Sumber:
https://finance.detik.com/energi/d-3044074/melihat-lebih-dekat-plta-terbesar-di-indonesia-
yang-dibangun-di-perut-bumi
https://travel.detik.com/dtravelers_stories/u-1880696/wow-ternyata-waduk-jatiluhur-bisa-jadi-
tempat-wisata-asyik/1
2. Air merupakan aspek penting kehidupan manusia, air dimanfaatkan dan dibutuhkan
dalam segala hal baik. Semakin banyak jumlah penduduk, semakin meningkat pula
kebutuhan air yang harus dipenuhi. Selain dimanfaatkan sebagai air minum, untuk mandi,
mencuci, memasak, menyiram tanaman, dari kegiatan rumah tangga hingga industri
semuanya mebutuhkan air. Air pun dapat menjadi sumber energi yang dapat menghasilkan
tenaga listrik dengan dibangunnya Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA). Energi Air sangat
ramah lingkungan, sehingga dapat mendukung “revolusi” pemanfaatan energi bersih dan
“hijau” di Indonesia. Indonesia sebagai negara maritim, sangat kaya akan ketersediaan air,
hal ini juga merupakan salah satu sinyal positif yang menunjukan besarnya potensi energi
air di Indonesia. Potensi energi air di Indonesia adalah 75,000 MW, namun baru
dimanfaatkan sekitar 10 persen atau sebesar 7,572 MW, Potensi energi air pun tersebar
diseluruh wilayah Indonesia, berdasarkan data dari Kementerian ESDM potensi energi di
Sumatera sebanyak 15,600 MW (20.8%); di Jawa sebesar 4,200 MW (5.6%); di Kalimantan
sebesar 21,600 MW (28.8%); di Sulawesi sebesar 10,200 MW (13.6%); di Bali, Nusa
Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur sebesar 620 MW (0.8%); di Maluku sebesar 430
MW (0.6%); dan di Papua sebesar 22,350 MW (29.8%) (1). Dengan banyaknya potensi
energi air di Indonesia, seperti sumber air tawar, waduk, sungai, laut, danau, pemafaatan
energi air menggunakan energi potensial gravitasi, air akan memutar turbin generator
hingga dapat menkoversikan tenaga mekanik yang dihasilkan menjadi energi listrik. Hal
tersebut mendorong pemerintah untuk meningkatkan pemanfaatan energi air dengan
membangun Pembangkit Listrik Tenaga Air. Bahkan potensi pembuatan Pemabngkit Listrik
Tenaga Miko Hidro (PLTMH) akan sangat potensial karena akan membantu daerah potensi
energi air kurang dari 100 kW untuk memanfaatkan PLTMH untuk memenuhi kebutuhan
listrik. Di Indonesia sendiri telah banyak dibangun beberapa Pembangkit Listrik Tenaga Air
(PLTA). Pembangkit Listrik Tenaga Air yang telah dibangun di Indonesia beberapa
diantaranya adalah sebagai berikut: PLTA Cikalong yang berada di Jawa Barat dengan 3
unit pembangkit (19.2 MW), PLTA Saguling dengan 4 unit pembangkit (700 MW), PLTA
Cirata dengan 8 unit pembangkit (1,008 MW), PLTA Jatiluhur dengan 7 unit pembangkit
(175 MW), dan masih banyak lagi (2). Selain pembangunan PLTA, pembangunan PLTMH
juga dapat menjadi solusi bagi daerah di Indonesia yang belum teraliri listrik, sehingga
masyarakat di daerah tersebut dapat memanfaatkan tenaga listrik dalam menunjang
kegiatan sehari-hari. Salah satu PLTMH yang dibangun oleh Kementerian Energi dan
Sumber Daya Mineral adalah PLTMH yang berada di Desa Oi Panihi, Pulau Bima, Nusa
Tenggara Barat, PLTMH yang beroperasi sejak 13 januari 2017 dengan kapasitas 100 KW
tersebut mengaliri listrik ke 150 rumah warga (3). Diharapkan pengembangan PLTMH dapat
dilakukan di beberapa daerah di Indonesia yang belum teraliri listrik, sehingga rasio
elektrifikasi di Indonesia dapat meningkat dan sebagai upaya pemanfaatan energi baru
terbarukan secara maksimal sesuai potensi yang ada di daerah tersebut.
