OLEH
201802021
Di susun pada :
Hari : Jum’at
Mahasiswa
NIM. 201802021
Kepala Ruangan
NIP. 02.415
LAPORAN PENDAHULUAN
KEBUTUHAN DASAR MANUSIA DENGAN GANGGUAN PEMENUHAN
KEBUTUHAN OKSIGENASI PADA Tn.K UMUR 44 TAHUN
Oleh :
201802021
LAPORAN PENDAHULUAN
ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN GANGGUAN
KEBUTUHAN OKSIGENASI
A. DEFINISI
B. ETIOLOGI
C. PATOFISIOLOGI
A. DEFINISI
Penyakit Paru Obstruksi Kronis adalah penyakit obstruksi jalan nafas karena
bronkitis kronis atau emfisema. Obstruksi tersebut umumnya bersifat progresif, bisa
disertai hiperaktivitas bronkus dan sebagian bersifat reversible. Bronkitis kronis ditandai
dengan batuk-batuk hamper setiap hari disertai pengeluaran dahak, sekurang-kurangnya 3
bulan berturut-turut dalam satu tahun, dan paling sedikit selama 2 tahun. Emfisema
adalah suatu perubahan anatomis paru yang ditandai dengan melebarnya secara abnormal
saluran udara (Mansjoer, 2000).
B. ETIOLOGI
Faktor-faktor yang menyebabkan penyakit paru obstruksi kronis menurut
Brashers (2007) :
1. Merokok merupakan > 90% resiko untuk PPOK dan sekitar 15% perokok menderita
PPOK. Beberapa perokok dianggap peka dan mengalami penurunan fungsi paru secara
cepat. Pajanan asap rokok dari lingkungan telah dikaitkan dengan penurunan fungsi paru
dan peningkatan resiko penyakit paru obstruksi pada anak.
2. Terdapat peningkatan resiko PPOK bagi saudara tingkat pertama perokok. Pada
kurang dari 1% penderita PPOK, terdapat defek gen alfa satu antitripsin yang diturunkan
yang menyebabkan awitan awal emfisema.
3. Infeksi saluran nafas berulang pada masa kanak – kanak berhubungan dengan
rendahnya tingkat fungsi paru maksimal yang bisa dicapai dan peningkatan resiko
terkena PPOK saat dewasa. Infeksi saluran nafas kronis seperti adenovirus dan klamidia
mungkin berperan dalam terjadinya PPOK.
C. PATOFISIOLOGI
Patofisiologi menurut Brashers (2007), Mansjoer (2000) dan Reeves (2001)
adalah :
Asap rokok, polusi udara dan terpapar alergen masuk ke jalan nafas dan mengiritasi
saluran nafas. Karena iritasi yang konstan ini , kelenjar-kelenjar yang mensekresi lendir
dan sel-sel goblet meningkat jumlahnya, fungsi silia menurun, dan lebih banyak lendir
yang dihasilkan serta terjadi batuk, batuk dapat menetap selama kurang lebih 3 bulan
berturut-turut. Sebagai akibatnya bronkhiolus menjadi menyempit, berkelok-kelok dan
berobliterasi serta tersumbat karena metaplasia sel goblet dan berkurangnya elastisitas
paru. Alveoli yang berdekatan dengan bronkhiolus dapat menjadi rusak dan membentuk
fibrosis mengakibatkan fungsi makrofag alveolar yang berperan penting dalam
menghancurkan partikel asing termasuk bakteri, pasien kemudian menjadi rentan terkena
infeksi.
Pertukaran gas yang terhalang biasanya terjadi sebagai akibat dari berkurangnya
permukaan alveoli bagi pertukaran udara. Ketidakseimbangan ventilasi–perfusi ini
menyebabkan hipoksemia atau menurunnya oksigenasi dalam darah. Keseimbangan
normal antara ventilasi alveolar dan perfusi aliran darah kapiler pulmo menjadi
terganggu. Dalam kondisi seperti ini, perfusi menurun dan ventilasi tetap sama. Saluran
pernafasan yang terhalang mukus kental atau bronkospasma menyebabkan penurunan
ventilasi, akan tetapi perfusi akan tetap sama atau berkurang sedikit.
Selain itu, jalan nafas yang terhambat dapat mengurangi daerah permukaan yang
tersedia untuk pernafasan, akibat dari perubahan patologis ini adalah hiperkapnia,
hipoksemia dan asidosis respiratori. Hiperkapnia dan hipoksemia menyebabkan
vasokontriksi vaskular pulmonari, peningkatan resistensi vaskular pulmonary
mengakibatkan hipertensi pembuluh pulmonary yang meningkatkan tekanan vascular
ventrikel kanan atau dekompensasi ventrikel kanan.
D.
PENATALAKSANAAN MEDIS
Penatalaksanaan pada pasien dengan Penyakit Paru Obstruksi Kronis menurut
Mansjoer (2000) adalah :
c. Fisioterapi.
f. Terapi jangka penjang bagi pasien yang mengalami gagal nafas tipe II dengan
PaO2<7,3kPa (55 mmHg).
Jika individu berhenti merokok, progresi penyakit dapat ditahan. Jika merokok
dihentikan sebelum terjadi gejala, resiko bronkhitis kronis dapat menurun dan
pada akhirnya mencapai tingkat seperti bukan perokok. Bronkodilator,
ekspektoran, dan terapi fisik dada diterapkan sesuai yang dibutuhkan. Penyuluhan
kesehatan untuk individu termasuk konseling nutrisi, hygiene respiratory,
pengenalan tanda-tanda dini infeksi, dan teknik yang meredakan dispnea, seperti
bernafas dengan bibir dimonyongkan, beberapa individu mendapat terapi
antibiotik profilaktik, terutama selama musim dingin. Pemberian steroid sering
diberikan pada proses penyakit tahap lanjut.