Anda di halaman 1dari 25

RELEVENSI MASLAHATUL DALAM PENGEMBANGAN HUKUM ISLAM DI DUNIA

MODEREN

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Tarikh Tasyri

Dosen Pengampu : A.Fahrur Rozi,M.HI

Disusun Oleh :

Lisa Nur Amanah (201964010082)

Anggun Nike Khotimah (201964010083)

S-1 PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


FAKUTAS ILMU KEISLAMAN
UNIVERSITAS ISLAM RADEN RAHMAT
2020

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang dengan rahmat-Nya, sehingga penulis
dapat menyelesaikan tugas Ushul Fiqh tepat pada waktunya. Sholawat serta salam
juga semoga selalu tercurahkan kepada baginda Rasulullah SAW, sang manajer sejati
islam yang selalu bercahaya dalam sejarah hingga saat ini.

Dalam pembuatan makalah ini, tentu tak lupa penulis mengucapkan terimakasih
kepada Dosen Pengampu yang telah membimbing penulis selama ini. Tentunya
makalah ini, masih jauh dari kesempurnaan. Olehnya itu penulis senantiasa
mengharapkan kritik dan saran yang membangun. Semoga makalah ini bermanfaat
bagi kita semua. Amin Yarabbal Alamin.

Malang, 28 Desember 2020

Penulis

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.................................................................................................................................2
DAFTAR ISI...............................................................................................................................................3
BAB I PENDAHULUAN............................................................................................................................4

3
A. Latar Belakang..........................................................................................................................4
B. Rumusan Masalah....................................................................................................................6
C. Tujuan.........................................................................................................................................6
BAB II PEMBAHASAN.............................................................................................................................7
A. Pegertian Mashlahah Mursalah..............................................................................................7
B. Landasan Yuridis Maslahah Mursalah.................................................................................10
C. Syarat-syarat Mashlahah Mursalah......................................................................................12
D. Pendapat Ulama tentang Mashlahah Mursalah sebagai Dasar Hukum..........................15
E. Dasar Penggunaan Mashlahah Mursalah...............................................................................19
F. Relevansi Mashlahah Mursalah dalam Perkembangan Kehidupan Islam Modern............20
BAB III PENUTUP..................................................................................................................................23
A. KESIMPULAN.........................................................................................................................23
DAFTAR PUSTAKA...............................................................................................................................24

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Para ulama Islam sepakat bahwa sumber utama hukum Islam adalah al-Qur’an dan
hadits. Sumber (dalil-dalil) lain seperti ijma’, qiyas, istihsan, mashlahah mursalah masih

4
diperselisihkan, baik eksistensinya maupun intensitasnya sebagai dalil hukum.Namun
yang penulis bahas adalah mashlahat/istishlah. Mashlahat merupakan suatu dalil
hukum yang dapat memberikan gerak yang lebih cepat dan luas kepada para mujtahid
untuk berfikir, karena tidak begitu banyak memerlukan kaitan pada nash sebagaimana
yang berlaku pada qiyas. Namun yang lebih ditekankan adalah suatu keyakinan bahwa
di dalamnya terdapat mashlahat umat.

Aplikasi mashlahat di masa sahabat telah banyak dirintis dan diprakarsai di


antaranya oleh Umar ibn Khattab terhadap masalah-masalah baru yang tidak
ditemukan pada masa Nabi. Seperti ‘Umar tidak memberikan hak zakat untuk mu’allaf
yang jelas tersurat di dalam al-Qur’an (Q.S. 9 : 60), tindakan tidak membagikan harta
rampasan tanah di Iraq untuk pasukan perang, yang sebenarnya berbenturan dengan
ketentuan al-Qur’an (Q.S. 8 : 41), penetapan terhadap orang yang sekaligus
menjatuhkan talak tiga, dianggap jatuh tiga juga, padahal menyalahi sunnah Nabi yang
menetapkan jatuh satu, tidak menjatuhkan hukuman had kepada pencuri karena
terpaksa dalam kondisi kelaparan dan lain-lain. Semua itu menurutnya, cara itulah yang
paling umum mashlahatnya

Dalam menghadapi kasus-kasus hukum di zaman modern ini kelihatannya


penggunaan dalil mashlahat dipopulerkan sebagai alternative penyelesaian kasus-
kasus itu. Kehidupan masa kini dengan segala kompleksitasnya senantiasa mengalami
perubahan yang dinamik, yang meliputi berbagai macam pokok masalah dengan irama
yang cepat, dari waktu ke waktu, direncanakan atau tidak.Sudah barang tentu
perubahan-perubahan itu mempunyai pengaruh besar mengenai persepsi, perhatian,
prilaku masyarakat terhadap pranata sosial, tidak terkecuali tehadap syari’at Islam.

Syari’at Islam yang mempunyai wujudnya yang tetap dihadapkan pada problematika
tersebut yang barangkali belum pernah terjadi pada masa awalnya.Peristiwa-peristiwa
itu didominasi oleh perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi inklusif di dalamnya
corak ragam yang masih terjadi anutan masyarakat.

Lantaran itulah suatu anggapan bahwa Islam adalah agama yang hak dan kekal,
selaras dengan akal, situasi, generasi dan bangsa.Tetapi dalam realitas sosial yang
banyak permasalahan yang belum terjamah. Ungkapan ini memberikan indikasi bahwa

5
Islam telah memberikan solusi alternatif terhadap permasalahan umat yang kini terjadi
dan mungkin timbul di masa yang akan datang. Bahkan Islam telah memberikan
otoritas penuh kepada setiap pengikutnya untuk mengkaji dan berfikir guna
menghadapi segala bentuk perubahan dan perkembangan dalam kaitannya dengan
masalah hukum.Oleh karena itu, para mujtahid dituntut bekerja keras memecahkan dan
mencari jalan keluarnya, melakukan ijtihad dalam hal menginterpretasikan sumber-
sumber tekstual, termasuk di dalamnya memecahkan kasus- kasus yang secara
tekstual tidak didapati. Sejalan dengan itu dalam upaya memfatwakan hukum terhadap
kasus-kasus yang muncul dewasa ini, maka mashlahatlah di antara alternatif
pemecahannya.

Manusia diciptakan oleh Allah SWT di muka bumi dengan tujuan agar mengisi dan
memakmurkan hidup dan kehidupan ini sesuai dengan tata aturan dan hukum-hukum
Allah SWT.Oleh karena itu, agar tujuan tersebut berhasil dengan baik, maka sebagai
kasih sayang Allah SWT terhadap umat manusia, Allah menurunkan tata aturan dan
hukum-hukum-Nya yang disampaikan dalam bentuk wahyu kepada Muhammad SAW.

