LAPORAN PENDAHULUAN
“Kebutuhan Cairan”
OLEH :
NIM. 2002621029
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS UDAYANA
2020
LAPORAN PENDAHULUAN
“Kebutuhan Cairan”
1. Definisi
Kebutuhan cairan dan elektrolit adalah suatu proses dinamik karena metabolisme tubuh
membutuhkan perubahan yang tetap untuk berespon terhadap stressor fisiologi dan
lingkungan (Kurniawan, 2016). Cairan dan elektrolit sangat diperlukan agar menjaga
kondisi tubuh tetap sehat. Keseimbangan cairan tubuh adalah keseimbangan antara jumlah
cairan yang masuk dan keluar. Melalui mekanisme keseimbangan, tubuh berusaha agar
cairan didalam tubuh setiap waktu selalu berada dalam jumlah yang kosntan. Dalam
keadaan normal, masukan cairan akan dipenuhi melalui minum atau makanan yang masuk
ke dalam tubuh secara peroral, serta air yang diperoleh sebagai hasil metabolisme. Air yang
keluar dari tubuh, termasuk yang dikeluarkan sebagai urin, air didalam feses, isensibel dan
air yang dikeluarkan melalui kulit dan paru-paru (Mangku & Senapathi, 2010).
3. Jenis/Macam/Klasifikasi
Menurut Rahayu dan Harnanto (2017), terdapat beberapa klasifikasi cairan dan elektrolit
yaitu sebagai berikut :
1) Klasifikasi Cairan
A. Klasifikasi menurut distribusi cairan tubuh yaitu sebagai berikut:
a) Cairan Ekstrasel (CES) terdiri dari :
o Cairan interstitial (CI) yaitu cairan yang berada diantara sel yang menyusun
sekitar 15% berat tubuh.
o Cairan intravascular (CIV) terdiri dari plasma (cairan limfe) dan darah yang
menyusun sekitar 5% berat tubuh
o Cairan transeluler yang terdiri dari cairan serebrospinalis, synovia, cairan
peritoneum, cairan dalam rongga mata, dll yang menyusun 1-3% berat tubuh.
b) Cairan Intrasel (CIS) yaitu cairan dalam membrane sel yang membentuk 40% berat
tubuh.
B. Klasifikasi berdasarkan komposisi cairan tubuh terdiri dari:
1. Elektrolit: senyawa yang jika larut dalam air akan pecah menjadi ion dan mampu
membawa muatan listrik, yang terdiri dari:
o Kation : elektrolit yang mempunyai muatan positif
o Anion: elektrolit yang mempunyai muatan negatif
Elektrolit berfungsi untuk neuromuskular dan keseimbangan asam basa.Elektrolit
diukur dalam mEq/L.
2. Mineral merupakan senyawa jaringan dan cairan tubuh, yang berfungsi dalam:
o Mempertahankan proses fisiologis
o Katalis dalam respons saraf, kontraksi otot, dan metabolisme zat gizi
o Mengatur keseimbangan elektrolit dan produksi hormon, menguatkan struktur
tulang.
3. Sel merupakan unit fungsional dasar dari jaringan tubuh, contohnya eritrosit dan
leukosit.
C. Klasifikasi berdasarkan pergerakan cairan tubuh:
a) Difusi yaitu proses ketika partikel berpindah dari daerah berkonsentrasi tinggi ke
daerah berkonsentrasi rendah, sehingga distribusi partikel dalam cairan merata atau
melewati membran sel yang permeabel. Contoh: gerakan oksigen dari alveoli paru ke
darah kapiler pulmoner.
b) Osmosis yaitu perpindahan pelarut melalui membran semipermeabel dari larutan
dengan zat pelarut (solut) konsentrasi rendah ke larutan dengan solut konsentrasi
tinggi. Kecepatan osmosis bergantung pada konsentrasi solut, suhu larutan, muatan
listrik solut, dan perbedaan antara tekanan osmosis yang dikeluarkan larutan. Tekanan
osmotik merupakan tekanan dengan kekuatan untuk menarik air dan tekanan ini
bergantung pada jumlah molekul di dalam larutan. Tekanan osmotik dipengaruhi oleh
protein, khususnya albumin yang menghasilkan osmotik koloid atau tekanan onkotik.
