PENDAHULUAN
Hak Asasi Manusia merupakan unsur normatif yang melekat pada diri setiap
manusia sejak manusia masih dalam kandungan sampai akhir kematiannya sebagai anugrah
Tuhan. Di dalamnya tidak jarang menimbulkan gesekan-gesekan antar individu dalam upaya
pemenuhan HAM pada dirinya sendiri. Hal inilah yang kemudian bisa memunculkan
pelanggaran HAM seorang individu terhadap individu lain, kelompok terhadap individu,
ataupun sebaliknya.
Memperbincangkan marutnya dinamika hak asasi manusia, khususnya perburuhan selama
dekade terakhir nampaknya cukup mengingatkan pada nama ini: Marsinah. Terdapat alasan
pasti untuk menghadirkan kembali ingatan tentang orang tersebut: misteri kematiannya yang
tidak pernah terungkap hingga sekarang. Tidak pernah diketahui secara pasti oleh siapa ia
dianiaya dan dibunuh, kapan dan di mana ia mati pun tak dapat diketahui dengan jelas,
apakah pada Rabu malam 5 Mei 1993 atau beberapa hari sesudahnya. Liputan pers, pencarian
fakta, penyidikan polisi, pengadilan sekalipun nyatanya belum mampu mengungkap kasusnya
secara tuntas dan memuaskan. Kendati hakim telah memvonis siapa yang bersalah dan
dihukum, orang tak percaya begitu saja; sementara kunci kematiannya tetap gelap sampai
kini, lebih dari satu dasawarsa berselang.
Barangkali memang bukan fakta-fakta pembunuhan itu yang menjadi penting di sini,
melainkan jalinan citra yang lantas tersaji melalui serangkaian representasi media yang rumit.
Para pembunuh mengesankan Marsinah diperkosa. Segenap aktivis menyanjungnya sebagai
teladan kaum pejuang buruh. Para aparat pusat dibantu aparat setempat konon merekayasa
penyidikan sekaligus membuat skenario pengadilan, termasuk dilibatkannya tersangka palsu
dalam rangkaian pengungkapan kasus tersebut. Tak ketinggalan, para aktivis hak asasi
manusia menganugerahi Yap Thiam Hien Award bagi kegigihannya. Termasuk para seniman
yang mengabadikannya dalam monumen, patung, lukisan, panggaung teater dan seni rupa
instalasi; para feminis mengagungkannya sebagai korban kekerasan terhadap perempuan dan
khalayak awam yang prihatin dan simpati memberi sumbangan bagi keluarganya.
Pada aras citra inilah tulisan ini kemudian mengambil pijakan. Mungkin orang tak akan
banyak tahu siapa Marsinah seandainya ia tidak dibunuh dan kasusnya tidak gencar
diberitakan oleh media massa. Ia tidak hanya dianggap mewakili “nasib malang” jutaan
buruh perempuan yang menggantungkan masa depannya pada pabrik-pabrik padat berupah
rendah, berkondisi kerja buruk sekaligus tak terlindungi hukum. Lebih dari itu, mediasi dan
artikulasi pembunuhannya menyediakan arena diskursif bagi pertarungan berbagai
kepentingan dan hubungan kuasa: buruh-buruh, pengusaha, serikat buruh, lembaga swadaya
masyarakat, birokrasi militer, kepolisian dan sistem peradilan.
Setelah reformasi tahun 1998, Indonesia mulai mengalami kemajuan dalam bidang
penegakan HAM bagi seluruh warganya. Instrumen-instrumen HAM pun didirikan sebagai
upaya menunjang komitmen penegakan HAM yang lebih optimal. Namun seiring dengan
kemajuan ini, pelanggaran HAM kemudian juga sering terjadi di sekitar kita karena semakin
egoisnya manusia dalam pemenuhan hak masing-masing. Untuk itulah kami menyusun
makalah yang berjudul “Kasus Pelanggaran Hak Asasi Manusia Di Indonesia – Marsinah”,
untuk memberikan informasi mengenai apa itu pelanggaran HAM diikuti seluk beluk kasus
Marsinah.
