Anda di halaman 1dari 32

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Depresi merupakan salah satu bentuk gangguan pada alam perasaan (mood)
yang ditandai dengan afek depresif, kehilangan minat, berkurangnya energi yang
menuju meningkatnya keadaan mudah lelah, lesu, ketiadaan gairah hidup,
perasaan tidak berguna, putus asa, dan disertai komponen somatik berupa
konstipasi, anoreksia, kulit lembab, hipotensi dan penurunan nadi.1
Ada beberapa bukti bahwa kejadian depresi mungkin telah meningkat pada
kelompok yang lebih muda. studi lanjutan jangka panjang di Swedia (Studi
Lundby) ditemukan peningkatan tingkat insiden yang mencolok di tahun 1960an
dan 1970-an, dan peningkatan sepuluh kali lipat dalam kejadian untuk pria berusia
20-39 tahun, untuk periode tahun 1957-1972 dibandingkan sampai 1947-1957,
meskipun hal ini mungkin disebabkan oleh terbatas jumlah data sebelumnya pada
tahun 1960an. Meski telah ada beberapa studi yang menunjukkan baru-baru ini
peningkatan kejadian dan prevalensi depresi, hal ini ini tetap cukup kontroversial
karena masalah metodologis dalam pengumpulan data.2
Dewasa ini depresi merupakan salah satu masalah kesehatan jiwa yang utama.
Masalah ini sangat penting karena seseorang dengan depresi akan mengalami
penurunan produktivitas. Hal ini berdampak buruk bagi penderita sendiri,
masyarakat sekitarnya bahkan memiliki dampak buruk bagi negaranya.4

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Gangguan depresif merupakan suatu masa terganggunya fungsi manusia
yang berkaitan dengan alam perasaan yang sedih dengan gejala penyerta
termasuk perubahan pola tidur, nafsu makan, psikomotor, konsentrasi,
anhedonia, kelelahan, rasa putus asa, tak berdaya dan gagasan bunuh diri.1
Depresi adalah penyakit yang menyerang "keseluruhan hidup seseorang",
meliputi seluruh tubuh, suasana perasaan dan pikiran. ia juga mempengaruhi
pola makan dan tidur. Gangguan ini tidak sama dengan seorang yang dalam
keadaan kelelahan atau malas. Seorang yang mengalami gangguan depresi
tidak dapat "menguasai diri" dan keadaaannya untuk dapat kembali pada
keadaannya seperti semula. Tanpa penanganan yang baik maka gejala-gejala
tersebut mengakibatkan terganggunya fungsi sosial, pekerjaan atau fungsi
penting lainnya dari seseorang dan gejala tersebut berlangsungnya jadi lebih
lama.1
Penatalaksanaan yang sesuai dapat menolong seseorang yang mengalami
depresi untuk cepat kembali seperti semula lebih baik. Definisi gangguan
depresi adalah gangguan mental yang dikarakteristikan dengan rasa sedih
yang dalam dan berkepanjangan. Penderita hilang minat (interest) pada
sesuatu yang sebelumnya menyenangkan baginya. Biasanya disertai dengan
perubahanperubahan lain pada dirinya misalnya berkurangnya energi, mudah
lelah dan berkurangnya aktivitas, konsentrasi dan perhatian yang berkurang,
harga diri dan kepercayaan diri yang berkurang, rasa bersalah dan tidak
berguna, pandangan masa depan yang suram dan pesimistis, gagasan atau
perbuatan membahayakan diri atau bunuh diri, tidur terganggu, dan nafsu
makan berkurang.2
2.2 Epidemiologi
a. Insidensi dan prevalensi
Gangguan depresi berat adalah gangguan yang lazim ditemukan dengan
prevalensi seumur hidup sekitar 15%, pada perempuan mungkin 25%.
Insidensi gangguan depresi berat 10% pada pasien yang berobat di fasilitas
kesehatan primer dan 15% di tempat rawat inap. 3
b. Seks
Dari suatu observasi yang hampir universal, tanpa melihat negara atau
kebudayaan, prevalensi gangguan depresif berat dua kali lebih besar pada
perempuan daripada laki-laki. Alasan perbedaan ini yang telah dihipotesiskan
antara lain perbedaan hormonal, pengaruh kelahiran anak, sterssoor
psikososial yang berbeda antara laki-laki dan perempuan, serta model
perilaku ketergantungan yang dipelajari. 3
c. Usia
Beberapa data epidemiologi baru-baru ini menyatakan bahwa insidensi
gangguan depresi berat mungkin meningkat pada orang-orang yang berusia
kurang dari 20 tahun. Jika pengamatan tersebut benar, mungkin berhubungan
dengan meningkatnya penggunaan alkohol dan zat-zat lain pada kelompok
usia tersebut. 3
d. Status pernikahan
Gangguan depresif berat paling sering terjadi pada orang tanpa hubungan
antarpersonal yang dekat atau pada orang yang mengalami perceraian atau
perpisahan. 3
2.3 Etiologi
a. Faktor biologis
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa terdapat kelainan pada
amin biogenik, seperti 5 HIAA (5-Hidroksi indol asetic acid), HVA
(Homovanilic acid), MPGH (5 methoxy-0-hydroksi phenil glikol), di
dalam darah, urin, dan cairan serebrospinal pada pasien gangguan mood.
Neurotransmiter yang terkait dengan patologi depresi adalah serotonin
dan Norepinefrin. Adanya downregulation reseptor β-adrenergik dan
respon antidepresan klinis mungkin adalah salah satu potongan yang
paling menakjubkan yang menunjukkan peranan langsung terhadap
noradrenergik pada depresi. Kekurangan serotonin dapat mencetuskan
depresi dan beberapa pasien dengan impuls bunuh diri memiliki
konsentrasi metabolit serotonin yang rendah didalam cairan serebrospinal
serta konsentrasi uptake serotonin yang rendah pada trombosit. Walaupun
norepinefrin dan serotonin adalah amin biogenik yang paling sering
dikaitkan dengan patofisiologi depresi, dopamin juga pernah
diteorikanmemiliki peran. Data yang mendukung bahwa aktifitas dopamin
berkurang pada depresi dan meningkat pada mania.3
Adanya disregulasi neuroendokrin. Hipotalamus merupakan pusat
pengaturan aksis neuroendokrin, menerima input neuron yang
mengandung neurotransmiter amin biogenik. Pada pasien depresi
ditemukan adanya disregulasi neuroendokrin. Disregulasi ini terjadi
akibat kelainan fungsi neuron yang mengandung amin biogenik.
Sebaliknya, stres kronik yang mengaktivasi aksis Hypothalamic-
Pituitary-Adrenal (HPA) dapat menimbulkan perubahan pada amin 4
biogenik sentral. Aksis neuroendokrin yang paling sering terganggu yaitu
adrenal, tiroid, dan aksis hormon pertumbuhan. 3
Hipersekresi Cortisol Releasing Hormone (CRH) merupakan
gangguan aksis HPA yang sangat fundamental pada pasien depresi.
Hipersekresi yang terjadi diduga akibat adanya defek pada sistem umpan
balik kortisol di sistem limbik atau adanya kelainan pada sistem
monoaminogenik dan neuromodulator yang mengatur CRH. Sekresi CRH
dipengaruhi oleh emosi. Emosi seperti perasaan takut dan marah
berhubungan dengan Paraventriculer nucleus (PVN), yang merupakan
organ utama pada sistem endokrin dan fungsinya diatur oleh sistem
limbik. Emosi mempengaruhi CRH di PVN, yang menyebabkan
peningkatan sekresi CRH.5
Keluhan tidur (insomnia, hipersomnia) telah lama diketahui
sebagai salah satu gejala utama gangguan depresi. Polisomnografi telah
banyak digunakan dalam studi biologis untuk mengetahui disregulasi
tidur pada pasien dengan gangguan depresi mayor. Beberapa ilmuwan
beranggapan bahwa depresi dapat mencetuskan gangguan pola tidur,
tetapi tidak menutup kemungkinan untuk hal yang sebaliknya.6
Sistem sirkadian manusia dikontrol oleh pacemaker biologis yang
berlokasi pada nukleus suprakiasmatik di hipotalamus. Jam biologis ini
diregulasi oleh zeitgeber eksternal, termasuk siklus gelap/terang, paparan
sinar terang dari lingkungan, maupun kegiatan sosial. Banyak ritme
sirkadian, seperti kortisol, melatonin, dan thyroid stimulating
hormone (TSH) terganggu pada depresi. 6
Gangguan afektif musiman adalah bentuk penyakit depresi yang
biasanya muncul selama musim gugur dan musim dingin. Depresi
tersebut akan berakhir setelah musim semi dan musim panas. Studi
menunjukkan bahwa gangguan afektif musiman juga dimediasi oleh
perubahan kadar serotonin dalam sistem saraf pusat. Hal ini juga
dipengaruhi oleh ritme sirkadian dan paparan sinar matahari. 6

