Anda di halaman 1dari 29

KEPERAWATAN DASAR PROFESI

LAPORAN PENDAHULUAN

“Kebutuhan Cairan”

OLEH :

IDA AYU DWI NANDY SWARI

NIM. 2002621029

PROGRAM STUDI SARJANA KEPERAWATAN DAN PROFESI NERS

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS UDAYANA

2020
LAPORAN PENDAHULUAN
“Kebutuhan Cairan”

1. Definisi
Kebutuhan cairan dan elektrolit adalah suatu proses dinamik karena metabolisme tubuh
membutuhkan perubahan yang tetap untuk berespon terhadap stressor fisiologi dan
lingkungan (Kurniawan, 2016). Cairan dan elektrolit sangat diperlukan agar menjaga
kondisi tubuh tetap sehat. Keseimbangan cairan tubuh adalah keseimbangan antara jumlah
cairan yang masuk dan keluar. Melalui mekanisme keseimbangan, tubuh berusaha agar
cairan didalam tubuh setiap waktu selalu berada dalam jumlah yang kosntan. Dalam
keadaan normal, masukan cairan akan dipenuhi melalui minum atau makanan yang masuk
ke dalam tubuh secara peroral, serta air yang diperoleh sebagai hasil metabolisme. Air yang
keluar dari tubuh, termasuk yang dikeluarkan sebagai urin, air didalam feses, isensibel dan
air yang dikeluarkan melalui kulit dan paru-paru (Mangku & Senapathi, 2010).

2. Anatomi dan Fisiologi Organ terkait


Ginjal
a. Definisi Ginjal
Ginjal merupakan organ terpenting dalam mempertahankan homeostasis cairan tubuh
secara baik. Berbagai fungsi ginjal untuk mempertahankan homeostatik dengan
mengatur volume cairan, keseimbangan osmotik, asam basa, ekskresi sisa metabolisme,
sistem pengaturan hormonal dan metabolisme. Ginjal terletak dalam rongga abdomen,
retroperitoneal primer kiri dan kanan kolumna vertebralis, dikelilingi lapisan lemak dan
jaringan ikat di belakang peritonium. Batas atas ginjal kiri setinggi iga ke-11 dan ginjal
kanan setinggi iga ke-12. Tiap-tiap ginjal memiliki panjang 11,25 cm, lebar 5-7 cm,
tebal 2,5 cm. Ginjal kiri lebih panjang daripada ginjal kanan dan letak ginjal kanan
lebih kebawah daripada ginjal kiri untuk memberikan ruang lobus hepatis dexter yang
besar, berat ginjal pada laki-laki dewasa 150-170 gram, sedangkan wanita dewasa 115-
155 gram. Bentuk ginjal seperti kacang (Syaifuddin, 2011).
b. Struktur Ginjal
Ginjal ditutupi oleh kapsul tunika fibrosa yang kuat. Apabila kapsul dibuka akan
terlihat permukaan dari ginjal yang licin dengan warna merah tua. Jika membuat
potongan vetikal dari ginjal melalui margo lateralis ke margo medialis akan terlihat
hilus yang meluas ke ruangan sentral yang disebut sinus renalis bagian atas dari pelvis
renalis (Pearce, 2016). Ginjal terdiri atas:
1) Bagian dalam (internal) medula. Substansia renalis terdiri dari piramid renalis yang
jumlahnya 8-16 buah dan mempunyai basis sepanjang ginjal, sedangkan apeksnya
menghadap ke sinus renalis.
2) Bagian luar (eksternal) korteks. Substansia kontekalis berwarna cokelat merah,
konsistensi lunak dan bergranula. Subtansia ini tepat dibawah tunika fibrosa,
melengkung sepanjang basis piramid yang berdekatan dengan sinus renalis, bagian
dalam di antara piramid dinamakan kolumna renalis (Syaifuddin, 2011).
Ginjal memiliki tiga lapis jaringan penyokong yang mengelilinginya, yaitu: (Marieb &
Hoehn, 2015)
1) Fascia renalis, merupakan lapisan terluar berupa jaringan ikat fibrosa padat yang
menyandarkan ginjal dan kelenjar adrenal ke struktur sekitarnya.
2) Perirenal fat capsule, merupakan massa lemak yang mengelilingi ginjal dan
bantalannya terhadap pukulan.
3) Fibrous capsule, merupakan kapsul transparan yang mencegah infeksi di daerah
sekitarnya menyebar ke ginjal.
Gambar 1. Struktur Ginjal
Satuan fungsi ginjal disebut nefron. Ginjal mempunyai kurang lebih 1,3 juta nefron
yang selama 24 jam dapat menyaring 170 liter darah dari arteri renalis. Lubang-lubang
yang terdapat pada piramid renal masing-masing membentuk simpul satu badan malfigi
yang disebut glomerulus. Nefron adalah massa tubulus mikroskopis ginjal yang
merupakan satuan fungsional ginjal. Nefron menyaring darah dan mengontrol
komposisinya. Setiap nefron berawal dari berkas kapiler yang terdiri dari: (Syaifuddin,
2011) (Hanifah, 2018) 1) Glomerulus, merupakan gulungan atau anyaman kapiler yang
terletak di dalam kapsula Bowman (ujung buntu tubulus ginjal yang bentuknya seperti
kapsula cekung menutupi glomerulus yang saling melilitkan diri). Glomerulus
menerima darah dari arteriola aferen dan meneruskan darah ke sistem vena melalui
asrteriola aferen. Natrium dan Kalium difiltrasi secara bebas dalam glomerulus sesuai
dengan konsentrasi dalam plasmam namun diperkirakan 10-20% Kalium plasma terikat
oleh protein dan tidak bebasdifiltrasi sehingga kalium dalam keadaan normal.
2) Kapsula Bowman, merupakan rongga yang terbentuk oleh invaginasi kapiler menjadi
suatu pelebaran ujung nefrom. Jadi, kapsula Bowman adalah suatu struktur epitel yang
berlapis dua yang tersusun dari epitel gepeng dengan nucleus menggembung ke dalam
ruangan. Lapisan dalam kapsula Bowman dikenal dengan lapisan visceral dan
membungkus permukaan kapiler glomerulus. Lapisan luar membentuk batas luar
korpuskulus renal dan disebut lapisan parietal. Di antara kedua lapisan kapsula Bowman
terdapat ruang urinarius, yang menampung cairan yang disaring melalui dinding kapiler
dan lapisan viseral.
3) Tubulus kontortus proksimal, merupakan tubulus ginjal yang langsung berhubungan
dengan kapsula Bowman dengan panjang 15 mm dan diameter 55 mm. bentuknya
berkelok-kelok menjalar dari korteks ke bagian medulla dan kembali ke korteks. Sekitar
2/3 dari natrium yang terfiltrasi diabsorpsi secara isotonic Bersama klorida dan
melibatkan transportasi aktif natrium. Peningkatan reabsorpsi natrium akan mengurangi
pengeluaran air dan natrium. Hal ini dapat mengganggu pengenceran dan pemekatan
urin yang normal. Fungsi utama dari tubulus kontortus proksimal adalah penangkapan
kembali zat-zat yang tersaring misalnya albumin, protein kecil dan non protein seperti
karbohidrat. 4) Tubulus kontortus distal, merupakan bagian tubulus ginjal yang
berkelok-kelok dan letaknya jauh dari kapsula Bowman, panjangnya 5 mm. perbedaan
antara tubulus kontortus proksimal dan distal yaitu: sel-sel tubulus kontortus proksimal
lebih besar daripada sel tubulus kontortus distal. Sel tubulus kontortus proksimal
memiliki brush border, yang tidak terdapat pada tubulus kontortus distal. Lumen tubulus
kontortus distal lebih besar dan karena sel-sel tubulus kontortus distal lebih gepeng dan
lebih kecil dari tubulus kontortus proksimal, maka tampak lebih banyak sel dan inti
pada dinding tubulus kontrotus distal. Fungsi utama tubulus kontrotus distal adalah
reabsorpsi bikarbonat dan air, transpor atau sekresi ion-ion yang beurpa hydrogen,
natrium, klorida, ammonia, kalsium, dan magnesium.
5) Tubulus pengumpul, merupakan ujung akhir tubulus kontortus distal. Tubula ini
mengandung suatu campuran sifat-sifat sel-sel kubis dari segmen distal dan sel-sel
granuler. Tubulus pengumpul merupakan tempat akhir untuk penyesuaian dari
komposisi dan volume air.
6) Ansa (lengkung) Henle, merupakan struktur yang berbentuk U yang terdiri dari ruas
tebal desenden, dengan struktur yang sangat mirip dengan tubulus kontortus proksimal
dan ruas tipis desenden, ruas tipis asenden, serta ruas tebal asenden yang strukturnya
sangat mirip tubulus kontrotus distal. Panjangnya 12 mm dengan total panjang ansa
Henle 2-14 mm.
7) Sel juksta glomerulus, sel ini berdekatan dengan glomerulus sel-sel otot polos dalam
tunika media arteriol aferen bersifat epiteloid. Intinya berbentuk bulat dan
sitoplasmanya mengandung granula. Sel-sel ini juga berhubungan erat dengan macula
densa, yaitu suatu bagian khusus tubulus kontortus distal yang terdapat di antara arteriol
aferen dan eferen. Fungsinya tidak diketahui secara pasti, akan tetapi mungkin
menghasilkan eritopoitein, hormone yang merangsang eritopoiesis di dalam sumsum
tulang. Sel ini juga menghasilkan enzim renin yang mempengaruhi proses
angiotensinogen suatu plasma darah untuk menghasilkan angiotensin.