Wahyu yang disampaikan kepada Rasulullah Saw itu ada yang dikenal dengan
istilah wahyu matluw (‫ (المتلو الوحي‬yaitu al-Qur’an al-Karim dan ada yang dikenal dengan
wahyu ghairu matluw(‫ ( المتلو غیر الوحي‬yaitu sunnah atau hadits. Kehadiran hukum Allah
SWT atau hukum Islam yang harus dijadikan pedoman dan acuan oleh umat manusia
dalam mengarungi hidup dan kehidupan ini tiada lain maksudnya ialah agar manusia
meraih hasanah (kebaikan) di dunia dan hasanah di akhirat, atau dengan kata lain,
untuk mewujudkan kemaslahatan bagi umat manusia. Atas dasar ini, para pakar Fiqih
dan Ushul Fiqh telah konsensus bahwa mashlahat atau kemashlahatan merupakan
tujuan inti pensyari’atan hukum Islam; sehingga muncullah ungkapan di kalangan
mereka 2‫ )هللا حكم فثم المصلحة كانت أینما‬di mana ada mashlahat di situ ada hukum Allah).
Artinya mashlahat yang tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip hukum Islam dapat
dijadikan pertimbangan penetapan hukum Islam.

Menyadari bahwa tidak semua masalah kehidupan ini hukumnya ditemukan didalam
al Qur’an dan Sunnah/hadits, Islam meletakkan prinsip-prinsip umum dan kaidah-
kaidah dasar yang dapat dijadikan ahl az-Zikri (para mujtahid) untuk mengembangkan

6
hukum Islam dan memecahkan masalah-masalah baru melalui ijtihad. Salah satu
prinsip umum dan kaidah dasar yang diletakkan oleh Islam ialah bahwa tujuan pokok
pensyari’atan hukum Islam adalah untuk mewujudkan kemashlahatan (jalb al-masalih).

B. Rumusan Masalah

1. Apa pengertian dari mashlahah mursalah


2. Apa landasan yuridish mashlahah mursalah?
3. Apa saja syarat-syarat mashlahah mursalah?
4. Bagaimana pendapat para ulama tentang maslahah mursalah sebagai dasar
hukum?
5. Bagaimana dasar penggunaan mashlahah mursalah?
6. Bagaimana relevansi mashlahah mursalah dengan perkembangan hukum islam
modern?

C. Tujuan

1. Untuk mengetahui pengertian dari mashlahah mursalah


2. Untuk mengetahui landasan yuridish mashlahah mursalah
3. Untuk mengetahui syarat-syarat mashlahah mursalah
4. Untuk mengetahui pendapat para ulama tentang maslahah mursalah sebagai
dasar hukum
5. Untuk mengetahui dasar penggunaan mashlahah mursalah
6. Untuk mengetahui relevansi mashlahah mursalah dengan perkembangan hukum
islam modern

7
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pegertian Mashlahah Mursalah

8
Maslahah mursalah merupakan kata-kata yang diintrodusir dari bahasa Arab dalam
bentuk sifat-mausûf, terdiri dari dua kata, yaitu maslahah dan mursalah. Sebelum
diuraikan pengertian maslahah mursalah secara khusus, terlebih dahulu dilihat
pengertian maslahah secara umum.

Dalam pengertian rasionalnya, maslahah berarti sebab, cara atau tujuan yang baik.
Maslahah dapat juga dikatakan sebagai suatu permasalahan atau bagian dari suatu
urusan yang menghasilkan kebaikan atau sesuatu untuk kebaikan Secara etimologis,
maslahah berasal dari kata salaha yang berarti baik 1. Kata itu ditujukan untuk
menunjukkan jika sesuatu atau seseorang menjadi baik, tidak korupsi, benar adil, saleh
dan jujur. Atau secara alternatif untuk menunjukkan keadaan yang mengandung
kebajikan-kebajikan tersebut.
2
. Bentuk jamaknya adalah masâlih dan biasanya kata tersebut dibedakan secara
dikotomis-antagonistik dengan kata mafsadah (jamaknya mafsadât), yang berarti buruk
atau rusak,9 dan terkadang dilawankan dengan kata sayyi`ah (keburukan) 3.

Sementara itu, secara terminologis terdapat beberapa rumusan yang dikemukakan


kalangan intelektual hukum Islam tentang makna maslahah. Walaupun antara satu
dengan yang lainnya diungkapkan dengan redaksi yang berbeda, dari segi substansi
dan esensinya tetap semakna. Pada prinsipnya, maslahah adalah mengambil manfaat
dan menolak kemudaratan atau kemafsadatan, dalam rangka memelihara tujuan
Legislator4.

Selanjutnya dilihat dari substansi dan eksistensi atau wujud kemaslahatan,


intelektual hukum Islam telah mempolarisasi kemaslahatan tersebut menjadi tiga
kategori, yaitu maslahah mu’tabarah, maslahah mulghah dan maslahah mursalah.

1
Louis Ma’lûf, al-Munjid fî al- Lughah wa al- A`lâm, (Bayrût: Dâr al-Masyriq, 1986), h. 432; Bandingkan dengan
Majd al-Dîn Muhammad ibn Ya’qûb al-Fairuz Âbâdî, al-Qâmûs al-Muhît, (Bayrût: Muassasah al-Risâlah, 1996), h.
293; Lihat juga ‘Ibrahîm ‘Uwaeis, dkk, Al-Mu’jam al-Wasît, I (Surabaya: Ankasa, t.t.), h. 520.
2
Muhammad Khalid Mas’ud, Filsafat Hukum Islam dan Perubahan Sosial, Alih Bahasa: Yudian W. Asmin, (Surabaya:
al Ikhlas, 1995), h. 153.
3
Raghîb al-Isfahânî, al-Mufradât fi al-Ghârib al-Qur`ân, (Karachi: Tijârât Kutub, 1961), h. 286.
4
Abû Hâmid Muhammad ibn Muhammad ibn Muhammad al-Ghazâlî, al-Mustasfâ min ‘Ilm al-Usûl, I (Baghdâd:
Musannâ, 1970), h. 286

9
Kata mursalah merupakan participle pasif atau ism al-maf’ûl dari kata arsala yang
kata kerja (fi’l) sulâsi-nya berbentuk rasala. Secara etimologis mursalah berarti
mutlaqah5. yang berarti terlepas atau bebas. Sehingga kata maslahah mursalah dalam
beberapa literatur disebutkan dengan maslahah mutlaqah dan ada juga yang
menyebutnya dengan munâsib mursal, bahkan ada juga yang menyebutnya dengan
istilah istislâh6.