Kerjasama Pemanfaatan Energi Air
Selain negara Indonesia ada beberapa negara yang berfokus mengembangkan energi baru
terbarukan khususnya energi air. Salah satu negara tersebut adalah negara Norwegia.
Norwegia merupakan negara maritim yang memanfaatkan potensi energi air atau hydro
power dengan maksimal. Energi air menjadi sumber energi utama dalam memenuhi
kebutuhan listrik nasionalnya, dapat dikatakan hampir 100 persen menggunakan energi air.
Meskipun biaya investasi awal PLTA relatif lebih kompetitif, namun manfaat dan tenaga
listrik yang dihasilkan dapat dimanfaatkan secara maksimal. Sebagai negara maritim
Indonesia dan Norwegia berfokus mengembangkan energi baru terbarukan, khusunya enrgi
air. Salah satu kerjasama kedua negara tersebut dalam pengembangan pemanfaatan enrgi
air berupa ditandatanganinya perjanjian nota kesepahaman (Momerandum of
Understandin/MoU) pemerintah Indonesia dan Norwegia dalam kerjasama dibidang
pembangkit tenaga listrik air pada Indonesia-Norwegia Strategic Partnership In Business di
Jakarta, pada 27 November 2012 (4). Pada tahun 2025 ditargetkan pemasangan kapasitas
pembangkit listrik tenaga air dapat mencapai 16,799.2 MW (4). Merupakan target yang
secara optimis dapat dicapai apabila didukung dengan pembangunan fasilitas dan investasi
dalam mendukung pemanfaatan secara maksimal. Selain dengan negara Norwegia, negara
Indonesia juga bekerjasama dengan negara Swedia dalam mengembangkan pemanfaatan
energi air. Negara Swedia berfokus pada pengembangan energi baru terbarukan khusunya
energi air. Pemerintah Indonesia dan Swedia menandatangani nota kesepahaman bersama
(memorandum of understanding/MoU) untuk mengembangkan listrik energi terbarukan, di
Jakarta pada 18 Februari 2017 (5). Kerjasama Indonesia dan Swedia juga telah terjalin pada
tahun 2013 dengan meluncurkan program Initiative for Sustainable Energy Solutions,
dengan tujuan meningkatkan kolaborasi dalam mengembangkan inovasi di sektor energi,
degan meningkatkan kapasitas dan transfer teknologi, kerjasama tersebut dikembangkan
oleh Dewan Energi Nasional (DEN) dan Swedish Energy Agency (SEA) (5) . Diharapkan
Indoneisa dapat menambah dan meluaskan kemitraan dengan negara-negara yang
berfokus mengembangkan energi baru terbarukan, energi air, sehingga dapat membantu
Indonesia memaksimalkan penggunaan energi baru terbarukan khususnya energi air
dengan pembangunan PLTA dan PLTMH.
Dengan melimpahnya potensi energi air yang ada, Indonesia dapat memanfaatkan
energi air menjadi sumber pembangkit tenaga listrik. Selain ramah lingkungan dan terdapat
dimana-mana. Pembangunan fasilitas pembangkit listrik tenaga air dengan menyesuaikan
potensi yang ada di daerah tertentu, apabila potensi besar dapat di bangun PLTA, namun
apabila potensi kurang dari 100 KW dapat dibangun PLTMH. Sekarang adalah keharusan
kita mengembangkan pemanfaatan energi air untuk memenuhi kebutuhan tenaga listrik di
Indonesia.