b. Faktor genetik
Data genetik dengan kuat menunjukkan bahwa faktor genetik yang
signifikan terlibat dalam timbulnya gangguan mood tetapi pola
pewarisannya melalui mekanisme yang kompleks. Komponen genetik
memainkan peranan yang lebih bermakna di dalam menurunkan
gangguan bipolar daripada gangguan depresi berat.3

c. Faktor psikososial
Terdapat pengamatan bahwa peristiwa hidup yang penuh tekanan
lebih sering timbul mendahului episode gangguan mood yang mengikuti.
Sebuah teori menerangkan bahwa stres yang menyertai episode pertama
mengakibatkan perubahan yang bertahan lama didalam biologi otak.
Perubahan yang bertahan lama ini dapat menghasilkan perubahan keadaan
fungsional dari beberapa neurotransmiter dan sistem pemberian sinyak
intraneuron, perubahan yang bahkan mencakup hilangnya neuron dan
berkurangnya kontak sinaps yang berlebihan. Akibatnya, seseorang
memiliki resiko tinggi mengalami episode gangguan mood berikutnya,
bahkan tanpa streso eksternal. Peristiwa hidup memegang peran utama
dalam depresi.3
Tidak ada satupun ciri bawaan atau jenis kepribadian yang secara
khas merupakan predisposisi seseorang mengalami depresi. Setiap orang
dengan pola kepribadian apapun dapan mengalami depresi dibawah
situasi yang sesuai.3
Pemahaman psikodinamik depresi yang dijelaskan oleh Sigmund
Freud dikenal sebagai pandangan klasik mengenai depresi. Teori ini
meliputi 4 poin penting : (1) gangguan hubungan ibu dan bayi selama
dase oral (10-18 bulan pertama kehidupan) mejadi predisposisi
kerentanan selanjutnya terhadap depresi; (2) depresi dapat dikaitkan
dnegan kehilangan objek yang nyata atau khayalan; (3) introyeksi objek
yang meninggal adalah mekanisme pertahanan yang dilakukan untuk
menghadapi penderitaan akibat kehilangan objek; (4) kehilamngan objek
dianggap sebagai campuran cinta dan benci sehingga rasa marah
diarahkan kedalam dirinya sendiri.

2.4 Gambaran Klinis Depresi


Seserorang dengan gangguan depresi memiliki gejala utama (pada derajat
ringan, sedang, berat) adalah afek depresi, kehilangan minat dan kegembiraan
serta berkurangnya energi yang menuju meningkatnya keadaan mudah lelah
(rasa lelah yang nyata sesudah kerja sedikit saja) dan menurunnya aktifitas.7
Gejala lain yang sering muncul antara lain:7
a) Konsentrasi dan perhatian berkurang.
b) Harga diri dan kepercayaan berkurang.
c) Gagasan tentang perasaan bersalah dan tidak berguna.
d) Pandangan masa depan yang suram dan pesimistis.
e) Gagasan atau perbuatan yang membahayakan diri atau bunuh diri.
f) Tidur terganggu
g) Nafsu makan berkurang.
Untuk episode depresi dari ketiga tingkat keparahan tersebut diperlukan
masa sekurang-kurangnya 2 minggu untuk penegakan diagnosis, akan tetapi
periode lebih pendek dapat dibenarkan jika gejala luar biasa berarnya dan
berlangsung cepat.7
Gejala - gejala depresi juga dapat meliputi:8
a) Gangguan tidur atau insomnia.
b) Keluhan somatik berupa nyeri kepala, dizzi (pusing), rasa nyeri,
pandangan kabur, gangguan saluran cerna, gangguan nafsu makan
(meningkat atau menurun), konstipasi, dan perubahan berat badan
(menurun atau bertambah).
c) Gangguan psikomotor berupa aktivitas tubuh meningkat (agitasi atau
hiperaktivitas) atau menurun, aktivitas mental meningkat atau menurun,
tidak mengacuhkan kejadian di sekitarnya, fungsi seksual berubah
(mencakup libido menurun), variasi diurnal dari suasana hati. Gejala
biasanya lebih buruk di pagi hari.
d) Gangguan psikologis berupa suasana hati (disforik, rasa tidak bahagia,
letupan menangis), kognisi yang negatif, gampang tersinggung, marah,
frustasi, toleransi rendah, emosi meledak, menarik diri dari kegiatan sosial,
kehilangan kenikmatan dan perhatian terhadap kegiatan yang biasa
dilakukan, banyak memikirkan kematian dan bunuh diri, perasaan negatif
terhadap diri sendiri, persahabatan, serta hubungan sosial.
2.5 Diagnosis
Kriteria DSM-IV-TR Diagnosis Gangguan Depresi Berat:3
A. Adanya 5 atau lebih gejala-gejala berikut yang telah berlangsung dalam 2
minggu yang sama dan mewakili perubahan dari fungsi sebelumnya.
Sekurangnya satu dari gejala dimana salah satunya adalah mood depresif
atau kehilangan minat atau rasa senang. Catatan : jangan memasukan
gejala-gejala yang jelas karena kondisi medis umum atau waham dan atau
halusinasi tidak serasi mood.
1) Mood depresi berlangsung sepanjang hari pada hampir setiap hari
sebagaimana dikeluhkan secara subjektif (merasa sedih atau hampa) atau
pengamatan yang dilakukan orang lain (misalnya terlihat sedih).
Catatan: pada anak dan remaja dapat berupa mood yang mudah
tersinggung.
2) Kehilangan minat atau kesenangan yang nyata pada semua atau hampir
semua aktifitas sepanjang hari hampir setiap hari (seperti yang
ditunjukkan oleh keterangan subjektif atau pengamatan yang dilakukan
orang lain).
3) Penurunan berat badan yang bermakna tanpa diet atau peningkatan berat
badan ( perubahan berat badan lebih dari 5% dalam satu bulan) atau
peningkatan atau penurunan nafsu makan hampir setiap hari.
Catatan: pada anak terjadi kegagalan mencapai berat badan yang
diharapkan.
4) Insomnia atau hipersomnia pada hampir setiap harinya.
5) Agitasi atau retardasi psikomotor pada hampir tiap hari (dapat dilihat oleh
orang lain, tidak semata-mata perasaan subjektif adanya kegelisahan atau
menjadi lamban).
6) Kelelahan atau kehilangan tenaga pada hampir setiap harinya.
7) Perasaan tidak berharga atau rasa bersalah berlebihan atau tidak tepat
(mungkin bersifat waham) pada hampir setiap harinya (tidak semata-mata
mencela diri sendiri atau menyalahkan karena sakit).
8) Kehilangan kemampuan berpikir atau memusatkan perhatian atau
membuat keputusan pada hampir setiap harinya (baik oleh keterangan
subjektif atau menurut pengamatan orang lain).
9) Pikiran yang berulang tentang kematian ( bukan hanya perasaan takut
mati), bunuh diri tanpa perencanaan atau usaha bunuh diri atau adanya
rencana spesifik mengakhiri hidup.
B. Gejala-gejala tidak memenuhi kriteria untuk episode campuran.
C. Gejala-gejala menyebabkab penderitaaan yang bermakna klinis atau
hambatan sosial,pekerjaan atau fungsi penting kehidupan lainnya.
D. Gejala-gejala bukan karena efek fisiologis langsung dari zat
(medikasi,penyalahgunaan obat) atau kondisi medis umum (misalnya
hipotiroid).
E. Gejala tidak lebih baik diterangkan oleh dukacita (misalnya kematian
seseorang yg dicintai), atau menetap lebih dari 2 bulan, atau ditandai oleh
gangguan fungsional yang jelas, preokupasi morbid dengan rasa tidak
berharga,ide bunuh diri, gejala psikotik atau retardasi psikomotor.3