Gambar 2. Struktur Miroskopis Ginjal

c. Peredaran Darah Ginjal


Ginjal mendapat peredaran darah dari arteri renalis yang merupakan cabang dari aorta
abdominalis, sebelumnya masuk ke dalam massa ginjal. Arteri renalis mempunyai
cabang yang besar yaitu arteri anterior dan yang kecil arteri renalis posterior. Cabang
anterior memberikan darah untuk ginjal anterior dan ventran. Cabang posterior
memberikan darah untuk ginjal posterior dan bagian dorsal. Di antara kedua cabang ini
terdapat suatu garis (Brudels line) yang terdapat di sepanjang margo lateral ginjal. Pada
garis ini tidak terdapat pembuluh darah, sehingga kedua cabang ini akan menyebar
sampai ke bagian anterior dan posterior dari kolisis sampai ke medula ginjal, teretak
diantara piramid dan disebut arteri interlobularis. Setelah sampai di daerah medula
membelok 90˚ melalui basis piramid yang disebut arteri Arquarta. Pembuluh ini
bercabang menjadi arteri interlobularis yang berjalan tegak ke dalam korteks berakhir
sebagai: (Syaifuddin, 2011)
1) Vasa aferen glomerulus untuk 1-2 glomerulus.
2) Pleksus kapiler sepanjang tubulus melingkar dala korteks tanpa berhubungan dengan
glomeralis.
3) Pembuluh darah menembus kapsula Bowman. Dari glomerulus keluar pembuluh
darah aferen, selanjutnya terdapat suatu anyaman yang mengelilingi tubuli kontorti.
Disamping itu ada cabang yang lurus menuju ke pelvis renalis memberikan darah untuk
ansa Henle dan duktus koligen yang dinamakan arteri rektal. Dari pembuluh rambut ini
darah berjumpul dalam pembuluh kapiler vena, bentuknya seperti bintang disebut vena
stellate berjalan ke vena interlumbalis. Pembuluh limfe mengikuti perjalanan arteri
renalis menuju ke nodi limfetikus aorta lateral yang terdapat di sekitar pangkal arteri
renalis, dibentuk oleh pleksus yang berasal dari massa ginjal, kapsula fibrosa dan
bermuara di nodus lateral aortika (Syaifuddin, 2011).

Gambar 3. Peredarahan Darah Ginjal


d. Fungsi Ginjal
Adapun fungsi ginjal menurut Verdiansah (2016), adalah sebagai berikut:
1).Pembuangan Non-protein Nitrogen Compound (NPN) Fungsi ekskresi NPN ini
merupakan fungsi utama ginjal. NPN adalah sisa hasil metabolisme tubuh dari asam
nukleat, asam amino, dan protein. Tiga zat hasil ekskresinya yaitu urea, kreatinin, dan
asam urat.
2).Pengaturan Keseimbangan Air Peran ginjal dalam menjaga keseimbangan air tubuh
diregulasi oleh ADH (Anti-diuretik Hormon). ADH akan bereaksi pada perubahan
osmolalitas dan volume cairan intravaskuler. Peningkatan osmolalitas plasma atau
penurunan volume cairan intravaskuler menstimulasi sekresi ADH oleh hipotalamus
posterior, selanjutnya ADH akan meningkatkan permeabilitas tubulus kontortus distalis
dan duktus kolektivus, sehingga reabsorpsi meningkat dan urin menjadi lebih pekat.
Pada keadaan haus, ADH akan disekresikan untuk meningkatkan reabsorpsi air. Pada
keadaan dehidrasi, tubulus ginjal akan memaksimalkan reabsorpsi air sehingga
dihasilkan sedikit urin dan sangat pekat dengan osmolalitas mencapai 1200 mOsmol/L.
Pada keadaan cairan berlebihan akan dihasilkan banyak urin dan encer dengan
osmolalitas menurun sampai dengan 50 mOsmol/L.
3).Pengaturan Keseimbangan Elektrolit Beberapa elektrolit yang diatur
keseimbangannya antara lain natrium, kalium, klorida, fosfat, kalsium, dan magnesium.
4).Pengaturan Keseimbangan Asam Basa Setiap hari banyak diproduksi sisa
metabolisme tubuh bersifat asam seperti asam karbonat, asam laktat, keton, dan lainnya
harus diekskresikan. Ginjal mengatur keseimbangan asam basa melalui pengaturan ion
bikarbonat, dan pembuangan sisa metabolisme yang bersifat asam.
5).Fungsi Endokrin Ginjal juga berfungsi sebagai organ endokrin. Ginjal mensintesis
renin, eritropoietin, 1,25 dihydroxy vitamin D3, dan prostaglandin.
e. Proses Pembentukan Urin
Darah yang masuk ke ginjal melalui arteri renalis membawa berbagai subtansi yaitu:
air, glukosa, protein, sel-sel darah dan garam yang masih diperlukan tubuh. Tekanan
darah menyebabkan cairan darah dapat menembus kapiler dan memasuki kapsula
Bowman sambal membawa molekul-molekul tersebut. Cairan darah yang mengandung
air, gula, garam dan urea mengalami penyaringan, sementara sel-sel darah dan molekul
protein tidak dapat lolos karena molekulnya berukuran besar, jadi tersaring sempurna di
glomerulus. Pengerutan dan pengembangan arteriol yang menuju dan meninggalkan
glomerulus serta tekanan dari jantung ikut membantu proses penyaringan ini. Filtrat
glomerulus disebut urin primer. Filtrat ini kemudian dibawa ke tubulus kontorti yang
dikelilingi oleh kapiler darah. Di dalam tubulus kontorti terjadi proses penyerapan
kembali (reabsorpsi) zat-zat yang masih berguna yaitu: glukosa, garam-garam yang
masih berguna dan air. Kemudian zat-zat tersebut masuk ke kapiler darah yang ada di
sekeliling tubulus. Setelah reabsorpsi, maka kadar urea meningkat dan terbentuklah
filtrat tubulus atau disebut urin sekunder. Urin sekunder masih mengalami penambahan
urea dan garamgaram yang sudah tidak digunakan tubuh, kemudian terbentuklah urin
yang sesuangguhnya, yang masuk ke dalam tubulus kolekta lalu masuk ke tubulus
pengumpul dan masuk ke pervis. Dari pervis renalis urin akan menuju ke ureter dan
ditampung dalam vesika urinaria. Jika urin penuh, maka akan dikeluarkan melalui
uretra (Syaifuddin, 2011). Proses pembentukan urin terbagi menjadi 3 tahapan di dalam
ginjal yaitu:
1) Filtrasi (Penyaringan)
Filtrasi darah terjadi di glomerulus, yaitu kapiler darah yang bergulunggulung di
dalam kapsula Bowman. Pada glomerulus terdapat sel endothelium sehingga
memudahkan proses penyaringan. Selain itu, di glomerulus terjadi peningkatan sel-
sel darah, keping darah, dan sebagian besar protein plasma agar tidak ikut
dikeluarkan. Hasil proses infiltrasi ini berupa urin primer yang mengandung asam
amino, glukosa, natrium, kalium, ion-ion dan garam-garam.
2) Reabsorpsi (Penyerapan Kembali)
Proses ini terjadi di tubulus kontartus proksimal. Proses ini terjadi setelah urin
primer mengalir dalam tubulus proksimal. Bahan yang diserap adalah bahan yang
masih berguna seperti glukosa, asam amino, dan sejumlah ionion anorganik melalui
proses transpor aktif serta air yang terdapat dalam urin primer diserap melalui
proses osmosis. Proses penyerapan air juga terjadi dalam tubulus kontartus distal.
Setelah itu, bahan-bahan yang telah diserap akan kembali ke dalam darah melalui
pembuluh kapiler yang ada di sekeliling tubulus. Proses reabsorpsi juga terjadi di
ansa Henle, khususnya ion natrium. Hasil akhirnya adalah urin sekunder dengan
kadar urea meningkat.
3) Augmentasi (Penambahan)
Urin sekunder selanjutnya masuk ke tubulus kontortus distal dan saluran
pengumpul. Di dalam saluran ini terjadi proses penambahan zat-zat sisa yang tidak
bermanfaat bagi tubuh. Kemudian urin yang sesungguhnya akan masuk ke kandung
kemih (vesika urinaria melalui ureter. Urin kemudian akan dikeluarkan melalui
uretra.