Sesuai dengan judul makalah ini “Kasus Pelanggaran Hak Asasi Manusia di
Indonesia”, maka masalah yang dapat diidentifikasi sebagai berikut :
1 Apa pengertian pelanggaran HAM ?
2 Apa saja macam-macam pelanggaran HAM?
3 Apa contoh pelanggaran HAM di Indonesia?
4 Apa penyebab dan akibat dari kasus pelanggaran HA
5 Bagaimana upaya penyelesaian kasus pelanggaran HAM?
1.3Tujuan
Tujuan kami mengangkat materi ini tentang kasus hak asasi manusia di Indonesia yaitu :
1. Untuk mengetahui pengertian pelanggaran HAM.
2. Untuk mengetahui macam-macam pelanggaran HAM.
3. Untuk mengetahui contoh pelanggaran HAM di Indonesia.
4. Untuk mengetahui penyebab dan akibat dari kasus pelanggaran HAM
5. Untuk mengetahui upaya penyelesaian kasus pelanggaran HAM.
1.4 Manfaat
Hasil pembelajaran ini diharapkan dapat memberi manfaat bagi penulis dan pembaca.
1. Manfaat bagi penulis, pengkajian ini memberikan pengetahuan tentang pelanggaran hak
asasi manusia di Indonesia.
2. Manfaat dari pembaca, pengkajian ini dapat digunakan sebagai bahan kajian atau
referensi tambahan bagi ilmu kenegaraan serta memperkaya informasi
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Pelanggaran Hak Asasi Manusia
Hak asasi manusia, setiap manusia lahir pasti memiliki hak ini, hak yang dimiliki
sejak lahir hak manusia untuk berpendapat dan melakukan yang mereka mau atau dengan
kata lain hak kebebasan manusia.
Menurut Pasal 1 Angka 6 UU No. 39 Tahun 1999 yang dimaksud dengan pelanggaran
hak asasi manusia adalah setiap perbuatan seseorang atau kelompok orang termasuk aparat
negara, baik disengaja maupun tidak disengaja atau kelalaian yang secara hukum
mengurangi, menghalangi, membatasi dan atau mencabut hak asasi manusia seseorang atau
kelompok orang yang dijamin oleh undang-undang dan tidak mendapatkan atau
dikhawatirkan tidak akan memperoleh penyesalan hukum yang adil dan benar berdasarkan
mekanisme hukum yang berlaku.
Menurut UU no 26 Tahun 2000 tentang pengadilan HAM, Pelanggaran HAM adalah
setiap perbuatan seseorang atau kelompok orng termasuk aparat negara baik disengaja atau
kelalaian yang secara hukum mengurangi, menghalangi, membatasi, dan atau mencabut Hak
Asasi Manusia seseorang atau kelompok orang yang dijamin oleh Undang-Undang ini, dan
tidak didapatkan, atau dikhawatirkan tidak akan memperoleh penyelesaian hukum yang adil
dan benar, berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku.
Dengan demikian pelanggaran HAM merupakan tindakan pelanggaran kemanusiaan
baik dilakukan oleh individu maupun oleh institusi negara atau institusi lainnya terhadap hak
asasi individu lain tanpa ada dasar atau alasan yuridis dan alasan rasional yang menjadi
pijakannya.
Genosida adalah setiap perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk menghancurkan atau
memusnahkan seluruh atau sebagian kelompok bangsa, ras, etnis, dan agama dengan cara
melakukan tindakan kekerasan. (UUD No.26/2000 Tentang Pengadilan HAM).
2. Kejahatan Kemanusiaan
Kejahatan kemanusiaan adalah suatu perbuatan yang dilakukan berupa serangan yang
ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil seperti pengusiran penduduk secara paksa,
pembunuhan,penyiksaan, perbudakkan dll.
Kasus pelanggaran HAM yang bersifat ringan, meliputi :
1. Pemukulan
2. Penganiayaan
3. Pencemaran nama baik
4. Menghalangi orang untuk mengekspresikan pendapatnya
5. Menghilangkan nyawa orang lain
2.3 Contoh Pelanggaran Hak Asasi Manusia di Indonesia
1. Kasus Marsinah (1993) (Pelanggaran HAM Berat)
Tersebut berawal dari unjuk rasa buruh yang dipicu surat edaran gubernur setempat
mengenai penaikan UMR. Namun PT. CPS, perusahaan tempat Marsinah bekerja memilih
bergeming. Kondisi ini memicu geram para buruh.