Kriteria DSM-IV-TR Untuk Penentu Keparahan/Psikotik/Remisi Untuk


Episode Depresi Berat Kini :3
Ringan : gejala sedikit, jika ada, lebih banyak daripada gejala yang
diperlukan untuk menegakkan diagnosis, dan gejala hanya menimbulkan
hendaya ringan fungsi pekerjaan atau pada aktivitas sosial yang biasa
dihubungkan dengan orang lain.
Sedang : gejala atau hendaya fungsional di antara ringan dan berat
Berat tanpa ciri psikotik: sejumlah gejala lebih banyak dari gejala dari
gejala yang diperlukan untuk menegakkan diagnosis, dan gejala secara nyata
menganggu fungsi pekerjaan atau menganggu aktivitas sosial yang biasa atau
hubungan dengan orang lain.
Berat dengan ciri psikotik : waham atau halusinasi jika mungkin, tentukan
apakah ciri psikotik kongruen mood atau tidak kongruen mood:
Ciri psikotik kongruen mood : waham atau halusinasi yang seluruh
isinya konsisten dengan tema depresi yang khas yaitu ketidakmampuan
pribadi, rasa bersalah, penyakit, kematian, nihilisme, atau hukuman yang
pantas.
Ciri psiko tidak kongruen mood : waham atau halusinasi yang isinya
tidak meliputi tema depresi yang khas yaitu ketidakmampuan pribadi, rasa
bersalah, penyakit, kematian, nihilism, atau hukuman yang pantas. Waham
yang termasuk adalah gejala seperti waham kejar (tidak terkait dengan
tema depresi), insersi pikiran, siar pikiran, dan waham kendali.
Dalam remisi parsial : gejala depresi berat ada tetapi kriteria tidak terpenuhi
secara lengkap atau terdapat periode tanpa gejala episode depresi berat yang
bermakna dan bertahan kurang dari 2 bulan setelah akhir episode depresi
berat ( jika gangguan depresi berat tumpang tindih dengan gangguan distimik,
hanya ditegakkan diagnosis gangguan distimik jika semua kriteria episode
depresi berat tidak lagi terpenuhi)
Dalam remisi penuh: selama 2 bulan terakhir, tidak ada tanda atau gejala
gangguan.
Tidak tergolongkan

Kriteria Riset DSM – IV-TR Gangguan Depresi Ringan


A. Gangguan Mood, didefinisikan sebagai berikut :3
1) Sedikitnya dua (tetapi kurang dari lima) gejala berikut ini telah ada
selama periode waktu 2 minggu yang sama dan menunjukkan
perubahan dari fungsi sebelumnya:
a. Mood depresi hampir sepanjang hari, hampir setiap hari yang
ditunjukkan baik melalui laporan subjektif (contoh: rasa sedih atau
kosong) atau pengamatan yang dilakukan orang lain (contoh:
tampak berlinang air mata). Catatan : pada anak dan remaja dapat
merupakan mood iritable
b. Berkurangnya minat atau kesenangan yang jelas di semua atau
hampir semua aktivitas hampir sepanjang hari dan hampir setiap
hari
c. Berat badan menurut signifikan tanpa diet atau peningkatan berat
badan ( perubahan berat badan lebih dari 5% dalam satu bulan)
atau peningkatan atau penurunan nafsu makan hampir setiap hari.
Catatan: pada anak terjadi kegagalan mencapai berat badan yang
diharapkan.
d. insomnia atau hipersonia hampir setiap hari.
e. Agitasi atau retardasi psikomotor pada hampir tiap hari (dapat
dilihat oleh orang lain, tidak semata-mata perasaan subjektif
adanya kegelisahan atau menjadi lamban).
f. Kelelahan atau kehilangan tenaga pada hampir setiap harinya.
g. Perasaan tidak berharga atau rasa bersalah berlebihan atau tidak
tepat (mungkin bersifat waham) pada hampir setiap harinya (tidak
semata-mata mencela diri sendiri atau menyalahkan karena sakit).
h. Kehilangan kemampuan berpikir atau memusatkan perhatian atau
membuat keputusan pada hampir setiap harinya (baik oleh
keterangan subjektif atau menurut pengamatan orang lain).
i. Pikiran yang berulang tentang kematian ( bukan hanya perasaan
takut mati), bunuh diri tanpa perencanaan atau usaha bunuh diri
atau adanya rencana spesifik mengakhiri hidup.
2) Gejala menyebabkan penderitaan yang secara klinis bermakna atau
hendaya fungsi sosial, pekerjaan atau area fungsi lain
3) Gejala tidak disebabkan pengaruh fisiologis langsung zat
4) Gejala sebaiknya tidak dimasukkan ke dalam berkabung.
B. Tidak pernah terdapat episode depresi berat dan kriteria tidak terpenuhi
untuk gangguan distimik
C. Tidak pernah ada episode manik, episode campuran atau episode
hipomanik dan kriteria tidak memenuhi gangguan siklotimik,
D. Gangguan mood tidak hanya terjadi selama gangguan skizofrenia,
gangguan skizofreniform, gangguan skizoafektif , gangguan waham, atau
gangguan psikotik yang tidak tergolongkan.

Skala penilaian objektif Depresi :


Skala penilaian objektif depresi dapat berguna dalam praktik klinis untuk
pencatatan keadaan klinis pasien depresi.
1) Zung: skala penilaian depresi zung adalah skala pelaporan 20 hal.
Nilai normal adalah 34 kebawah; keadaan depresi adalah 50 keatas.
Nilai ini memberikan indeks keseluruhan intensitas gejala pasien
depresif, termasuk ekspreksi afek deprei
2) Raskin: Skala penilaian depresi Raskin adalah skala penilaian klinis
yang mengukur keparahan depresi pasien, seperti yang dilaporkan
pasien dan diamati pemeriksa, dengan skala 5 poin mencakup tiga
dimensi : laporan verbal, perilaku yang terlihat, dan gejala yang
menyertai. Skala ini memiliki kisaran 3 hingga 13: nilai normal
adalah 3 dan nilai depresi adalah 7 keatas
3) Hamilton: Skala ini merupakan skala depresi yang digunakan secara
luas dengan 24 hal, yang masing-masing bernilai 0 hingga 4 atau 0
hinnga 2, dengan total nilai 0 hingga 76. Klinisi mengevaluasi
jawaban pasien terhadap pertanyaan mengenai rasa bersalah, pikiran
bunuh diri, kebiasaan tidur dan gejala depresi lainnya. Angka
didapatkan melalui penilaian klinis.
2.6 Penatalaksanaan
Tujuan terapi depresi adalah untuk mengurangi gejala depresi akut,
meminimalkan efek samping, memastikan kepatuhan pengobatan, membantu
pengembalian ketingkat fungsi sebelum depresi, dan mencegah episode lebih
lanjut.9