Gambar 4. Proses Pembentukan Urine

3. Jenis/Macam/Klasifikasi
Menurut Rahayu dan Harnanto (2017), terdapat beberapa klasifikasi cairan dan elektrolit
yaitu sebagai berikut :
1) Klasifikasi Cairan
A. Klasifikasi menurut distribusi cairan tubuh yaitu sebagai berikut:
a) Cairan Ekstrasel (CES) terdiri dari :
o Cairan interstitial (CI) yaitu cairan yang berada diantara sel yang menyusun
sekitar 15% berat tubuh.
o Cairan intravascular (CIV) terdiri dari plasma (cairan limfe) dan darah yang
menyusun sekitar 5% berat tubuh
o Cairan transeluler yang terdiri dari cairan serebrospinalis, synovia, cairan
peritoneum, cairan dalam rongga mata, dll yang menyusun 1-3% berat tubuh.
b) Cairan Intrasel (CIS) yaitu cairan dalam membrane sel yang membentuk 40% berat
tubuh.
B. Klasifikasi berdasarkan komposisi cairan tubuh terdiri dari:
1. Elektrolit: senyawa yang jika larut dalam air akan pecah menjadi ion dan mampu
membawa muatan listrik, yang terdiri dari:
o Kation : elektrolit yang mempunyai muatan positif
o Anion: elektrolit yang mempunyai muatan negatif
Elektrolit berfungsi untuk neuromuskular dan keseimbangan asam basa.Elektrolit
diukur dalam mEq/L.
2. Mineral merupakan senyawa jaringan dan cairan tubuh, yang berfungsi dalam:
o Mempertahankan proses fisiologis
o Katalis dalam respons saraf, kontraksi otot, dan metabolisme zat gizi
o Mengatur keseimbangan elektrolit dan produksi hormon, menguatkan struktur
tulang.
3. Sel merupakan unit fungsional dasar dari jaringan tubuh, contohnya eritrosit dan
leukosit.
C. Klasifikasi berdasarkan pergerakan cairan tubuh:
a) Difusi yaitu proses ketika partikel berpindah dari daerah berkonsentrasi tinggi ke
daerah berkonsentrasi rendah, sehingga distribusi partikel dalam cairan merata atau
melewati membran sel yang permeabel. Contoh: gerakan oksigen dari alveoli paru ke
darah kapiler pulmoner.
b) Osmosis yaitu perpindahan pelarut melalui membran semipermeabel dari larutan
dengan zat pelarut (solut) konsentrasi rendah ke larutan dengan solut konsentrasi
tinggi. Kecepatan osmosis bergantung pada konsentrasi solut, suhu larutan, muatan
listrik solut, dan perbedaan antara tekanan osmosis yang dikeluarkan larutan. Tekanan
osmotik merupakan tekanan dengan kekuatan untuk menarik air dan tekanan ini
bergantung pada jumlah molekul di dalam larutan. Tekanan osmotik dipengaruhi oleh
protein, khususnya albumin yang menghasilkan osmotik koloid atau tekanan onkotik.
Konsentrasi larutan (osmolalitas) diukur dalam osmol yang mencerminkan jumlah
substansi dalam larutan yang berbentuk molekul, ion, atau keduanya. Larutan yang
osmolalitasnya sama dengan plasma darah disebut isotonik, akan mencegah
perpindahan cairan dan elektrolit dari kompartemen intrasel. Hipotonik adalah larutan
yang memiliki konsentrasi solut lebih rendah dari plasma, akan membuat air
berpindah ke dalam sel. Hipertonik adalah larutan yang memiliki konsentrasi solut
lebih tinggi dari plasma, akan membuat air keluar dari sel.
c) Filtrasi yaitu proses gerakan air dan zat terlarut dari area dengan tekanan hidrostatik
tinggi ke area dengan tekanan hidrostatik rendah. Tekanan hidrostatik adalah tekanan
yang dibuat oleh berat cairan. Filtrasi penting dalam mengatur cairan keluar dari
arteri ujung kapiler.
d) Transpor aktif memerlukan aktivitas metabolik dan pengeluaran energi untuk
menggerakkan berbagai materi guna menembus membran sel dari daerah konsentrasi
rendah atau sama ke daerah konsentrasi sama atau lebih besar. Contoh: pompa
natrium kalium, natrium dipompa keluar dari sel dan kalium dipompa masuk ke
dalam sel.
D. Klasifikasi berdasarkan pengaturan cairan tubuh:
a) Asupan cairan diatur melalui mekanisme rasa haus, yang berpusat di hipotalamus.
Air dapat diperoleh dari asupan makanan (buah, sayuran, dan daging, serta oksidasi
bahan makanan selama proses pencernaan). Sekitar 220 ml air diproduksi setiap hari
selama metabolisme karbohidrat, protein, dan lemak berlangsung.
b) Haluaran cairan Cairan terutama dikeluarkan melalui ginjal dan saluran
gastrointestinal. Pada orang dewasa, ginjal setiap menit menerima sekitar 125 ml
plasma untuk disaring dan memproduksi urine. Jumlah urine yang diproduksi ginjal
dipengaruhi oleh hormon antideuretik (ADH) dan aldosteron. Kehilangan air melalui
kulit diatur oleh saraf simpatis, yang mengaktifkan kelenjar keringat.
c) Hormon utama yang memengaruhi keseimbangan cairan dan elektrolit adalah ADH
dan aldosteron. ADH menurunkan produksi urine dengan cara meningkatkan
reabsosrbsi air oleh tubulus ginjal dan air akan dikembalikan ke dalam volume darah
sirkulasi. Aldosteron mengatur keseimbangan natrium dan kalium, menyebabkan
tubulus ginjal mengekskresi kalium dan mengabsorbsi natrium, akibatnya air
akandireabsorbsi dan dikembalikan ke volume darah. Glukokortikoid memengaruhi
keseimbangan cairan dan elektrolit.
2) Klasifikasi Elektrolit
A. Klasifikasi berdasarkan pengaturan keseimbangan asam basa:
a) Pengaturan kimiawi
Ekskresi hidrogen dikendalikan oleh ginjal. Protein (albumin, fibrinogen, dan
protrombin) dan gama globulin dapat melepaskan atau berikatan dengan hidrogen
untuk memperbaiki asidosis atau alkalosis.
b) Pengaturan biologis
Hidrogen memiliki muatan positif dan harus ditukar dengan ion lain yang
bermuatan positif, sering kali ion yang digunakan adalah kalium. Karbondioksida
berdifusi ke dalam eritrosit dan membentuk asam karbonat, asam karbonat
membelah menjadi hidrogen dan bikarbonat, hidrogen terikat pada hemoglobin.
c) Pengaturan fisiologis
o Paru-paru
Apabila konsentrasi hidrogen berubah, paru-paru bereaksi untuk memperbaiki
ketidakseimbangan dengan mengubah frekuensi dan kedalaman pernapasan
o Ginjal
Ginjal mengabsorbsi bikarbonat jika terjadi kelebihan asam dan
mengekskresikannya jika terjadi kekurangan asam.Ginjal menggunakan fosfat
untuk membawa hidrogen dengan mengekskresikan asam fosfat dan
membentuk asam basa.Ginjal mengubah amonia (NH3) menjadi ammonium
(NH4+) dengan mengikatnya pada hidrogen.
B. Klasifikasi berdasarkan ketidakseimbangan elektrolit
a) Ketidakseimbangan natrium
Hiponatremia adalah konsentrasi natrium dalam darah lebih rendah, terjadi saat
kehilangan natrium atau kelebihan air.Hiponatremia menyebabkan kolaps
pembuluh darah dan syok. Hipernatremia adalah konsentrasi natrium dalam darah
lebih tinggi, dapat disebabkan oleh kehilangan air yang ekstrim atau kelebihan
natrium. Ekskresi dari natrium dapat dilakukan melalui ginjal atau sebagian kecil
melalui tinja, keringat, dan air mata.Normalnya sekitar 135-148 mEq/lt.
b) Ketidakseimbangan kalium
Kalium merupakan kation utama yang terdapat dalam cairan intrasel yang
berfungsi sebagai exitability neuromukuler dan kontraksi otot.Keseimbangan
