Anda di halaman 1dari 9

1. Energi air adalah satu dari lima sumber terbesar energi terbarukan.

Energi ini dapat


dimanfaatkan dan diubah menjadi listrik dan pembangkit listrik Tenaga air tanpa
meninggalkan emisi gas rumah kaca seperti yang dihasilkan oleh pembangkit listrik yang
menggunakan energi fosil. Berbeda dengan sumber energi terbarukan lainnya air akan terus
menghasilkan tenaga non-stop dan ketersediaannya terus dihasilkan oleh adanya siklus
hidrologi. Pembangkit listrik tenaga air (PLTA) dihasilkan dari energi potensial air yang
diubah menjadi energi mekanik oleh turbin dan energi tersebut yang selanjutnya diubah
untuk menjadi energi listrik oleh generator dengan memanfaatkan ketinggian dan kecepatan
air.
Berdasarkan dari daya listrik yang dihasilkan, pembangkit listrik tenaga air dibedakan
menjadi: (1) pico hydro yang menghasilkan 5 kW, (2) micro hydro yang menghasilkan 5-100
kW, (3) mini hydro yang menghasilkan daya di atas 100 kW, namun tetap di bawah 1MW
dan (4) Bendungan/ dam/ large hydro dengan daya yang dihasilkan sebesar lebih dari 100
MW. Indonesia telah memanfaatkan air sebagai pembangkit listrik, salah satunya adalah
PLTA Cirata, Purwakarta.
Pembangkit listrik yang telah dibangun sejak 1983 ini bukanlah pembangkit utama dalam
jaringan listrik Jawa Bali, melainkan dijadikan pembangkit listrik cadangan. Apabila
keseluruhan turbin yang berjumlah 8 di PLTA tersebut berfungsi, PLTA Cirata hanya mampu
menyuplai sekitar 4 persen atau sekitar 1.008 MW dari beban listrik Pulau Jawa yang
mancapai 23.000 MW. Selain Cirata, terdapat pula pembangkit listrik tenaga air lainnya yang
ada di Indonesia seperti PLTA Saguling, Jatiluhur dan Lamajan.
Selain menjadi pembangkit, PLTA juga bermanfaat bagi sektor pariwisata. Pemandangan
alam berupa gunung, danau dan wisata kulinernya menjadi daya tarik pariwisata.
Pemandangan alam tidak hanya menjadi objek wisata di kawasan bendungan Jatiluhur,
terdapat pula objek pariwisata lain yang tersedia di sana seperti kolam renang dan ski air
yang secara langsung menghadap ke danau.
Meskipun mendatangkan banyak manfaat, pemanfaatan air dengan membangun
bendungan memiliki dampak lain seperti dapat mengganggu keseimbangan ekosistem
sungai atau danau, pembangunan yang memakan biaya dan waktu yang cukup lama dan
kerusakan pada bendungan yang dapat menyebabkan risiko kecelakaan dan kerugian lain
yang besar. Oleh karena itu perlu diperhatikan aspek-aspek kelingkungan serta
keselamatan agar pemanfaatan bendungan dapat dilakukan secara maksimal.
Penggunaan air tawar
Penggunaan air tawar dapat dikategorikan sebagai penggunaan konsumtif dan non-
konsumtif. Air dikatakan digunakan secara konsumtif jika air tidak dengan segera tersedia
lagi untuk penggunaan lainnya, misalnya irigasi (di mana penguapan dan penyerapan ke
dalam tanah serta penyerapan oleh tanaman dan hewan ternak terjadi dalam jumlah yang
cukup besar). Jika air yang digunakan tidak mengalami kehilangan serta dapat dikembalikan
ke dalam sistem perairan permukaan (setelah diolah jika air berbentuk limbah), maka air
dikatakan digunakan secara non-konsumtif dan dapat digunakan kembali untuk keperluan
lainnya, baik secara langsung maupun tidak langsung.
Pertanian