Konsentrasi larutan (osmolalitas) diukur dalam osmol yang mencerminkan jumlah
substansi dalam larutan yang berbentuk molekul, ion, atau keduanya. Larutan yang
osmolalitasnya sama dengan plasma darah disebut isotonik, akan mencegah
perpindahan cairan dan elektrolit dari kompartemen intrasel. Hipotonik adalah larutan
yang memiliki konsentrasi solut lebih rendah dari plasma, akan membuat air
berpindah ke dalam sel. Hipertonik adalah larutan yang memiliki konsentrasi solut
lebih tinggi dari plasma, akan membuat air keluar dari sel.
c) Filtrasi yaitu proses gerakan air dan zat terlarut dari area dengan tekanan hidrostatik
tinggi ke area dengan tekanan hidrostatik rendah. Tekanan hidrostatik adalah tekanan
yang dibuat oleh berat cairan. Filtrasi penting dalam mengatur cairan keluar dari
arteri ujung kapiler.
d) Transpor aktif memerlukan aktivitas metabolik dan pengeluaran energi untuk
menggerakkan berbagai materi guna menembus membran sel dari daerah konsentrasi
rendah atau sama ke daerah konsentrasi sama atau lebih besar. Contoh: pompa
natrium kalium, natrium dipompa keluar dari sel dan kalium dipompa masuk ke
dalam sel.
D. Klasifikasi berdasarkan pengaturan cairan tubuh:
a) Asupan cairan diatur melalui mekanisme rasa haus, yang berpusat di hipotalamus.
Air dapat diperoleh dari asupan makanan (buah, sayuran, dan daging, serta oksidasi
bahan makanan selama proses pencernaan). Sekitar 220 ml air diproduksi setiap hari
selama metabolisme karbohidrat, protein, dan lemak berlangsung.
b) Haluaran cairan Cairan terutama dikeluarkan melalui ginjal dan saluran
gastrointestinal. Pada orang dewasa, ginjal setiap menit menerima sekitar 125 ml
plasma untuk disaring dan memproduksi urine. Jumlah urine yang diproduksi ginjal
dipengaruhi oleh hormon antideuretik (ADH) dan aldosteron. Kehilangan air melalui
kulit diatur oleh saraf simpatis, yang mengaktifkan kelenjar keringat.
c) Hormon utama yang memengaruhi keseimbangan cairan dan elektrolit adalah ADH
dan aldosteron. ADH menurunkan produksi urine dengan cara meningkatkan
reabsosrbsi air oleh tubulus ginjal dan air akan dikembalikan ke dalam volume darah
sirkulasi. Aldosteron mengatur keseimbangan natrium dan kalium, menyebabkan
tubulus ginjal mengekskresi kalium dan mengabsorbsi natrium, akibatnya air
akandireabsorbsi dan dikembalikan ke volume darah. Glukokortikoid memengaruhi
keseimbangan cairan dan elektrolit.
2) Klasifikasi Elektrolit
A. Klasifikasi berdasarkan pengaturan keseimbangan asam basa:
a) Pengaturan kimiawi
Ekskresi hidrogen dikendalikan oleh ginjal. Protein (albumin, fibrinogen, dan
protrombin) dan gama globulin dapat melepaskan atau berikatan dengan hidrogen
untuk memperbaiki asidosis atau alkalosis.
b) Pengaturan biologis
Hidrogen memiliki muatan positif dan harus ditukar dengan ion lain yang
bermuatan positif, sering kali ion yang digunakan adalah kalium. Karbondioksida
berdifusi ke dalam eritrosit dan membentuk asam karbonat, asam karbonat
membelah menjadi hidrogen dan bikarbonat, hidrogen terikat pada hemoglobin.