Dengan demikian jika kedua kata tersebut disandingkan dalam bentuk maslahah
mursalah atau al-maslahah al-mursalah, dalam bentuk atau sebagai sifat-mausûf,
maksudnya adalah terlepas atau bebas dari keterangan yang menunjukkan boleh atau
tidak bolehnya dilakukan7

Secara definitif dapat dipahami bahwa maslahah mursalah merupakan sebuah


metode istinbât hukum (legal theory) yang didasarkan kepada kemaslahatan yang tidak
mendapat legalitas khusus dari nash tentang validitasnya atau tidak terdapat juga dalil
yang secara tegas dan jelas menyatakan ketidakvaliditasannya.

Untuk itu Imâm al-Ghazâlî mengklasifikasikan istislâh atau maslahah mursalah


sejajar dengan istihsân di antara metode penalaran yang mempunyai validitas tidak
sama seperti yang dimiliki qiyâs. Sehingga ia menyebutkan metode ini dengan istilah
“usûl al-mafhûmah”, yaitu prinsip-prinsip di mana para intelektual Islam lebih
menyandarkan dirinya pada imajinasi atau kebijaksanaannya ketimbang pada hadis 8.

Kemudian sebagian intelektual Islam mempolarisasi kemaslahatan dalam bentuk ini


menjadi dua yaitu al-maslahah al-gharîbah dan al-maslahah al-mursalah. Al-maslahah
algharîbah yaitu kemaslahatan yang asing atau kemaslahatan yang sama sekali tidak
terdapat dukungan syara’, baik secara rinci maupun secara umum. Namun para
intelektual Islam tidak mampu memberikan contohnya, bahkan al-Syâtibî, sebagaimana
yang dikutip Nasrun Haroen mengatakan kemaslahatan seperti ini tidak ditemukan

5
Louis Ma’lûf, al-Munjid fî al- Lughah wa al- A`lâm, h. 259; Bandingkan dengan Majd al-Dîn Muhammad ibn Ya’qûb
al-Fairuzbâdî, al-Qâmûs al-Muhît, h. 293; Lihat juga Ibrahîm ‘Uwaeis, dkk. Al-Mu’jam al-Wasît, I, h. 344.
6
Ibn al-Qayyim menyebutkan istislâh sebagai hasil deduksi logis terhadap sekumpulan nas, bukan dari nas yang
rinci, seperti yang berlaku pada qiyâs. Lihat Ibn al-Qayyim al-Jauziyyah, I’lâm al-Muwaqqi’în, III, (Bayrût: Dâr al-Fikr,
1977), h. 14.
7
Amir Syarifuddin, Usûl Fiqh II, (Jakarta, PT. Logos Wacana Ilmu, 1999), h. 332.
8
Imâm al-Ghazâlî, al-Mustasfâ min ‘Ilm al-Usûl, II, h. 274

10
dalam praktik, meskipun ada dalam teori. Sedangkan al-maslahah al-mursalah
merupakan kemaslahatan yang tidak didukung dalil syara’ atau nash yang rinci, akan
tetapi didukung oleh sekumpulan makna nash (ayat atau hadis) 9.

Dari beberapa definisi di atas dapat ditarik unsur atau hakikat maslahah mursalah
tersebut yang terdiri atas:

1. Kemaslahatan itu merupakan sesuatu yang baik menurut akal, dengan


pertimbangan dapat mewujudkan kebaikan (kemaslahatan) atau menghindarkan
keburukan (kemudaratan) bagi manusia;
2. Sesuatu yang diprediksikan sebagai yang baik dan yang buruk tersebut sesuai
dengan tujuan umum pelembagaan hukum Islam (maqâsid al-syarî’ah);
3. Yang baik menurut akal dan sejalan dengan intensi legislasi tidak mendapat
legalitas secara eksplisit dari Legislator untuk menolak dan menerimanya 10.

B. Landasan Yuridis Maslahah Mursalah

Landasan Yuridis Maslahah Mursalah Sebagaimana yang telah dipahami bahwa


pelembagaan hukum Islam untuk merealisasikan kemaslahatan manusia, yaitu untuk
meraih kemanfaatan, sekaligus untuk menolak timbulnya kemudaratan, juga untuk
melepaskan diri dari beraneka ragam kesulitan. Namun, kemaslahatan manusia
dipengaruhi oleh ruang dan waktu, karena sesuatu yang dipandang mengandung
maslahah saat ini belum tentu dipandang maslahah pada masa dulu atau masa datang.
Demikian juga sebaliknya, sesuatu yang dianggap maslahah oleh seseorang belum
tentu dianggap maslahah juga oleh orang lain. Sehingga kemaslahatan itu bersifat
relatif sekali dan menuntut terjadinya perubahan, jika manusia, lingkungan dan situasi
(masa) menghendaki terjadinya perubahan, sesuai dengan kaidah;

11

9
Nasrun Haroen, Usûl Fiqh, h.119.
10
Amir Syarifuddin, Usûl Fiqh, h. 334
11
Al-Syaikh Ahmad ibn al-Syaikh Muhammad al-Zarqâ, Syarh al-Qawâ’id al-Fiqhiyyah, (Damaskus: Dâr al-Qalam,
1357 H./1938 M.), h. 227.

11
Untuk itu, jumhur (mayoritas) intelektual Islam berpendapat bahwa maslahah
mursalah dapat dijadikan hujjah dalam melakukan istinbât hukum selama tidak
ditemukan nash (Alquran dan Sunnah) tentang itu, atau ijmak (konsensus) ulama, qiyâs
(analogi) dan istihsân12.

Artinya, jika terjadi suatu peristiwa yang menuntut penyelesaian status


hukumnya, pertama-tama intelektual hukum Islam harus melacak dan
mengidentifikasinya dalam nash (Alquran dan Sunnah), jika ditemukan hukumnya maka
diamalkan sesuai dengan ketentuan nash tersebut, jika tidak maka diidentifikasi apakah
ada ditemukan konsensus ulama tentang hal itu. Selanjutnya, jika konsensus ulama
tidak ditemukan maka digunakan qiyâs, dengan menganalogikannya dengan peristiwa
yang sejenis. Jika qiyâs juga tidak mampu menyelesaikan masalah maka diterapkan
metode istihsân. Akhirnya, jika istihsân tidak bisa menyelesaikannya maka digunakan
maslahah mursalah.