Diperkirakan 69% penggunaan air di seluruh dunia untuk irigasi. Di beberapa wilayah irigasi
dilakukan terhadap semua tanaman pertanian, sedangkan di wilayah lainnya irigasi hanya
dilakukan untuk tanaman pertanian yang menguntungkan, atau untuk meningkatkan hasil.
Berbagai metode irigasi melibatkan perhitungan antara hasil pertanian, konsumsi air, biaya
produksi, penggunaan peralatan dan bangunan. Metode irigasi seperti irigasi
beralur (furrow) dan sprinkler umumnya tidak terlalu mahal namun kurang efisien karena
banyak air yang mengalami evaporasi, mengalir atau terserap ke area di bawah atau di luar
wilayah akar. Metode irigasi lainnya seperti irigasi tetes, irigasi banjir, dan irigasi sistem
sprinkler di mana sprinkler dioperasikan dekat dengan tanah, dikatakan lebih efisien dan
meminimalisasikan aliran air dan penguapan meski lebih mahal. Setiap sistem yang tidak
diatur dengan benar dapat menyia-nyiakan sumber daya air, sedangkan setiap metode
memiliki potensi untuk efisiensi yang lebih tinggi pada kondisi tertentu di bawah pengaturan
waktu dan manajemen yang tepat.
Saat populasi dunia meningkat, dan permintaan terhadap bahan pangan juga meningkat
dengan suplai air yang tetap, terdapat dorongan untuk mempelajari bagaimana
memproduksi bahan pangan dengan sedikit air, melalui peningkatan metode dan teknologi
irigasi, manajemen air pertanian, tipe tanaman pertanian, dan pemantauan air.
Industri
Diperkirakan bahwa 15% air di seluruh dunia dipergunakan untuk industri. Banyak pengguna
industri yang menggunakan air, termasuk pembangkit listrik yang menggunakan air
untuk pendingin atau sumber energi, pemurnian bahan tambang dan minyak bumi yang
menggunakan air untuk proses kimia, hingga industri manufaktur yang menggunakan air
sebagai pelarut. Porsi penggunaan air untuk industri bervariasi di setiap negara, namun
selalu lebih rendah dibandingkan penggunaan untuk pertanian.
Air juga digunakan untuk membangkitkan energi. Pembangkit listrik tenaga air mendapatkan
listrik dari air yang menggerakkan turbin air yang dihubungkan dengan generator.
Pembangkit listrik tenaga air adalah pembangkit listrik yang rendah biaya produksi, tidak
menghasilkan polusi, dan dapat diperbarui. Energi ini pada dasarnya disuplai oleh matahari;
matahari menguapkan air di permukaan, yang lalu mengalami pengembunan di udara, turun
sebagai hujan, dan air hujan mensuplai air bagi sungai yang mengaliri pembangkit listrik
tenaga air. Bendungan Three Gorges merupakan bendungan pembangkit listrik tenaga air
terbesar di dunia.
Penggunaan industrial lainnya adalah turbin uap dan penukar panas, juga sebagai
pelarut bahan kimia. Keluarnya air dari industri tanpa dilakukan pengolahan terlbih dahulu
dapat disebut sebagai polusi. Polusi meliputi pelepasan larutan kimia (polusi kimia) atau
pelepasan air sisa penukaran panas (polusi termal). Industri membutuhkan air murni untuk
berbagai aplikasi dan menggunakan berbagai tehnik pemurnian untuk suplai air
maupun limbahnya.
Rumah tangga
Air minum yang umum berada di negara-negara maju
Diperkirakan 15% penggunaan air di seluruh dunia adalah di rumah tangga. Hal ini
meliputi air minum, mandi, memasak, sanitasi, dan berkebun. Kebutuhan minimum air yang
