Anda di halaman 1dari 14

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1. Tinjauan Pustaka


2.1.1. Persepsi

Secara umum, persepsi adalah adalah pandangan seseorang terhadap sesuatu


yang akan membuat respon bagaimana dan dengan apa seseorang akan bertindak.
Berbagai pengertian persepsi telah diungkapkan oleh ahli-ahli dalam ilmu
perencanaan, ilmu sosial, ilmu ekonomi, dan sebagainya. Walgito (1980)
mendefinisikan persepsi sebagai suatu proses penerimaan beemacam-macam
stimulus oleh individu tentang lingkungan, baik melalui penglihatan,
pendengaran, penghayatan, perasaan dan penciuman. Menurut Haryadi dan
Setiawan (1995) persepsi adalah suatu interpretasi yang berlatar belakang budaya,
nalar, dan pengalaman individu. Selanjutnya Robbins (2003) mendeskripsikan
persepsi dalam kaitannya dengan lingkungan, sebagai proses individu-individu
mengorganisasikan dan menafsirkan kesan indera mereka agar memberi makna
kepada lingkungan mereka. Di sisi lain Laurens (2004) mendefinisikan persepsi
adalah proses memperoleh atau menerima informasi dari lingkungan untuk
menjelaskan bagaimana manusia mengerti dan menilai lingkungannya. Leavit
dalam Rosyadi (2001) membedakan persepsi menjadi dua pandangan yang
berbeda, yaitu pandangan secara sempit dan luas. Persepsi dalam pandangan yang
sempit dijadikan sebagai penglihatan, sedangkan dalam pandangan yang luas,
seseorang dapat memandang dan mengartikan sesuatu.
(http://www.masbow.com/2009/08/apa-itu-persepsi.html, diakses tanggal 25 Juli
2011)

Berikut adalah skema proses persepsi oleh Paul A. Bell (1978).


Gambar xx. Proses Persepsi
Sumber: Paul A. Bell dalam Laurens (2004)
Menurut Walgito ada beberapa proses tejadinya persepsi, yaitu:

St St Keterangan:
St
St
St = stimulus (faktor luar)
Sp RESPON
Fi = Faktor intern
Fi
Sp = struktur pribadi
Fi
Fi Fi

2.1.1.1. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Persepsi


Menurut Walgito (1989) menyebutkan beberapa faktor yang berpengaruh dalam
persepsi, antara lain:

1) Objek yang dipersepsi


2) Alat penerima
3) Perhatian

Gilmer (dalam Hapsari, 2004) menyatakan bahwa persepsi dipengaruhi oleh berbagai
faktor, antara lain faktor belajar, motivasi, dan pemerhati perseptor atau pemersepsi
ketika proses persepsi terjadi. Dan karena ada beberapa faktor yang bersifat yang
bersifat subyektif yang mempengaruhi, maka kesan yang diperoleh masing-masing
individu akan berbeda satu sama lain.
Wilson ( 2000 ) mengemukakan ada faktor dari luar dan dari dalam yang mempengaruhi
persepsi diantaranya sebagai berikut :

a. Faktor eksternal atau dari luar :

1. Concreteness yaitu wujud atau gagasan yang abstrak yang sulit dipersepsikan
dibandingkan dengan yang obyektif.
2. Novelty atau hal yang baru, biasanya lebih menarik untuk di persepsikan
dibanding dengan hal-hal yang baru.
3. Velocity atau percepatan misalnya gerak yang cepat untuk menstimulasi
munculnya persepsi lebih efektif di bandingkan dengan gerakan yang lambat.
4. Conditioned stimuli, stimuli yang di kondisikan seperti bel pintu, deringan
telepon dan lain-lain.

b. Faktor internal atau dari dalam :

1. Motivation, misalnya merasa lelah menstimulasi untuk berespon untuk istirahat.


2. Interest, hal-hal yang menarik lebih di perhatikan dari pada yang tidak menarik
3. Need, kebutuhan akan hal tertentu akan menjadi pusat perhatian
4. Assumptions, juga mempengaruhi persepsi sesuai dengan pengalaman melihat,
merasakan dan lain-lain.