Adapun landasan yuridis untuk menerapkan metode maslahah mursalah ini sebagai
dalil hukum didasarkan pada dalil ‘aqlî (rasio), yaitu;

1. Para sahabat telah menghimpun Alquran dalam satu mushaf. Hal ini dilakukan
karena khawatir Alquran bisa hilang. Sementara perintah dan larangan Nabi
Saw. tentang hal itu tidak ditemukan. Sehingga upaya pengumpulan Alquran
tersebut dilakukan semata-mata demi kemaslahatan. Dengan demikian dalam
tataran praktis para sahabat telah menerapkan maslahah mursalah, meskipun
secara teknis istilah tersebut belum melembaga saat itu 13.
2. Para sahabat menggunakan maslahah mursalah sesuai dengan tujuan syara’
(al-malâ`imah li maqâsid al-syâri’), sehingga harus diamalkan sesuai dengan
tujuannya tersebut. Jika menge sampingkannya berarti telah mengesamping kan
tujuan syara’ dan hal itu jelas termasuk perbuatan batal dan tegas-tegas
dilarang. Oleh karena itu, berpegang pada maslahat adalah kewajiban, karena
maslahat merupakan pegangan pokok yang berdiri sendiri dan tidak keluar dari
pegangan-pegangan pokok lainnya14.
12
Abd al-Wahhâb Khallâf, ‘Ilm Usûl al-Fiqh, h. 85.
13
Muhammad Abû Zahrah, Usûl Fiqh, h. 280.
14
Muhammad Abû Zahrah, Usûl Fiqh, h. 280.

12
3. Tujuan pelembagaan hukum Islam adalah untuk merealisir kemaslahatan.
Sementara kemaslahatan itu sifatnya temporal, akan senantiasa berubah, sesuai
dengan situasi dan kondisi manusia. Jika kemaslahatan tersebut tidak dicermati
secara seksama dan tidak direspon dengan ketetapan yang sesuai—kecuali
hanya terpaku pada dalil yang mengakuinya—niscaya kemaslahatan tersebut
akan hilang dari kehidupan manusia, serta akan statislah pertumbuhan hukum.
Sementara sikap yang tidak memperhatikan perkembangan maslahat tidak
seirama dan sejalan dengan intensi legislasi 15.

Dengan demikian nyatalah, landasan yuridis pemikiran konsep ini adalah realitas
kehidupan sosial, di mana syariat Islam dalam berbagai peraturan dan hukumnya
mengarah kepada terwujudnya kemaslahatan, yaitu apa yang menjadi kepentingan dan
apa yang dibutuhkan manusia dalam ke hidupannya di permukaan bumi ini. Maka
upaya merealisir kemaslahatan dan mencegah kemafsadatan adalah sesuatu yang
sangat urgen dan sangat nyata dibutuhkan dalam setiap segmen kehidupan manusia
dan secara jelas diatur dalam syariat yang diturunkan Allah Swt. kepada semua
rasulnya, sehingga hal ini menjadi sasaran utama hukum Islam 16.

Penempatan kemaslahatan ini sebagai sumber hukum sekunder, menjadikan hukum


Islam luwes dan fleksibel, sehingga dapat diimplementasikan dalam setiap kurun waktu,
di setiap lingkungan sosial komunitasnya. Namun perlu dicatat bahwa ruang lingkup
penerapan hukum maslahah ini terbatas pada bidang mu’amalah 17, sepanjang masalah
itu reasonable maka penelusuran terhadap masalah-masalah mu’amalah menjadi
urgen. Maslahah mursalah tidak dapat diterapkan dan menjangkau bidang-bidang
ibadat, karena lapangan ibadat menjadi hak prerogatif Allah Swt.

C. Syarat-syarat Mashlahah Mursalah

15
Zakî al-Dîn Sya’bân, Usûl al-Fiqh al-Islâmî, (Mishr: Dâr al-Ta’lîf, 1965), h. 176.
16
Ali Yafie, ”Konsep Istihsân, Istislâh, Istishâb dan Maslahât al-‘Âmmah”, dalam Budi Munawar Rahman (ed.),
Kontekstualisasi Doktrin Islam dalam Sejarah, (Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina, 1994), h. 365.
17
Ali Yafie, Konsep Istihsan Istislâh, Istishâb dan Maslahât al-‘Âmmah”, h. 365.

13
Persyaratan Maslahah Mursalah Dalam realitas sosial, kemaslahatan bagi manusia
bersifat relatif dan temporal. Sesuatu yang dipandang maslahah oleh se seorang atau
kelompok tertentu, belum tentu dipandang maslahah juga bagi orang atau kelompok
lainnya. Demikian juga dalam menentukan dan menarik garis batas antara
kemaslahatan hakiki dan yang kamuflase. Seseorang sering terjebak dengan
menganggap itulah kemaslahatan hakiki, padahal itu hanyalah kemaslahatan kamuflase
yang dibungkus dengan tipu daya, sehingga sesuatu yang pada awalnya dilihat
mengandung maslahah, akhirnya malah menimbulkan mudarat. Untuk mengatasi hal
tersebut diperlukan kriteriakriteria tertentu dalam memverifikasinya.

Para intelektual hukum Islam khusus nya yang ber-hujjah dengan maslahah
mursalah telah memberikan kriteria-kriteria tertentu dalam memverifikasi mana yang
dipandang maslahah dan mana yang tidak. Hal ini mereka lakukan dengan penuh
kecermatan dan kehati-hatian, guna menghindarkan pengaruh spekulatif manusia yang
hanya berdasarkan hawa nafsu dan kepentingan egonya dalam nalar dan
pertimbangannya, ketika melakukan verifikasi terhadap kemaslahatan tersebut.
Persyaratan-persyaratan tersebut di antaranya, sebagaimana pandangan Imâm Mâlik
yang direduksi oleh al-Syâtibî, terdiri dari;

1. Kemaslahatan tersebut harus reasonable (ma’qûlât) dan relevan dengan kasus


hukum yang dihadapi.
2. Kemaslahatan tersebut harus menjadi blue print dalam memelihara sesuatu yang
prinsip dalam kehidupan dan menghilangkan kesulitan (masyaqqât) dan
kemudaratan.
3. Kemaslahatan tersebut harus sejalan dengan intensi legislasi dan tidak boleh
bertentangan dengan dalil syara’ yang qat’î.