dibutuhkan dalam rumah tangga menurut Peter Gleick adalah sekitar 50 liter per individu per
hari, belum termasuk kebutuhan berkebun. Air minum haruslah air yang berkualitas tinggi
sehingga dapat langsung dikonsumsi tanpa risiko bahaya. Di sebagian besar negara-negara
berkembang, air yang disuplai untuk rumah tangga dan industri adalah air minum standar
meski dalam proporsi yang sangat kecil digunakan untuk dikonsumsi langsung atau
pengolahan makanan.
Rekreasi
Penggunaan air untuk rekreasi biasanya sangatlah kecil, namun terus berkembang. Air yang
digunakan untuk rekreasi biasanya berupa air yang ditampung dalam bentuk reservoir, dan
jika air yang ditampung melebihi jumlah yang biasa ditampung dalam reservoir tersebut,
maka kelebihannya dikatakan digunakan untuk kebutuhan rekreasional. Pelepasan sejumlah
air dari reservoir untuk kebutuhan arung jeram atau kegiatan sejenis juga disebut sebagai
kebutuhan rekreasional. Hal lainnya misalnya air yang ditampung dalam reservoir buatan
(misalnya kolam renang).
Penggunaan rekreasional umumnya non-konsumtif, karena air yang dilepaskan dapat
digunakan kembali. Pengecualian terdapat pada penggunaan air di lapangan golf, yang
umumnya sering menggunakan air dalam jumlah berlebihan terutama di daerah kering.
Namun masih belum jelas apakah penggunaan ini dikategorikan sebagai penggunaan
rekreasional atau irigasi, namun tetap memberikan efek yang cukup besar bagi sumber daya
air setempat.
Sebagai tambahan, penggunaan rekreasional mungkin akan mengurangi ketersediaan air
bagi kebutuhan lainnya di suatu tempat pada suatu waktu tertentu.
Lingkungan dan ekologi
Penggunaan bagi lingkungan dan ekologi secara eksplisit juga sangat kecil namun terus
berkembang. Penggunaan air untuk lingkungan dan ekologi meliputi lahan
basah buatan, danau buatan yang ditujukan untuk habitat alam liar, konservasi satwa ikan,
dan pelepasan air dari reservoir untuk membantu ikan bertelur.
Seperti penggunaan untuk rekreasi, penggunaan untuk lingkungan dan ekologi juga
termasuk penggunaan non konsumtif, namun juga mengurangi ketersediaan air untuk
kebutuhan lainnya di suatu tempat pada suatu waktu tertentu.
Stres air
Konsep stres air dan krisis air sesungguhnya sangatlah sederhana. Menurut World Business
Council for Sustainable Development, hal ini adalah situasi di mana tidak cukup air untuk
semua kebutuhan, baik itu untuk pertanian, industri, atau yang lainnya. Mendefinisikan
masalah ini dalam bentuk per kapita lebih rumit, namun mendatangkan asumsi yang lebih
baik untuk penggunaan air dan penghematannya. Namun telah diperkirakan bahwa ketika
ketersediaan air yang dapat diperbarui di bawah 1.700 meter kubik per kapita per tahun,
maka negara tersebut akan mengalami stres air secara periodik, di bawah 1.000 maka
kelangkaan air akan terjadi dan merintangi pertumbuhan ekonomi dan kesehatan manusia.
Peningkatan populasi
Pada tahun 2000, dunia berpopulasi 6,2 miliar. PBB memperkirakan bahwa pada tahun
2050, dunia akan mendapatkan tambahan penduduk sekitar 3,5 miliar dengan pertumbuhan
terbesar ada di negara-negara berkembang yang telah mengalami stres air. Hal itu akan
menyebabkan peningkatan permintaan air kecuali negara melakukan konservasi air dan
mendaur ulang sumber daya yang vital ini.