c) Pengaturan fisiologis
o Paru-paru
Apabila konsentrasi hidrogen berubah, paru-paru bereaksi untuk memperbaiki
ketidakseimbangan dengan mengubah frekuensi dan kedalaman pernapasan
o Ginjal
Ginjal mengabsorbsi bikarbonat jika terjadi kelebihan asam dan
mengekskresikannya jika terjadi kekurangan asam.Ginjal menggunakan fosfat
untuk membawa hidrogen dengan mengekskresikan asam fosfat dan
membentuk asam basa.Ginjal mengubah amonia (NH3) menjadi ammonium
(NH4+) dengan mengikatnya pada hidrogen.
B. Klasifikasi berdasarkan ketidakseimbangan elektrolit
a) Ketidakseimbangan natrium
Hiponatremia adalah konsentrasi natrium dalam darah lebih rendah, terjadi saat
kehilangan natrium atau kelebihan air.Hiponatremia menyebabkan kolaps
pembuluh darah dan syok. Hipernatremia adalah konsentrasi natrium dalam darah
lebih tinggi, dapat disebabkan oleh kehilangan air yang ekstrim atau kelebihan
natrium. Ekskresi dari natrium dapat dilakukan melalui ginjal atau sebagian kecil
melalui tinja, keringat, dan air mata.Normalnya sekitar 135-148 mEq/lt.
b) Ketidakseimbangan kalium
Kalium merupakan kation utama yang terdapat dalam cairan intrasel yang
berfungsi sebagai exitability neuromukuler dan kontraksi otot.Keseimbangan
kalium diatur oleh ginjal dengan mekanisme perubahan ion natrium dalam tubulus
ginjal dan sekresi aldosteron.Hipokalemia adalah kalium yang bersikulasi tidak
adekuat, dapat disebabkan oleh penggunaan diuretik.Hipokalemia dapat
menyebabkan aritmia jantung.Hiperkalemia adalah jumlah kalium dalam darah
lebih besar, disebabkan oleh gagal ginjal.Nilai normalnya sekitar 3,5-5,5 mEq/lt.
c) Ketidakseimbangan kalsium
Kalsium dalam tubuh berfungsi untuk pembentukan tulang dan gigi, penghantar
impuls kontraksi otot, koagulasi darah (pembekuan darah) dan membantu
beberapa enzim pankreas.Kalsium diekresi melalui urine, keringat.Konsentrasi
kalsium dalam tubuh diatur langsung oleh hormon paratiroid pada reabsorbsi
tulang.Hipokalsemia mencerminkan penurunan kadar kalsium serum.
Hiperkalsemia adalah peningkatan konsentrasi kalsium serum.
d) Ketidakseimbangan magnesium
Keseimbangan magnesium diatur oleh kelenjar parathyroid, dan magnesium
diabsorbsi dari saluran pencernaan.Magnesium dalam tubuh dipengaruhi oleh
konsentrasi kalsium. Jika magnesium dalam plasma darah kadarnya menurun,
maka ginjal akan mengeluarkan kalium lebih banyak, dapat terjadi pada pasien
alkoholisme kronis, muntah-muntah, diare, gangguan ginjal. Hipomagnesemia
terjadi ketika kadar konsentrasi serum turun sampai di bawah 1,5 mEq/L,
menyebabkan peningkatan iritabilitas neuromuskular. Hipermagnesemia terjadi
ketika konsentrasi magnesium serum meningkat sampai di atas 2,5 mEq/L,
menyebabkan penurunan eksitabilitas sel-sel otot.
