasien tidak minum obat karena mereka tidak peduli atau
tidak termotivasi. Asumsi ini mencegah Anda dari fokus pada masalah nyata mereka.
12. Jangan berasumsi bahwa setelah pasien memiliki masalah mereka akan menghubungi
Anda. Maka perlu selalu dilakukan pantauan
13. Pasien tidak hanya harus tahu poin-poin penting dari informasi tentang pengobatan
mereka tetapi juga harus mengerti tentang melakukan perilaku tertentu (minum obat
pada waktu tertentu, menggunakan inhaler dengan benar,dll) untuk mengoptimalkan
hasil terapi
Dalam kasus ini, apoteker punya tanggung jawab khusus yaitu untuk dapat
mengarahkan dan mendampingi pasien dalam menerima kondisinya untuk dapat
meningkatkan taraf hidup. Bantuan yang dapat diberikan oleh apoteker untuk pasien
dalam kondisi terminally adalah bantuan emosional, dimana sangat dibutuhkan karena
pasien kebanyakan tidak bisa menerima kenyataan atau faktanya bahwa penyakitnya
sudah tidak bisa disembuhkan lagi, atau sudah dalam tahap akhir dan umurnya juga
sudah tidak lama lagi. Selain itu, tugas utama apoteker juga harus memastikan
informasit erkait terapi obat dapat dipahami pasien. Maka dalam konseling juga perlu
disampaikan seperti tujuan dari pengobatan, cara kerja obat, dosis dan durasi terapi,
tujuan terapi, bagaimana efektivitas akan dipantau, efek samping dan cara
mengatasinya, isu-isu spesifik obat.
Komunikasi non verbal juga merupakan hal penting yang harus diperhatikan apoteker.
Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam konseling. Dalam pembahasan ini akan dibahas
komunikasi non-verbal yang sebaiknya dilakukan apoteker.

1. Kontak mata

Salah satu pertimbangan yang paling sederhana dalam kontak mata adalah melihat arah
ke mana seseorang melihat, yang dapat menunjukkan ketertarikan mereka dalam
komunikasi yang dibangun. Mempertahankan kontak mata (pandangan) dalam percakapan,
misalnya, dapat menunjukkan bahwa apoteker dalam hal ini sangat perhatian dengan apa
yang dirasakan pasien. Jika pasien yang diwawancarai lebih sering menatap jauh dari
tatapan lawan bicaranya, ini dapat menunjukkan rendahnya keterlibatan dalam interaksi
yang dibangun. Ini dapat disiasati dengan membangun kembali keterlibatan mereka dalam
komunikasi dengan melontarkan kalimat pertanyaan yang sederhana.

Di sisi lain, untuk praktisi kesehatan, seperti apoteker, tingkat tatapan yang sedikit lebih
tinggi dari pasien dapat menggambarkan bahwa para praktisi tersebut memiliki kompetensi
yang lebih tinggi dari pasien. Tingkat kontak mata yang terlalu tinggi juga tidak baik,
karena akan memberikan kesan intimidasi terhadap pasien. Tatapan juga dapat memberikan
gambaran pada apakah orang suka dengan tingkat tatapan yang sedang atau lebih suka
untuk tidak ditatap terlalu lama atau lebih nyaman dengan kontak mata yang intens. Tatapan
mata yang diberikan oleh apoteker pun sebaiknya tatapan percaya diri yang mengesankan
perhatian kita terhadap pasien, bukan mengesankan rasa kasihan atau sedih atau terlalu
antusias. Pada beberapa kasus pun apoteker dapat mengarahkan perhatian pasien ke gestur
tangan apoteker atau yang lain agak pasien tidak merasa bosan.

2. Ruang personal

Ruang personal adalah area disekitar individu yang membuat invasi apapun dapat
menimbulkan reaksi oleh individu tersebut. Secara umum terdapat empat zona ruang yang
dapat mengindikasikan kenyamanan komunikasi antar individu yaitu, zona intim, zona
personal, zona social, dan zona publik/umum.