Sumber:
https://finance.detik.com/energi/d-3044074/melihat-lebih-dekat-plta-terbesar-di-indonesia-
yang-dibangun-di-perut-bumi
https://travel.detik.com/dtravelers_stories/u-1880696/wow-ternyata-waduk-jatiluhur-bisa-jadi-
tempat-wisata-asyik/1

2. Air merupakan aspek penting kehidupan manusia, air dimanfaatkan dan dibutuhkan
dalam segala hal baik. Semakin banyak jumlah penduduk, semakin meningkat pula
kebutuhan air yang harus dipenuhi. Selain dimanfaatkan sebagai air minum, untuk mandi,
mencuci, memasak, menyiram tanaman, dari kegiatan rumah tangga hingga industri
semuanya mebutuhkan air. Air pun dapat menjadi sumber energi yang dapat menghasilkan
tenaga listrik dengan dibangunnya Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA). Energi Air sangat
ramah lingkungan, sehingga dapat mendukung “revolusi” pemanfaatan energi bersih dan
“hijau” di Indonesia.  Indonesia sebagai negara maritim, sangat kaya akan ketersediaan air,
hal ini juga merupakan salah satu sinyal positif yang menunjukan besarnya potensi energi
air di Indonesia. Potensi energi air di Indonesia adalah 75,000 MW, namun baru
dimanfaatkan sekitar 10 persen atau sebesar 7,572 MW, Potensi energi air pun tersebar
diseluruh wilayah Indonesia, berdasarkan data dari Kementerian ESDM potensi energi di
Sumatera sebanyak 15,600 MW (20.8%); di Jawa  sebesar 4,200 MW (5.6%); di Kalimantan
sebesar 21,600 MW (28.8%); di Sulawesi sebesar 10,200 MW (13.6%); di Bali, Nusa
Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur sebesar 620 MW (0.8%); di Maluku sebesar 430
MW (0.6%); dan di Papua sebesar 22,350 MW (29.8%) (1). Dengan banyaknya potensi
energi air di Indonesia, seperti sumber air tawar, waduk, sungai, laut, danau, pemafaatan
energi air menggunakan energi potensial gravitasi, air akan memutar turbin generator
hingga  dapat menkoversikan tenaga mekanik yang dihasilkan menjadi energi listrik. Hal
tersebut mendorong pemerintah untuk meningkatkan pemanfaatan energi air dengan
membangun Pembangkit Listrik Tenaga Air. Bahkan potensi pembuatan Pemabngkit Listrik
Tenaga Miko Hidro (PLTMH) akan sangat potensial karena akan membantu daerah potensi
energi air kurang dari 100 kW untuk memanfaatkan PLTMH untuk memenuhi kebutuhan
listrik. Di Indonesia sendiri telah banyak dibangun beberapa Pembangkit Listrik Tenaga Air
(PLTA). Pembangkit Listrik Tenaga Air yang telah dibangun di Indonesia beberapa
diantaranya adalah sebagai berikut: PLTA Cikalong yang berada di Jawa Barat dengan 3
unit pembangkit (19.2 MW), PLTA Saguling dengan 4 unit pembangkit (700 MW), PLTA
Cirata dengan 8 unit pembangkit (1,008 MW), PLTA Jatiluhur dengan 7 unit pembangkit
(175 MW), dan masih banyak lagi (2). Selain pembangunan PLTA, pembangunan PLTMH
juga dapat menjadi solusi bagi daerah di Indonesia yang belum teraliri listrik, sehingga
masyarakat di daerah tersebut dapat memanfaatkan tenaga listrik dalam menunjang
kegiatan sehari-hari. Salah satu PLTMH yang dibangun oleh Kementerian Energi dan
Sumber Daya Mineral adalah PLTMH yang berada di Desa Oi Panihi, Pulau Bima, Nusa
Tenggara Barat, PLTMH yang beroperasi sejak 13 januari 2017 dengan kapasitas 100 KW
tersebut mengaliri listrik ke 150 rumah warga (3). Diharapkan pengembangan PLTMH dapat
dilakukan di beberapa daerah di Indonesia yang belum teraliri listrik, sehingga rasio
elektrifikasi di Indonesia dapat meningkat dan sebagai upaya pemanfaatan energi baru
terbarukan secara maksimal sesuai potensi yang ada di daerah tersebut.
 