Senin 3 Mei 1993, sebagian besar karyawan PT. CPS berunjuk rasa dengan mogok kerja
hingga esok hari. Ternyata menjelang selasa siang, manajemen perusahaan dan pekerja
berdialog dan menyepakati perjanjian. Intinya mengenai pengabulan permintaan karyawan
dengan membayar upah sesuai UMR. Sampai di sini sepertinya permasalahan antara
perusahaan dan pekerja telah beres.
Namun esoknya 13 buruh yang dianggap menghasut unjuk rasa digiring ke Komando
Distrik Militer (Kodim) Sidoarjo untuk diminta mengundurkan diri dari CPS. Marsinah
marah dan tidak terima, ia berjanji akan menyelesaikan persoalan tersebut ke pengadilan.
Beberapa hari kemudian, Marsinah dikabarkan tewas secara tidak wajar. Mayat
Marsinah ditemukan di gubuk petani dekat hutan Wilangan, Nganjuk tanggal 9 Mei 1993.
Posisi mayat ditemukan tergeletak dalam posisi melintang dengan kondisi sekujur tubuh
penuh luka memar bekas pukulan benda keras, kedua pergelangannya lecet-lecet, tulang
panggul hancur karena pukulan benda keras berkali-kali, pada sela-sela paha terdapat bercak-
bercak darah, diduga karena penganiayaan dengan benda tumpul dan pada bagian yang sama
menempel kain putih yang berlumuran darah.
Secara resmi, Tim Terpadu telah menangkap dan memeriksa 10 orang yang diduga
terlibat pembunuhan terhadap Marsinah. Salah seorang dari 10 orang yang diduga terlibat
pembunuhan tersebut adalah Anggota TNI. Hasil penyidikan polisi ketika menyebutkan,
Suprapto (pekerja di bagian ontrol CPS) menjemput Marsinah dengan motornya di dekat
rumah kos Marsinah. Dia dibawa ke pabrik, lalu dibawa lagi dengan Suzuki Carry putih ke
rumah Yudi Susanto di Jalan Puspita, Surabaya. Setelah tiga hari Marsinah disekap, Suwono
(satpam CPS) mengeksekusinya.
Di pengadilan, Yudi Susanto divonis 17 tahun penjara, sedangkan sejumlah stafnya
yang lain itu dihukum berkisar empat hingga 12 tahun, namun mereka naik banding ke
Pengadilan Tinggi dan Yudi Susanto dinyatakan bebas. Dalam proses selanjutnya pada
tingkat kasasi, Mahkamah Agung Republik Indonesia membebaskan para terdakwa dari
segala dakwaan (bebas murni). Putusan Mahkamah Agung RI tersebut, setidaknya telah
menimbulkan ketidakpuasan sejumlah pihak sehingga muncul tuduhan bahwa penyelidikan
kasus ini adalah “direkayasa”.
Kasus kematian Marsinah menjadi misteri selama bertahun-tahun hingga akhirnya
kasusnya kadaluarsa tepat tahun ini, tahun 2014. Mereka yang tertuduh dan dijadikan
kambing hitam dalam kasus ini pun akhirnya dibebaskan oleh Mahkamah Agung. Di zaman
Orde Baru, atas nama stabilitas keamanan dan politik, Negara telah berubah wujud menjadi
sosok yang menyeramkan, siap menculik, mengintimidasi dan bahkan menghilangkan secara
paksa siapa saja yang berani berteriak atas nama kebebasan menyuarakan aspirasi.
Dianggap “berbeda”, misalnya memiliki ciri fisik tertentu yang mencolok seperti
lebih kurus, gemuk, tinggi, atau pendek dibandingkan dengan yang lain, berbeda
dalam status ekonomi, memiliki hobi yang tidak lazim, atau menjadi siswa/siswi baru.
Dianggap lemah atau tidak dapat membela dirinya.
Memiliki rasa percaya diri yang rendah.
Kurang populer dibandingkan dengan yang lain, tidak memiliki banyak teman.
Peduli dengan popularitas, memiliki banyak teman, dan senang menjadi pemimpin
diantara teman-temannya. Mereka dapat berasal dari keluarga yang berkecukupan,
memiliki rasa percaya diri tinggi, dan memiliki prestasi bagus di sekolah. Biasanya
mereka melakukan bullying untuk meningkatkan status dan popularitas di antara
teman-teman mereka.