kalium diatur oleh ginjal dengan mekanisme perubahan ion natrium dalam tubulus
ginjal dan sekresi aldosteron.Hipokalemia adalah kalium yang bersikulasi tidak
adekuat, dapat disebabkan oleh penggunaan diuretik.Hipokalemia dapat
menyebabkan aritmia jantung.Hiperkalemia adalah jumlah kalium dalam darah
lebih besar, disebabkan oleh gagal ginjal.Nilai normalnya sekitar 3,5-5,5 mEq/lt.
c) Ketidakseimbangan kalsium
Kalsium dalam tubuh berfungsi untuk pembentukan tulang dan gigi, penghantar
impuls kontraksi otot, koagulasi darah (pembekuan darah) dan membantu
beberapa enzim pankreas.Kalsium diekresi melalui urine, keringat.Konsentrasi
kalsium dalam tubuh diatur langsung oleh hormon paratiroid pada reabsorbsi
tulang.Hipokalsemia mencerminkan penurunan kadar kalsium serum.
Hiperkalsemia adalah peningkatan konsentrasi kalsium serum.
d) Ketidakseimbangan magnesium
Keseimbangan magnesium diatur oleh kelenjar parathyroid, dan magnesium
diabsorbsi dari saluran pencernaan.Magnesium dalam tubuh dipengaruhi oleh
konsentrasi kalsium. Jika magnesium dalam plasma darah kadarnya menurun,
maka ginjal akan mengeluarkan kalium lebih banyak, dapat terjadi pada pasien
alkoholisme kronis, muntah-muntah, diare, gangguan ginjal. Hipomagnesemia
terjadi ketika kadar konsentrasi serum turun sampai di bawah 1,5 mEq/L,
menyebabkan peningkatan iritabilitas neuromuskular. Hipermagnesemia terjadi
ketika konsentrasi magnesium serum meningkat sampai di atas 2,5 mEq/L,
menyebabkan penurunan eksitabilitas sel-sel otot.
e) Ketidakseimbangan klrorida
Fungsi klorida biasanya bersatu dengan natrium yaitu mempertahankan
keseimbangan tekanan osmotik dalam darah. Hipokloremia terjadi jika kadar
klorida serum turun sampai di bawah 100 mEq/L, disebabkan oleh muntah atau
drainage nasogastrik/fistula, diuretik. Hiperkloremia terjadi jika kadar serum
meningkat sampai di atas 106 mEq/L
C. Klasifikasi berdasarkan ketidakseimbangan asam basa:
a) Asidosis respiratorik
Asidosis respiratorik ditandai dengan peningkatan konsentrasi karbon dioksida
(PaCO2), kelebihan asam karbonat, dan peningkatan hidrogen (penurunan
pH).Hal ini disebabkan oleh hipoventilasi akibat gagal napas atau overdosis obat,
sehingga cairan serebrospinalis dan sel otak menjadi asam, menyebabkan
perubahan neurologis.
b) Alkalosis respiratorik
Alkalosis respiratorik ditandai dengan penurunan PaCO2 dan penurunan
konsentrasi hidrogen (peningkatan pH).Hal ini disebabkan oleh penghembusan
karbon dioksida berlebihan pada waktu mengeluarkan napas atau oleh
hiperventilasi, akibat ansietas atau asma.
c) Asidosis metabolik
Asidosis metabolik diakibatkan oleh peningkatan konsentrasi hidrogen dalam
cairan ekstrasel, disebabkan oleh peningkatan kadar hidrogen atau penurunan
kadar bikarbonat.
d) Alkalosis metabolik
Alkalosis metabolik ditandai dengan kehilangan asam dari tubuh atau
meningkatnya kadar bikarbonat, disebabkan oleh muntah, gangguan asam
lambung, menelan natrium bikarbonat.
4. Jenis Gangguan Kebutuhan Dasar
Adapun jenis gangguan dalam pemenuhan kebutuhan dasar cairan dan elektrolit adalah
sebagai berikut:
1. Gagal Ginjal Kronik
Gagal ginjal merupakan suatu keadaan klinis yang ditandai dengan penurunan fungsi
ginjal yang ireversibel pada suatu derajat dimana memerlukan terapi pengganti ginjal
yang tetap, berupa dialisis 14 atau transplantasi ginjal. Salah satu sindrom klinik yang
terjadi pada gagal ginjal adalah uremia. Hal ini disebabkan karena menurunnya fungsi
ginjal (Rahman et al., 2013).
2. Overhidrosis
Overhidrasi terjadi jika asupan cairan lebih besar daripada pengeluaran cairan.
Kelebihan cairan dalam tubuh menyebabkan konsentrasi natrium dalam aliran darah
menjadi sangat rendah (Mangku & Senapathi, 2010). Penyebab overhidrasi meliputi,
adanya gangguan ekskresi air lewat ginjal (gagal ginjal akut), masukan air yang
berlebihan pada terapi cairan, masuknya cairan irigator pada tindakan reseksi prostat
transuretra, dan korban tenggelam (Butterworth et al., 2013).
3. Dehidrasi
Dehidrasi merupakan suatu kondisi defisit air dalam tubuh akibat masukan yang kurang
atau keluaran yang berlebihan. Kondisi dehidrasi bisa terdiri dari 3 bentuk, yaitu:
isotonik (bila air hilang bersama garam, contoh: GE akut, overdosis diuretik), hipotonik
(secara garis besar terjadi kehilangan natrium yang lebih banyak dibandingkan air yang
hilang. Karena kadar natrium serum rendah, air di kompartemen intravaskular
berpindah ke ekstravaskular, sehingga menyebabkan penurunan volume intravaskular),
hipertonik (secara garis besar terjadi kehilangan air yang lebih banyak dibandingkan
natrium yang hilang. Karena kadar natrium tinggi, air di kompartemen ekstravaskular
berpindah ke kompartemen intravaskular, sehingga penurunan volume intravaskular
minimal) (Hahn, 2012) (Voldby & Branstrup, 2016).
4. Hiponatremia
Kondisi hiponatremia apabila kadar natrium plasma di bawah 130mEq/L. Jika < 120
mg/L maka akan timbul gejala disorientasi, gangguan mental, letargi, iritabilitas, lemah
dan henti pernafasan, sedangkan jika kadar < 110 mg/L maka akan timbul gejala
kejang, koma. Penyebab terjadinya Hiponatremia adalah euvolemia (SIADH, polidipsi
psikogenik), hipovolemia (disfungsi tubuli ginjal, diare, muntah, third space losses,
diuretika), hipervolemia (sirosis, nefrosis) (Hines & Marschall, 2013).
5. Hipernatremia
Hipernatremia terjadi setiap kali total kandungan tubuh terlarut meningkatkan relatif
terhadap TBW dan biasanya, tapi tidak selalu, berhubungan dengan hipernatremia ([Na
+]> 145 mEq / L). Jika kadar natrium > 150 mg/L maka akan timbul gejala berupa
perubahan mental, letargi, kejang, koma, lemah (Mangku & Senapathi, 2010).
6. Hipokalemia
Nilai normal Kalium plasma adalah 3,5-4,5 mEq/L. Disebut hipokalemia apabila kadar
kalium <3,5 mEq/L. Hipokalemia dapat terjadi akibat redistribusi akut dari cairan
ekstraselular ke intraselular atau pengurangan kornis total kalium tubuh (Hahn, 2012).
7. Hiperkalemia
Hiperkalemia adalah jika kadar kalium > 5 mEq/L. Hiperkalemia sering terjadi karena
insufisiensi renal atau obat yang membatasi ekskresi kalium (NSAIDs, ACE-inhibitor,
siklosporin, diuretik). Tanda dan gejalanya terutama melibatkan susunan saraf pusat
(parestesia, kelemahan otot) dan sistem kardiovaskular (disritmik, perubahan EKG)
(Mangku & Senapathi, 2010).
8. Hipokalsemia
Hipokalsemia disebabkan karena hipoparatiroidism, kongenital, idiopatik, defisiensi vit
D, defisiensi (OH)2D3 pada gagal ginjal kronik, dan hiperfosfatemia. Manifestasi dari
hipokalsemia termasuk kulit kering, parestesia, gelisah dan kebingungan, gangguan
irama jantung, laring stridor (spasme laring), tetani dengan spasme karpopedal (tanda
Trousseau), masseter spasme (Tanda Chvostek), dan kejang (Butterworth et al., 2013)
(Mangku & Senapathi, 2010).