e) Ketidakseimbangan klrorida
Fungsi klorida biasanya bersatu dengan natrium yaitu mempertahankan
keseimbangan tekanan osmotik dalam darah. Hipokloremia terjadi jika kadar
klorida serum turun sampai di bawah 100 mEq/L, disebabkan oleh muntah atau
drainage nasogastrik/fistula, diuretik. Hiperkloremia terjadi jika kadar serum
meningkat sampai di atas 106 mEq/L
C. Klasifikasi berdasarkan ketidakseimbangan asam basa:
a) Asidosis respiratorik
Asidosis respiratorik ditandai dengan peningkatan konsentrasi karbon dioksida
(PaCO2), kelebihan asam karbonat, dan peningkatan hidrogen (penurunan
pH).Hal ini disebabkan oleh hipoventilasi akibat gagal napas atau overdosis obat,
sehingga cairan serebrospinalis dan sel otak menjadi asam, menyebabkan
perubahan neurologis.
b) Alkalosis respiratorik
Alkalosis respiratorik ditandai dengan penurunan PaCO2 dan penurunan
konsentrasi hidrogen (peningkatan pH).Hal ini disebabkan oleh penghembusan
karbon dioksida berlebihan pada waktu mengeluarkan napas atau oleh
hiperventilasi, akibat ansietas atau asma.
c) Asidosis metabolik
Asidosis metabolik diakibatkan oleh peningkatan konsentrasi hidrogen dalam
cairan ekstrasel, disebabkan oleh peningkatan kadar hidrogen atau penurunan
kadar bikarbonat.
d) Alkalosis metabolik
Alkalosis metabolik ditandai dengan kehilangan asam dari tubuh atau
meningkatnya kadar bikarbonat, disebabkan oleh muntah, gangguan asam
lambung, menelan natrium bikarbonat.
4. Jenis Gangguan Kebutuhan Dasar
Adapun jenis gangguan dalam pemenuhan kebutuhan dasar cairan dan elektrolit adalah
sebagai berikut:
1. Gagal Ginjal Kronik
Gagal ginjal merupakan suatu keadaan klinis yang ditandai dengan penurunan fungsi
ginjal yang ireversibel pada suatu derajat dimana memerlukan terapi pengganti ginjal
yang tetap, berupa dialisis 14 atau transplantasi ginjal. Salah satu sindrom klinik yang
terjadi pada gagal ginjal adalah uremia. Hal ini disebabkan karena menurunnya fungsi
ginjal (Rahman et al., 2013).
2. Overhidrosis
Overhidrasi terjadi jika asupan cairan lebih besar daripada pengeluaran cairan.
Kelebihan cairan dalam tubuh menyebabkan konsentrasi natrium dalam aliran darah
menjadi sangat rendah (Mangku & Senapathi, 2010). Penyebab overhidrasi meliputi,
adanya gangguan ekskresi air lewat ginjal (gagal ginjal akut), masukan air yang
berlebihan pada terapi cairan, masuknya cairan irigator pada tindakan reseksi prostat
transuretra, dan korban tenggelam (Butterworth et al., 2013).
3. Dehidrasi
Dehidrasi merupakan suatu kondisi defisit air dalam tubuh akibat masukan yang kurang
atau keluaran yang berlebihan. Kondisi dehidrasi bisa terdiri dari 3 bentuk, yaitu:
isotonik (bila air hilang bersama garam, contoh: GE akut, overdosis diuretik), hipotonik
(secara garis besar terjadi kehilangan natrium yang lebih banyak dibandingkan air yang
hilang. Karena kadar natrium serum rendah, air di kompartemen intravaskular
berpindah ke ekstravaskular, sehingga menyebabkan penurunan volume intravaskular),
hipertonik (secara garis besar terjadi kehilangan air yang lebih banyak dibandingkan
natrium yang hilang. Karena kadar natrium tinggi, air di kompartemen ekstravaskular
berpindah ke kompartemen intravaskular, sehingga penurunan volume intravaskular
minimal) (Hahn, 2012) (Voldby & Branstrup, 2016).
4. Hiponatremia
Kondisi hiponatremia apabila kadar natrium plasma di bawah 130mEq/L. Jika < 120
mg/L maka akan timbul gejala disorientasi, gangguan mental, letargi, iritabilitas, lemah
dan henti pernafasan, sedangkan jika kadar < 110 mg/L maka akan timbul gejala
kejang, koma. Penyebab terjadinya Hiponatremia adalah euvolemia (SIADH, polidipsi
psikogenik), hipovolemia (disfungsi tubuli ginjal, diare, muntah, third space losses,
diuretika), hipervolemia (sirosis, nefrosis) (Hines & Marschall, 2013).
