Anda di halaman 1dari 3

3. Sebutkan dan jelaskan 8 metode al-Ada' wa Tahammul al-Hadis!

Metode-metode Transmisi Hadist

1. Al-Sima’(mendengarkan hadist dai guru)


Al-Sima’ adalah suatu cara yang ditempuh oleh para muhadditsin periode pertama untuk
mendapatkan hadis dari Nabi Muhammad Saw. kemudian mereka meriwayatkannya kepada
generasi berikutnya dengan cara yang sama. Maka tidak heran apabila cara ini dinilai sebagai
cara penerimaan hadis yang paling tinggi tingkatannya. Demikian menurut pendapat jumhur
ulama dari kalangan muhadditsin dan lainya.
2. Al-‘Aridh (Membaca Hadis di Hadapan Guru)
Makna al-‘aridh adalah membaca hadis di hadapan guru berdasarkan hafalan maupun
dengan melihat kitab. Cara penerimaan ini dibenarkan. Dan periwayatan dengan cara seperti
ini menurut ijmak boleh dilakukan. Akan tetapi, mereka berselisih pendapat; apakah cara ini
berada pada satu tingkatan dengan al-sima’,apakah lebih tinggi atau lebih rendah. Kita bisa
berpendapat bahwa al-‘aridh lebih tinggi daripada al-sama’ apabila pencari hadis yang
bersangkutan dapat menyadari kesalahannya dalam membaca hadis itu. Sementara apabila
keadaanya berbeda, maka al-sima’ lebih tinggi.
3. Al-Ijazah
Al-Ijazah adalah izin guru hadis kepada muridnya untuk meriwayatkan hadis atau kitab yang
diriwayatkan darinya padahal murid itu tidak mendengar hadis tersebut atau tidak membaca
kitab tersebut di hadapanya. Seperti seorang guru berkata,”Aku memperbolehkan kamu –
atau kepadamu – untuk meriwayatkan Shahih al-Bukhari atau kitab tentang sumpah dalam
Shahih Muslim.” Kemudian setelah itu murid tersebut meriwayatkan hadis atau kitab sesuai
izinnya tanpa mendengar sebelumnya atau membaca di hadapannya. Jumhur ulama
muhadditsin dan lainnya memperbolehkan periwayatan hadis dengan cara demikian.
Namun, ahli ilmu hadis menemukan kesulitan dalam menentukan dalil tentang bolehnya
ijazah.
4. Al-Munawalah
Pengertian Al-Munawalah menurut muhaditsin adalah bahwa seorang guru menyerahkan
kitab atau lembaran catatan hadis kepada muridnya agar diriwayatkan dengan sanad
darinya. Dasar dilaksanakannya munawalah ini adalah hadis yang dikomentari oleh alBukhari
dalam Kitab al-‘Ilm bahwa Rasulullah Saw. pernah menulis surat kepada pimpinan prajurit
sariyah(pasukan perang yang tidak disertai Nabi). Dalam surat itu, beliau menyatakan,
“Janganlah kamu membacanya sebelum engkau sampai di tempat anu dana anu.” Ketika ia
sampai di tempat yang ditunjuk itu, ia membacanya di hadapan para prajuritnya dan
menyampaikan perintah Nabi Saw. Al-Baihaqi dan alThabrani meriwayatkan hadis ini dengan
sanad yang bersambung dan baik. AlBukhari berhujah dengan hadis ini atas kesahihan
munawalah. Ini pemahaman yang shahih, sebagaimana dinyatakan oleh al-Suhaili. Macam
macam al-munawalah ada 3 yaitu: 1. Munawalah yang disertai dengan ijazah dan penjelasan
tentang naskah. 2. Munawalah yang disertai dengan ijazah tetapi tidak disertai dengan
penyerahan naskah kitab. 3. Munawalah yang tidak disertai ijazah.
5. Al-Mukatabah
Yang dimaksud dengan mukatabah adalah seorang muhaddits menulis suatu hadis lalu
mengirimkannya kepada muridnya. Mukatabah terdiri atas dua macam. Bentuk pertama,
mukatabah yang disertai dengan ijazah. Mukatabah jenis ini dalam hal kesahihan dan
validitasnya menyerupai munawalah yang disertai dengan ijazah. Bentuk kedua, mukatabah
yang tidak disertai dengan ijazah. Pendapat yang sahih menurut kalangan muhadditsin
membolehkan periwayatan hadis dengan mukatabah benruk kedua ini karena cara ini tidak
berbeda dengan ijazah, dalam hal banyaknya memberi faedah ilmu.
6. Al-I’lam
Yakni pemberitahuan oleh seorang muhaddits kepada seorang pencari hadis bahwa hadis
atau kitab yang ditunjukkanya adalah hadis atau kitab yang telah didengarnya dari
seseorang, tanpa disertai izin periwayatan kepadanya. Yaitu bahwa muhaddits itu pada saat
yang sama tidak berkata, “Riwayatkanlah hadis ini dariku” atau “Aku izinkan kamu
meriwayatkannya.” Sebagian tokoh ulama ushul berpendapat bahwa periwatan hadis yang
didapat melalui al-i’lam tidak boleh dilakukan. Pendapat ini dipilih oleh Ibnu al-Shalah.
Alasannya dalam muhaddits atau kitab yang ditunjuk itu boleh jadi terdapat kekurangan
yang menyebabkan hadis-hadisnya tidak boleh diriwayatkan begitu saja.
7. Al-Washiyah
Yaitu ketika seorang guru akan meninggal atau berpergian, meninggalkan pesan kepada
orang lain untuk meriwayatkan hadist atau kitabnya, setelah sang guru meninggal atau
berpergian. Periwayatan hadist dengan cara ini oleh jumhur dianggap lemah. Sementara
Ibnu Sirin membolehkan mengamalkan hadist yang diriwayatkan atas jalan wasiat ini. Orang
yang diberi wasiat ini tidak boleh meriwayatkan hadist dari si pemberi wasiat dengan redaksi
‫( اَك َذ ِ َح َّد َثنِى فُا َل ن ب‬seseorang telah memberitahukan kepadaku begini), karena si penerima
wasiat tidak bertemu dengannya.
8. Al-Wijadah
Yaitu seorang memperoleh hadist orang lain dengan mempelajari kitab-kitab hadist dengan
tidak melalui cara al-sama’, al-ijazah, atau al-munawalah. Para ulama berselisih pendapat
mengenai cara ini. Kebanyakan ahli hadist dan ahli fiqih dari madzhab Malikiyyah tidak
memperbolehkan meriwayatkan hadist dengan cara ini. Imam Syafi’i dan segolongan
pengikutnya memperbolehkan beramal dengan hadist yang periwayatannya melalui cara ini.
Ibnu Al-Shalah mengatakan, bahwa sebagian ulama Muhaqqiqin mewajibkan
mengamalkannya bila diyakini kebenarannya