Pernah menjadi korban bullying. Mereka juga mungkin mengalami kesulitan diterima
dalam pergaulan, kesulitan dalam mengikuti pelajaran di sekolah, mudah terbawa
emosi, merasa kesepian dan mengalami depresi.
Memiliki rasa percaya diri yang rendah, atau mudah dipengaruhi oleh teman-
temannya. Mereka dapat menjadi pelaku bullying karena mengikuti perilaku teman-
teman mereka yang melakukan bullying, baik secara sadar maupun tidak sadar.
Dalam penelitian Riauskina, Djuwita, dan Soesetio, (2005) alasan seseorang melakukan
bullying adalah karena korban mempunyai persepsi bahwa pelaku melakukan bullying
karena tradisi, balas dendam karena dia dulu diperlakukan sama (menurut korban laki-laki),
ingin menunjukkan kekuasaan, marah karena korban tidak berperilaku sesuai dengan yang
diharapkan, mendapatkan kepuasan (menurut korban laki – laki ), dan iri hati (menurut
korban perempuan). Adapun korban juga mempersepsikan dirinya sendiri menjadi korban
bullying karena penampilan yang menyolok, tidak berperilaku dengan sesuai, perilaku
dianggap tidak sopan, dan tradisi.
Menurut psikolog Seto Mulyadi, Bullying disebabkan karena :
1. Menurutnya, saat ini remaja di Indonesia penuh dengan tekanan. Terutama yang datang
dari sekolah akibat kurikulum yang padat dan teknik pengajaran yang terlalu kaku. Sehingga
sulit bagi remaja untuk menyalurkan bakat nonakademisnya Penyalurannya dengan
kejahilan-kejahilan dan menyiksa.
2 Budaya feodalisme yang masih kental di masyarakat juga dapat menjadi salah satu
penyebab bullying sebagai wujudnya adalah timbul budaya senioritas, yang bawah harus
nurut sama yang atas.
Dasar Hukum / Pasal Pada Undang Undang Yang Dilanggar
Melihat dari bagaimana bullying itu dilakukan, maka Pasal 76C Undang-Undang
Nomor 35 tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002
tentang Perlindungan Anak (“UU 35/2014”) telah mengatur bahwa setiap Orang dilarang
menempatkan, membiarkan, melakukan, menyuruh melakukan, atau turut serta melakukan
Kekerasan terhadap Anak. Bagi yang melanggarnya akan dipidana dengan pidana penjara
paling lama 3 (tiga) tahun 6 (enam) bulan dan/atau denda paling banyak Rp72.000.000,00
(tujuh puluh dua juta rupiah) [lihat Pasal 80 ayat (1) UU 35/2014].
Pasal 80 UU 35/2014:
a Set.iap Orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76C,
dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun 6 (enam) bulan dan/atau denda
paling banyak Rp72.000.000,00 (tujuh puluh dua juta rupiah).
b.) Dalam hal Anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) luka berat, maka pelaku dipidana
dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak
Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
c. Dalam hal Anak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mati, maka pelaku dipidana
dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan/atau denda paling banyak
Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).
d. Pidana ditambah sepertiga dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2),
dan ayat (3) apabila yang melakukan penganiayaan tersebut Orang Tuanya.
Jika bullying ini dilakukan di lingkungan pendidikan, maka kita perlu melihat juga Pasal
54 UU 35/2014 yang berbunyi:
1. Anak di dalam dan di lingkungan satuan pendidikan wajib mendapatkan perlindungan
dari tindak kekerasan fisik, psikis, kejahatan seksual, dan kejahatan lainnya yang dilakukan
oleh pendidik, tenaga kependidikan, sesama peserta didik, dan/atau pihak lain.
2. Perlindungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh pendidik, tenaga
kependidikan, aparat pemerintah, dan/atau Masyarakat.
Ini artinya, sudah sepatutnya peserta didik di sekolah mendapatkan perlindungan dari
perilaku bully yang berupa tindak kekerasan fisik maupun psikis.
Apabila bullying itu dilakukan pada masa diselenggarakannya perpeloncoan di sekolah
atau yang dikenal dengan nama Masa Orientasi Sekolah (MOS), dasar hukum yang
mengaturnya adalah Surat Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan
Menengah Nomor 1383/C.C4/MN/2010 tentang Pelaksanaan MOS yang antara lain
mengatakan bahwa agar kegiatan MOS berjalan sesaui dengan yang diharapkan dan tidak
terjadi bias, seperti adanya bullying, perpeloncoan, pemalakan, dan hal-hal negatif lainnya;
maka seluruh kegiatan MOS dilaksanakan, dibimbing, dan diawasi guru.