5. Hipernatremia
Hipernatremia terjadi setiap kali total kandungan tubuh terlarut meningkatkan relatif
terhadap TBW dan biasanya, tapi tidak selalu, berhubungan dengan hipernatremia ([Na
+]> 145 mEq / L). Jika kadar natrium > 150 mg/L maka akan timbul gejala berupa
perubahan mental, letargi, kejang, koma, lemah (Mangku & Senapathi, 2010).
6. Hipokalemia
Nilai normal Kalium plasma adalah 3,5-4,5 mEq/L. Disebut hipokalemia apabila kadar
kalium <3,5 mEq/L. Hipokalemia dapat terjadi akibat redistribusi akut dari cairan
ekstraselular ke intraselular atau pengurangan kornis total kalium tubuh (Hahn, 2012).
7. Hiperkalemia
Hiperkalemia adalah jika kadar kalium > 5 mEq/L. Hiperkalemia sering terjadi karena
insufisiensi renal atau obat yang membatasi ekskresi kalium (NSAIDs, ACE-inhibitor,
siklosporin, diuretik). Tanda dan gejalanya terutama melibatkan susunan saraf pusat
(parestesia, kelemahan otot) dan sistem kardiovaskular (disritmik, perubahan EKG)
(Mangku & Senapathi, 2010).
8. Hipokalsemia
Hipokalsemia disebabkan karena hipoparatiroidism, kongenital, idiopatik, defisiensi vit
D, defisiensi (OH)2D3 pada gagal ginjal kronik, dan hiperfosfatemia. Manifestasi dari
hipokalsemia termasuk kulit kering, parestesia, gelisah dan kebingungan, gangguan
irama jantung, laring stridor (spasme laring), tetani dengan spasme karpopedal (tanda
Trousseau), masseter spasme (Tanda Chvostek), dan kejang (Butterworth et al., 2013)
(Mangku & Senapathi, 2010).
a. Cairan kristaloid yang paling banyak digunakan adalah normal saline dan ringer laktat.
Cairan kristaloid memiliki komposisi yang mirip cairan ekstraselular. Karena
perbedaan sifat antara kristaloid dan koloid, dimana kristaloid akan lebih banyak
menyebar ke ruang interstitial dibandingkan dengan koloid maka kristaloid sebaiknya
dipilih untuk resusitasi defisit cairan di ruang intersisial. Penggunaan cairan normal
salin dalam jumlah yang besar dapat menyebabkan timbulnya asidosis hiperkloremik,
sedangkan penggunaan cairan ringer laktat dengan jumlah besar dapat menyebabkan
alkalosis metabolik yang disebabkan adanya peningkatan produksi bikarbonat akibat
metabolisme laktat. Larutan dekstrose 5% sering digunakan jika pasien memiliki gula
darah yang rendah atau memiliki kadar natrium yang tinggi. Namun penggunaannya
untuk resusitasi dihindarkan karena komplikasi yang diakibatkan antara lain
hiperomolalitas, hiperglikemik, diuresis osmotik, dan asidosis serebral (Suta &
Sucandra, 2017).
b. Cairan koloid mengandung zat-zat yang mempunyai berat molekul tinggi dengan
aktivitas osmotik yang menyebabkan cairan ini cenderung bertahan agak lama dalam
ruang intravaskuler. Koloid digunakan untuk resusitasi cairan pada pasien dengan
defisit cairan berat seperti pada syok hipovolemik/hermorhagik sebelum diberikan
transfusi darah, pada penderita dengan hipoalbuminemia berat dan kehilangan protein
jumlah besar (misalnya pada luka bakar). Cairan koloid merupakan turunan dari
plasma protein dan sintetik yang dimana koloid memiliki sifat yaitu plasma expander
yang merupakan suatu sediaam larutan steril yang digunakan untuk menggantikan
plasma darah yang hilang akibat perdarahan, luka baker, operasi, Kerugian dari
‘plasma expander’ ini yaitu harganya yang mahal dan dapat menimbulkan reaksi
anafilaktik (walau jarang) dan dapat menyebabkan gangguan pada cross match.