5. Pengkajian dan Pemeriksaan Penunjang Kebutuhan Dasar


Diagnosis gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit dapat ditegakkan melalui anamnesis,
pemeriksaan fisik, dan laboratorium. Saat anamnesis ditanyakan adanya panas badan,
keringat berlebihan, diare, muntah, haus, pemakaian obat -obat tertentu, pemasukan dan
pengeluaran cairan tidak seimbang. Pemeriksaan fisik meliputi berat badan dan tinggi badan,
tekanan darah, nadi, turgor kulit, mukosa mulut dan lidah, mata cekung, ubun-ubun
(fontanel), pernafasan, diuresis, refleks dan pemasangan tekanan vena sentral. Pemeriksaan
penunjang untuk mengetahui adanya permasalah terkait pemenuhan kebutuhan cairan dan
elektrolit menurut Tamsuri (2009) dapat dilakukan dengan melakukan pemeriksaan:
1. Hitung darah
Hematokrit (Ht) menggambarkan persentase total darah dengan sel darah merah. Karena
hematokrit merupakan pengukuran volume sel dalam plasma, nilainya akan dipengaruhi
oleh jumlah cairan plasma. Dengan demikian, nilai Ht pada klien yang mengalami
dehidrasi atau hipovolemia cenderung meningkat, sedangkan nilai Ht pada pasien yang
mengalami overdehidrasi dapat menurun. Normalnya, nilai Ht pada laki-laki adalah 40%-
54% dan perempuan 37%-47%.
2. Pemeriksaan elektrolit serum dilakukan untuk mengetahui kadar natrium, kalium, klorida,
dan kalsium.
a) Kondisi kelebihan natrium (hipernatremia) dalam darah umumnya disebabkan oleh
kurangnya konsumsi air, dehidrasi berat, hilangnya cairan tubuh karena demam,
diare, muntah, penyakit pernapasan, keringat berlebihan karena olahraga, dan
konsumsi obat kortikosteroid. Sedangkan kondisi kekurangan natrium
(hiponatremia) biasanya disebabkan oleh malnutrisi serta gangguan kelenjar tiroid,
adrenal, dan hipotalamus. Penyebab lainnya adalah gagal ginjal, gagal jantung,
gagal hati, kecanduan alkohol, serta konsumsi obat diuretik atau antikonvulsan.
b) Kalium berperan penting dalam mengatur fungsi jantung, serta menjaga fungsi
saraf dan otot. Kondisi kadar kalium berlebih (hiperkalemia) biasanya disebabkan
oleh gagal ginjal dan dehidrasi berat. Penggunaan obat diuretik dan obat penurun
tekanan darah, serta darah yang terlalu asam (asidosis) seperti ketoasidosis
diabetik, juga bisa menjadi penyebab hiperkalemia. Sedangkan kondisi kekurangan
kadar kalium (hipokalemia) umumnya disebabkan oleh gangguan makan,
dehidrasi, muntah, diare, dan penggunaan obat pencahar, diuretik, atau insulin.
c) Klorida adalah elektrolit yang berfungsi untuk menjaga keseimbangan pH dalam
darah dan menyebarkan impuls saraf. Kelebihan klorida (hiperkloremia) bisa
disebabkan oleh gagal ginjal kronis atau akut, gangguan pH darah (asidosis
metabolik atau alkalosis respiratorik), dan konsumsi acetazolamide jangka
panjang. Sedangkan kekurangan klorida (hipokloremia) biasanya disebabkan oleh
diare atau muntah berkepanjangan, penyakit paru-paru kronis seperti emfisema,
gagal jantung, dan gangguan pH darah (alkalosis metabolik). Konsumsi obat
pencahar, diuretik, kortikosteroid, dan bikarbonat juga bisa menyebabkan
hipokloremia.
d) Kalsium adalah mineral yang penting untuk fungsi organ, saraf, otot, dan sel
tubuh. Penyebab hiperkalsemia antara lain adalah penyakit ginjal, gangguan tiroid,
Hiperparatiroidisme, obat-obatan, seperti lithium, teofilin, dan diuretic, penyakit
paru-paru, seperti tuberkulosis (TBC). Sedangkan penyebab hipokalsemia di
antaranya adalah pankreatitis, gagal ginjal, kanker prostat, dan kekurangan vitamin
D.
3. pH Urine
pH urine menunjukkan tingkat keasaman urine yang dapat digunakan untuk
menggambarkan ketidakseimbangan asam basa. pH urine normal adalah 4,6-8 pada
kondisi asidosis metabolik.
4. Berat Jenis Urine
Berat jenis urine dapat digunakan sebagai indikator gangguan keseimbangan cairan dan
elektrolit. Pengukuran berat jenis urine merupakan cara paling mudah dan cepat untuk
menentukan konsentrasi urine. Berat jenis urine dapat meningkat saat terjadi pemekatan
akibat kekurangan cairan dan menurun saat tubuh kelebihan cairan. Nilai berat jenis urine
normal adalah 1,005 – 1,03. Selain itu, berat jenis urine juga meningkat saat terdapat
glukosa dalam urine, juga pada pemberian dekstran, obat kontras radiografi, dan beberapa
jenis obat lainnya.
5. Analisa Gas Darah biasanya yang biasa diperiksa adalah pH, PO, HCO, PCO, dan SaO2.
- PCO2 normal : 35 – 40 mmHg
- PO2 normal : 80 – 100 mmHg
- HCO3 normal : 22 – 24 mmHg
- SaO2 adalah perbandingan oksigen dalam darah dengan jumlah oksigen yang dapat
dibawa oleh darah sampai bagian perifer tubuh, normalnya 95% - 98%.