Menurut Rahmat (2005) faktor-faktor personal yang mempengaruhi persepsi


interpersonal adalah:

 Pengalaman  Seseorang yang telah mempunyai pengalaman tentang hak-hak


tertentu akan mempengaruhi kecermatan seseorang dalam memperbaiki
persepsi.
 Motivasi  Motivasi yang sering mempengaruhi persepsi interpersonal adalah
kebutuhan untuk mempercayai “dunia yang adil” artinya kita mempercayai
dunia ini telah diatur secara adil.
 Kepribadian  Dalam psikoanalisis dikenal sebagai proyeksi yaitu usaha untuk
mengeksternalisasi pengalaman subyektif secara tidak sadar, orang
mengeluarkan perasaan berasalnya dari orang lain.

2.1.1.2. Persepsi Manusia Terhadap Lingkungan

2.1.2. Rumah Susun


2.1.2.1. Pengertian Rumah Susun
Pengertian rumah dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 4
Tahun 1992 adalah bangunan yang berfungsi sebagai tempat tinggal atau hunian
dan sarana pembinaan keluarga. Menurut Poespowardojo dalam Budiharjo (1984)
mendefinisikan rumah dalam arti luas sebagai dunia, di mana manusia
mengembangkan diri dengan kemampuannya dan memenuhi kebutuhannya.
Rumah merupakan salah satu kebutuhan dasar (basic needs) bagi manusia. Dalam
teori Maslow, manusia selalu berusaha untuk memenuhi kebutuhan yang paling
dasar yaitu kebutuhan fisiologis, salah satunya adalah kebutuhan rumah. Di
samping menjadi kebutuhan dasar manusia, rumah merupakan tempat berlindung,
berlangsungnya proses sosialisasi (pengenalan terhadap nilai dan adat), dan
tempat manusia memenuhi kebutuhan untuk mempertahankan hidupnya.

Pengembangan kawasan perumahan secara horizontal sudah tidak


dianjurkan lagi mengingat terbatasnya lahan kota yang diperuntukkan bagi
permukiman sehingga dikhawatirkan tidak dapat menampung penduduk dalam
jumlah yang besar. Untuk itu pemerintah di bidang perumahan melaksanakan
program pembangunan rumah susun. Pengertian rumah susun dijelaskan dalam
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 1985, yaitu bangunan
gedung bertingkat yang dibangun dalam suatu lingkungan, yang terbagi dalam
bagian-bagian yang distrukturkan secara fungsional dalam arah horizontal
maupun vertikal dan merupakan satun-satuan yang masing-masing dapat dimiliki
dan digunakan secara terpisah, terutama untuktempat hunian,yang dilengkapi
dengan bagian bersama, benda bersama dan tanah bersama. Pembangunan
rumah susun diprioritaskan pada lokasi permukiman kumuh dan sasaran utamanya
adalah penghuni itu sendiri yang mayoritas berpenghasilan rendah. Secara umum,
pembangunan rumah susun memiliki tujuan:
1. Efisiensi dan efektivitas ruang kota,
2. Mengisi kebutuhan perumahan masyarakat
berpenghasilan rendah,
3. Mengurangi masalah transportasi, menekan biaya
investasi sarana prasarana,
4. Menciptakan lingkungan yang sehat dan layak,
5. Peningkatan kualitas lingkungan permukiman.

Sedangkan prinsip dasar Pembangunan Rusun di perkotaan berdasarkan


review laporan akhir “Penyusunan Dokumen Evaluasi Dampak Pembangunan
Rusunawa Yogyakarta 2009” antara lain:
1. Keterpaduan, yaitu pembangunan rusun yang didasarkan pada prinsip
keterpaduan kawasan, sektor, antar pelaku, dan keterpaduan dengan sistem
perkotaan;
2. Efisiensi dan Efektivitas, yaitu pemanfaatan sumber daya melalui peningkatan
intensitas penggunaan lahan dan;
3. Penegakan Hukum, yaitu mewujudkan adanya kepastian hukum dalam
bermukim bagi semua pihak, serta menjunjung tinggi nilai-nilai kearifan yang
hidup di tengah masyarakat;
4. Keseimbangan dan Keberkelanjutan, yaitu pembangunan rusun dengan
memperhatikan keseimbangan ekosistem dan kelestarian sumberdaya yang
ada;
5. Partisipasi, yaitu mendorong kerjasama dan kemitraan Pemerintah dengan
badan usaha dan masyarakat untuk dapat berpartisipasi dalam proses
perencanaan, pembangunan, pengawasan, operasi dan pemeliharaan, serta
pengelolaan Rusun.
6. Kesetaraan, yaitu kesetaraan peluang bagi masyarakat berpenghasilan rendah
untuk dapat menghuni rumah susun, sebagai langkah peningkatan
kesejahteraannya.
7. Transparansi dan Akuntabilitas, yaitu menciptakan hubungan baik antara
pemerintah, pihak swasta, dan masyarakat terhadap pertanggungjawaban
kinerja pembangunan kepada seluruh pemangku kepentingan.