Dampak Adanya Bullying
Bullying memiliki berbagai dampak negatif yang dapat dirasakan oleh semua pihak yang
terlibat di dalamnya, baik pelaku, korban, ataupun orang-orang yang menyaksikan
tindakanbullying.
Dampak bagi korban
Hasil studi yang dilakukan National Youth Violence Prevention Resource Center
Sanders (2003; dalam Anesty, 2009) menunjukkan bahwa bullying dapat membuat remaja
merasa cemas dan ketakutan, mempengaruhi konsentrasi belajar di sekolah dan menuntun
mereka untuk menghindari sekolah. Bila bullying berlanjut dalam jangka waktu yang lama,
dapat mempengaruhi self-esteem siswa, meningkatkan isolasi sosial, memunculkan perilaku
menarik diri, menjadikan remaja rentan terhadap stress dan depreasi, serta rasa tidak aman.
Dalam kasus yang lebih ekstrim, bullying dapat mengakibatkan remaja berbuat nekat, bahkan
bisa membunuh atau melakukan bunuh diri (commited suicide).
Coloroso (2006) mengemukakan bahayanya jika bullying menimpa korban secara
berulang-ulang. Konsekuensi bullying bagi para korban, yaitu korban akan merasa depresi
dan marah, Ia marah terhadap dirinya sendiri, terhadap pelaku bullying, terhadap orang-orang
di sekitarnya dan terhadap orang dewasa yang tidak dapat atau tidak mau menolongnya. Hal
tersebut kemudan mulai mempengaruhi prestasi akademiknya. Berhubung tidak mampu lagi
muncul dengan cara-cara yang konstruktif untuk mengontrol hidupnya, ia mungkin akan
mundur lebih jauh lagi ke dalam pengasingan.
Terkait dengan konsekuensi bullying, penelitian Banks (1993, dalam Northwest
Regional Educational Laboratory, 2001; dan dalam Anesty, 2009) menunjukkan bahwa
perilaku bullying berkontribusi terhadap rendahnya tingkat kehadiran, rendahnya prestasi
akademik siswa, rendahnya self-esteem, tingginya depresi, tingginya kenakalan remaja dan
kejahatan orang dewasa. Dampak negatif bullying juga tampak pada penurunan skor tes
kecerdasan (IQ) dan kemampuan analisis siswa. Berbagai penelitian juga menunjukkan
hubungan antara bullying dengan meningkatnya depresi dan agresi.
Dampak bagi pelaku
Sanders (2003; dalam Anesty, 2009) National Youth Violence Prevention
mengemukakan bahwa pada umumnya, para pelaku ini memiliki rasa percaya diri yang tinggi
dengan harga diri yang tinggi pula, cenderung bersifat agresif dengan perilaku yang pro
terhadap kekerasan, tipikal orang berwatak keras, mudah marah dan impulsif, toleransi yang
rendah terhadap frustasi. Para pelaku bullying ini memiliki kebutuhan kuat untuk
mendominasi orang lain dan kurang berempati terhadap targetnya. Apa yang diungkapkan
tersebut sesuai dengan yang dikemukakan oleh Coloroso (2006:72) mengungkapkan bahwa
siswa akan terperangkap dalam peran pelaku bullying, tidak dapat mengembangkan
hubungan yang sehat, kurang cakap untuk memandang dari perspektif lain, tidak memiliki
empati, serta menganggap bahwa dirinya kuat dan disukai sehingga dapat mempengaruhi
pola hubungan sosialnya di masa yang akan datang.
Dengan melakukan bullying, pelaku akan beranggapan bahwa mereka memiliki
kekuasaan terhadap keadaan. Jika dibiarkan terus-menerus tanpa intervensi, perilaku bullying
ini dapat menyebabkan terbentuknya perilaku lain berupa kekerasan terhadap anak dan
perilaku kriminal lainnya.