Sedangkan Imâm al-Ghazâlî18 telah menetapkan argumentasi yang mendasari


statemennya, agar maslahah mursalah atau istislâh dapat menjadi dalil dalam istinbât
hukum harus memenuhi syarat-syarat di bawah ini, yaitu;

1. Kemaslahatan tersebut termasuk dalam tingkatan atau kategori kebutuhan pokok


(darûriyyât). Artinya, untuk menetapkan suatu maslahah tingkatannya harus
18
Imâm al-Ghazâlî, al-Mustasfâ min ‘Ilm al-Usûl, h. 253-9.

14
diperhatikan, apakah akan meng hancurkan atau merusak lima unsur pokok (al-
usûl al-khamsah) tersebut atau tidak.
2. Kemaslahatan tersebut harus bersifat pasti dan tidak boleh disandarkan pada
dugaan (zan) semata-mata. Artinya, harus diyakini bahwa sesuatu itu benarbenar
mengandung kemaslahatan.
3. Kemaslahatan tersebut harus bersifat universal, yaitu kemaslahatan yang berlaku
secara umum dan untuk kepentingan kolektif, sehingga tidak boleh bersifat
individual dan parsial.
4. Kemaslahatan tersebut harus sejalan dengan intensi legislasi hukum Islam.

Dengan redaksi yang berbeda tetapi esensi dan substansi hampir sama ‘Abd
alWahhâb Khallâf19 merangkum syarat-syarat maslahah dapat dijadikan hujjah, yaitu:

1. Kemaslahatan itu harus hakiki dan tidak boleh didasarkan pada prediksi
(wahm)20. Artinya, dalam mengambil kemaslahatan tersebut harus
mempertimbangkan juga kemudaratan yang akan ditimbulkannya. Kalau
mengabaikan kemudaratan yang akan ditimbulkannya, berarti kemaslahatan itu
dibina atas dasar wahm. Misalnya upaya merampas hak talak suami, dengan
melimpahkannya pada hakim dalam setiap kondisi.
2. Kemaslahatan itu harus berlaku secara universal atau untuk semua lapisan dan
bukan untuk orang perorang atau untuk kelompok tertentu saja (parsial). Artinya,
kemaslahatan tersebut untuk kepentingan mayoritas manusia atau untuk
menghindarkan mayoritas umat dari kesulitan dan kemudaratan.
3. Pelembagaan hukum atas dasar kemaslahatan (maslahah mursalah) tidak boleh
bertentangan dengan tata hukum dan dasar-dasar penetapan nas (Alquran dan
Sunnah) dan ijmak21.

19
‘Abd al-Wahhâb Khallâf, Ilm Usûl al-Fiqh, h. 86
20
Wahm merupakan prediksi yang lebih besar kemungkinan salah dan kelirunya, serta jauh dari kebenaran,
sehingga tidak dipakai sebagai pertimbangan hukum. Lihat ‘Alî Ahmad al-Nadwî, al-Qawâ’id al-Fiqhiyyah,
(Damaskus: Dâr al-Qalam, 1994), h. 417.
21
Tentang masalah ini ‘Abd al-Wahhâb Khallâf mendukung fatwa Yahyâ ibn Yahyâ al-Laisî, seorang fuqahâ`
Spanyol, yang menetapkan hukuman kifârât bagi penguasa setempat yang melakukan hubungan suami-istri di
siang hari bulan ramadan dengan puasa dua bulan berturut-turut. Karena kifârât dalam bentuk memerdekakan
budak atau memberi makan fakir miskin jika diterapkan maka tujuan hukum tidak akan tercapai, karena keduanya
tidak menjadi masalah bagi seorang penguasa. Sebaliknya, dengan memberikan hukuman puasa dua bulan
berturut-turut tersebut maka tujuan hukum dapat tercapai.

15
Persyaratan atau kriteria yang diberikan para ulama tersebut di atas
mengindikaskan bahwa para ulama yang menerima dan menerapkan maslahah
mursalah sebagai dalil istinbât hukum (legal theory) dengan sikap yang cukup berhati-
hati dalam mengimplementasikannya dalam tataran praktis. Sikap kehati-hatian ini
diindikasikan dengan memberikan persyaratan dan kriteria yang ketat terhadap
kemaslahatan yang dapat diterima sebagai basis dan landasan teoritisnya.

Meskipun begitu, menerapkan maslahah mursalah sebagai metode penggalian


hukum terhadap pelbagai problematika yang timbul dalam masyarakat dipandang
sebagai sikap yang berani, khususnya dalam menetapkan hukum terhadap suatu kasus
yang pada saat itu tidak ditemukan petunjuk dalil atau nas (Alquran dan Sunnah),
tentang status hukumnya. Meskipun hal itu dikehendaki dan dibutuhkan masyarakat.

D. Pendapat Ulama tentang Mashlahah Mursalah sebagai Dasar Hukum

1. Golongan yang Mendukung

Imam Malik22 berpendapat bahwa mashlahat perlu dihargai selama cukup syarat-
syaratnya, karena dia dapat mewujudkan maksud-maksud syara’; Malik menganggap
mashlahat ini sebagai dalil independen, tidak berdasarkan pada yang lainnya sekalipun
ada dalil syara’ yang mengakui ataupun tidak ada dalil yang mengakui atau
menolaknya.

Problematika kehidupan ini terus terjadi dan berkembang, sementara nash terbatas
jumlahnya. Oleh sebab itu, tentulah syari’at mengizinkan manusia untuk berupaya
mengetahui (melakukan ijtihad) hukum-hukum yang dapat menghasilkan mashlahat
bagi kehidupan manusia.

Qiyas sebagai metode analogi yaitu mengkomparatifkan suatu peristiwa (maqis)


kepada peristiwa yang telah ada ketentuan hukumnya (maqis ‘alaih) yang telah
dinashkan oleh syara’. Menetapkan hukum dengan cara analogi berarti mewujudkan
suatu mashlahat yang telah diakui oleh syara’, tetapi banyak peristiwa-peristiwa baru
muncul yang akan dianalogikan kepada peristiwa-peristiwa masa lalu, ternyata
22
Muhammad ‘Abd al-Gani al-Bajiqani, Al-Madkhal ila Ushul al-Fiqh al-Maliki, Beirut-Libanon : Dar Lubnan Littiba’
wa al-Nasyr, Cet I, 1968, hal. 133

16
hukumnya tidak ada sama sekali dan sulit dicari. Di sinilah letaknya peranan mashlahat
sebagai dasar hukum, dengan syarat mashlahat yang akan ditempuh itu mashlahat
hakiki yang apabila dilaksanakan akan mendatangkan manfaat atau menghilangkan
mafsadat itu sendiri tidak dibatalkan oleh syara’.Demikian pendapat imam Malik.