6. Diagnosis Keperawatan Gangguan Kebutuhan Dasar


a. Kelebihan volume cairan berhubungan dengan melemahnya mekanisme pengaturan
ginjal, ditandai dengan klien mengalami edema, terjadi peningkatan berat badan dengan
cepat, distensi vena jugularis, oliguria
b. Kekurangan volume cairan berhubungan dengan kehilangan cairan aktif ditandai
dengan penurunan haus, membran mukosa kering, penurunan turgor kulit, peningkatan
konsentrasi urine
7. Nursing Care Plan
No Diagnosis NOC NIC
Keperawatan
1 Kelebihan volume NOC Label: Fluid Balance NIC Label :
cairan berhubungan 1. Tekanan darah pasien normal Fluid Management
dengan melemahnya 2. Kecepatan nadi pasie normal 60- 1. Monitor dan timbang berat badan
mekanisme 100x/menit pasien setiap hari selama dirawat
pengaturan ginjal, 3. Turgor kulit pasien normal 2. Pertahankan keakuratan catatan
ditandai dengan 4. Intake dan output dalam 24 jam intake dan output
pasien mengalami seimbang 3. Pasang urinary kateter jika
edema, terjadi 5. Berat badan pasien stabil diperlukan
peningkatan berat 6. Intake dan output dalam 24 jam 4. Monitor vital sign
badan dengan cepat, seimbang 5. Periksa lokasi dan luas edema, jika
distensi vena 7. Hasil pemeriksaan elektrolit ada
jugularis, oliguria pasien normal: 6. Monitor status nutrisi pasien
a) Natrium (135-148 mEq/lt) 7. Monitor respon pasien terhadap
b) Kalium (3,5-5,5 mEq/lt) terapi elektrolit yang diberikan\
c) Magnesium (1,5-2,5 mEq/lt)
d) Klorida (100-106 mEq/lt) NIC Label : Fluid Monitoring
e) Hematokrit dalam rentang 1. Kaji riwayat jumlah dan tipe cairan
normal (laki-laki : 40%-54% yang masuk dan kebiasaan
dan perempuan : 37%-47%). eleminasi
f) Berat jenis urin dalam rentang 2. Kaji factor resiko yang
normal (1,005 – 1,03). menyebabkan ketidakseimbangan
g) Osmolalitas serum normal cairan
(279 - 300 mOsmol/kg ) 3. Monitor cairan yang masuk dan
keluar
NOC Label : Fluid Overload Severity 4. Monitor membrane mukosa dan
1. Tidak tampak adanya edema pada turgor kulit
kaki
2. Tidak tampak adanya edema
sistemik
3. Tidak tampak adanya ascites
(tampak kembung pada perut)
4. Tidak ada peningkatan ukuran
lingkar perut
2 Kekurangan volume NOC : Fluid balance NIC : Fluid Management
cairan berhubungan a) Mempertahankan urine output 1. Pertahankan catatan intake dan
dengan kehilangan sesuai dengan usia dan BB, BJ output yang akurat
cairan aktif ditandai urine normal, 2. Monitor status hidrasi (kelembaban
dengan penurunan b) Tekanan darah, nadi, suhu tubuh membran mukosa, nadi adekuat,
haus, membran dalam batas normal tekanan darah ortostatik), jika
mukosa kering, diperlukan
penurunan turgor NOC : Hydration 3. Monitor hasil lab yang sesuai
kulit, peningkatan a) Tidak ada tanda tanda dehidrasi, dengan retensi cairan (BUN , Hmt,
konsentrasi urine elastisitas turgor kulit baik, osmolalitas urin, albumin, total
membran mukosa lembab, tidak protein)
ada rasa haus yang berlebihan 4. Monitor vital sign setiap 15menit – 1
jam
5. Kolaborasi pemberian cairan IV
6. Monitor status nutrisi
Noc : Nutritional Status : Food and 7. Berikan cairan oral
Fluid Intake 8. Berikan penggantian nasogatrik
Intake oral dan intravena adekuat sesuai output (50 – 100cc/jam)
9. Dorong keluarga untuk membantu
pasien makan
10. Monitor intake dan urin output
setiap 8 jam

8. Intervensi Pemenuhan Kebutuhan Dasar


Penatalaksanaan gangguan pada cairan dan elektrolit secara intravena mempunyai tujuan
untuk mengganti kekurangan air atau elektrolit dalam tubuh, memberikan air, elektrolit dan
zat makanan untuk kebutuhan harian serta untuk memperbaiki keadaan akibat kehilangan
cairan dan elektrolit. Penatalaksanaan pemberian cairan dan elektrolit harus berdasarkan
penyebab, sehingga setelah ditentukan maka disusun suatu rencana pemberian meliputi jenis
cairan elektrolit, jumlah dan kecepatan pemberian. Penatalaksanaan harus dilakukan secara
sistematik meliputi evaluasi status hemodinamik, pemasangan infus yang tepat, bila perlu
memasang tekanan vena sentral (CVP), periksa kadar elektrolit dan analisis gas darah. Pada
kondisi gawat, kateter urin harus terpasang untuk mengetahui kehilangan cairan sehingga
dapat direncanakan pemberian cairan elektrolit yang tepat (Kurniawan, 2016)

1. Pemilihan cairan intravena

a. Cairan kristaloid yang paling banyak digunakan adalah normal saline dan ringer laktat.
Cairan kristaloid memiliki komposisi yang mirip cairan ekstraselular. Karena
perbedaan sifat antara kristaloid dan koloid, dimana kristaloid akan lebih banyak
menyebar ke ruang interstitial dibandingkan dengan koloid maka kristaloid sebaiknya
dipilih untuk resusitasi defisit cairan di ruang intersisial. Penggunaan cairan normal
salin dalam jumlah yang besar dapat menyebabkan timbulnya asidosis hiperkloremik,
sedangkan penggunaan cairan ringer laktat dengan jumlah besar dapat menyebabkan
alkalosis metabolik yang disebabkan adanya peningkatan produksi bikarbonat akibat
metabolisme laktat. Larutan dekstrose 5% sering digunakan jika pasien memiliki gula
darah yang rendah atau memiliki kadar natrium yang tinggi. Namun penggunaannya
untuk resusitasi dihindarkan karena komplikasi yang diakibatkan antara lain
hiperomolalitas, hiperglikemik, diuresis osmotik, dan asidosis serebral (Suta &
Sucandra, 2017).