Dampak bagi siswa lain yang menyaksikan bullying (bystanders)
Jika bullying dibiarkan tanpa tindak lanjut, maka para siswa lain yang menjadi
penonton dapat berasumsi bahwa bullying adalah perilaku yang diterima secara sosial. Dalam
kondisi ini, beberapa siswa mungkin akan bergabung dengan penindas karena takut menjadi
sasaran berikutnya dan beberapa lainnya mungkin hanya akan diam saja tanpa melakukan
apapun dan yang paling parah mereka merasa tidak perlu menghentikannya.
Solusi Terhadap Bullying
Dalam rangka mencegah bullying, banyak pihak telah menjalankan program dan
kampanye anti bullying di sekolah-sekolah, baik dari pihak sekolah sendiri, maupun
organisasi-organisasi lain yang berhubungan dengan anak. Lalu apakah yang dapat kita –
sebagai perorangan- lakukan untuk memerangi bullying?
1. Membantu anak-anak mengetahui dan memahami bullying
2. Memberi saran mengenai cara-cara menghadapi bullying
3. Membangun hubungan dan komunikasi dua arah dengan anak
4. Mendorong mereka untuk tidak menjadi “saksi bisu” dalam kasus bullying
5. Membantu anak menemukan minat dan potensi mereka
6. Memberi teladan lewat sikap dan perilaku
Apabila kita ingin ikut serta dalam memerangi bullying, hal paling sederhana yang dapat
kita lakukan adalah dengan tidak melakukan bullying atau hal-hal lain yang mirip
denganbullying. Disadari maupun tidak, orang dewasa juga dapat menjadi korban ataupun
pelakubullying, misalnya dengan melakukan bullying di tempat kerja, ataupun melakukan
kekerasan verbal terhadap orang-orang di sekitar kita.
1. Pemerintah menyukai timbulnya partai-partai politik karena segala aliran paham yang
ada dalam masyarakat dapat dipimpin ke jalan yang teratur dengan adanya partai-
partai tersebut.
2. Pemerintah berharap partai-partai itu telah tersusun sebelum dilangsukannya
pemilihan anggota badan perwakilan rakyat pada Januari 1946. Hal ini berkaitan
dengan adanya perubahan yang signifikan terhadap sistem pemerintahan dari
presidensial menjadi sistem parlementer.
2) Periode tahun 1950 – 1959 Periode ini dalam perjalanan, Indonesia dikenal dengan sebutan
“Periode Demokrasi Parlementer” dimana pemikiran HAM pada periode ini mendapatkan
momentum yang membanggakan. Indikator tentang pemikiran HAM pada periode ini
mengalami “pasang”, menurut ahli hukum tata negara memiliki 5 aspek :
3) Periode tahun 1959 – 1966 Pada periode ini, sistem pemerintahan Indonesia adala sistem
demokrasi terpimpin diamana kekuasaan terpusat dan berada di tangan presiden. Dalam
kaitannya dengan HAM yaitu telah terjadinya sikap restriktif (pembatasan yang ketat oleh
kekuasaan) terhadap hak sipil dan hak politik warga negara.
4) Periode tahun 1966 – 1998 Pada awal masa periode ini telah diadakan beberapa seminar
tentang HAM. Salah satu seminar dilaksanakan pada tahun 1967 yang merekomendasikan
gagasan tentang perlunya pembentukan pengadilan HAM, Komisi, dan pengadilan HAM di
wilayah Asia. Pada tahun 1968 diadakan Seminar Hukum Nasional II yang
merekomendasikan perlunya hak uji materiil guna melindungi HAM. Fungsi dari hak uji
materiil itu sendiri dalam rangka pelaksanaan TAP MPRS XIV/MPRS/1996. Namun, pada
tahun 1970-an sampai akhir 1980-an, HAM mengalami kemunduran. Dalam hal ini, upaya
masyarakat dilakukan melalui pembentukan jaringan dan lobi internasional terkait dengan
pelanggaran HAM yang terjadi seperti kasus Tanjung Priok, kasus Kedung Ombo, kasus
DOM di Aceh, dan lain sebagainya. Menjelang periode 1990-an, upaya masyarakat
nampaknya memperoleh hasil yang mengesankan karena terjadi pergeseran strategi
pemerintahan, dari Represif dan Defensif menjadi Akomodatif. Salah sau sikap akomodatif
pemerintah terhadap tuntutan penegakan HAM yaitu dibentuknya KOMNAS HAM
berdasarkan KEPRES Nomor 50 tahun 1993 pada tanggal 7 Juni 1993, dimana KOMNAS
HAM memiliki tugas:
1. Memantau & menyelidiki pelaksanaan HAM & memberi saran serta pendapat kepada
pemerintah perihal HAM.