2.1.2.2. Karateristik Bangunan dan Kriteria Pemilihan Lokasi Rumah


Susun
Rumah susun terbagi menjadi dua jenis yaitu rumah susun yang “tidak
sederhana” yang lebih dikenal dengan sebutan apartemen, dan rumah susun
sederhana (Rusunawa). Karakteristik bangunan Rumah Susun “tidak sederhana”
pada umumnya dikelola oleh swasta dengan faktor mencari keuntungan
(komersil), sedangkan untuk Rumah Susun sederhana dikelola oleh pemerintah
walaupun dalam pembangunannya tidak tertutup kemungkinan bekerja-sama
ataupun dipegang oleh pihak swasta.

Menurut Budihardjo (1997), suatu pembangunan sektor perumahan tentunya


akan memperhatikan faktor lokasi. Faktor ini juga sangat diutamakan bagi
masyarakat berpenghasilan rendah dalam menentukan lokasi bermukim, yang
berekatan dengan lokasi lapangan kerja mereka. Oleh karena itu, pembangunan
perumahan yang ditujukan bagi masyarakat berpenghasilan rendah seperti rumah
susun harus menomor satukan kedekatan dengan lapangan kerja, sebagai sumber
penghasilan untuk melangsungkan kehidupannya. Kawasan yang dimaksud adalah
pusat kota yang dikuasai sektor perdagangan dan jasa, serta permukiman
penduduk yang padat dan kumuh. Pusat kota juga menjadi pilihan lokasi dalam
pembangunan rumah susun, sebab prioritas pembangunannya adalah masyarakat
yang tidak memiliki rumah yang layak.

Setelah mengetahui kawasan atau wilayah yang akan digunakan sebagai


kawasan pembangunan sektor perumahan untuk masyarakat berpenghasilan
rendah, kemudian dilakukan pemilihan lokasi untuk pengembangan rumah susun
di wilayah tersebut. Dalam pemilihan lokasi untuk pengembangan rumah susun
hendaknya harus melalui kriteria-kiteria dan analisa-analisa mengenai rumah
susun, sebagaimana disebutkan dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia
No 4 Tahun 1988 (pasal 22) tentang rumah susun, antara lain:

1. Rumah susun harus dibangun di lokasi yang sesuai dengan peruntukkan


dan keserasian lingkungan dengan memperhatikan rencana tata ruang
kota dan tata guna tanah yang ada.
Pembangunan rusun pada lokasi yang tepat, dapat mendukung
konsep tata ruang yang berkaitan dengan pengembangan pembangunan
daerah dan untuk meremajakan daerah-daerah kumuh ataupun pemukiman
penduduk yang mempunyai intensitas kepadatan atau jumlah penduduk
yang tinggi.
2. Lokasi rumah susun harus mudah untuk dicapai baik oleh kendaraan
umum maupun kendaraan pribadi dengan memperhatikan keamanan,
ketertiban, dan gangguan pada lokasi di sekitar area pengembangan
rumah susun tersebut.
Sehingga dengan berjalannya waktu nantinya tidak terjadi
pertentangan antara penghuni rumah susun dengan masyarakat yang
berada di sekitar area pengembangan rumah susun tersebut.
3. Rumah susun harus dijangkau dengan jaringan utilitas yang baik, seperti
pelayanan jaringan air bersih, jaringan listrik, serta jaringan untuk
pembuangan limbah dan air hujan.
Perlu diketahui bahwa kehadiran rumah susun akan menambah
jumlah limbah yang dihasilkan oleh pertambahan jumlah penduduk dan
menambah pula jumlah kebutuhan jaringan dan prasarana lingkungan.