Contoh koloid alami yaitu seperti fraksi protein plasma 5% dan albumin manusia, serta
koloid sintetik seperti cairan koloid yaitu dextran, gelatin (Suta & Sucandra, 2017).
5. Terapi Hemodialisa
Gagal ginjal kronis adalah penyimpangan progresif, fungsi ginjal yang tidak dapat pulih
dimana kemampuan tubuh untuk mempertahankan keseimbangan metabolik, dan cairan
dan elektrolit mengalami kegagalan, yang mengakibatkan uremia. Terapi pengganti
ginjal menjadi satu-satunya pilihan bagi pasien dengan penyakit gagal ginjal kronik
untuk mempertahankan fungsi tubuh. Terapi pengganti ginjal dapat berupa transplantasi
atau dialisis, yang terdiri dari dialisis peritonial dan hemodialisa. Hemodialisa
merupakan terapi pengganti ginjal yang paling banyak dilakukan dan jumlahnya dari
tahun ke tahun terus meningkat (Puspasari & Nggobe, 2018).
9. Jurnal Pendukung
MANAJEMEN XEROSTOMIA DAN INTERDIALYTIC WEIGHT GAIN
Gagal ginjal kronis merupakan masalah kesehatan global yang terus meningkat
jumlahnya. Saat ini prevalensi gagal ginjal tahap akhir adalah 150 orang per 1 juta penduduk dan
kurang lebih 9-13% pasien yang menjalani dialisis meninggal dalam satu tahun(Chandrashekar
A, et al., 2014). Faktor yang mempengaruhi kelangsungan hidup pasien hemodialisis salah
satunya adalah ketidakpatuhan dalam asupan cairan dan diet. Faktor-faktor terkait dengan
ketidakpatuhan terhadap pembatasan cairan antara lain psikologis (motivasi rendah), dukungan
sosial, kurang pengetahuan, dan kurangnya penilaian diri terhadap status cairan keseluruhan,
asupan cairan, dan asupan garam. Diantara beberapa faktor yang telah disebutkan, penyebab
utama pasien tidak patuh terhadap pembatasan cairan dikarenakan perasaan haus yang berlebihan
atau xerostemia. Secara skematis, haus pada pasien hemodialisis terutama osmometrik (Lindley,
2009), meliputi asupan garam, meningkatnya osmolaritas cairan di ekstraseluler, dan
menyusutnya sel-sel osmoreseptor di dalam hipotalamus yang menyebabkan keinginan untuk
minum. Selain itu keinginan minum pun muncul pada pasien hemodialisis karena keluhan mulut
kering yang mayoritas dialami pasien gagal ginjal tahap akhir disebabkan penurunan aliran saliva
(Bossola & Tazza, 2012). Mulut kering dapat menempatkan pasien berisiko masalah kesehatan
mulut, seperti sariawan, infeksi, dan kerusakan gigi. Perawat dalam hal ini berperan sebagai
pemberi asuhan keperawatan dan pendidik yang bertanggung jawab dalam meningkatkan
pengetahuan, kesadaran, dan motivasi pasien tentang pentingnya pembatasan asupan cairan dan
diet bagi pasien gagal ginjal kronik yang menjalani hemodialisis.