Golongan Imam Ahmad ibn Hanbal, pendapat mereka tentang mashlalat ini tidaklah
jauh berbeda dari pendirian golongan Maliki, meskipun sebagian mereka menolak
mashlahat sebagai dasar hukum23. Namun bila mengikuti fatwa-fatwa ulama yang
menjadikan mashlahat sebagai dasar hukum. Demikian juga ibn Qayyim, sebagaimana
dikutip oleh Azyumardi Azra mengatakan bahwa pedoman dan prinsip dasar syari’at
adalah kebaikan dan kemashlahatan manusia di dalam kehidupannya di dunia dan di
akhirat; syari’at itu adil seluruhnya dan merupakan hikmat seluruhnya, mashlahat
seluruhnya dan mengandung hikmat seluruhnya, maka setiap mashlahat yang beralih
dari keadilan kepada kezaliman, dari rahmat kepada laknat, dari mashlahat kepada
mafsadat, dari yang mengandung hikmat kepada sia-sia bukanlah termasuk syari’at
meskipun dengan interpretasi bagaimanapun juga 24.

Al-Tufi dan para pengikutnya mendukung penuh sarana mashlahat ini. Mereka
mengatakan bahwa mashlahat (kepentingan umum) itu hendaklah diutamakan dari
keterangan-keterangan syari’at, walaupun syari’at itu berasal dari nash al-Qur’an dan
hadits. Jika mashlahat kontradiksi dengan nash hendaklah diutamakan mashlahat
betapapun kuatnya nash tersebut, karena menurut mereka mashlahat itu merupakan
tujuan yang dimaksud Tuhan, sedangkan dalil itu tidak lebih dari alat untuk mencapai
tujuan itu, maka tujuan itu harus lebih dipentingkan dari alat.

Mustafa Zaid menggambarkan di dalam kitabnya bahwa dia menetapkan nash dan
ijma’ itu keduanya dalil yang kuat, terkadang keduanya sejalan dengan mashlahat dan
terkadang terjadi kontradiksi, jika terjadi kontradiksi antara mashlahat dengan nash
maka harus didahulukan mashlalat atas nash dan ijma’ dengan jalan takhsish dan
bayan.

23
‘Abdullah ibn ‘Abd al-Muhsin al-Turki, Ushul Imam Ahmad ibn Hanbal, Mathba’ah Jami’ah ‘Ain al-Syams, cet I,
1974, hal. 424
24
Azyumardi Azra (ed.), Ensiklopedi Islam, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 2005), hal. 230.

17
Teori mashlalat al-Tufi ini didasarkan pada hadits Nabi yang diriwayatkan oleh Ibn
Majah dan Dar al-Quthni dari Malik ibn Sinan al-Khudri, Rasulullah SAW, telah
bersabda bahwa seseorang tidak boleh berbuat mudharat dan tidak boleh dimudharati
orang lain25.

Hadits tersebut tercantum di dalam kitab “Matan Arba’in al-Nawawiyyah” nomor 32,
dimana hadits ini telah dikomentari oleh al-Tufi secara panjang lebar yang
kesimpulannya bahwa hadits ini khusus menolak mudharat yang berarti harus menjaga
kemashlahatan.

2. Golongan yang menolak mashlahat

Golongan Syafi’I menyerang pendapat golongan Maliki dengan tuduhan bahwa


mereka mengakui mashlahat sebagai dasar hukum yang berarti telah membuka pintu
tasyri’, yaitu membukakan peluang kepada manusia untuk membuat hukum.Padahal
kompetensi tasyri’ ini hanyalah hak Allah dan Rasul-Nya, tindakan seperti ini lantaran
dia sangat mencela orang yang menggunakan istihsan sebagai dasar hukum,
sedangkan istihsan yang tidak ditunjuki oleh syara’, sehingga dia mengatakan, “barang
siapa yang beristihsan berarti dia telah membuat syari’at” 26.

Selanjutnya dia berkata : menetapkan sesuatu dengan berdasarkan istihsan berati


menyatakan bahwasannya Tuhan telah meninggalkan sebagian kemashlahatan
makhluk-Nya. Oleh karenanya Tuhan tidak menetapkan suatu hukum yang dapat
mewujudkan dan memelihara kemashlatan mereka.Hal ini berarti bertentangan dengan
firman Tuhan, “apakah manusia mengira bahwa mereka dibiarkan begitu saja”.

Mereka mengatakan bahwa apabila kita berpegang kepada mashlahat berati


mereka menganggap agama ini masih dalam keadaan kekurangan, hal ini kontradiksi
dengan firman Allah “…Pada hari ini telah Ku sempurnakan untukmu agamamu dan
telah Ku cukupkan nikmat-Ku kepadamu dan telah Ku-ridhai Islam menjadi agama
bagimu..” (QS. 5 : 3). Kemudian, apabila hukum-hukum itu didasarkan kepada

25
Zainuddin al-Hanbali, Jami’ al-‘Ulum wa al-Hukm fi al-Syarh Khamsin Hadisa min Jawami’ al- Kalim, Beirut-
Libanon : Dar al-Fikr, t.t. hal. 365.
26
Al-Ghazali, Al-Mustashfa Min....,hal. 247

18
mashlahat maka akan didapatkan hukum yang berbeda karena perbedaan situasi dan
kondisi suatu daerah tertentu. Demikian bantahan Syafi’i.

3. Golongan moderat

Golongan Imam Hanafi mempunyai pendapat netral (jalan tengah) di antara


pendapat golongan Maliki dan Syafi’i.Mereka memakai metode tersendiri, yaitu
istihsan27. Sarana ini sebenarnya merupakan penerapan secara tidak langsung
terhadap mashlahat, sebagaimana ditegaskan oleh ‘Abd al-Wahhab Khallaf, yaitu :

Mereka menggunakan Istihsan. Salah satu jenis istihsan yang diakui ialah
istihsan berdasarkan pada ‘urf, dharurah dan mashlahat. Hal ini menunjukkan bahwa
mengakui mashlahat sebagai dasar hukum.Tidak mungkin jika mereka mengakui
adanya istihsan kemudian menolak berlakunya mashlahat/ istishlah.

Hanya saja mereka tidak mengakui prinsip-prinsip mashlahat ini secara


terangterangan, kendatipun sebagian fatwa-fatwa mereka membatasi interpretasi nash
berdasarkan mashlahat.