2. Membantu pengembangan kondisi-kondisi yang kodusif bagi pelaksanaan HAM
sesuai pancasila dan UUD 1945 (termasuk hasil amandemen UUD NKRI 1945),
Piagam PBB, Deklarasi Universal HAM dan deklarasi atau perundang-undangan
lainnya yang terkait dengan penegakan HAM.
5) Periode tahun 1998 – sekarang Pada saat ini dilakukan pengkajian terhadap beberapa
kebijakan pemerintah pada masa orde baru yang berlawanan dnegan pemajuan dan
perlindungan HAM. Kemudian, dilakukan penyusunan peraturan perundang-undangan yang
berkaitan dengan pemberlakuan HAM dalam kehidupan ketatanegaraan dan kemasyarakatan
di indonesia, serta pengkajian dan ratifikasi terhadap instrumen HAM internasional semakin
ditingkatkan. Strategi pada periode ini dilakukan melalui 2 tahap, yaitu:
1. Tahap status penentuan (prescriptive Status) Pada tahap ini telah ditetapkan beberapa
ketentuan perundang-undangan tentang HAM, seperti UUD 1945, TAP MPR, UU,
dan peraturan pemerintah dan ketentuan perundang-undangan lainnya.
2. Tahap penataan aturan secara konsisten ( rule consistent behavior ) Ditandai dengan
pemghormatan dan pemajuan HAM dengan dikeluarkannya TAP MPR No.
XVII/MPR/1998 tentang HAM dan disahkannya sejumlah konvensi HAM. Selain itu
juga dirancangkan program “Rencana Aksi Nasional HAM (RANHAM)” pada
tanggal 15 Agustus 1998 yang didasarkan kepada :
3. Persiapan pengesahan perangkat Internasional di bidang HAM
4. Desiminasi informasi dan pendidikan tentang HAM 3. Penentuan skala prioritas
pelaksanaan HAM 4. Pelaksanaan isi perangkat internasional di bidang HAM yang
telah diratifikasikan melalui perundang-undangan nasional. Untuk lebih melindungi
HAM di Indonesia, pemerintah telah membuat UU HAM No. 39 tahun 1999 serta UU
No. 26 tahun 2000 tentang pengadilan HAM. Melalui keputusan Presiden No. 40
tahun 2004, Pemerintah telah mengesahlan RANHAM kedua diamana merupakan
kelanjutan RANHAM Indonesia yang pertama tahun 1998-2003. RANHAM disusun
untuk menjamin peningkatan penghormatan, pemajuan, pemenuhan, dan perlindungan
HAM di Indinesia dengan mempertimbangkan nilai-nilai agama, adat-istiadat, dan
budaya bangsa indonesia yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
HAM adalah hak-hak dasar yang dimiliki oleh manusia sesuai dengan kiprahnya.
Setiap individu mempunyai keinginan agar HAM-nya terpenuhi, tapi satu hal yang perlu kita
ingat bahwa jangan pernah melanggar atau menindas HAM orang lain. Dalam kehidupan
bernegara HAM diatur dan dilindungi oleh perundang-undangan RI, dimana setiap bentuk
pelanggaran HAM baik yang dilakukan oleh seseorang, kelompok atau suatu instansi atau
bahkan suatu Negara akan diadili dalam pelaksanaan peradilan HAM, pengadilan HAM
menempuh proses pengadilan melalui hukum acara peradilan HAM sebagaimana terdapat
dalam Undang-Undang pengadilan HAM. Sementara menyangkut Kasus Marsinah yang
merupakan dikategorikan sebagai pelanggaran HAM berat, karena merupakan kasus
penghilangan seseorang secara paksa. Marsinah adalah tumbal dari apa yang namanya
penindasan atas nama stabilitas keamanan dan politik pada zaman Orde Baru. Penindasan
kepada Marsinah adalah bentuk ketakutan negara pada sosok-sosok yang berani berjuang dan
mengobarkan semangat kebebasan, kesejahteraan dan kesetaraan. Negara menciptakan teror
ketakutan kepada siapa saja yang ingin melakukan aksi perlawanan. Negara juga telah
mengabaikan kasus ini, membiarkannya menjadi misteri yang tak terpecahkan selama
bertahun-bertahun. Ini jelas sebuah anomali dan paradoks jika kita komparasikan dengan
tujuan pembentukan dan kewajiban negara ini. Marsinah hanyalah satu dari ribuan potret
buruh perempuan di Indonesia yang seringkali harus dihadapkan dengan berbagai persoalan
pelik yang mendasar. persoalan kesejahteraan, kekerasan,eksploitasi dan diskriminasi seolah
terus menjadi pekerjaan rumah yang menumpuk bagi pemerintah untuk diselesaikan. Realitas
kekinian memperlihatkan bahwa sampai hari ini begitu banyak buruh perempuan di Indonesia
yang masih ambil bagian dalam rangka pemenuhan kebutuhan rumah tangga. Menguak kasus
Marsinah berarti harus mengurai banyak benang kusut, benang kusut yang mungkin hanya
dapat terurai dari tangan mereka yang benar-benar peduli untuk mengurainya.