Kerjasama Pemanfaatan Energi Air
Selain negara Indonesia ada beberapa negara yang berfokus mengembangkan energi baru
terbarukan khususnya energi air. Salah satu negara tersebut adalah negara Norwegia.
Norwegia merupakan negara maritim yang memanfaatkan potensi energi air atau hydro
power dengan maksimal. Energi air menjadi sumber energi utama dalam memenuhi
kebutuhan listrik nasionalnya, dapat dikatakan hampir 100 persen menggunakan energi air.
Meskipun biaya investasi awal PLTA relatif lebih kompetitif, namun manfaat dan tenaga
listrik yang dihasilkan dapat dimanfaatkan secara maksimal. Sebagai negara maritim
Indonesia dan Norwegia berfokus mengembangkan energi baru terbarukan, khusunya enrgi
air. Salah satu kerjasama kedua negara tersebut dalam pengembangan pemanfaatan enrgi
air  berupa ditandatanganinya perjanjian nota kesepahaman (Momerandum of
Understandin/MoU) pemerintah Indonesia dan Norwegia dalam kerjasama dibidang
pembangkit tenaga listrik air pada Indonesia-Norwegia Strategic Partnership In Business di
Jakarta, pada 27 November 2012 (4). Pada tahun 2025 ditargetkan  pemasangan kapasitas
pembangkit listrik tenaga air dapat mencapai 16,799.2 MW (4). Merupakan target yang
secara optimis dapat dicapai apabila didukung dengan pembangunan fasilitas dan investasi
dalam mendukung pemanfaatan secara maksimal. Selain dengan negara Norwegia, negara
Indonesia juga bekerjasama dengan negara Swedia dalam mengembangkan pemanfaatan
energi air. Negara  Swedia  berfokus pada pengembangan energi baru terbarukan khusunya
energi air. Pemerintah Indonesia dan Swedia menandatangani nota kesepahaman bersama
(memorandum of understanding/MoU) untuk mengembangkan listrik energi terbarukan, di
Jakarta pada 18 Februari 2017 (5). Kerjasama Indonesia dan Swedia juga telah terjalin pada
tahun 2013 dengan meluncurkan program Initiative for Sustainable Energy Solutions,
dengan tujuan meningkatkan kolaborasi dalam mengembangkan inovasi di sektor energi,
degan meningkatkan kapasitas dan transfer teknologi, kerjasama tersebut dikembangkan
oleh Dewan Energi Nasional (DEN) dan Swedish Energy Agency (SEA) (5) . Diharapkan
Indoneisa dapat menambah dan meluaskan kemitraan dengan negara-negara yang
berfokus mengembangkan energi baru terbarukan, energi air, sehingga dapat membantu
Indonesia memaksimalkan penggunaan energi baru terbarukan khususnya energi air
dengan pembangunan PLTA dan PLTMH.
            Dengan melimpahnya potensi energi air yang ada, Indonesia dapat memanfaatkan
energi air menjadi sumber pembangkit tenaga listrik. Selain ramah lingkungan dan terdapat
dimana-mana. Pembangunan fasilitas pembangkit listrik tenaga air dengan menyesuaikan
potensi yang ada di daerah tertentu, apabila potensi besar dapat di bangun PLTA, namun
apabila potensi kurang dari 100 KW  dapat dibangun PLTMH. Sekarang adalah keharusan
kita mengembangkan pemanfaatan energi air untuk memenuhi kebutuhan tenaga listrik di
Indonesia.
 