Metode ataupun jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah literature
review. Literatur yang dijadikan bahan untuk penelitian ini berbentuk full text. Database meliputi
Pubmed, CINAHL, Scopus, dan Proquest termasuk dalam pencarian artikel yang relevan. Total
artikel berjumlah 72 artikel dan artikel yang digunakan dalam review ini berjumlah 10 artikel,
dengan pembahasan artikel sebagai berikut: Pembatasan cairan merupakan salah satu terapi yang
diberikan bagi pasien gagal ginjal tahap akhir sebagai pencegahan dan terapi terhadap kondisi
komorbid yang dapat memperburuk keadaan pasien seperti edema pulmo atau semua penyebab
dan mortalitas kardiovaskular (Wong et al., 2017). Salah satu yang sering dikeluhkan pada
pasien gagal ginjal tahap akhir yang dapat menimbulkan distress adalah rasa haus. Laju aliran
saliva dapat distimulasi oleh aroma, selera, dan gerakan mengunyah, sehingga intervensi
mengunyah permen karet ini dapat dianggap sebagai kombinasi dari stimulan tersebut. Menthol
dalam permen karet ini menstimulasi reseptor dingin pada mulut yang memberikan sensasi
memuaskan rasa haus. Mengunyah dan perangsang rasa dilaporkan efektif dalam jangka pendek
meningkatkan jumlah aliran saliva dan meningkatkan kondisi periodontal, serta mengurangi
oksidasi lipid saliva. Perbedaan durasi dan frekuensi pasien mengunyah permen karet pada
ketiga studi yaitu antara 10-15 menit hingga 10 menit dalam 6x/hari. Selain mengunyah stimulan
yang dapat dilakukan dengan memberikan rangsang pada beberapa sensor yang berada di
mukosa oropharingeal (mekano reseptor, reseptor suhu, dan reseptor air) memainkan peranan
penting dalam rasa haus dan pemuasan rasa haus. Stimulasi pada oropharingeal dengan
menghisap kepingan es batu merupakan determinan awal yang penting dalam mengakhiri minum
atau telah terjadinya mekanisme satiety atau kekenyangan. Mekanisme ini mencegah asupan
cairan berlebihan sampai cairan yang diabsorpsi menjadi efektif (preabsortive satiety mendahului
postabsortive satiety) (Kandel, 2000). Efek satiety post ingesti dengan memodifikasi suhu air
minum menunjukan pola positif penurunan intensitas haus responden, yang mana normalnya
adalah semakin banyak volume air minum berbanding lurus dengan semakin besar penurunan
intensitas haus. Kepingan es batu juga dapat mengurangi rasa tidak enak atau pahit di mulut
responden. Penggunaan licorice efektif untuk meningkatkan laju aliran saliva. Para responden
pada studi tersebut merasakan peningkatan saliva 20-30 menit setelah berkumur dengan licorice
mouthwash, obat kumur licorice memberikan rasa manis dan kelegaan dari mulut kering selama
2-3 jam. Persepsi rasa manis merangsang reseptor rasa dan meningkatkan sekresi air liur dan
mengurangi rasa mulut kering (Yu et al., 2016).
Diantara teknik yang telah disebutkan sebelumnya, teknik kognitif atau strategi perilaku
merupakan teknik yang paling sering digunakan pada pemberian intervensi psikologis. Teknik
ini biasanya dikombinasikan dengan konseling tentang nutrisi dan pembatasan cairan secara
teratur (Gianni Bellomo, Pamela Coccetta, Franca Pasticci & Selvi, 2015). Intervensi
psikoedukasi kemudian dimodifikasi menjadi HED-SMART yang sama efektifnya untuk
mengurangi gejala mulut kering dan IDWG. Tujuan akhir dari diberikannya intervensi
keperawatan adalah pasien dapat memantau diri sendiri terutama sebagai pencegahan untuk
memastikan bahwa dirinya menaati rekomendasi diet dan asupan cairan. Hal ini melibatkan
pengukuran konsumsi dengan menggunakan gelas ukur, menyiapkan menu harian, atau
menimbang diri mereka untuk melacak perilaku dan mengambil tindakan untuk menghindari
konsumsi berlebihan. Pemberian intervensi keperawatan yang berprinsip menstimulasi kelenjar
ludah dengan mengunyah permen karet, licorice mouthwash, atau menghisap es batu, edukasi
yang efektif dengan HED-SMART, konseling berkala, dan motivasi konstan terbukti signifikan
dapat meningkatkan kepercayaan diri pasien dalam kepatuhan asupan cairan untuk menjalani
kehidupan yang sehat.