Area kerja apoteker di dalam zona individu pasien adalah pada zona social. Zona social
adalah zona untuk komunikasi dan konsultasi yang bersifat formal. Begitupun dalam kasus
ini, apoteker harus menjaga jaraknya pada zona social yang umumnya adalah sekitar 1.5
meter sampai 3 meter dari pasien. Tentu saja, masing-masing individu sebenarnya dapat
memiliki persepsi yang berbeda mengenai ruang personalnya dan tingkat toleransi terhadap
invasi di ruang tersebut yang juga berbeda-beda. Apoteker sebaiknya mencari tanda-tanda
ketidaknyamanan pasien dan menyesuaikan jaraknya saat berinteraksi dengan pasien.

3. Postur dan gestur tubuh

Isyarat lain yang penting dalam komunikasi non-verbal untuk dipertimbangkan adalah
bahwa postur dan orientasi tubuh. Ketika duduk, misalnya, dalam konsultasi, memutar bahu
ke arah komunikator akan menunjukkan sikap positif terhadap mereka. Orientasi tubuh juga
dapat menunjukkan hubungan kekuasaan, maka sebaiknya tingkat ketinggian bahu antara
apoteker dan pasien adalh sama agar kontak mata juga ikut terjaga dengan baik.

Keterbukaan lengan dan kaki juga merupakan subyek dari analisis bahasa tubuh. Sebuah
keyakinan umum adalah bahwa lengan tertutup dianggap menunjukkan individu yang malu
atau tunduk, tangan terbuka menunjukkan hubungan yang lebih baik. Beranjak dari
generalisasi ini, penelitian menunjukkan bahwa ketika duduk misalnya, sikap hangat dapat
tersampaikan jika dalam berkomunikasi apoteker duduk dengan tegak di kursinya dengan
postur agak membungkuk sedikit untuk memberi kesan tidak tegang namun siap,
membangun kontak mata yang baik, tersenyum dan menghindari pergerakan tangan yang
terlalu banyak. Tentu saja, bersandar mundur dan menjauh dari orang pasien dapat
menciptakan perasaan negative bagi pasien dan hal itu harus sangat dihindari oleh apoteker
dalam menghadapi pasien.

Dengan berbagai komunikasi non-verbal yang dibangun dengan pasien tersebut apoteker
seharusnya dapat memberikan semangat tersendiri bagi pasien untuk tetap optimis dengan
terapi yang sedang dijalani. Komunikas non-verbal memang tidak dapat dijabarkan terlalu
spesifik karena umumnya berbeda individu akan menimbulkan persepsi dan penerimaan yang
berbeda. Namun, dengan pemikiran ini, sekali lagi, apoteker cerdas yang benar-benar ingin
membangun kedekatan dengan pasien akan memperhatikan bahasa tubuhnya sendiri untuk
menyampaikan apa yang diinginkan olehnya dan bahasa non-verbal yang digunakan pasien
untuk memahami apa yang ingin diungkapkan pasien.

Seorang apoteker harus memiliki kemampuan konseling dan edukasi untuk dapat
menyampaikan informasi kepada pasien. Tujuan utamanya adalah untuk membantu jalannya
terapi sehingga dapat meningkatkan kualitas hidup pasien. Kemampuan ini sangat diperlukan
dalam menghadapi pasien yang mengidap penyakit terminally yang mana dalam pandangan
umum masyarakat penyakit terminally adalah penyakit yang akan mengganggu jalannya
kehidupan normal pasien. Dalam melakukan konseling kasus seperti ini, komunikasi verbal
dan non verbal adalah skiil [enting yang harus dimiliki apoteker.

Lingkungan pasien juga juga perlu dikondisikan untuk mendukung proses terapi.
Sehingga informasi terkait pengobatan juga perlu disampaikan kepada keluarga pasien dan
orang-orang terdekatnya. Jika memang memungkinkan, apoteker dapat menghubungan
pasien dengan pasien-pasien lain yang mengidap penyakit yang sama sehingga dapat saling
memberi semangat dan berbagi pengalaman antar pasien.

Anda mungkin juga menyukai