2.1.3. Masyarakat
2.1.3.1. D
efinisi Masyarakat

Kata masyarakat (society) berasal dari kata dalam bahasa Arab, musyarak,
yaitu sekelompok orang yang membentuk sebuah sistem, dimana sebagian besar
interaksi adalah individu-individu yang berada dalam suatu kelompok.
(Wikipedia, http://id.wikipedia.org/wiki/Masyarakat diakses 19 Juni 2011).
Pengertian masyarakat dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah sejumlah
manusia dalam arti seluas-luasnya dan terikat oleh suatu kebudayaan yg mereka
anggap sama. Menurut Soekanto (1981) dalam Hariyono (2007), masyarakat
adalah orang yang hidup bersama yang menghasilkan kebudayaan. Sedangkan
menurut Poerwadarmita (1982), masyarakat adalah pergaulan hidup manusia yang
hidup bersama dalam suatu tempat dengan ikatan-ikatan tertentu. Widjaya (1986)
memperjelas pengertian masyarakat sebagai sekelompok orang yang memiliki
identitas yang berbeda-beda dengan kelompok lain, dan hidup dalam wilayah atau
daerah tertentu secara terendiri. Dari definisi masyarakat yang telah didapat dari
para ilmuan, maka dapat dikatakan bahwa masyarakat adalah sekelompk orang
yang memiliki kebiasaan-kebiasaan tertentu yang dilandasi norma, peraturan,
danketentuan, serta memiliki identitas tertentu yang tinggal di kawasan tertentu.

2.1.3.2. M
asyarakat Perkotaan

Masyarakat terbagi menjadi dua, yaitu masyarakat pedesaan dan perkotaan.


Masyarakat pedesaan dianggap tradisional dan masyarakat perkotaan dianggap
modern. Yang dimaksud modern adalah masyarakat perkotaan terbentuk dari
lingkungan yang bersifat kompleks dengan latar belakang kemajuan teknologi,
ilmu pengetahuan, perdagangan, pemerintahan, politik, dan sebagainya.
Gambaran masyarakat perkotaan menurut Daldjoeni (1992) sebagai berikut:
1. Tidak perlu bekerja penuh berkat adanya kemajuan teknologi
2. Banyak waktu luang untuk rekreasi
3. Mementingkan sektor perdagangan dan jasa
4. Terlepas dari ikatan tradisi
5. Lebih mengandalkan feeling

Ciri masyarakat perkotaan menurut Ismani (1991) adalah kegiatan yang


heterogen dalam bidang kehidupan dan penghidupan dengan tingkat ekonomi
yang berbeda-beda. Tingkatan ekonomi masyarakat disebutkan oleh Soekanto
(1990) terdiri atas lapisan atas (upper class), lapisan menengah (middle class),
dan lapisan bawah (lower class). Di samping itu Mangkunegara dalam Haryono
(2007) menyebutkan karakter-karakter di tiap lapisan masyarakat tersebut, yaitu:

1) Masyarakat kelas atas


a. Mampu membeli barang-barang mahal
b. Membeli di toko yang super lengkap
c. Konsumtif
2) Masyarakat kelas menengah
a. Membeli barang untuk menunjukkan kekayaannya
b. Membeli barang yang mahal dengan mengangsur/kredit
3) Masyarakat kelas bawah
a. Mementingkan kuantitas daripada kualitas
b. Membeli barang sesuai dengan kebutuhan sehari-hari, bila perlu
barang yang dibeli diobral.

Ciri selanjutnya adalah tingkat pendidikan, agama, dan mata pencaharian yang
berbeda-beda. Hal ini juga dipengaruhi oleh tingkat usia dan harta/kekayaan yang
berbeda pula. Namun, perbedaan-perbedaan yang terjadi pada masyarakat
perkotaan tidak menurunkan rasa solidaritas yang terjalin di dalam lingkungan
permukimannya.

2.1.4. Permukiman Perkotaan


2.1.4.1. P
engertian Perumahan dan Permukiman

Perumahan dan permukiman di Indonesia diatur dalam Undang-Undang


Nomor 4 Tahun 1992. Di dalamnya disebutkan pengertian rumah, perumahan, dan
permukiman sebagai berikut:
a. Perumahan adalah kelompok rumah yang berfungsi sebagai lingkungan
tempat tinggal atau hunian yang dilengkapi dengan prasarana dan sarana
lingkungan,
b. Permukiman adalah bagian lingkungan hidup di luar kawasan lindung,
yaitu desa dan kota yang berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal atau
hunian yang mendukung kegiatan perikehidapan dan penghidupan.