Terapi pasien gangguan mood harus ditujukan pada beberapa tujuan. Pertama,
keamanan pasien harus terjamin, kedua, evaluasi diagnostik lengkap pada pasien.
Ketiga rencana terapi yang ditujukan tidak hanya pada gejala saat itu, tetapi
kesejahteraan pasien dimasa mendatang juga harus dimulai. Walaupun saat ini
terapi menekankan pada farmakoterapi dan psikoterapi ditujukan pada pasien
secara individual, peristiwa hidup yang penuh tekanan juga dikaitkan dengan
meningkatnya angka kekambuhan pada pasien dengan gangguan mood. Dengan
demikian, terapi harus menurunkan jumlah dan keparahan stressor di dalam
kehidupan pasien.3
a. TERAPI PSIKOSOSIAL
1. Terapi kognitif
Terapi ini difokuskan pada distorsi kognitif yang diperkirakan ada pada
gangguan depresi berat. Distorsi tersebut mencakup perhatian selektif
terhadap aspek negatif keadaan dan kesimpulan patologis yang tidak
realistis mengenai konsekuensinya, contohnya apati dan kurang tenaga
adalah akibat pengharapan pasien mengenai kegagalan di semua area..
Tujuan terapi kognitif adalah meringankan episode depresi dan mencegah
kekambuhan dengan membantu pasien mengidentifikasi dan menguji
kognisi negatif; mengembangkan cara pikir alternatif, fleksibel dan positif;
serta melatih respon perilaku dan kognitif yang baru. Kombinasi farmako
terapi dan terapi kognitif sangat efektif untuk depresi berat. 3
2. Terapi interpersonal
terapi ini memfokuskan pada satu atau dua masalah interpersonal pada
pasien saat ini. Terapi didasarkan pada dua asumsi. Pertama, masalah
interpersonal saat ini cenderung memiliki akar pada hubungan yang
mengalami disfungsi sejak awal. Kedua, masalah interpersonal saat ini
cenderung terlibat dalam mencetuskan dan melanjutkan gejala depresif
saat ini. 3
3. Terapi perilaku
Terapi perilaku didasarkan pada hipotesis bahwa perilaku maladaptif
mengakibatkan seseorang menerima sedikit umpan balik positif dan
mungkin sesekali penolakan dari masyarakat. Sehingga terapi perilaku
membantu pasien untuk memusatkan pada mengubah perilaku maldaptif
di dalam terapi. 3
4. Terapi berorientasi Psikoanalitik
Tujuan terapi ini adalah memberi pengaruh pada perubahan struktur atau
karakter kepribadian seseorang, bukan hanya meredakan gejala. Perbaikan
kepercayaan interpersonal, keintiman, mekanisme koping, kapasitas
berduka, serta kemampuan mengalami kisaran luas emosi. 3
b. Farmakoterapi
Terapi gangguan depresi berat yang efektif adalah seperti obat trisiklik
diperkirakan melipatgandakan kemungkinan bahwa pasien depresi akan pulih
dalam 1 bulan. Meskipun demikian, masalah akan tetap ada dalam terapi
gangguan depresi berat : sejumlah pasien tidak merespon terhadap pemberian
terapi pertama; semua antidepresan yang saat ini tersedia membutuhkan 3
sampai 4 minggu hingga memberi pengaruh terapeutik yang bermakna,
walaupun obat tersebut dapat memperlihatkan pengaruhnya lebih dini., dan
relatif sampai saat ini, semua antidepresan yang tersedia bersifat toksik bila
overdosis serta memiliki efek samping. Pengenalan SSRI, seperti flouxetin,
paroksetin dan sertalin, juga bupropion, venlafaksin, nevazodon dan
mirtazapin, menawarkan klinisi obat-obat yang sama efektif tetapi lebih
aman dan lebih ditoleransi dari pada obat-obat sebelumnya. Indikasi untuk
obat antidepresan (contohya, gangguan makan, dan gangguan anxietas)
membuat pengelompokkan obat-obat ini dibawah satu label antidepresan
yang membingungkan.3
Indikasi utama antidepresan adalah episode depresi berat. Gejala pertama
yang akan membaik adalah pola tidur dan nafsu makan yang buruk. Agitasi,
ansietas, episode depresi dan rasa putus asa adalah gejala selanjutnya yang
akan membaik. Gejala target lainnya adalah kurang tenaga, konsentrasi
buruk, ketidakberdayaan dan menurunnya libido.3
Penggolongan Antidepresan
1. Antidepresan Klasik (Trisiklik & Tetrasiklik)
a) Mekanisme kerja : Obat–obat ini menghambat resorpsi dari serotonin
dan noradrenalin dari sela sinaps di ujung-ujung saraf.
b) Efek samping :
• Efek jantung ; dapat menimbulkan gangguan penerusan impuls
jantung dengan perubahan ECG, pada overdosis dapat terjadi aritmia
berbahaya.
• Efek anti kolinergik ; akibat blokade reseptor muskarin dengan
menimbulkan antara lain mulut kering, obstipasi, retensi urin,
tachycardia, serta gangguan potensi dan akomodasi, keringat
berlebihan.
• Sedasi
• Hipotensi ortostatis dan pusing serta mudah jatuh merupakan akibat
efek antinoradrenalin, hal ini sering terjadi pada penderita lansia,
mengakibatkan gangguan fungsi seksual.
• Efek antiserotonin; akibat blokade reseptor 5HT postsinaptis dengan
bertambahnya nafsu makan dan berat badan.
• Kelainan darah; seperti agranulactose dan leucopenia, gangguan
kulit
• Gejala penarikan; pada penghentian terapi dengan mendadak dapat
timbul antara lain gangguan lambung-usus, agitasi, sukar tidur, serta
nyeri kepala dan otot.
c) Obat-obat yang termasuk antidepresan klasik :
1) Imipramin Dosis lazim : 25-50 mg 3x sehari bila perlu dinaikkan
sampai maksimum 250-300 mg sehari. Kontra Indikasi : Infark
miokard akut. Interaksi Obat : anti hipertensi, obat
simpatomimetik, alkohol, obat penekan SSP
Perhatian : kombinasi dengan MAO, gangguan kardiovaskular,
hipotensi, gangguan untuk mengemudi, ibu hamil dan menyusui.
2) Klomipramin Dosis lazim : 10 mg dapat ditingkatkan sampai
dengan maksimum dosis 250 mg sehari. Kontra Indikasi : Infark
miokard, pemberian bersamaan dengan MAO, gagal jantung,
kerusakan hati yang berat, glaukoma sudut sempit. Interaksi Obat :
dapat menurunkan efek antihipertensi penghambat neuro
adrenergik, dapat meningkatkan efek kardiovaskular dari
noradrenalin atau adrenalin, meningkatkan aktivitas dari obat
penekan SSP, alkohol.
Perhatian : terapi bersama dengan preparat tiroid, konstipasi
kronik, kombinasi dengan beberapa obat antihipertensi,
simpatomimetik, penekan SSP, anti kolinergik, penghambat
reseptor serotonin selektif, antikoagulan, simetidin. Monitoring
hitung darah dan fungsi hati, gangguan untuk mengemudi
3) Amitriptilin Dosis lazim : 25 mg dapat dinaikan secara bertahap
sampai dosis maksimum 150- 300 mg sehari. Kontra Indikasi :
penderita koma, diskrasia darah, gangguan depresif sumsum
tulang, kerusakan hati, penggunaan bersama dengan MAO.
Interaksi Obat : bersama guanetidin meniadakan efek
antihipertensi, bersama depresan SSP seperti alkohol, barbiturate,
hipnotik atau analgetik opiate mempotensiasi efek gangguan
depresif SSP termasuk gangguan depresif saluran napas, bersama
reserpin meniadakan efek antihipertensi.
Perhatian : ganguan kardiovaskular, kanker payudara, fungsi ginjal
menurun, glakuoma, kecenderungan untuk bunuh diri, kehamilan,
menyusui, epilepsi.
4) Lithium karbonat Dosis lazim : 400-1200 mg dosis tunggal pada
pagi hari atau sebelum tidur malam. Kontra Indikasi : kehamilan,
laktasi, gagal ginjal, hati dan jantung. Interaksi Obat : diuretik,
steroid, psikotropik, AINS, diazepam, metildopa, tetrasiklin,
fenitoin, carbamazepin, indometasin.
Perhatian : Monitor asupan diet dan cairan, penyakit infeksi,
demam, influenza, gastroentritis.
2. Antidepresan Generasi ke-2
a) Mekanisme kerja :
• SSRI ( Selective Serotonin Re-uptake Inhibitor ) : Obat-obat ini
menghambat resorpsi dari serotonin.
• NaSA ( Noradrenalin and Serotonin Antidepressants ): Obat-obat ini
tidak berkhasiat selektif, menghambat re-uptake dari serotonin dan
noradrenalin. Terdapat beberapa indikasi bahwa obat-obat ini lebih efektif
daripada SSRI.
b) Efek samping :
• Efek seretogenik; berupa mual ,muntah, malaise umum, nyeri
kepala, gangguan tidur dan nervositas, agitasi atau kegelisahan yang
sementara, disfungsi seksual dengan ejakulasi dan orgasme terlambat.
• Sindroma serotonin; berupa antara lain kegelisahan, demam, dan
menggigil, konvulsi, dan kekakuan hebat, tremor, diare, gangguan
koordinasi. Kebanyakan terjadi pada penggunaan kombinasi obat-obat
generasi ke-2 bersama obat-obat klasik, MAO, litium atau triptofan,
lazimnya dalam waktu beberapa jam sampai 2- 3 minggu. Gejala ini
dilawan dengan antagonis serotonin (metisergida, propanolol).
• Efek antikolinergik, antiadrenergik, dan efek jantung sangat kurang
atau sama sekali tidak ada.
d) Obat-obat yang termasuk antidepresan generasi ke-2 :
1) Fluoxetin Dosis lazim : 20 mg sehari pada pagi hari, maksimum 80
mg/hari dalam dosis tunggal atau terbagi. Kontra Indikasi :
hipersensitif terhadap fluoxetin, gagal ginjal yang berat, penggunaan
bersama MAO. Interaksi Obat : MAO, Lithium, obat yang
merangsang aktivitas SSP, anti depresan, triptofan, karbamazepin,
obat yang terkait dengan protein plasma. Perhatian : penderita epilepsi
yang terkendali, penderita kerusakan hati dan ginjal, gagal jantung,
jangan mengemudi / menjalankan mesin.
2) Sertralin Dosis lazim : 50 mg/hari bila perlu dinaikkan maksimum
200 mg/hr. Kontra Indikasi : Hipersensitif terhadap sertralin. Interaksi
Obat : MAO, Alkohol, Lithium, obat seretogenik.
Perhatian : pada gangguan hati, terapi elektrokonvulsi, hamil,
menyusui, mengurangi kemampuan mengemudi dan mengoperasikan
mesin.
3) Citalopram Dosis lazim : 20 mg/hari, maksimum 60 mg /hari.
Kontra indikasi : hipersensitif terhadap obat ini. Interaksi Obat :
MAO, sumatripan, simetidin.
Perhatian : kehamilan, menyusui, gangguan mania, kecenderungan
bunuh diri.
4) Fluvoxamine Dosis lazim : 50 mg dapat diberikan 1x/hari
sebaiknya pada malam hari, maksimum dosis 300 mg. Interaksi Obat :
warfarin, fenitoin, teofilin, propanolol, litium.
Perhatian : Tidak untuk digunakan dalam 2 minggu penghentian terapi
MAO, insufiensi hati, tidak direkomendasikan untuk anak dan
epilepsi, hamil dan laktasi.
5) Mianserin Dosis lazim : 30-40 mg malam hari, dosis maksimum 90
mg/ hari Kontra Indikasi : mania, gangguan fungsi hati. Interaksi Obat
: mempotensiasi aksi depresan SSP, tidak boleh diberikan dengan atau
dalam 2 minggu penghentian terapi.
Perhatian : dapat menganggu psikomotor selama hari pertama terapi,
diabetes, insufiensi hati, ginjal, jantung.
6) Mirtazapin Dosis lazim : 15-45 mg / hari menjelang tidur. Kontra
Indikasi : Hipersensitif terhadap mitrazapin. Interaksi Obat : dapat
memperkuat aksi pengurangan SSP dari alkohol, memperkuat efek
sedatif dari benzodiazepine, MAO.
Perhatian : pada epilepsi sindroma otak organic, insufiensi hati, ginjal,
jantung, tekanan darah rendah, penderita skizofrenia atau gangguan
psikotik lain, penghentian terapi secara mendadak, lansia, hamil,
laktasi, mengganggu kemampuan mengemudi atau menjalankan
mesin.
7) Venlafaxine Dosis lazim : 75 mg/hari bila perlu dapat ditingkatkan
menjadi 150-250 mg 1x/hari. Kontra Indikasi : penggunaan bersama
MAO, hamil dan laktasi, anak < 18 tahun. Interaksi Obat : MAO, obat
yang mengaktivasi SSP lain.
Perhatian : riwayat kejang dan penyalahgunaan obat, gangguan ginjal
atau sirosis hati, penyakit jantung tidak stabil, monitor tekanan darah.