Bertolak dari tiga pendapat golongan tersebut di atas dapat ditegaskan sikap dan
pendirian mereka masing-masing, bahwa sebenarnya semua Imam Mazhab menerima
mashlahat sebagai dasar hukum, hanya karena mereka berbeda faham jika mashlahat
itu dikaitkan dengan nash syara’.

Golongan pertama mengatakan bahwa mashlahat dunia ini tercakup di dalam


mashlahat yang direstui oleh syara’, meskipun ada atau tidak ada dalil yang menyuruh
memperhatikan atau menolaknya.Hal itu dapat dipastikan karena Tuhan sendiri telah
menjanjikan-Nya dan senantiasa mencurahkan rahat kepada hamba-hamba-Nya dan
sekalipun menghilangkan kesulitan-kesulitan mereka. Mereka mengatakan andaikata
hukum Tuhan itu tidak mengandung mashlahat tentulah perbuatan itu termasuk
perbuatan sia-sia, padahal Tuhan terlepas dari perbuatan sia-sia ini (QS. 21 : 16).

Golongan kedua berpendirian bahwa mashlahat yang diterima sebagai dasar


hukum itu hanyalah mashlahat yang didukung oleh suatu dalil.Mashlahat yang diakui
27
Istihsan secara terminologi adalah dalil yang kontradiksi dengan qiyas jali yang didahului oleh praduga sebelum
diadakan penelitian mendalam, tetapi setelah diadakan penelitian pada peristiwa hukum baru

19
oleh dalil tersebut haruslah dipandang sebagai ‘illat atau tujuan hukum.Jadi golongan ini
menyamakan mashlahat dengan qiyas.Akan tetapi ‘illat itu hanya merupakan suatu
hikmat menetapkan hukum.Sebab Tuhan tidak mesti bertanggung jawab tetapi
manusialah yang bertanggung jawab di hadapan Tuhan.

Sedangkan golongan ketiga alur pendiriannya hampir sama dengan golongan


kedua, yaitu tidak mengakui secara teoritis. Namun perlu ditambahkan di sini, ada
pendapat yang mengatakan nash haruslah difahami menurut zhahirnya tidak boleh
dikait-kaitkan dengan mashlahat, apakah mengandung mashlahat atau tidak, tidak
boleh dicari ‘illatnya untuk kemudian dijadikan ‘illat qiyas. Demikian pendapat golongan
zahiri.

Dengan demikian, dapat diketahui bahwa jumhur ulama ushul pada dasarnya
setuju dengan pemakaian mashlahat dalam praktek meskipun secara teoritis masih
terdapat perbedaan.

E. Dasar Penggunaan Mashlahah Mursalah

Jumhur ulama ushul sepakat bahwa sumber dari hukum Islam yang telah disepakati
ada empat macam : dua macam yang asli yaitu al-Qur’an dan sunnah dan dua macam
lagi yaitu ijma’ dan qiyas. Selain yang empat macam tersebut, merupakan dasar hukum
Islam yang masih diperselisihkan eksistensinya termasuk di dalamnya adalah
mashlahat.

Ulama ushul yang berpegang kepada mashlahat sepakat pula bahwa kemashlahatan
yang mempunyai nilai untuk diperhatikan adalah kemashlahatan murni (hakiki) yang
berhubungan dengan kepentingan umum.Kemashlahatan yang semata-mata
didasarkan kepada keinginan individu, kelompok atau bersifat nisbi, dilarang sama
sekali, karena konklusi yang akan diambil kontradiksi dengan syara’. Di dalam praktek
sering terjadi perbedaan pendapat di antara ulama, dalam menentukan mashlahat
paling baik dan dalam menentukan apakah konklusi yang diambil berdasarkan
mashalahat itu kontradiksi atau tidak dengan nash. Oleh karena demikian, imam Malik
menentukan syarat-syarat dalam menggunakan mashlahat sebagai berikut :

20
1. Harus sejalan antara mashlahat dengan maksud-maksud syara’, mashlahat tidak
boleh kontradiksi dengan pokok-pokok ajaran Islam (dharuriyaH) dan tidak
kontradiksi dengan salah satu dalil qath’i
2. Mashlahat itu harus rasional, dalam arti apabila dikemukakan kepada ahlinya
mereka menerimanya.
3. Mengambil mashlahat tersebut bisa menghilangkan kesulitan 28.

F. Relevansi Mashlahah Mursalah dalam Perkembangan Kehidupan Islam


Modern

Di Zaman iptek modern dewasa ini, tampak bahwa kemashlahatan manusia terus
berkembang dan bertambah sejalan dengan kebutuhannya.Kemashlahatan manusia ini
tidak terbatas macamnya dan tidak terhingga jumlahnya.Ia senantiasa bertambah dan
berkembang mengikuti situasi dan ekologi masyarakat. Di samping itu, perbedaan
milieu dan alam sekitarnya mempunyai pengaruh yang sangat besar terhadap hukum-
hukum syari’at. Suatu kaidah mengatakan “Fatwa hukum itu berubah karena perubahan
waktu, tempat, keadaan tradisi dan niat29. Suatu contoh praktis untuk membuktikan
pengaruh milieu terhadap hukum-hukum syari’ah ini seperti yang dilakukan Imam Syafi’i
ketika ia berada di Iraq dan di Mesir30.

Dalam hal ini, setelah penulis mengkomperatifkan pendapat semua golongan, yang pro
dan yang kontra terhadap mashlahat ini, maka nyatalah berpegang kepada mashlahat
dan menjadikannya sebagai dasar hukum adalah merupakan suatu keharusan.Inilah
yang relevan dengan keuniversalan dan fleksibiliti syari’at Islam yang senantiasa
dinamis.Dinamika hukum-hukum itu berlaku sesuai dengan situasi dan kondisi
setempat, dan jalan inilah yang telah banyak ditempuh oleh para sahabat dan fuqaha’.

28
Muhammad Abu Zahrah, Malik.... ,hal. 402.
29
Azyumardi Azra (ed.), Ensiklopedi ...., hal. 230.
30
Banyak pendapat-pendapat Imam Syafi’i dalam bidang fiqih yang berubah, sehingga dia mempunyai qaul qadim
dan qaul jadid.Qaul jadid berbeda dengan qaul qadim yang telah disusun dan dipraktekkannya sewaktu masih
tinggal di Bagdad.