Perumahan dan permukiman merupakan suatu kompleksitas. Seringkali


pemerintah merasa kualahan mengatur 2 bidang tersebut, dan pada akhirnya
masyarakatlah yang ikut serta dalam pengaturan dan pengambilan keputusan.
Pengertian perumahan dan permukiman kemudian dijelaskan oleh Budihardjo
(2005) bahwa perumahan merupakan kumpulan bangunan yang menjadi unsur
utama permukiman, dan permukiman adalah perpaduan perumahan dengan
kehidupan manusia yang berlangsung di dalamnya. Kehidupan manusia akan terus
berkembang yang diikuti dengan semakin bertambahnya kebutuhan lain yang
membutuhkan keberadaan tempat tinggal. Manusia selalu berupaya untuk
mendapatkan tempat tinggal tanpa memperhatikan bagaimana status, kondisi dan
bentuknya.

Dalam buku “Rumah Untuk Seluruh Rakyat” oleh Yudohusodo (1991),


permukiman di perkotaan dibagi ke dalam 2 tipe yaitu (1) kampung dan (2)
permukiman liar:
a) Kampung, merupakan lingkungan permukiman yang terbentuk dari golongan
masyarakat menengah ke bawah. Rumah-rumah dibangun melalui status
kepemilikan yang legal dengan menyewa atau hak milik sendiri.
b) Permukiman liar, merupakan pembangunan permukiman penduduk secara
ilegal, tanpa sepengetahuan pemilik tanah dan tidak ada izin membangun dari
Pemerintah.

Permukiman di perkotaan terjadi karena adanya perpindahan penduduk


yang tidak seimbang dengan persediaan lahan perumahan bagi pendatang. Wajah
permukiman kota di Indonesia yang sering dijumpai adalah perkampungan,
permukiman liar, dan permukiman kumuh. Kampung merupakan kawasan
permukiman yang dihuni oleh masyarakat bergolongan menengah ke bawah, dan
umumnya tidak tersedia prasarana, utillitas, dan fasilitas sosial. Rumah yang
dibangun di kampung menngunakan lahan yang dimiliki sendiri, disewa atau
dipinjam dari pemiliknya dan dilakukan seiijin pemilik tanahnya (Yudohusodo,
1991). Pengertian permukiman liar adalah perumahan yang dibangun dengan
memanfaatkan lahan kosong tanpa seizin pemiliknya. Permukiman liar umumnya
akan membentuk permukiman kumuh yang terjadi karena mahalnya harga tanah,
tingginya arus urbanisasi, penghasilan minim, dan keterbatasan kemampuan
untuk meningkatkan kualitas lingkungan agar dalam jangka panjang dapat
mempengaruhi kehidupan dan kesejahteraan masyarakat.

Dari beberapa penjelasan-penjelasan tentang berbagai kawasan permukiman


di Indonesia, maka daat disimpulkan bahwa perkampungan, permukiman liar, dan
permukiman kumuh memiliki ciri:
a) Masyarakat yang heterogen, berasal dari berbagai daerah dan budaya
yang berbeda, dan pendapatan yang diakibatkan oleh arus perpindahan
penduduk dari pedesaan
b) Kondisi fisik bangunan tidak beraturan dan kualitas lingkungan yang
kurang baik
c) Penyediaan prasarana umum yang kurang seperti saluran pembuangan
air limbah
d) Pembangunan dan perkembangannya tanpa direncanakan dan tidak
teratur.

2.1.4.2. Pembangunan Perumahan dan Permukiman

Pembangunan adalah suatu proses untuk menuju perubahan yang lebih baik
di segala bidang kehidupan dan dilaksanakan berdasarkan rencana dan sesuai
dengan peraturan-peraturan dari pemerintah pusat maupun daerah. Pembangunan
sektor perumahan dan permukiman bertujuan meningkatkan kesejahteraan
masyarakat dengan menyediakan wadah untuk bekerja, beristirahat, dan
bermasyarakat. Pihak utama yang berperan melaksanakan pembangunan sektor
perumahan antara lain pemerintah, swasta, dan masyarakat. Pihak pemerintah,
sawasta, maupun masyarakat, masing-masing akan menghasilkan beberapa jenis
perumahan. Budihardjo (1983;58) sektor perumahan yang dihasilkan ketiga pihak
tersebut, yaitu:

“...produk yang dihasilkan oleh sektor pemerintah dan sawasta sering


disebut sebagai sektor formal..”
Pembangunan perumahan formal adalah rumah yang dibangun secara
terorganisasi maupun individu tetapi tetap terkendali dengan suatu aturan.
Terkadang perumahan formal ini tidak mampu memenuhi kebutuhan masyarakat
akan rumah, terutama masyarakat pendatang yang berpenghasilan rendah. Dalam
kawasan sektor perumahan ini, kenyamanan dan kelengkapan permukiman telah
disediakan sebelum dihuni atau biasanya bersamaan dengan pembangunannya.

“...yang dihasilkan oleh masyarakat sering disebut sebagai sektor


informal...”

Sektor perumahan informal ini dibangun karena semakin tidak


terkendalinya kebutuhan akan rumah, yang disebabkan meningkatnya jumlah
penduduk di perkotaan. Pembangunan perumahan oleh masyarakat ini dilakukan
secara swadaya oleh keluarga atau individu tanpa mengikuti suatu aturan atau
rencana sebelumnya. Perumahan informal dirasa dapat menutupi ketidakmampuan
pemerintah atau swasta dalam pemenuhan kebutuhan akan rumah. Hernando de
Soto dalam Koeswartodjo (2005) menggunakan istilah perumahan informal ini
sebagai perumahan yang terbangun tanpa pengaturan, pelayanan, dan
perlengkapan permukiman. Pelayanan dan perlengkapan permukiman yang
dimaksud meliputi jalan, drainase, persampahan, dan air bersih.

Terdapat dua status dalam perumahan formal yaitu pembangunan yang


terorganisasi dan invidu, sedangkan pada perumahan informal terbagi menjadi
pembangunan perumahan informal yang legal dan ilegal. Berikut adalah
penjelasan tentang perumahan formal dan informal beserta pemrakarsanya.

Tabel 2.1. Pemrakarsa Pembangunan Perumahan

Prakarsa Pembangunan
Pemrakarsa Pembangunan
Perumahan
Formal Terorganisasikan Pemerintah dan perusahaan (organisasi
pembangun perumahan) dengan
mengikuti aturan yang ditetapkan
suatu otoritas.
Prakarsa Pembangunan
Pemrakarsa Pembangunan
Perumahan
Individu Individu/keluarga dengan mengikuti
aturan dan jaringan prasarana yang
ditetapkan oleh suatu otoritas.
Informal Legal Individu/keluarga/kelompok yang
membangun di atas tanah miliknya
tanpa mengikuti aturan membangun
dan umumnya tidak dilengkapi
jaringan prasarana.
Tidak Legal Individu/keluarga/kelompok yang
membangun di atas tanah yang bukan
haknya dan tanpa mengikuti aturan
membangun.
Sumber: Koeswartodjo, 2005

Menurut Koeswartodjo (2005), elemen perumahan adalah lahan dan


jaringan pelayanan, sedangkan elemen permukiman menurut Doxiadis (1971)
antara lain (a) Nature, (b) Man, (c) Society, (d) Shells, (e) Network. Kelima
elemen permukiman menurut Doxiadis, disebutkan juga Budihardjo (1983)
sebagai faktor untuk memperoleh permukiman yang ideal, yaitu:
a) Alam, yaitu lebih mengacu pada aspek fisik seperti tata guna lahan,
iklim, topografi, dan sumber daya alam.
b) Manusia, yaitu apa saja kebutuhan dasar manusia meliputi kebutuhan
fisik (ruang), sosial (keamanan, kerukunan, hubungan antar manusia),
dan biologi.
c) Masyarakat, yaitu yang menyangkut tentang tingkat ekonomi, tingkat
pendidikan, budaya, suku, dan agama.
d) Wadah/sarana kegiatan (bangunan), meliputi rumah sebagai wadah
kehidupa manusia, fasilitas umum (sekolah, tempat ibadah, rumah
sakit), tempat rekreasi, perkantoran, dan perdagangan.
e) Jaringan prasarana, yaitu berupa sarana (transportasi, sampah, drainase)
dan jaringan (sistem air bersih, listrik, komunikasi, jalan)

Anda mungkin juga menyukai