b. Cairan koloid mengandung zat-zat yang mempunyai berat molekul tinggi dengan
aktivitas osmotik yang menyebabkan cairan ini cenderung bertahan agak lama dalam
ruang intravaskuler. Koloid digunakan untuk resusitasi cairan pada pasien dengan
defisit cairan berat seperti pada syok hipovolemik/hermorhagik sebelum diberikan
transfusi darah, pada penderita dengan hipoalbuminemia berat dan kehilangan protein
jumlah besar (misalnya pada luka bakar). Cairan koloid merupakan turunan dari
plasma protein dan sintetik yang dimana koloid memiliki sifat yaitu plasma expander
yang merupakan suatu sediaam larutan steril yang digunakan untuk menggantikan
plasma darah yang hilang akibat perdarahan, luka baker, operasi, Kerugian dari
‘plasma expander’ ini yaitu harganya yang mahal dan dapat menimbulkan reaksi
anafilaktik (walau jarang) dan dapat menyebabkan gangguan pada cross match.
Contoh koloid alami yaitu seperti fraksi protein plasma 5% dan albumin manusia, serta
koloid sintetik seperti cairan koloid yaitu dextran, gelatin (Suta & Sucandra, 2017).

2. Perhitungan pemenuhan kebutuhan cairan intravena


Untuk mengetahui jumlah tetesan per menit (TPM) cairan infus yang akan diberikan
pada pasien, terlebih dahulu kita mengetahui jumlah cairan yang akan diberikan, lama
pemberian, dan faktor tetes tiap infus. Adapun cara perhitungan TPM yaitu: (Fauzian,
2016) Jumlah TPM = Kebutuhan cairan x Faktor tetes / lama pemberian x 60 menit

3. Perhitungan keseimbangan cairan (input dan output cairan)


Asupan (intake) cairan untuk kondisi normal pada orang dewasa adalah ± 2.500 cc per
hari. Pengeluaran (output) cairan sebagai bagian dalam mengimbangi asupan cairan
pada orang dewasa, dalam kondisi normal adalah ±2.300 cc. Jumlah cairan paling
banyak dikeluarkan dari eksresi ginjal (berupa urine), sebanyak ±1.500 cc per hari pada
orang dewasa. Pasien dengan ketidakadekuatan pengeluaran cairan memerlukan
pengawasan asupan dan pengeluaran secara khusus. Peningkatan jumlah dan kecepatan
pernapasan, demam, keringat, muntah, dan diare dapat menyebabkan kehilangan cairan
secara berlebihan (Fauzian, 2016). Adapun rumus menghitung keseimbangan cairan
yaitu intake cairan mulai dari cairan infus, minum, kandungan cairan dalam makanan
pasien, volume obatobatan, termasuk obat suntik, albumin, dll dikurangi dengan output
cairan yang dihitung dari cairan pada feses dan urine dalam 24 jam, jika pasien dipasang
kateter maka hitung dalam ukuran di urobag serta jumlah IWL (Insensible Water Loss)
yaitu jumlah cairan yang keluarnya tidak disadari dan sulit dihitung, yaitu jumlah
keringat, uap hawa nafas dengan rumus yaitu IWL = (15x BB)/24 jam (Fauzian, 2016).

4. Terapi Farmakologi Diuretik


Diuretik ialah obat yang dapat menambah kecepatan pembentukan urin. Istilah dieresis
mempunyai dua pengertian, pertama menunjukkan adanya penambahan volume urin
yang diproduksi dan yang kedua menunjukkan jumlah pengeluaran (kehilangan) zat-zat
terlarut dan air. Adapun contoh obat diuretik seperti furosemide, manitol, asetazolamid,
tiazid (Dwiyanti, 2015).

5. Terapi Hemodialisa
Gagal ginjal kronis adalah penyimpangan progresif, fungsi ginjal yang tidak dapat pulih
dimana kemampuan tubuh untuk mempertahankan keseimbangan metabolik, dan cairan
dan elektrolit mengalami kegagalan, yang mengakibatkan uremia. Terapi pengganti
ginjal menjadi satu-satunya pilihan bagi pasien dengan penyakit gagal ginjal kronik
untuk mempertahankan fungsi tubuh. Terapi pengganti ginjal dapat berupa transplantasi
atau dialisis, yang terdiri dari dialisis peritonial dan hemodialisa. Hemodialisa
merupakan terapi pengganti ginjal yang paling banyak dilakukan dan jumlahnya dari
tahun ke tahun terus meningkat (Puspasari & Nggobe, 2018).

9. Jurnal Pendukung
MANAJEMEN XEROSTOMIA DAN INTERDIALYTIC WEIGHT GAIN

Gagal ginjal kronis merupakan masalah kesehatan global yang terus meningkat
jumlahnya. Saat ini prevalensi gagal ginjal tahap akhir adalah 150 orang per 1 juta penduduk dan
kurang lebih 9-13% pasien yang menjalani dialisis meninggal dalam satu tahun(Chandrashekar
A, et al., 2014). Faktor yang mempengaruhi kelangsungan hidup pasien hemodialisis salah
satunya adalah ketidakpatuhan dalam asupan cairan dan diet. Faktor-faktor terkait dengan
ketidakpatuhan terhadap pembatasan cairan antara lain psikologis (motivasi rendah), dukungan
sosial, kurang pengetahuan, dan kurangnya penilaian diri terhadap status cairan keseluruhan,
asupan cairan, dan asupan garam. Diantara beberapa faktor yang telah disebutkan, penyebab
utama pasien tidak patuh terhadap pembatasan cairan dikarenakan perasaan haus yang berlebihan
atau xerostemia. Secara skematis, haus pada pasien hemodialisis terutama osmometrik (Lindley,
2009), meliputi asupan garam, meningkatnya osmolaritas cairan di ekstraseluler, dan
menyusutnya sel-sel osmoreseptor di dalam hipotalamus yang menyebabkan keinginan untuk
minum. Selain itu keinginan minum pun muncul pada pasien hemodialisis karena keluhan mulut
kering yang mayoritas dialami pasien gagal ginjal tahap akhir disebabkan penurunan aliran saliva
(Bossola & Tazza, 2012). Mulut kering dapat menempatkan pasien berisiko masalah kesehatan
mulut, seperti sariawan, infeksi, dan kerusakan gigi. Perawat dalam hal ini berperan sebagai
pemberi asuhan keperawatan dan pendidik yang bertanggung jawab dalam meningkatkan
pengetahuan, kesadaran, dan motivasi pasien tentang pentingnya pembatasan asupan cairan dan
diet bagi pasien gagal ginjal kronik yang menjalani hemodialisis.