Sumber Referensi
1. https://ekbis.sindonews.com/read/877179/34/indonesia-harus-kembangkan-energi-
tenaga-air-1403755915
2. https://id.wikipedia.org/wiki/Daftar_pembangkit_listrik_di_Indonesia
3. https://finance.detik.com/energi/3487867/mengintip-pembangkit-listrik-tenaga-mikro-hidro-
di-pelosok-ntb
4. https://energreens.wordpress.com/2012/12/06/indonesia-norwegia-akan-kerjasama-
kembangkan-listrik-energi-air/
5. http://www.mongabay.co.id/2017/02/19/indonesia-swedia-mou-kembangan-listrik-energi-
air-dan-angin/
3. Pengelolaan Sumber Daya Alam (SDA), dengan melihat berbagai aspek kehidupan terkait
penyusunan rancangan peraturan daerah (Raperda) sudah saatnya menjadi acuan
sekaligus sebagai patokan untuk ditetapkan dan diterapkan. Mengingat sumber ekonomi
dan kekayaan di negeri ini tidak lagi menjadi monopoli semata, melainkan berasaskan
kebersamaan dan kemerataan secara berkelanjutan. Secercah harapan dengan adanya
Raperda Kalimantan Barat diharapkan mampu mengakomodir situasi lingkungan saat ini
yang berasaskan pada pasal 33.
Sumber kebijakan tentang pengelolaan sumber daya alam adalah Pasal 33 ayat (3), secara
tegas Pasal 33 UUD 1945 beserta penjelasannya, melarang adanya penguasaan sumber
daya alam ditangan orang ataupun seorang. Dengan kata lain monopoli, tidak dapat
dibenarkannamun fakta saat ini berlaku di dalam praktek-praktek usaha, bisnis dan investasi
dalam bidang pengelolaan sumber daya alam sedikit banyak bertentangan dengan prinsip
pasal 33.
Bunyi pasal 33 UUD 1945 sebagai berikut : ayat (1) berbunyi; Perekonomian disusun
sebagai usaha bersama berdasar atas azas kekeluargaan, ayat (2); Cabang-cabang
produksi yang penting bagi Negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak
dikuasai oleh Negara, ayat (3) menyebutkan ; Bumi, air dan kekayaan alam yang
terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-
besarnya kemakmuran rakyat, ayat (4), Perekonomian nasional diselenggarakan
berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi
berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan
menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional dan ayat (5);
Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pasal ini diatur dalam undang-undang.
Sebagai pengingat sederet catatan-catatan terkait ketimpangan pemerataan ekonomi di
Negeri ini tidak kunjung henti hinggap dan datang silih berganti tanpa ada kontrol terus
menjadi biang persoalan. Pertama, pengerukan dan kerusakan sumber daya alam dalam hal
ini eksploitasi tanpa melihat aspek keberlanjutan dari nasib alam dan lingkungan serta
manusianya. Pembukaan lahan secara besar-besaran berpengaruh pada (hutan dan satwa-
satwa), hutan semakin menipis dan habitat hidup satwa kian menyempit dan terjepit, belum
lagi ditambah dengan lemahnya pengawasan dan tata kelola yang mengabaikan arti penting
fungsi dan manfaat lingkungan bagi kehidupan makhluk hidup. Pencemaran, semakin
seringnya bencana terjadi membuat semakin sulitnya bertahan hidup. Kedua, Semakin
meluasnya laju kerusakan lingkungan dan investasi dari investor (pemilik modal dan pelaku
pasar) secara tidak sengaja dan tidak terkendali berimbas kepada hak-hak masyarakat yang
terabaikan. Keadilan dan pembiaran akan berbagai sumber konflik terjadi, perebutan lahan,
pembagian hasil yang sedikit banyak menimbulkan pengaruh sosial dan ekonomi
