Anda di halaman 1dari 3

FILSAFAT ISLAM DAN MISTISISME

IBN ARABI DAN MULLA SADRA

Wahdat al wujud
Doktrin tentang Wahdāt al-Wujūd selalu dihubungkan dengan Ibn `Arabī, karena Ia dianggap sebagai pendirinya,
doktrin yang kira-kira sama atau senada denganya telah diajarkan oleh beberapa sufi jauh sebelum Ibn `Arabī.
Adapun Ibn `Arabī sendiri tidak pernah menggunakan istilah Wahdāt al-Wujūd,

Secara etimologi (bahasa), kata Wahdāt al-Wujūd adalah ungkapan yang terdiri dari dua kata yakni Wahdāt dan al-
Wujūd.Wahdāt artinya tunggal atau kesatuan, sedangkan Wujūd artinya ada, keberadaan atau eksistensi. Secara
terminology (istilah) Wahdāt al-Wujūd berarti kesatuan eksistensi. Tema sentral pembicaraan Wahdāt al-Wujūd
adalah mengenai bersatunya Tuhan dengan alam atau dengan kata lain Tuhan meliputi alam, dengan demikian
pengertian secara radix, kata Wahdāt al-Wujūd berarti paham yang cenderung menyamakan Tuhan dengan alam
semesta, paham ini mengakui tidak ada perbedaan antara Tuhan dengan makhluk, kalaupun ada maka hanya pada
keyakinan bahwa Tuhan itu adalah totalitas, sedangkan makhluk adalah bagian dari totalitas tersebut, dan Tuhan
(Allah SWT) menampakkan Diri pada apa saja yang ada di alam semesta, semuanya adalah penjelmaan-Nya, tidak
ada sesuatu apapun di alamini kecuali Dia