3. Antidepresan MAO
Inhibitor Monoamin Oksidase (Monoamine Oxidase Inhibitor,
MAOI) merupakan suatu sistem enzim kompleks yang terdistribusi luas
dalam tubuh, berperan dalam dekomposisi amin biogenik, seperti
norepinefrin, epinefrin, dopamine, serotonin. MAOI menghambat sistem
enzim ini, sehingga menyebabkan peningkatan konsentrasi amin endogen.
Ada dua tipe MAO yang telah teridentifikasi, yaitu MAO-A dan MAO-B.
Kedua enzim ini memiliki substrat yang berbeda serta perbedaan dalam
sensitivitas terhadap inhibitor. MAO-A cenderungan memiliki aktivitas
deaminasi epinefrin, norepinefrin, dan serotonin, sedangkan MAO-B
memetabolisme benzilamin dan fenetilamin. Dopamin dan tiramin
dimetabolisme oleh kedua isoenzim. Pada jaringan syaraf, sistem enzim
ini mengatur dekomposisi metabolik katekolamin dan serotonin. MAOI
hepatic menginaktivasi monoamin yang bersirkulasi atau yang masuk
melalui saluran cerna ke dalam sirkulasi portal (misalnya tiramin). Semua
MAOI nonselektif yang digunakan sebagai antidepresan merupakan
inhibitor ireversibel, sehingga dibutuhkan sampai 2 minggu untuk
mengembalikan metabolism amin normal setelah penghentian obat. Hasil
studi juga mengindikasikan bahwa terapi MAOI kronik menyebabkan
penurunan jumlah reseptor (down regulation) adrenergic dan
serotoninergik.
Indikasi antidepresan MAOI adalah depresi secara umum diindikasikan
pada penderita dengan depresi atipikal (eksogen) dan pada beberapa
penderita yang tidak berespon terhadap terapi antidpresif lainnya. MAOI
jarang dipakai sebagai obat pilihan.
Kontra indikasi : Hipersensitif terhadap senyawa ini; feokromositoma;
gagal jantung kongestif; riwayat penyakit liver atau fungsi liver abnormal;
gangguan ginjal parah; gangguan serebrovaskular; penyakit
kardiovaskular; hipertensi; riwayat sakit kepala; pemberian bersama
dengan MAOI lainnya; senyawa yang terkait dibenzazepin termasuk
antidepresan trisiklik, karbamazepin, dan siklobenzaprin; bupropion;
SRRI; buspiron; simpatomimetik; meperidin; dekstrometorfan; senyawa
anestetik; depresan SSP; antihipertensif; kafein; keju atau makanan lain
dengan kandungan tiramin tinggi.

e) Edukasi Pasien
Edukasi pasien dengan adekuat mengenai penggunaan antidepresan
adalah hal yang sama pentingnya dengan memilih obat serta dosis yang
paling tepat untuk keberhasilan terapi. Harus diedukasi juga bahwa obat
antidepresan tidak akan mengalami ketergantungan, karena obat ini tidak
memberi efek segera. Mungkin akan butuh waktu 3 sampai 4 minggu
sebelum efek antidepresannya dirasakan. Jangan memberikan resep obat
dengan jumlah yang banyak apalagi jika pasien memiliki riwayat ingin
bunuh diri. Karena sebagian besar antidepresan akan memberikan efek letal
apabila dikonsumsi dalam jumlah banyak.3

f) Terapi Alternatif lainnya.