21
Menolak mashlahat uang sebagai alat tukar berarti membekukan syari’at, karena
berbagai mashlahat yang tumbuh dan berkembang di dalam masyarakat tidaklah
mudah didasarkan kepada suatu dalil tertentu (selain mashlahat). Lagi pula berpegang
kepada mashlahat tidaklah kontradiksi dengan kesatuan dan kesempurnaan
syari’at.Bahkan dialah yang membuktikan kesempurnaan syari’at itu dan
kemampuannya untuk memenuhi kebutuhan masyarakat yang berbeda adat tradisi,
tempat, situasi dan kondisinya; disamping terus menerus menghadapi problematika
yang baru muncul.

Mengenai kekhawatiran terhadap orang-orang yang menyalahgunakan dasar hukum


(mashlahat) ini, tidaklah bisa dijadikan argumentasi untuk menimbun sumber syari’at
yang kaya raya ini.Ulama salaf secara kontinue menggunakan dasar
mashlahat.Sesungguhnya menyandarkan penolakan mashlahat kepada golongan
Hanafi dan Syafi’I tidaklah tepat, sebab banyak sekali dalam praktek fatwa-fatwa
mereka yang di’illatkan dengan mashlahat, bukan dengan qiyas.Tidak ada yang
menolak bahwa imam Hanafi mendasarkan fatwanya kepada istihsan. Demikian juga
Imam Syafi’I tidak ada yang menyangkal bahwa setelah pindah ke Mesir, banyak
menggunakan dasar ‘urf masyarakat Mesir dan meninggalkan ‘urf masyarakat Bagdad.
Padahal menjaga ‘urf itu sesungguhnya menjaga mashlahat.

Imam Haramain mengatakan bahwa Imam Syafi’i terkadang menggunakan mashlahat


dengan syarat bahwa mashlahat itu harus serupa dengan kepentingan yang diakui oleh
syari’at31.

Di atas telah penulis singgung bahwa kemashlahatan manusia tidak terbatas jumlah
dan macamnya, ia terus berkembang sejalan dengan perkembangan situasi dan kondisi
masyarakat, dan ini merupakan suatu tantangan yang harus mendapat perhatian dan
jawaban yang cepat dan tepat. Seandainya kemashlahatan yang senantiasa tumbuh
dan berkembang itu tidak diperhatikan, sementara yang diperhatikan terbatas pada
kemashlahatan yang ada nashnya saja, niscaya banyaklah kemashlahatan manusia
akan mengalami kekosongan hukum. Ini berarti bahwa tujuan syari’at untuk
mewujudkan kemashlahatan ummat tidak terpenuhi.

31
Muhammad Abu Zahrah, Malik...., hal. 403

22
Apabila telah terjadi hal yang demikian itu, maka dapatlah diyakini secara pasti bahwa
ijtihad segala corak realisasinya haruslah diterima, sehingga bagi setiap peristiwa mesti
ada jalan keluar (upaya melakukan ijtihad). Dengan demikian, mashlahat itu sangat
diperlukan di dalam kehidupan masyarakat modern yang serba canggih dewasa ini,
karena apabila kita berpegang kepada dalil yang sudah disepakati saja, maka aturan
permainan di dalam agama akan mengalami kekakuan, kebekuan dan tidak lincah,
bahkan mengalami stagnansi yang berkepanjangan sepanjang masa.

Tentang perlunya mashlahat dalam konteks kehidupan manusia abad modern ini,
sebagai dasar hukum, karena mashlahat sangat relevan dengan cara berfikir di zaman
pembangunan dewasa ini. Kiranya tidak berlebihan jika mashlahat dijadikan sebagai
sumber tasyri’. Kemudian dijadikan pegangan oleh para pakar hukum untuk menggali
dan mempopulerkan hukum Islam yang berdasarkan mashlahat dalam rangka
menegakkan kebenaran dan keadilan dalam Islam.

23
BAB III

PENUTUP
A. KESIMPULAN

1. Dengan memperhatikan proses pembentukan dan perkembangannya, jelas bahwa


hukum fiqih sebenarnya tidak lain dari rumusan pemahaman hasil ijtihad para ulama
terhadap teks syari’at berbentuk hukum atau ketentuan yang bertujuan untuk
kemashlahatan hidup manusia di dunia dan di akhirat.
2. Mashalah mursalah merupakan sesuatu yang dapat membawa atau mendatangkan
manfaat yang dibutuhkan dalam kehidupan manusia secara umum, termasuk di
dalamnya sesuatu yang dapat menghalangi atau melenyapkan mudharat; sedang
teks syari’at tidak ada yang khusus dan tegas membenarkan atau membatalkannya.
3. Meskipun para ulama berbeda pendapat tentang pengertian ishtislah dan
penggunaan mashalih mursalah sebagai dalil syari’at, namun kenyataannya mereka
tidak berbeda dalam menjadikan mashlahat sebagai pertimbangan memahami teks
syari’at dan berbagai peristiwa atau kasus yang mereka jumpai dalam kehidupan
sehari-hari; bahkan telah digunakan semenjak zaman sahabat Nabi sebagai
pertimbangan ijtihad, meskipun dengan istilah lain yang isinya sama dengan
mashalih mursalah.
4. Mashalih mursalah termasuk dalam ruang lingkup mashlahat yang dibenarkan
syari’at untuk digunakan sebagai pertimbangan ijtihad memahami dan merumuskan
kembali hukum fiqih yang serasi dan relevan dengan kebutuhan hidup masa kini,

24
asal saja mashlahat itu berisi usaha mencapai maqasih al-syari’at (memelihara
agama, jiwa, akal, keturunan dan harta).
5. Mashalih mursalah merupakan suatu pertimbangan ijtihad yang serasi dengan
kebutuhan hidup manusia masa kini, sesuai dengan maqashid al-syari’at sekaligus
dapat memperkokoh kebenaran dan keuniversalan syari’at Islam, meskipun teks
syari’at sendiri tidak menyebutnya secara khusus.

DAFTAR PUSTAKA

Abd al-Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, Kairo: Dar Kuwaitiyah, 1968
Ahmad Munir Suratmaputra, Filsafat Hukum Islam Al-Ghazali; Mashlahah Mursalah dan
Relevansinya dengan Pembaharuan Hukum Islam, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2002.
Al-Ghazali, Al-Mustashfa min ‘Ilm al-Ushul, Juz I, Beirut-Libanon : Muassasah al-
Risalah, 1997.
Hasballâh, ‘Alî, Usûl al-Tasyrî’ al-Islâm, Kairo: Dâr al-Ma’ârif, 1964.
M. Abu al-Nur Zahir, Ushul Fiqh, Juz III, Mesir : Mathba’at Dar al-Ta’lif, 1950.

25

Anda mungkin juga menyukai