4. Apa saja komponen Ada' wa Tahammul al-Hadis? Jelaskan!

Komponen-Komponen Penting Dalam Proses Al Ada’wa Tahammul Al Hadist Dalam sebuah hadits
terdapat komponen – komponen yang penting, yaitu :

1. Mu’addi
Mu’addi merupakan bentuk isim fa’il dari dari lafazh “ ‫ َىد‬berarti yang” ‫َ أ – يُ ِْؤدى‬
mencetuskan. Dan Mu’addi berarti orang yang mencetuskan atau meriwayatkan hadits
kepada orang lain.
2. Al – Ada’
Al – ada’ merupakan bentuk isim mashdar dari lafazh ‫ َ َىد ًء" َ دَ ا‬berarti yang" ‫ أ‬-‫أ – يُ ِْؤدي‬
proses menyampaikan atau meriwayatkan sebuah hadits kepada orang lain.
3. Matan
Kata matan menurut bahasa berarti unggung jalan, atau tanah yang keras dan tinggi ِ ‫م َن ْال َع ْر‬
‫ ِض) ِ َب َو ا ْر ِت َفاع ُصل َما‬.( َSecara terminologis, matan berarti materi yang berupa sabda,
perbuatan, atau taqrir nabi yang terletak setelah sanad yang terakhir. Namun ketika
didasarkan kembali pada paparan hadits, maka pengertian matan mengalami sedikit
modifikasi. Matan tidak hanya terdiri dari pembicaraan yang titik terakhir sanad, matan
bukan hanya inti pesan nabi saw, jika hadits bersifat qouliyyah. Matan mencakup sumber
hadits (Mashdar Al – Hadits) dan inti pesannya (Tharf Al – Hadits). Disinilah terkadang terjadi
kesalah kaprahan penyebutan hadits, Padahal yang dimaksud adalah inti pesan hadits.
4. Shigah Ar – Riwayah
Sighah Ar – Riwayah atau metode periwayatan hadits adalah jalan untuk menerima hadits
atau mendapatkan dari guru. Adapun yang dimaksud dengan Shighah Al – Ada’ (bentuk
penyampaian hadits) adalah lafaz – lafaz yang digunakan oleh ahli hadits dalam
meriwayatkan dan menyampaikan hadits kepada murid – muridnya, contoh : “sami’tu...”
(aku telah mendengar) atau “haddatsani...” (telah bercerita kepadaku).
5. Mutahammil
Mutahammil adalah fi’il dari lafaz “tahammala - yatahammalu” yang berarti orang yang
mendengar dan meriwayatkan hadits.
6. Tahammul
Tahammul adalah isim mashdar dari lafazh َ‫ ت‬-‫ ل َم َّحً " َمال ُّ َح َح َّم ُل‬proses berarti yang" َ‫تَ – َيت‬
mendengar dan menyampaikan hadits kepada orang lain.

Anda mungkin juga menyukai