Electro Convulsive Therapy (ECT) adalah terapi dengan
melewatkan arus listrik ke otak. Metode terapi semacam ini sering
digunakan pada kasus depresif berat atau mempunyai risiko bunuh diri
yang besar dan respon terapi dengan obat antidepresan kurang baik. Pada
penderita dengan risiko bunuh diri, ECT menjadi sangat penting karena
ECT akan menurunkan risiko bunuh diri dan dengan ECT lama rawat di
rumah sakit menjadi lebih pendek. Pada keadaan tertentu tidak
dianjurkan ECT, bahkan pada beberapa kondisi tindakan ECT merupakan
kontra indikasi. ECT tidak dianjurkan pada keadaan:
• Usia yang masih terlalu muda ( kurang dari 15 tahun )
• Masih sekolah atau kuliah
• Mempunyai riwayat kejang
• Psikosis kronik
• Kondisi fisik kurang baik
• Wanita hamil dan menyusui
Selain itu, ECT dikontraindikasikan pada : penderita yang
menderita epilepsi, TBC milier, tekanan tinggi intra kracial dan kelainan
infark jantung. Depresif berisiko kambuh manakala penderita tidak
patuh, ketidaktahuan, pengaruh tradisi yang tidak percaya dokter, dan
tidak nyaman dengan efek samping obat. Terapi ECT dapat menjadi
pilihan yang paling efektif dan efek samping kecil. Terapi perubahan
perilaku meliputi penghapusan perilaku yang mendorong terjadinya
depresi dan pembiasaan perilaku baru yang lebih sehat. Berbagai metode
dapat dilakukan seperti CBT (Cognitive Behaviour Therapy) yang
biasanya dilakukan oleh konselor, psikolog dan psikiater.
2.7 Prognosis
Gangguan depresi berat bukan merupakan gangguan yang ringan. Keadaan
ini cenderung merupakan gangguan yang kronis dan pasien cenderung mengalami
relaps. Pasien yang dirawat di rumah sakit untuk episode pertama gangguan
depresif memiliki kemungkinan 50 % untuk pulih di dalam tahun pertama.
Rekurensi episode depresi berat juga sering, kira-kira 30 sampai 50 % dalam dua
tahun pertama dan kira-kira 50 sampai 70 % dalam 5 tahun. Insidensi relaps
adalah jauh lebih rendah dari pada angka tersebut pada pasien yang meneruskan
terapi psikofarmakologis profilaksis dan pada pasien yang hanya mengalami satu
atau dua episode depresi.

2.8 Kecerdasan Inteleqtual (IQ)

Menurut David Wechsler, inteligensi adalah kemampuan untuk bertindak


secara terarah, berpikir secara rasional, dan menghadapi lingkungannya secara
efektif. Secara garis besar dapat disimpulkan bahwa inteligensi adalah suatu
kemampuan mental yang melibatkan proses berpikir secara rasional. Oleh karena
itu, inteligensi tidak dapat diamati secara langsung, melainkan harus disimpulkan
dari berbagai tindakan nyata yang merupakan manifestasi dari proses berpikir
rasional itu. Sedangkan IQ atau singkatan dari Intelligence Quotient, adalah skor
yang diperoleh dari sebuah alat tes kecerdasan. Dengan demikian, IQ hanya
memberikan sedikit indikasi mengenai taraf kecerdasan seseorang dan tidak
menggambarkan kecerdasan seseorang secara keseluruhan.5

Intelligence Quotient atau yang biasa disebut dengan IQ merupakan istilah


dari pengelompokan kecerdasan manusia yang pertama kali diperkenalkan oleh
Alferd Binet, ahli psikologi dari Perancis pada awal abad ke-20. Kemudian Lewis
Ternman dari Universitas Stanford berusaha membakukan test IQ yang
dikembangkan oleh Binet dengan mengembangkan norma populasi, sehingga
selanjutnya test IQ tersebut dikenal sebagai test Stanford-Binet. Pada masanya
kecerdasan intelektual (IQ) merupakan kecerdasan tunggal dari setiap individu
yang pada dasarnya hanya bertautan dengan aspek kognitif dari setiap masing-
masing individu tersebut. Tes Stanford-Binet ini banyak digunakan untuk
mengukur kecerdasan anak-anak sampai usia 13 tahun.5

Weschler (1958) mendefinisikan kecerdasan sebagai kumpulan atau


totalitas kemampuan seseorang untuk belajar (ability to learn), bertindak dengan
tujuan tertentu, berpikir secara rasional, serta menghadapi lingkungannya dengan
efektif. Stenberg & Slater (1982) mendefinisikan kecerdasan sebagai tindakan
atau pemikiran yang bertujuan dan adaptif. Menurut Thurstone, spesifikasi
kecerdasan terdiri dari pemahaman dan kemampuan verbal, angka dan hitungan,
kemampuan visual, daya ingat, penalaran, kecepatan perseptual. Semakin tinggi
tingkat kecerdasan seseorang, makin memungkinkannya melakukan suatu tugas
yang banyak menuntut rasio dan akal dan melaksanakan tugas-tugas yang sifatnya
kompleks.6

Tahun 1916, Lewis Terman, seorang psikolog dari Amerika mengadakan


banyak perbaikan dari tes Binet-Simon. Sumbangan utamanya adalah menetapkan
indeks numerik yang menyatakan kecerdasan sebagai rasio (perbandingan) antara
mental age dan chronological age. Hasil perbaikan ini disebut Tes Stanford Binet.
Indeks seperti ini sebetulnya telah diperkenalkan oleh seorang psikolog Jerman
yang bernama William Stern, yang kemudian dikenal dengan Intelligence
Quotient atau IQ. Tes Stanford-Binet ini banyak digunakan untuk mengukur
kecerdasan anak-anak sampai usia 13 tahun.6

Salah satu reaksi atas tes Binet-Simon atau tes Stanford-Binet adalah
bahwa tes itu terlalu umum. Seorang tokoh dalam bidang ini, Charles Sperrman
mengemukakan bahwa inteligensi tidak hanya terdiri dari satu faktor yang umum
saja (general factor), tetapi juga terdiri dari faktor-faktor yang lebih spesifik. Teori
ini disebut Teori Faktor (Factor Theory of Intelligence). Alat tes yang
dikembangkan menurut teori faktor ini adalah WAIS (Wechsler Adult Intelligence
Scale) untuk orang dewasa, dan WISC (Wechsler Intelligence Scale for Children)
untuk anak-anak.5

Skala Wechsler yang umum dipergunakan untuk mendapatkan taraf


kecerdasan membagi kecerdasan menjadi dua kelompok besar yaitu kemampuan
kecerdasan verbal (VIQ) dan kemampuan kecerdasan tampilan (PIQ). Pengukuran
nilai kecerdasan pada penelitian ini menggunakan nilai WISC (Wechsler
Intelligance Scale for Children) yang dibuat oleh David Wechsler (1974), karena
ini pengukuran tingkat kecerdasan yang terbaik dibandingkan dengan pengukuran
tingkat kecerdasan yang lain (skala Stanford-Binet).5

Pengukuran nilai kecerdasan pada penelitian ini menggunakan nilai WISC


(Wechsler Intelligance Scale for Children) yang dibuat oleh David Wechsler
(1974), yang terbagi atas 12 macam test dan dikelompokkan dalam 2 kategori
yaitu: verbal dan performa.