Sumber Referensi
1. https://ekbis.sindonews.com/read/877179/34/indonesia-harus-kembangkan-energi-
tenaga-air-1403755915
2. https://id.wikipedia.org/wiki/Daftar_pembangkit_listrik_di_Indonesia
3. https://finance.detik.com/energi/3487867/mengintip-pembangkit-listrik-tenaga-mikro-hidro-
di-pelosok-ntb
4. https://energreens.wordpress.com/2012/12/06/indonesia-norwegia-akan-kerjasama-
kembangkan-listrik-energi-air/
5. http://www.mongabay.co.id/2017/02/19/indonesia-swedia-mou-kembangan-listrik-energi-
air-dan-angin/
3. Pengelolaan Sumber Daya Alam (SDA), dengan melihat berbagai aspek kehidupan terkait
penyusunan rancangan peraturan daerah (Raperda) sudah saatnya menjadi acuan
sekaligus sebagai patokan untuk ditetapkan dan diterapkan. Mengingat sumber ekonomi
dan kekayaan di negeri ini tidak lagi menjadi monopoli semata, melainkan berasaskan
kebersamaan dan kemerataan secara berkelanjutan. Secercah harapan dengan adanya
Raperda Kalimantan Barat diharapkan mampu mengakomodir situasi lingkungan saat ini
yang berasaskan pada pasal 33.
Sumber kebijakan tentang pengelolaan sumber daya alam adalah Pasal 33 ayat (3), secara
tegas Pasal 33 UUD 1945 beserta penjelasannya, melarang adanya penguasaan sumber
daya alam ditangan orang ataupun seorang. Dengan kata lain monopoli, tidak dapat
dibenarkannamun fakta saat ini berlaku di dalam praktek-praktek usaha, bisnis dan investasi
dalam bidang pengelolaan sumber daya alam sedikit banyak bertentangan dengan prinsip
pasal 33.
Bunyi pasal 33 UUD 1945 sebagai berikut : ayat (1) berbunyi; Perekonomian disusun
sebagai usaha bersama berdasar atas azas kekeluargaan, ayat (2); Cabang-cabang
produksi yang penting bagi Negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak
dikuasai oleh Negara, ayat (3) menyebutkan ; Bumi, air dan kekayaan alam yang
terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-
besarnya kemakmuran rakyat, ayat (4), Perekonomian nasional diselenggarakan
berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi
berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan
menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional dan ayat (5);
Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pasal ini diatur dalam undang-undang.
Sebagai pengingat sederet catatan-catatan terkait ketimpangan pemerataan ekonomi di
Negeri ini tidak kunjung henti hinggap dan datang silih berganti tanpa ada kontrol terus
menjadi biang persoalan. Pertama, pengerukan dan kerusakan sumber daya alam dalam hal
ini eksploitasi tanpa melihat aspek keberlanjutan dari nasib alam dan lingkungan serta
manusianya. Pembukaan lahan secara besar-besaran berpengaruh pada (hutan dan satwa-
satwa), hutan semakin menipis dan habitat hidup satwa kian menyempit dan terjepit, belum
lagi ditambah dengan lemahnya pengawasan dan tata kelola yang mengabaikan arti penting
fungsi dan manfaat lingkungan bagi kehidupan makhluk hidup. Pencemaran, semakin
seringnya bencana terjadi membuat semakin sulitnya bertahan hidup. Kedua, Semakin
meluasnya laju kerusakan lingkungan dan investasi dari investor (pemilik modal dan pelaku
pasar) secara tidak sengaja dan tidak terkendali berimbas kepada hak-hak masyarakat yang
terabaikan. Keadilan dan pembiaran akan berbagai sumber konflik terjadi, perebutan lahan,
pembagian hasil yang sedikit banyak menimbulkan pengaruh sosial dan ekonomi
masyarakat. Kesenjangan terjadi, ketimpangan ekonomi masyarakat menyulut aksi dan
berakhir pada sebuah dilema baru bernama Kejelasan pedoman atau aturan yang
terabaikan. Ketiga, Pengelolaan SDA tidak terkontrol. Pengelolaan SDA yang dimaksud
adalah minimnya fungsi pengawasan, hukuman, tata kelola dan kebijakan menyangkut
persoalan-persoalan lingkungan, sehingga menjadi bias keberadaan ketersediaan kekayaan
alam yang kian memprihatinkan. Sampai saat ini fungsi pengawasan dan regulasi hanya
sebatas syarat tanpa adanya penetapan. Keempat, Kewajiban dan tanggungjawab dari
perusahaan-perusahaan untuk mentati Amdal, membuat kawasan sebagai area hijau dan
area konservasi bagi satwa dan tumbuh-tumbuhan dilindungi sepertinya banyak diantara
perusahaan enggan menerapkannya. Hal ini tentu saja menjadi sangat rancu ketika hanya
sebatas wacana dan seelogan belaka. Kelima, pasal 33 ayat (4)
menyebutkan, Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi
dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan,
kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi
nasional. Namun, kemakmuran bagi seluruh rakyat berbalik menjadi penguasaan bagi
seluruh rakyat. Kebersamaan berubah menjadi monopoli yang cenderung mengabaikan
kemajuan dan berpotensi memancing isu-isu perpecahan di beberapa daerah. Mengingat
keadilan, kesetaraan, penghargaan hak-hak masyarakat dan kemakmuran tergolong
terabaikan. Sumber daya alam terkuras dan derita semakin parah, kemiskinan kian
bertambah.
Pasal 33 ayat (1), (2), (3), (4), dan (5) Undang-undang Dasar 1945, secara jelas
menyiratkan bahwa penguasaan perekonomian terkait hasil kekayaan alam harus berpatok
kepada kepentingan bersama dan untuk kemakmuran rakyat yang berasaskan kepada
keadilan. Angin segar tentang Raperdatentang Pengelolaan SDA berbasis pemulihan
lingkungan sebagai sebuah keharusan untuk segera di tetapkan dalam suatu daerah atau
wilayah untuk dijadikan sebagai sebuah jawaban dengan semakin kompleksnya pesoalan-
persoalan kekinian lingkungan dan hak-hak masyarakat tidak kunjung usai saat ini.
Sumber
https://www.kompasiana.com/pit_kanisius/55208a79a33311764646d0bb/meneropong-
pasal-33-uud-1945-dan-pengelolaan-sda-berbasis-pemulihan-lingkungan