Istilah Wujūd yang biasanya diterjemahkan sebagai keberadaan, eksistensi, pada dasarnya berarti
menemukan, ditemukan, dengan demikian lebih dinamis dari pada eksistensi biasa. Maka Wahdāt al-Wujūd bukan
sekedar kesatuan keberadaan, tetapi juga kesatuan eksistensialisasi dan persepsi tindakan itu, istilah ini terkadang
menjadi sinonim semu Syuhūd (perenungan, penyaksian). [ada dua pengertian berbeda yang mendasar dalam
memahami istilah Wujūd: (1) Wujūd sebagai suatu konsep;, ide tentang Wujūd eksistensi (Wujūd bil ma’nā al-
masdari), dan (2) Wujūd yang berarti bisa mempunyai Wujūd yakni yang ada (exist) atau yang hidup (subsist)
(Wujūd bil ma’nā maujūd).
Kata Wujūd dalam sistem Ibn `Arabī digunakan untuk menyebut wujud Tuhan, yaitu satu-satunya wujud
adalah wujud Tuhan dan tidak ada wujud selain wujud-Nyayang berarti apapun selain Tuhan tidak mempunyai
wujud, akan tetapi pada waktu yang lain Ibn `Arabī juga menggunakan kata wujud untuk menunjuk pada selain
Tuhan. Tetapi Ia menggunakanya dalam pengertian metaforis (majāz) untuk mempertahankan bahwa wujud hanya
milik Tuhan, sedangkan wujud yang ada pada alam hakikatnya adalah wujud-Nya yang dipinjamkan kepadanya.
Seperti halnya cahaya hanya milik matahari, tetapi cahaya itu dipinjamkan kepada penghuni bumi.Hubungan antara
Tuhan dengan alam sering digambarkan seperti hubungan antara cahaya dan kegelapan
Pada tingkatan tertinggi wujud adalah realitas Tuhan yang absolute dan tak terbatas yakni wājib al Wujūd. Dalam
pengertian ini wujud menandakan esensi Tuhan atau hakikat satu-satunya realitas yang nyata disetiap sisi.
Sedangkan pada tingkatan terbawah, wujud merupakan subtansi yang meliputi segala sesuatu selain Tuhan, dalam
pengertian ini wujud menunjuk pada keseluruhan kosmos, kepada segala sesuatu yang eksis, karena wujud juga
dapat digunakan untuk merujuk pada eksistensi setiap dan segala sesuatu yang ditemukan dalam jagat raya ini
al-Haqq (Tuhan) dan al-Khalq (alam) adalah satu tetapi berbeda, alam adalah tajallī Tuhan, dengan
demikian segala sesutau yang ada di dalamnya adalah entifikasi-Nya. Tuhan dan alam tidak bisa dipahami kecuali
sebagai kesatuan antara kesatuan kontradiksi-kontradiksi ontologis yang bersifat horizontal juga vertical, kesatuan
ontologis antara Yang Tampak (az-zahīr) dan Yang Bathin (albathīn), antara Yang Awwal (al-awwāl) dan Yang Akhir
(al-akhīr), antara Yang Satu (al-wahīd) dan Yang Banyak (alkasīr) dan antara ketidaksetaraan (tanzīh) dan
keserupaan (tasybīh). Ia memandang, realitas adalah satu, tetapi mempunyai dua sifat yang berbeda: sifat
ketuhanan dan sifat kemakhlukan, yang keduanya hadir dalam segala sesuatu yang ada di alam ini.
Tajallī diterjemahkan dalam bahasa Inggris dengan “self disclosure” (penyingkapan diri, pembukaan diri),
“selfrevelation” (pembukaan diri, pernyataan diri), “selfmanifestation” (penampakan diri) dan theophany (penampakan
Tuhan), Tajallī berarti manifestasi, penampakan, penyingkapan, ketersingkapan, theophany, epifani, ketampakan,
pembukaan, keterbukaan, pemancaran, penyinaran atau pernyataan, sebuah pengungkapan dari al-wujūd yang
misterius , tak dikenal, yakni pengungkapan Tuhan pada makhluk-Nya agar Dia dikenali oleh sang makhluk, yang
digunakan oleh Ibn `Arabī untuk Tajallī adalah “fayd” (emanasi, pemancaran, pelimpahan), “zuhūr” (pemunculan,
penampakan, pelahiran), “tanazzul” (penurunan,turunya) dan “fath” (pembukan).
Tak ada yang mengambil dari-Nya berkenaan dengan keEsaan-Nya, itulah mengapa cerita tentang Allah
yang menyatakan penyingkapan diri dalam kesatuan adalah mustahil”. Tajallī al-Haqq menjadikan proses
penampakan diri yang terus-menerus tanpa awal dan akhir, yang selamalamanya akan ada dan selalu ada. Emanasi
(fayd), merupakan teori yang ia (Ibn `Arabī) sebut juga dengan tajalli, Ibn `Arabī membedakannya menjadi dua tipe
yaitu:
1. Emanasi paling suci (al-fayd al-aqdās), disebut pula penampakan diri esensial (tajallī al-dzatī) dan penampakan
diri ghayb (al-tajallī al-ghaybī), dalam taraf ini, al-Haqq tidak menampakan diri-Nya pada sesuatu yang lain tetapi
kepada diri-Nya sendiri, dalam bentuk potensial ( bi al-quwwah) belum secara actual (bi al-fi`l). al-Haqq menyebut
diri-Nya dengan Dia ketika melakukan tajallī pertama, artinya Ia telah membagi diri-Nya menjadi dua, diri-Nya
sebagai subyek sekaligus sebagi obyek, kedua-Nya masih satu karena Dia menampakkan diri-Nya kepada diri-Nya
sendiri, bukan kepada yang lain. Realitas-realitas yang hanya ada pada ilmu Tuhan dan tidak ada di dalam alam
nyata
2. Emanasi suci (al-fayd al-muqāddas), disebut juga dengan penampakan diri eksistensial (al-tajallī al-wujūdī) dan
penampakan diri inderawi (al-tajallī al-syuhūdī). Penampakan diri dari Yang Esa dalam bentuk-bentuk keanekaan
eksistensial, yaitu penampakan entitas-entitas permanen dari alam yang ada hanya dalam pikiran kepada alam yang
dapat diindera. Tidak sesuatu-pun dalam wujud penampakanya menyalahi apa yang ada dalam kepermanenannya
sejak azali. Ia berkata pada suatu bagian dalam Fusûs: ”bahwasanya Allah mempunyai dua tipe tajallī: tajallī ghayb
dan tajallī syahadah. Dengan tajallī ghayb ia memberikan kesiapan yang menentukan sifat Qalb.
Rupanya pengaruh Ibn ’Arabi tidak hanya menancap di lingkungan tradisi teologi Sunni, tetapi merembet jauh ke
negeri Persia yang mayoritas bermazhab Syi’ah. Salah seorang filosof Iran yang dipengaruhi Ibn ’Arabi adalah Mulla
Shadra. Ia membangun suatu mazhab baru. Dalam mazhab yang disebut Shadra sendiri sebagai Hikmah al-
Muta’âliyah, terdapat seluruh unsur aliran-aliran pemikiran Islam sebelum yang membentuk sebuah mazhab
independen. Karena itu, mereka yang menganggapnya sebagai seorang pengikut filsafat Ibn Sina ataupun
pembaharunya, atau filsafatnya sebagai pelengkap filsafat Ibn Sina, terjebak pada pendapat yang keliru. Pendek
kata, mereka tidak mengetahui filsafat Mulla Shadra.