Pemberian skor pada WISC didasarkan atas kebenaran jawaban dan waktu
yang diperlukan oleh subjek dalam memberikan jawaban yang benar tersebut.
Skor tesebut kemudian diterjemahkan dalam angka standard melalui norma
sehingga akhirnya diperoleh angka IQ untuk skala verbal, dan satu angka IQ
untuk skala performans dan satu angka IQ untuk keseluruhan, skala Test
Intelligensi Wecshler adalah test individual, yang diberikan secara lisan dan
dijawab secara lisan pula. Serta dasar pengukurannya adalah deviation IQ dengan
nilai rata-rata 100 dan besar penyimpangan = 15.

Intelegensi secara umum dapat juga diartikan sebagai suatu tingkat


kemampuan dan kecepatan otak mengolah suatu bentuk tugas atau keterampilan
tertentu. Kemampuan dan kecepatan kerja otak ini disebut juga dengan efektifitas
kerja otak. Potensi intelegensi atau kecerdasan ada beberapa macam yang dapat
didentifikasikan menjadi beberapa kelompok besar yaitu;

1. Intelegensi Verbal-Linguistik
Merupakan kecerdasan yang berhubungan dengan bahasa dan segala
sesuatu yang berhubungan dengan kegiatan membaca dan menulis.
2. Intelegensi Logical-Matematik
Merupakan kecerdasan dalam hal berfikir ilmiah, berhubungan dengan
angka-angka dan simbol, serta kemampuan menghubungkan potongan
informasi yang terpisah.
3. Intelegensi Visual Spasial
Merupakan kecerdasan yang berhubungan dengan seni visual seperti
melukis, menggambar dan memahat. Selain itu juga kemampuan
navigasi, peta, arsitek dan kemampuan membayangkan objek-objek
dari sudut pandang yang berbeda.
4. Intelegensi Kinestetik Tubuh
Merupakan kecerdasan yang berhubungan dengan kemampuan
menggunakan tubuh untuk mengekspresikan perasaan atau disebut
juga dengan bahasa tubuh (body language). Kecerdasan ini
berhubungan dengan berbagai keterampilan seperti menari, olah raga
serta keterampilan mengendarai kendaraan.
5. Intelegensi Ritme Musikal
Merupakan kecerdasan yang berhubungan dengan kemampuan
mengenali pola irama, nada dan peta terhadap bunyi-bunyian.
6. Intelegensi Intra-Personal
Kecerdasan yang berfokus pada pengetahuan diri, berhubungan dengan
refleksi, kesadaran dan kontrol emosi, intuisi dan kesadaran rohani.
Orang yang mempunyai kecerdasan intra-personal tinggi biaasanya
adalah para pemikir (filsuf), psikiater, penganut ilmu kebatinan dan
penasehat rohani.
7. Intelegensi Interpersonal
Kecerdasan yang berhubungan dengan keterampilan dan kemampuan
individu untuk bekerjasama, kemampuan berkomunikasi baik secara
verbal maupun non-verbal. Seseorang dengan tingkat kecerdasan
Intrapersonal yang tinggi biasanya mampu membaca suasana hati,
perangai, motivasi dan tujuan yang ada pada orang lain. Pribadi
dengan Potensi Intelegensi Interpersonal yang tinggi biasanya
mempunyai rasa empati yang tinggi.
8. Intelegensi Emosional
Kecerdasan yang meliputi kekuatan emosional dan kecakapan sosial.
Sekelompok kemampuan mental yang membantu seseorang mengenali
dan memahami perasaan orang lain yang menuntun kepada
kemampuan untuk mengatur perasaan-perasaan diri sendiri.
Sedangkan Prof. Horward Gardner menyatakan bahwa terdapat delapan
kecerdasan yang berbeda untuk menjelaskan potensi manusia yang lebih luas pada
anak-anak dan orang dewasa. Kecerdasan-kecerdasan ini adalah :

1. Kecerdasan linguistic
Kecerdasan linguistik adalah kemampuan untuk menggunakan kata-
kata secara efektif, baik secara lisan maupun tulisan.Kecerdasan ini
mencakup kepekaan terhadap artikata,urutan kata,suara,ritme dan
intonasi dari kata yang di ucapkan. Termasuk kemampuan untuk
mengerti kekuatan kata dalam mengubah kondisi pikirandan
menyampaikan informasi
2. Kecerdasan logic metematiki
Kecerdasan logic matematik ialah kemampuan seseorang dalam
memecahkan masalah.Ia mampu memikirkan dan menyusun solusi
dengan urutan yang logis. Ia suka angka, urutan, logika, dan
keteraturan. Ia mengerti pola hubungan, ia mampu melakukan proses
berfikir induktif dan deduktif. Proses berfikir deduktif adalah cara
berfikir dari hal-hal yang besar kehal-hal yang kecil dan induktif
sebaliknya.
3. Kecerdasan visual dan special
Kecerdasan visual dan special adalah kemampuan untuk melihat dan
mengamati dunia visual dan spasial secara kuat.Visual artinya gambar
sedangkan spasial yaitu hal-hal yang berkanaan dengan ruang atau
tempat.Kecerdasan ini melibatkan kesadaran akan warna, garis,
bentuk, ukuran, dan juga hubungan antara elemen-elemen tersebut.
Kecerdasan ini juga melibatkan kemampuan untuk melihat objek dari
berbagai sudut pandang.
4. Kecerdasan music
Kecerdasan musik adalah kemampuan untuk menikmati, mengamati,
membedakan, mengarang, membentuk, dan mengekspresikan bentuk-
bentuk music.Kecerdasan ini meliputi kepekaan terhadap ritme
,melodi, dan timbre dari music didengar. Musik mempunyai pengaruh
yang sangat besar terhadap perkembangan kemampuan matematika
dan ilmu sains dalam diri seseorang.
5. Kecerdasan interpersonal
Kecerdasan interpersonal adalah kemampuan untuk mengamati dan
mengerti maksud, motivasi, dan perasaan orang lain. Peka terhadap
ekspresi wajah,suara dan gerakan tubuh orang lain dan ia mampu
memberikan respon secara efektif dalam berkomunikasi. Kecerdasan
ini juga mampu untuk masuk ke dalam diri orang lain, mengerti dunia
orang lain, mengerti pandangan, sikap orang lain dan umumnya dapat
memimpin kelompok.
6. Kecerdasan intrapersonal
Kecerdasan intrapersonal adalah kemampuan yang berhubungan
dengan kesadaran dan pengetahuan tentang diri sendiri.Dapat
memahami kekutan dan kelemahan diri sendiri.Mampu memotivasi
dirinya sendiri dan melakukan disiplin diri.Orang yang memiliki
kecerdasan ini sangat menghargai nilai etika dan moral.
7. Kecerdasan kinestetik
Kecerdasan kinestetik adalah kemampuan dalam mengunakan tubuh
kita secara terampil untuk mengungkapkan ide, pemikiran dan
perasaan.Kecerdasan ini juga meliputi keterampilan fisik dalam bidang
koordinasi, keseimbangan, daya tahan, kekuatan, kelentukan dan
kecepatan.
8. Kecerdasan naturalis
Kecerdasan naturalis adalah kemampuan untuk mengenali,
membedakan, mengungkapkan dan membuat kategori terhadap apa
yang di jumpai di alam maupun di lingkungan. Intinya adalah
kemampuan manusia untuk mengenali tanaman, hewan, dan bagian
lain dari alam semesta.