4. Perhatian masyarakat Indonesia mengenai air harus semakin ditingkatkan. Hal ini tidak
hanya dikarenakan air merupakan salah satu sumber kehidupan, akan tetapi, pada
kenyataanya Indonesia adalah negara yang memiliki 6 persen cadangan air dunia,
menempati peringkat kelima setelah Brasil, Rusia, Tiongkok, dan Kanada.

Dalam HPT Jilid 3 yang membahas mengenai Fikih Air dijelaskan dengan gamblang, bahwa
permasalahan air di Indonesia sudah semakin gawat. Kekeringan yang terjadi pada muslim
kemarau ini hanyalah satu diantara banyak permasalahan yang berkaitan dengan air,
diantaranya adalah:
Pertama, adanya kelangkaan air baku. Sebagai misal, Jakarta sebagai ibukota, ternyata
membutuhkan air 27.00 liter/ detik, sedangkan supply yang ada hanyalah 18.000 liter/ detik.
Hal ini belum lagi daerah-daerah pegunungan yang sulit dijangkau air, terutama di muslim
kemarau yang kemudian menimbulkan bencana kekeringan. Padahal disisi lain, air di musim
hujan, justru membuat bencana banjir dan juga terbuang tanpa ada usaha penyimpanan air
untuk musim kemarau berikutnya.

Kedua, konsumsi air tidak layak. Tahun 2010, jumlah rumah tangga di Indonesia yang
memiliki akses berkelanjutan pada sumber air minum yang layak hanya 41,71% dan yang
memiliki sanitasi yang layak hanya 51, 19%. Lebih lanjut lagi, studi dari UNICEF
menyatakan bahwa perkampungan kumuh yang tidak memiliki sumber air dan sanitasi yang
layak, memiliki prosentasi kematian anak lebih tinggi lima kali lipat dari daerah perkotaan.

Ketiga, data dari Kementerian Lingkunan Hidup tahun 2013 mencatat bahwa dari 133 sungai
di Indonesia, 72,25% telah tercemar berat, 22,52% tercemar sedang, 1% tercemar ringan,
dan hanya 0,49% yang baik. Dari 133 sungai, 94 sungai diantaranya ada di pulau Jawa.

Keempat, potensi konflik karena perebutan air. dimana msyarakat di hulu sungai meminta
kompensasi atas penggunaan sungai kepada penduduk hilir. Ketika tidak dibayarkan, supply
air dikurangi.

Kelima, pada 2000-2005 menurut Organisasi Pangan dan Petannian Dunia (FAO),
kerusakan hutan di Indoensia ada sekitar 1,9 juta hektar. Hal ini membuat air hujan tidak
tertangkap oleh hutan dan langsung menuju laut.