masyarakat. Kesenjangan terjadi, ketimpangan ekonomi masyarakat menyulut aksi dan
berakhir pada sebuah dilema baru bernama Kejelasan pedoman atau aturan yang
terabaikan. Ketiga, Pengelolaan SDA tidak terkontrol. Pengelolaan SDA yang dimaksud
adalah minimnya fungsi pengawasan, hukuman, tata kelola dan kebijakan menyangkut
persoalan-persoalan lingkungan, sehingga menjadi bias keberadaan ketersediaan kekayaan
alam yang kian memprihatinkan. Sampai saat ini fungsi pengawasan dan regulasi hanya
sebatas syarat tanpa adanya penetapan. Keempat, Kewajiban dan tanggungjawab dari
perusahaan-perusahaan untuk mentati Amdal, membuat kawasan sebagai area hijau dan
area konservasi bagi satwa dan tumbuh-tumbuhan dilindungi sepertinya banyak diantara
perusahaan enggan menerapkannya. Hal ini tentu saja menjadi sangat rancu ketika hanya
sebatas wacana dan seelogan belaka. Kelima, pasal 33 ayat (4)
menyebutkan, Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi
dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan,
kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi
nasional. Namun, kemakmuran bagi seluruh rakyat berbalik menjadi penguasaan bagi
seluruh rakyat. Kebersamaan berubah menjadi monopoli yang cenderung mengabaikan
kemajuan dan berpotensi memancing isu-isu perpecahan di beberapa daerah. Mengingat
keadilan, kesetaraan, penghargaan hak-hak masyarakat dan kemakmuran tergolong
terabaikan. Sumber daya alam terkuras dan derita semakin parah, kemiskinan kian
bertambah.
Pasal 33 ayat (1), (2), (3), (4), dan (5) Undang-undang Dasar 1945, secara jelas
menyiratkan bahwa penguasaan perekonomian terkait hasil kekayaan alam harus berpatok
kepada kepentingan bersama dan untuk kemakmuran rakyat yang berasaskan kepada
keadilan. Angin segar tentang Raperdatentang Pengelolaan SDA berbasis pemulihan
lingkungan sebagai sebuah keharusan untuk segera di tetapkan dalam suatu daerah atau
wilayah untuk dijadikan sebagai sebuah jawaban dengan semakin kompleksnya pesoalan-
persoalan kekinian lingkungan dan hak-hak masyarakat tidak kunjung usai saat ini.
Sumber
https://www.kompasiana.com/pit_kanisius/55208a79a33311764646d0bb/meneropong-
pasal-33-uud-1945-dan-pengelolaan-sda-berbasis-pemulihan-lingkungan
4. Perhatian masyarakat Indonesia mengenai air harus semakin ditingkatkan. Hal ini tidak
hanya dikarenakan air merupakan salah satu sumber kehidupan, akan tetapi, pada
kenyataanya Indonesia adalah negara yang memiliki 6 persen cadangan air dunia,
menempati peringkat kelima setelah Brasil, Rusia, Tiongkok, dan Kanada.
Dalam HPT Jilid 3 yang membahas mengenai Fikih Air dijelaskan dengan gamblang, bahwa
permasalahan air di Indonesia sudah semakin gawat. Kekeringan yang terjadi pada muslim
kemarau ini hanyalah satu diantara banyak permasalahan yang berkaitan dengan air,
diantaranya adalah:
Pertama, adanya kelangkaan air baku. Sebagai misal, Jakarta sebagai ibukota, ternyata
membutuhkan air 27.00 liter/ detik, sedangkan supply yang ada hanyalah 18.000 liter/ detik.
Hal ini belum lagi daerah-daerah pegunungan yang sulit dijangkau air, terutama di muslim
kemarau yang kemudian menimbulkan bencana kekeringan. Padahal disisi lain, air di musim
hujan, justru membuat bencana banjir dan juga terbuang tanpa ada usaha penyimpanan air
untuk musim kemarau berikutnya.