2.9 Hubungan Antara Nilai IQ dengan Kejadian Depresi

Menurut Hung et al nilai IQ pada anak usia 7 tahun memiliki peranan penting
dalam kejadian depresi pada usia dewasa. Anak-anak atau dewasa muda dengan
kemampuan kognitif yang rendah, dilihat dari nilai IQ, lebih sering mengalami
gangguan psikiatri saat dewasa. Kognitif berperan dalam etiologi dan prognosis
pada seseorang dengan depresi. Semakin tinggi tingkat kognitif seseorang maka
akan semakin mempengaruhi angka kesembuhan dan mencegah kekambuhan
pada seseorang yang mengalami gangguan psikiatri.5

Pada penelitiannya performance IQ dan verbal IQ dikombinasikan untuk


menilai kempuan kognitif dan hasil ini memiliki hubungan yang kuat dengan
kejadian kronisitas depresi dan kejadian bunuh diri. Orang dengan performance
IQ yang rendah sangat berhubungan dengan kejadian depresi pada masa lampau,
durasi episode terpanjang, kejadian masuk rumah sakit karena depresi, ide bunuh
diri, serta percobaan bunuh diri. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan
oleh Harvard School of Public Health (HSPH) yang menyebutkan bahwa anak-
anak dengan IQ yang rendah memiliki peningkatan resiko untuk terjadinya
gangguan psikitri.5

Selain itu, orang dengan IQ yang rendah memiliki resiko untuk terjadinya
gangguan psikiatri yang lebih berat disertai dengan peningkatan resiko untuk
memiliki diagnosis pada gangguan psikiatri lebih dari satu diagnosis. Koenen et al
dalam penelitiannya menyebutkan IQ yang rendah pada anak-anak diprediksi akan
meningkatkan resiko terjadinya skizofrenia, depresi dan ansietas pada usia
dewasa. Tetapi IQ yang rendah tidak berhubungan dengan angka kejadian fobia,
gangguan panik, dan gangguan obsesif kompulsif. Koenen et al menyimpulkan
hasil penelitiannya sebagai berikut :

1. IQ anak-anak yang lebih rendah dapat menjadi suatu penanda defisit


neuroanatomical yang meningkatkan kerentanan terhadap gangguan
mental tertentu. Dari hasil pecitraan (imaging) menunjukkan bahwa
struktur dan fungsi otak berhubungan dengan kondisi kejiwaan. Sebagai
contoh, IQ berkorelasi positif dengan volume cerebellum, dan pada anak
laki-laki, IQ verbal telah terbukti berkorelasi dengan volume hipokampus.
2. IQ anak-anak yang lebih rendah diperkirakan dapat meningkatkan
komorbiditas. Pasien dengan kemampuan kognitif yang lebih rendah dapat
memiliki kesulitan untuk mengakses layanan kesehatan ataupun kesulitan
untuk memahami dan mematuhi protokol pengobatan.
3. Anak-anak dengan IQ yang lebih rendah mungkin terkait dengan
gangguan kejiwaan pada usia dewasa melalui stres psikososial. Individu
dengan IQ pada masa anak-anak yang lebih rendah tidak memiliki
kesiapan untuk mengatasi peristiwa atau kejadian pada kehidupan yang
penuh dengan stres, membuat mereka lebih berpotensi untuk terjadinya
gangguan jiwa. Peristiwa kehidupan yang penuh stres memiliki peranan
penting dalam etiologi depresi berat, gangguan kecemasan, PTSD, dan
fobia sosial.

Sejalan denga Koenen, Kaplan menyebutkan bahwa Studi MRI menunjukkan


bahwa pasien gangguan depresif berat memiliki nucleus kaudaus dan lobus
frontalis yang lebih kecil dibandingkan dengan subjek kontrol, dan pasien depresi
memiliki waktu relaksasi T1 hipokampus yang abnormal dibandingkan dengan
subjek control.7

Banyak laporan di dalam literatur memperlihatkan aliran darah otak di dalam


gangguan mood,yang basanya diukur menggunakan Single Photon Emission
Computed Tomography (SPECT) atau Positron Emission Tomography (PET).
Mayoritas studi menunjukkan berkurangnya aliran darah umumnya terjadi pada
korteks serebri dan khususnya area korteks frontal. Sebaliknya, para peneliti pada
studi menemukan adaya peningkatan aliran darah otak pada pasien gangguan
depresi berat. Mereka menemukan peningkatan yang bergantung keadaan di
korteks, ganglia basalis, serta thalamus medial, dengan kesan peningkatan
bergantung ciri bawaan di amigdala. Diperlukan studi lebih lanjut mengenai hal
ini.7

Menurut teori kognitif, depresi terjadi akibat distorsi spesifik yang terdapat
pada seseorang yang rentan terhadap depresi. Distorsi tersebut, yang disebut
sebagai depressogenic schemata, merupakan cetakan kognitif yang menerima data
internal maupun eksternal dengan cara yang diubah oleh pengalaman sebelumnya.
Beck memberikan postulat trias kognitif depresi, terdiri atas :
1. Pandangan mengenai diri, aturan diri yang negative
2. Mengenai lingkungan, kecenderungan mengalami dunia sebagai sesuatu
yang memusuhi dan menuntut
3. Mengenai masa depan, harapan mengenai penderitaan dan kegagalan

Hasil penelitian Hung et al dan Koenen et al pun menyebutkan kronisitas


depresi (dilihat dari episode durasi dan apisode berulang atau recurrent), angka
kejadian masuk ke Rumah Sakit, ide serta percobaan bunuh diri memiliki resiko
untuk meningkatkan perburukan prognosis terutama pada pasien yang masa
kanak-kanak nya memiliki IQ rendah.
BAB III
KESIMPULAN

Depresi merupakan satu masa terganggunya fungsi manusia yang berkaitan


dengan alam perasaan yang sedih dan gejala penyertanya, termasuk perubahan
pada pola tidur dan nafsu makan, psikomotor, konsentrasi, anhedonia, kelelahan,
rasa putus asa dan tak berdaya, serta gagasan bunuh diri.

Inteligensi adalah kemampuan untuk bertindak secara terarah, berpikir


secara rasional, dan menghadapi lingkungannya secara efektif. Secara garis besar
dapat disimpulkan bahwa inteligensi adalah suatu kemampuan mental yang
melibatkan proses berpikir secara rasional.

Terdapat hubungan yang erat antara tingkat IQ dengan kejadian depresi.


Beberapa penelitian telah membuktikan bahwa kognitif berperan dalam etiologi
dan prognosis pada seseorang dengan depresi. Semakin rendah kognitif, dalam hal
ini adalah nilai IQ, maka akan meningkatkan resiko terjadinya depresi, angka
kekambuhan, kesembuhan, prognosis serta morbiditas.

.
DAFTAR PUSTAKA

1. Maramis. Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa. Edisi 2. Surabaya: Airlangga;

2010.

2. Baldwin, Birtwistle J. An atlas of depresion. The Parthenon Publishing

Group: London; 2012.

3. Sadock B.J dan Sadock V.A. Buku Ajar Psikiatri Klinis. Ed. 2. Jakarta :

EGC ;2010.

4. Hawari.Manajemen Stres, Cemas dan Depresi., Jakarta; 2011.

5. Aminian, S.,Amini Z. 2015. Study the Relationship Between the

Dimentions of Emotional Quotient With Mental Health of Student. Indian

Journal of Fundamental and Applied Life Science, Vol 5: 801-805

6. Eslami, A., Jamshidi, F. 2014. The Relationship Between Emotional

Intelligence Health and Maritial Satisfaction: A Comparative Study, 3: 24.

7. Masoumeh, Yacob, S. 2014. Emotional Inteligience and Aggression Among

Adolescents in Teheran, Iran. In Life Science Journal, 11: 506-511

8. Landefeld. Current Geriatric Diagnosis and Treatmet. McGrow-Hill:USA;

2014.

9. Armitage R. Sleep and circadian rhythms in mood disorders. Acta Psychiatr

Scand; 2007
10. Maslim R.Diagnosa Gangguan Jiwa, PPDGJ III, Direktorat Kesehatan RI:

Jakarta; 2013.

11. Lumbantobing. Neurogeriatri. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia:

Jakarta; 2011.

12. Sukandar, Elin Yulinah dkk. ISO Farmakoterapi. Jakarta : PT ISFI

Penerbitan. 2008.

Anda mungkin juga menyukai