Dari sini, kita dapat melihat bahwa permasalahan mengenai terlihat begitu urgen untuk
segera diselesaikan. Meskipun begitu, pada kenyatanya, bencana kekeringan yang terjadi
mempunyai bentuk ironi tersenidiri.

Di sisi lain, kita mendapati bencana kekeringan di musim kemarau, akan tetapi ketika musim
hujan datang, kita justru kebanjiran. Tidak hanya itu, bahkan dalam kehidupan sehari-hari,
banyak dari kita yang memboroskan air bahkan dalah hal ibadah.

Ketika berwudhu, banyak diantara kita yang secara tidak sengaja membuang air, entah
karena kran air yang dibuka terlalu besar atau karena berwudhu sambil berbicara dengan
teman. Jika kita hitung, misalnya, air yang secara tidak sengaja terbuang adalah 1 liter/
orang, dan satu masjid memiliki 20 jamaah, maka dalam satu kali shalat, setiap masjid
membuang air secara tidak sengaja sebanyak 20 liter. Jika dikali lima kali waktu shalat,
maka 100 liter, dan jika satu kelurahan ada 20 masjid, maka jumlahnya menjadi 2000 liter/
kelurahan/ hari. Itu baru dengan asumsi, satu masjid memiliki 20 jamaah. Sungguh ironi
bukan?

Dalam sebuah hadis dinyatakan bahwa umat muslim itu bagaikan satu tubuh, jika satu
bagian ada yang merasakan rasa sakit, maka bagian yang lain juga akan merasakan sakit
tersebut. Maka sungguh tidak layak ketika banyak masyarakat yang mengalami kekeringan,
kemudian kita justru berwudhu dengan air yang boros yang kadang alasanya adalah
egoisme “kalau kran tidak besar, wudhu terasa kurang puas”.

Gerakan Ramah Air

Lalu bagaimana solusinya? Dalam Buku Fikih Air Muhammadiyah, ada beberapa hal yang
bisa kita lakukan agar kita semua bisa menjadi bagian dari solusi atas permasalahan air
yang terjadi. Baik dari level individu (keluarga), masyarakat, pelaku bisnis, maupun
pemerintah.
Di level individu dan keluarga, kita bisa memulai dengan a) Membiasakan membetulkan
kran dan pipa yang bocor, b) Membiasakan mematikan kran ketika sudah penuh, hindari
menggunakan bath-up, dan gunakan air sehemat mungkin, c) Tidak menutup seluruh
halaman rumah dengan semen/ aspal dan menyisakan bagian halaman rumah untuk
resapan air hujan sehingga bisa menambah cadangan air dibawah tanah.

Di level masyarakat, dapat dilakukan dengan a) Pengelolaan sumberdaya air berbasis


masyarakat, b) Membat system pembuangan limbah yang baik sehingga tidak mencemari
air, c) Melakukan upaya penampungan air hujan (rainwater harvesting), c)
Penggunaan mulsa (penutup) organik pada tanah pertanian/ perkebunan untuk menghemat
air dan mengurangi evaporasi, c) Masjid atau lembaga pendidikan menggunakan kran yang
hemat air, d) Gerakan sedekah air bagi masyarakat lain yang mengalami kekeringan.

Di level pemerintah, bisa dilakukan dengan a) Mengoptimalkan proses pengelolaan air,


mulai dari perencanaan, pelaksanaan, pemantauan, evaluasi, pengendalian daya rusak air,
dll. b) Mensinergikan potensi masyarakat dalam hal pengelolaan air, c) Melakukan
penegakan hukum terhadap mereka yang melakukan kerusakan lingkungan, d) Melakukan
pengaturan sumberdaya air secara bijaksana. termasuk di dalamnya mencegah beberapa
pihak memonopoli air yang merupakan hak hidup orang banyak.

Sumber
https://radarjogja.jawapos.com/2019/11/26/bencana-kekeringan-dan-fikih-air-
muhammadiyah/

Anda mungkin juga menyukai