Metode ataupun jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah literature
review. Literatur yang dijadikan bahan untuk penelitian ini berbentuk full text. Database meliputi
Pubmed, CINAHL, Scopus, dan Proquest termasuk dalam pencarian artikel yang relevan. Total
artikel berjumlah 72 artikel dan artikel yang digunakan dalam review ini berjumlah 10 artikel,
dengan pembahasan artikel sebagai berikut: Pembatasan cairan merupakan salah satu terapi yang
diberikan bagi pasien gagal ginjal tahap akhir sebagai pencegahan dan terapi terhadap kondisi
komorbid yang dapat memperburuk keadaan pasien seperti edema pulmo atau semua penyebab
dan mortalitas kardiovaskular (Wong et al., 2017). Salah satu yang sering dikeluhkan pada
pasien gagal ginjal tahap akhir yang dapat menimbulkan distress adalah rasa haus. Laju aliran
saliva dapat distimulasi oleh aroma, selera, dan gerakan mengunyah, sehingga intervensi
mengunyah permen karet ini dapat dianggap sebagai kombinasi dari stimulan tersebut. Menthol
dalam permen karet ini menstimulasi reseptor dingin pada mulut yang memberikan sensasi
memuaskan rasa haus. Mengunyah dan perangsang rasa dilaporkan efektif dalam jangka pendek
meningkatkan jumlah aliran saliva dan meningkatkan kondisi periodontal, serta mengurangi
oksidasi lipid saliva. Perbedaan durasi dan frekuensi pasien mengunyah permen karet pada
ketiga studi yaitu antara 10-15 menit hingga 10 menit dalam 6x/hari. Selain mengunyah stimulan
yang dapat dilakukan dengan memberikan rangsang pada beberapa sensor yang berada di
mukosa oropharingeal (mekano reseptor, reseptor suhu, dan reseptor air) memainkan peranan
penting dalam rasa haus dan pemuasan rasa haus. Stimulasi pada oropharingeal dengan
menghisap kepingan es batu merupakan determinan awal yang penting dalam mengakhiri minum
atau telah terjadinya mekanisme satiety atau kekenyangan. Mekanisme ini mencegah asupan
cairan berlebihan sampai cairan yang diabsorpsi menjadi efektif (preabsortive satiety mendahului
postabsortive satiety) (Kandel, 2000). Efek satiety post ingesti dengan memodifikasi suhu air
minum menunjukan pola positif penurunan intensitas haus responden, yang mana normalnya
adalah semakin banyak volume air minum berbanding lurus dengan semakin besar penurunan
intensitas haus. Kepingan es batu juga dapat mengurangi rasa tidak enak atau pahit di mulut
responden. Penggunaan licorice efektif untuk meningkatkan laju aliran saliva. Para responden
pada studi tersebut merasakan peningkatan saliva 20-30 menit setelah berkumur dengan licorice
mouthwash, obat kumur licorice memberikan rasa manis dan kelegaan dari mulut kering selama
2-3 jam. Persepsi rasa manis merangsang reseptor rasa dan meningkatkan sekresi air liur dan
mengurangi rasa mulut kering (Yu et al., 2016).

Diantara teknik yang telah disebutkan sebelumnya, teknik kognitif atau strategi perilaku
merupakan teknik yang paling sering digunakan pada pemberian intervensi psikologis. Teknik
ini biasanya dikombinasikan dengan konseling tentang nutrisi dan pembatasan cairan secara
teratur (Gianni Bellomo, Pamela Coccetta, Franca Pasticci & Selvi, 2015). Intervensi
psikoedukasi kemudian dimodifikasi menjadi HED-SMART yang sama efektifnya untuk
mengurangi gejala mulut kering dan IDWG. Tujuan akhir dari diberikannya intervensi
keperawatan adalah pasien dapat memantau diri sendiri terutama sebagai pencegahan untuk
memastikan bahwa dirinya menaati rekomendasi diet dan asupan cairan. Hal ini melibatkan
pengukuran konsumsi dengan menggunakan gelas ukur, menyiapkan menu harian, atau
menimbang diri mereka untuk melacak perilaku dan mengambil tindakan untuk menghindari
konsumsi berlebihan. Pemberian intervensi keperawatan yang berprinsip menstimulasi kelenjar
ludah dengan mengunyah permen karet, licorice mouthwash, atau menghisap es batu, edukasi
yang efektif dengan HED-SMART, konseling berkala, dan motivasi konstan terbukti signifikan
dapat meningkatkan kepercayaan diri pasien dalam kepatuhan asupan cairan untuk menjalani
kehidupan yang sehat.

DAFTAR PUSTAKA
Butterworth, J., F., Mackey, D., C., & Wasnick, J., D. (2013). Management of Patients with
Fluid and Electrolyte Disturbances. New York, 4(49), 1107.
Dwiyanti.(2015).Farmakologi-Diuretik.
https://www.academia.edu/9938967/FARMAKOLOGI_-_DIURETIK
Fauzian, I., A. (2016). Upaya mempertahankan balance cairan dengan memberikan cairan sesuai
kebutuhan pada klien DHF di RSUD Pandan Arang Boyolali. Universitas Muhammadiyah
Surakarta.
Hahn, R., G. (2012). Clinical Fluid Therapy in the Perioperative Setting (Vol. 1). Cambridge
University Press. Hanifah, L. (2018). Pengaruh Pemberian Buah Pepaya (Carica papaya. L
Terhadap Tingkat Nekrosis epitel Glomerulus dan Tubulus Ginjal Mencit (Mus musculus)
yang Diindikasi CCl4 (Karbon Tetraklorida). Universitas Islam Negeri Malang.
Hines, R., L., & Marschall, K., E. (2013). Fluid, Electrolytes, and Acid-Base Disorders (4th ed.,
Vol. 18). Elsevier.
Kurniawan, A. (2016). Asuhan keperawatan pemenuhan kebutuhan cairan dan elektrolit pada Tn.
R di Ruang Dahlia RSUD Dr. Soedirman Kebumen. Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan
Muhammadiyah Gombong.
Kusumawardhani, Y & Yetti, K. (2020). Manajemen Xerostomia Dan Interdialytic Weight Gain.
Jurnal Keperawatan, 12(1).
Mangku, G., & Senapathi, T., G., A. (2010). Keseimbangan Cairan dan Elektrolit (Vol. 6).
Indeks. Marieb, E., N., & Hoehn, K. (2015). Human anatomy & physiology (10th ed.).
Pearson Education, Inc Pandu. (2016). Proses Pembentukan Urine dan Skema beserta Gambar.
http://www.ebiologi.net/2016/01/proses-pembentukan-urine.html
Pearce, evelyn C. (2016). Anantomi dan fisiologi untuk paramedis. PT Gramedia Pustaka Utama.
Puspasari, S., & Nggobe, I. W. (2018). Hubungan Kepatuhan Menjalani Terapi Hemodialisa
dengan Kualitas Hidup Pasien di Unit Hemodialisa RSUD Cibabat – Cimahi. 12(3), 6.
Rahayu, S., & Harnanto, A., M. (2017). Kebutuhan Dasar Manusia II. Jakarta: Kemenkes RI.
http://bppsdmk.kemkes.go.id/pusdiksdmk/wpcontent/uploads/2017/08/KD M-2-
Komprehensif.pdf
Rahman, Rudiansyah, & Triawanti. (2013). Hubungan antara adekuasi hemodialis dan kualitas
hidup pasien di RSUD Ulin Banjarmasin. 9(2). www.sciencedirect.com Sherwood, L.
(2011). Fisiologi manusia: Dari sel ke sistem (6th ed.). EGC.
Suta,P.,P.,.D.,Sucandra,I.,M.,.A.,.K.(2017).Terapi Cairan.
Syaifuddin, H. (2011). Anatomi fisiologi: Kurikulum berbasis kompetensi untuk keperawatan
dan kebidanan (4th ed.). EGC.
Tamsuri, A. (2009). Klien dengan Gangguan Keseimbangan Cairan dan Elektrolit. EGC.
Verdiansah. (2016). Pemeriksaan Fungsi Ginjal. 43(2), 148–154.
Voldby, A., W., & Branstrup, B. (2016). Fluid Therapy in the Perioperative Setting. 4, 27–39.

Anda mungkin juga menyukai