Bullying adalah suatu contoh kasus pelanggaran HAM ringan yang dilakukan secara
berulang-ulang dimana tindakan tersebut sengaja dilakukan dengan tujuan untuk melukai dan
membuat seseorang merasa tidak nyaman. Pemahaman moral adalah pemahaman individu
yang menekankan pada alasan mengapa suatu tindakan dilakukan dan bagaimana seseorang
berpikir sampai pada keputusan bahwa sesuatu adalah baik atau buruk. Pemahaman moral
bukan tentang apa yang baik atau buruk, tetapi tentang bagaimana seseorang berpikir sampai
pada keputusan bahwa sesuatu adalah baik atau buruk. Peserta didik dengan pemahaman
moral yang tinggi akan memikirkan dahulu perbuatan yang akan dilakukan sehingga tidak
akan melakukan menyakiti atau melakukan bullying kepada temannya. Selain itu,
keberhasilan remaja dalam proses pembentukan kepribadian yang wajar dan pembentukan
kematangan diri membuat mereka mampu menghadapi berbagai tantangan dan dalam
kehidupannya saat ini dan juga di masa mendatang. Untuk itu mereka seharusnya
mendapatkan asuhan dan pendidikan yang menunjang untuk perkembangannya.
3.2 Saran
Sebagai makhluk sosial kita selayaknya mampu mempertahankan dan
memperjuangkan hak kita sendiri. Di samping itu kita juga harus bisa menghormati dan
menjaga hak orang lain jangan sampai kita melakukan pelanggaran HAM. Dan Jangan
sampai pula HAM kita dilanggar dan dinjak-injak oleh orang lain. Sudah saatnya pemerintah
membuka mata lebar-lebar akan kasus Marsinah dan kasus-kasus yang dialami oleh buruh
saat ini. Pemerintah sebaiknya berani membuka ulang kasus Marsinah atas nama demokrasi
dan HAM. Hilang dan matinya Marsinah sudah barang tentu adalah sesuatu yang
“direkayasa” sehingga sampai saat ini kasusnya tidak pernah menemui titik terang. Padahal
keadilan yang tertinggi adalah keadilan terhadap Hak Asasi Manusia.
DAFTAR PUSTAKA
http://www.omahmunir.com/pages-10-kasus-marsinah.html
http://buser.liputan6.com/read/52757/marsinah-dan-misteri-kematiannya
http://fuad-myers.blogspot.com/2011/11/analisa-kasus-pelanggaran-ham-berat.html
http://sarubanglahaping.blogspot.com/2013/10/analisis-kasus-pembunuhan-marsinah.html
Http://www.Yudhe.Com/8-Kasus-Besar-Yang-Tetap-Menjadi-Misteri-Di-Indonesia/
http://ubpeacemaker.blogspot.com/2011/11/memahami-ham-marsinah-pahlawan-kaum.html
http://abunavis.wordpress.com/2007/12/11/marsinah-dalam-representasi-media-analisis-
semiotika-berita-kasus-marsinah-pada-majalah-tempo-1993-1994/
http://hukum.kompasiana.com/2014/05/01/refleksi-21-tahun-kasus-marsinah-650551.html
http://www.tempo.co/read/news/2012/05/08/173402558/Kasus-Marsinah-Sulit-Diungkap-
Lagi
http://www.arahjuang.com/2014/05/08/marsinah-dan-perjuangan-buruh-sepanjang-masa/