Konsep Wahdah Al-Wujûd

Untuk memahami istilah wahdah al-wujûd lebih dalam—yaitu subjek yang tidak diragukan menempati prioritas dalam
kajian-kajian verifikatif dan argumentatif yang dikhususkan baginya—kita harus memulai dengan memisahkan teori
ini dari teori-teori alternatif. Di antara teori-teori itu adalah sebagai berikut.

1. Perbedaan wujûd. Para filosof peripatetik dan mutakallimin adalah pengikut mazhab ini. Mereka berpendapat
tentang pluralitas maujud dan perbedaan asasi antara wujûd segala sesuatu dan Wujûd Wajib Swt., di satu sisi, dan
atnara sesuatu itu sendiri, di sisi lain. Eksternal (khârij)—menurut mazhab ini—merupakan wadah pluralitas hakiki,
sedangkan pikiran (dzihn) merupakan wadah unitas murni (konsep wujûd).
2. Kesatuan asal (sinkhiyyah) tasykîkiyyah bagi wujûd. Penulis Al-Hikmah Al-Muta‘âliyah memiliki satu pendapat
yang terkenal, bahwa walaupun ada banyak wujûd bagi beberapa substansi (afrâd), tetapi semuanya berasal dari
satu asal wujûd yang sama. Ia tidak mengatakan banyaknya asal, tetapi ia memandang maujud-maujud yang di
dalamnya terdapat wâjib dan mumkin sebagai tingkatan-tingkatan tasykîkiyyah dalam satu hakikat. Kemudian,
hingga batas tertentu, ia meyakini “pluralitas dalam unitas” dan “unitas dalam pluralitas” (semuanya dalam bentuk
hakiki).
3. Unitas wujûd dan maujud dan penegasian pluralitas, yaitu pendapat sebagian sufi yang menegaskan bahwa
pluralitas hanyalah fatamorgana dan batil, sehingga mereka menegasikannya dari akar-akarnya. Mereka
menegasikan setiap bentuk hakikat—baik yang berkaitan dengan eksistensi (wujûdî) maupun yang berkaitan dengan
penampakan (zhuhûrî)—darinya.

4. Wahdah al-wujûd (pantheisme). Mereka mengatakan bahwa Allah Swt. dan alam adalah satu, dan bahwa Allah
Swt. adalah ringkasan dari semua maujud atau bahwa Dia menempati semua pilar dan bagian-bagian alam semesta
ini. Dengan kata lain, ketiga pendapat tadi bertolak dari prinsip pluralitas, atau apa yang disebut urafa dengan
izdiwâjiyyah (keberpasangan) atau tsanawiyyah al-wujûd (dualitas eksistensi). Kelompok ini dalam Islam dikenal
sebagai orang-orang yang berpendapat tentang hulûl (inkarnasi) dan ittihâd (unifikasi). Keyakinan mereka terfokus
pada kesatuan Allah Swt. dan alam semesta dan menegasikan pemisahan di antara keduanya. Mereka juga tidak
meyakini adanya penciptaan dan tidak memandang bahwa Allah Swt. adalah Pencipta segala sesuatu, tetapi Dia
adalah segala sesuatu itu sendiri. Mereka mendefinisikan Allah Swt. sebagai segala sesuatu—yakni segala wujûd—
dan bahwa setiap sesuatu adalah Allah Swt. Dengan demikian, mereka mengingkari transenden-Nya dari alam
semesta dan tidak mengakui maqam dzât dan huwiyyah (ke-Dia-an) Al-Haqq. Pendapat ini—seperti kita lihat—(1)
tidak sejalan dengan prinsip tauhid (theisme) yang berdiri di atas keterpisahan dan keberbedaan Allah Swt. dari alam
semesta, dan (2) didasarkan pada keyakinan akan pluralitas dan keberbilangan wujûd—dengan menganggapnya
sebagai unsur-unsur dari satu wujûd.
Al-Wahdah Al-Syakhshiyyah li Al-Wujûd