Kedua, konsumsi air tidak layak. Tahun 2010, jumlah rumah tangga di Indonesia yang
memiliki akses berkelanjutan pada sumber air minum yang layak hanya 41,71% dan yang
memiliki sanitasi yang layak hanya 51, 19%. Lebih lanjut lagi, studi dari UNICEF
menyatakan bahwa perkampungan kumuh yang tidak memiliki sumber air dan sanitasi yang
layak, memiliki prosentasi kematian anak lebih tinggi lima kali lipat dari daerah perkotaan.
Ketiga, data dari Kementerian Lingkunan Hidup tahun 2013 mencatat bahwa dari 133 sungai
di Indonesia, 72,25% telah tercemar berat, 22,52% tercemar sedang, 1% tercemar ringan,
dan hanya 0,49% yang baik. Dari 133 sungai, 94 sungai diantaranya ada di pulau Jawa.
Keempat, potensi konflik karena perebutan air. dimana msyarakat di hulu sungai meminta
kompensasi atas penggunaan sungai kepada penduduk hilir. Ketika tidak dibayarkan, supply
air dikurangi.
Kelima, pada 2000-2005 menurut Organisasi Pangan dan Petannian Dunia (FAO),
kerusakan hutan di Indoensia ada sekitar 1,9 juta hektar. Hal ini membuat air hujan tidak
tertangkap oleh hutan dan langsung menuju laut.
Dari sini, kita dapat melihat bahwa permasalahan mengenai terlihat begitu urgen untuk
segera diselesaikan. Meskipun begitu, pada kenyatanya, bencana kekeringan yang terjadi
mempunyai bentuk ironi tersenidiri.
Di sisi lain, kita mendapati bencana kekeringan di musim kemarau, akan tetapi ketika musim
hujan datang, kita justru kebanjiran. Tidak hanya itu, bahkan dalam kehidupan sehari-hari,
banyak dari kita yang memboroskan air bahkan dalah hal ibadah.
Ketika berwudhu, banyak diantara kita yang secara tidak sengaja membuang air, entah
karena kran air yang dibuka terlalu besar atau karena berwudhu sambil berbicara dengan
teman. Jika kita hitung, misalnya, air yang secara tidak sengaja terbuang adalah 1 liter/
orang, dan satu masjid memiliki 20 jamaah, maka dalam satu kali shalat, setiap masjid
membuang air secara tidak sengaja sebanyak 20 liter. Jika dikali lima kali waktu shalat,
maka 100 liter, dan jika satu kelurahan ada 20 masjid, maka jumlahnya menjadi 2000 liter/
kelurahan/ hari. Itu baru dengan asumsi, satu masjid memiliki 20 jamaah. Sungguh ironi
bukan?
Dalam sebuah hadis dinyatakan bahwa umat muslim itu bagaikan satu tubuh, jika satu
bagian ada yang merasakan rasa sakit, maka bagian yang lain juga akan merasakan sakit
tersebut. Maka sungguh tidak layak ketika banyak masyarakat yang mengalami kekeringan,
kemudian kita justru berwudhu dengan air yang boros yang kadang alasanya adalah
egoisme “kalau kran tidak besar, wudhu terasa kurang puas”.
Lalu bagaimana solusinya? Dalam Buku Fikih Air Muhammadiyah, ada beberapa hal yang
bisa kita lakukan agar kita semua bisa menjadi bagian dari solusi atas permasalahan air
yang terjadi. Baik dari level individu (keluarga), masyarakat, pelaku bisnis, maupun
pemerintah.
Di level individu dan keluarga, kita bisa memulai dengan a) Membiasakan membetulkan
kran dan pipa yang bocor, b) Membiasakan mematikan kran ketika sudah penuh, hindari
menggunakan bath-up, dan gunakan air sehemat mungkin, c) Tidak menutup seluruh
halaman rumah dengan semen/ aspal dan menyisakan bagian halaman rumah untuk
resapan air hujan sehingga bisa menambah cadangan air dibawah tanah.
Sumber
https://radarjogja.jawapos.com/2019/11/26/bencana-kekeringan-dan-fikih-air-
muhammadiyah/