DAFTAR PUSTAKA
Butterworth, J., F., Mackey, D., C., & Wasnick, J., D. (2013). Management of Patients with
Fluid and Electrolyte Disturbances. New York, 4(49), 1107.
Dwiyanti.(2015).Farmakologi-Diuretik.
https://www.academia.edu/9938967/FARMAKOLOGI_-_DIURETIK
Fauzian, I., A. (2016). Upaya mempertahankan balance cairan dengan memberikan cairan sesuai
kebutuhan pada klien DHF di RSUD Pandan Arang Boyolali. Universitas Muhammadiyah
Surakarta.
Hahn, R., G. (2012). Clinical Fluid Therapy in the Perioperative Setting (Vol. 1). Cambridge
University Press. Hanifah, L. (2018). Pengaruh Pemberian Buah Pepaya (Carica papaya. L
Terhadap Tingkat Nekrosis epitel Glomerulus dan Tubulus Ginjal Mencit (Mus musculus)
yang Diindikasi CCl4 (Karbon Tetraklorida). Universitas Islam Negeri Malang.
Hines, R., L., & Marschall, K., E. (2013). Fluid, Electrolytes, and Acid-Base Disorders (4th ed.,
Vol. 18). Elsevier.
Kurniawan, A. (2016). Asuhan keperawatan pemenuhan kebutuhan cairan dan elektrolit pada Tn.
R di Ruang Dahlia RSUD Dr. Soedirman Kebumen. Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan
Muhammadiyah Gombong.
Kusumawardhani, Y & Yetti, K. (2020). Manajemen Xerostomia Dan Interdialytic Weight Gain.
Jurnal Keperawatan, 12(1).
Mangku, G., & Senapathi, T., G., A. (2010). Keseimbangan Cairan dan Elektrolit (Vol. 6).
Indeks. Marieb, E., N., & Hoehn, K. (2015). Human anatomy & physiology (10th ed.).
Pearson Education, Inc Pandu. (2016). Proses Pembentukan Urine dan Skema beserta Gambar.
http://www.ebiologi.net/2016/01/proses-pembentukan-urine.html
Pearce, evelyn C. (2016). Anantomi dan fisiologi untuk paramedis. PT Gramedia Pustaka Utama.
Puspasari, S., & Nggobe, I. W. (2018). Hubungan Kepatuhan Menjalani Terapi Hemodialisa
dengan Kualitas Hidup Pasien di Unit Hemodialisa RSUD Cibabat – Cimahi. 12(3), 6.
Rahayu, S., & Harnanto, A., M. (2017). Kebutuhan Dasar Manusia II. Jakarta: Kemenkes RI.
http://bppsdmk.kemkes.go.id/pusdiksdmk/wpcontent/uploads/2017/08/KD M-2-
Komprehensif.pdf
Rahman, Rudiansyah, & Triawanti. (2013). Hubungan antara adekuasi hemodialis dan kualitas
hidup pasien di RSUD Ulin Banjarmasin. 9(2). www.sciencedirect.com Sherwood, L.
(2011). Fisiologi manusia: Dari sel ke sistem (6th ed.). EGC.
Suta,P.,P.,.D.,Sucandra,I.,M.,.A.,.K.(2017).Terapi Cairan.
Syaifuddin, H. (2011). Anatomi fisiologi: Kurikulum berbasis kompetensi untuk keperawatan
dan kebidanan (4th ed.). EGC.
Tamsuri, A. (2009). Klien dengan Gangguan Keseimbangan Cairan dan Elektrolit. EGC.
Verdiansah. (2016). Pemeriksaan Fungsi Ginjal. 43(2), 148–154.
Voldby, A., W., & Branstrup, B. (2016). Fluid Therapy in the Perioperative Setting. 4, 27–39.