Di antaranya adalah yang terkenal Pembukaan Mekah (al-Futuhat al-makkiyya), The Ringstones, Bijaksana (Fusus
al-hikam) dan The Tree of Keberadaan ditimbulkan (Shajarat al-Kawn). Dua dari doktrin-doktrin Ibn Arabi yang paling
penting adalah ‘Kesatuan Menjadi’ (wahdat al-wujud) dan ‘Manusia Sempurna’ (al-insan al-kamil).

Mistisisme dalam Islam diberi nama tasawuf dan oleh kaum orientails Barat disebut sufisme. Kata sufisme oleh
orientalis Barat khusus dipakai untuk mistisisme Islam. Sufisme tidak dipakai untuk mistisisme yang terdapat dalam
agama-agama lain. Tasawuf atau sufisme  merupakan suatu ilmu pengetahuan dan sebagai ilmu pengetahuan,
dipelajari cara dan jalan bagaimana seorang muslim dapat berada sedekat mungkin dengan Allah SWT. Kedekatan
ini dicapai melalui pengetahuan intuisi, latihan-latihan (riyadlah), kontemplasi, perjuangan (mujahadah), dan masih
banyak lagi tahapannya. Tahapan atau stasion ini sangat khas dan terdapat persamaan dan perbedaan antara sufi
yang satu dengan yang lain.

MULLA SADRA

Mulla Sadra disebut-sebut sebagai pendiri mazhab ketiga yang utama. Mazhab utama pertama adalah mazhab
Peripatetik dengan eksponen terbesarnya dalam dunia Islam adalah Ibnu Sina, yang lainnya adalah mazhab
Illuminatif (al-hikmah al-isyraqiyah/al-khalidah) yang dibangun oleh Suhrawardi al-Maqtul.

Oleh karenanya, layak disebut sebagai pendiri hikmah yang orisinil dan relatif baru dalam pergumulan filsafat Muslim
dengan al-Hikmah al-Muta’alliyah-nya yang berbeda dengan al-hikmah al-masya’iyyah-peripatetik philosophy serta
al-hikmah alisyraqiyyah- illuminasionist theosophy.
Filsafat Mulla Sadra dinilai mampu mempertemukan beberapa aliran filsafat yang berkembang sebelum Mulla Sadra.
Aliran-aliran itu secara umum dikelompokkan menjadi: (1) Aliran paripatetik; (2) Filsafat iluminasionis; (3) Irfan
(mistisisme islam); dan (4) kalam (teologi). Pergelutan Mulla Sadra dengan esensi dan eksistensi Allah melahirkan
sebuah system filsafat yang tertata. Sadra menggunakan istilah al-Hikmah al-Muta’aliyyah (filsafat transendental)
yang merupakan sinonim dari istilah filsafat tertinggi atau lebuh dikenal dengan filsafat hikmah.

Filsafat hikmah adalah kebijaksanaan yang diperoleh lewat pencerahan spiritual atau intuisi intelektual dan
disajikan dalam bentuk yang rasional, yakni menggunakan argumen rasional. Secara ontologis, hikmah didasarkan
pada tiga hal: ashalah al-wujud (prinsipianitas eksistensi), tasykik (gradasi wujud), gerak substansial (al-harokhah al-
jauhariyyah)

Ibn ‘Arabî dikenal sebagai seorang tokoh tasawwuf-falsafi—disiplin yang menjadi arena persinggungan mistisisme
Islam dengan filsafat. Karya-karyanya selalu menggambarkan persentuhan mistisisme dengan wacana filsafat—
khususnya filsafat abad tengah.

Anda mungkin juga menyukai