Anda di halaman 1dari 26

MAKALAH

PENYAKIT DIFTERI (Corynebacterium Diphtheriae)


MATA KULIAH KMB 1
Dosen Pembimbing : GIDION MANSA, SST.,M.Si

Di Susun Oleh :
Kelompok 3
Tingkat II A Keperawatan

POLTEKKES KEMENKES SORONG


PRODI D-III KEPERAWATAN MANOKWARI
TAHUN 2020/2021
NAMA ANGGOTA KELOMPOK 3

1. ALMINSE TREDA HELENA MAY


2. DIAH PRATAMA PUTRI
3. ESTER AP
4. GLORIA TESALONIKA SANGGENAFA
5. KAROLINA ELISABETH SANOY
6. GRACIA M. C. PAYARA
7. YANNA INDOU

KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan atas kehadirat rahmat Allah Yang Maha Kuasa,
yang telah memberikan kemudahan bagi kami sebagai penyusun untuk dapat
menyelesaikan tugas ini . Makalah ini merupakan tugas yang berjudul “Penyakit
Difteri “ yang mana dengan tugas ini kami kelompok 3 dapat mengetahui lebih
jauh tentang Difteri,yakni defisinisi, patofisiologi, tanda dan gejala, tes
diagnostik, penatalaksanaan serta program pemerintah terkait pengakit infeksi
endemis. Mengenai lebih lanjut kami akan memaparkan dalam bagian
pembahasan makalah ini.
       Dengan harapan makalah ini dapat bermanfaat,maka kami sebagai
penyusun mengucapkan terima kasih kepada semua anggota kelompok yang
telah membantu meyelesaikan makalah ini.

                                                                        Manokwari, 26 Oktober 2020

                                                                                       Kelompok 3

DAFTAR ISI
Kata
pengantar................................................................................................................i
Daftar isi...............................................................................................................ii

BAB I
PENDAHULUAN................................................................................................1
1.1 Latar Belakang......................................................................................1
1.2 RumusanMasalah.................................................................................2
1.3 Tujuan...................................................................................................2

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA.......................................................................................3
2.1Definisi..................................................................................................7
2.2 Patofisiologi..........................................................................................7
2.3 Tanda dan Gejala..................................................................................9
2.4 Tes Diagnostik....................................................................................10
2.5 Penatalaksanaan..................................................................................11
2.6Program Pemerintah Terkain Penyakit Infeksi Endemis ....................16

BAB III
PENUTUP..........................................................................................................21
3.1 Kesimpulan.........................................................................................21

Daftar pustaka......................................................................................................iii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang
Difteri merupakan salah satu penyakit yang sangat menular
(contagious disease). Penyakit ini disebabkan oleh infeksi
bakteri Corynebacterium diphtheriae, yaitu kuman yang menginfeksi
saluran pernafasan, terutama bagian tonsil, nasofaring (bagian antara
hidung dan faring/ tenggorokan) dan laring. Penularan difteri dapat
melalui kontak hubungan dekat, melalui udara yang tercemar oleh carier
atau penderita yang akan sembuh, juga melalui batuk dan bersin
penderita.
Difteri adalah suatu penyakit bakteria akut terutama menyerang
tonsil, faring, laring, hidung, adakalanya menyerang selaput lendir atau
kulit serta kadang-kadang konjungtiva atau vagina. Penyebab penyakit ini
adalah Corynebacterium diphteria. Penyakit ini muncul terutama pada
bulan-bulan dimana temperatur lebih dingin di negara subtropis dan pada
umumnya menyerang anak-anak usia 1-10 tahun.
Penderita difteri umumnya anak-anak, usia di bawah 15 tahun.
Dilaporkan 10 % kasus difteri dapat berakibat fatal, yaitu sampai
menimbulkan kematian. Selama permulaan pertama dari abad ke-20,
difteri merupakan penyebab umum dari kematian bayi dan anak – anak
muda. Penyakit ini juga dijumpai pada daerah padat penduduk dengan
tingkat sanitasi rendah. Oleh karena itu, menjaga kebersihan sangatlah
penting, karena berperan dalam menunjang kesehatan kita.
Penyakit yang Dapat Dicegah Dengan Imunisasi (PD3I) seperti
TBC, Diphteri, Pertusis, Campak, Tetanus, Polio, dan Hepatitis B
merupakan salah satu penyebab kematian anak di negara-negara
berkembang termasuk Indonesia. Diperkirakan1,7 juta kematian pada
anak atau 5% pada balita di Indonesia adalah akibat PD3I. Difteri
merupakan salah satu penyakit menular yang dapat dicegah dengan
imunisasi (PD3I). Sebelum era vaksinasi, racun yang dihasilkan oleh
kuman ini sering meyebabkan penyakit yang serius, bahkan dapat
menimbulkan kematian. Tapi sejak vaksin difteri ditemukan dan
imunisasi terhadap difteri digalakkan, jumlah kasus penyakit dan
kematian akibat kuman difteri menurun dengan drastis.
Difteri termasuk penyakit menular yang jumlah kasusnya relatif
rendah. Lingkungan buruk merupakan sumber dan penularan penyakit.
Sejak diperkenalkan vaksin DPT (Dyphtheria, Pertusis dan Tetanus),
penyakit difteri mulai jarang dijumpai. Vaksin imunisasi difteri diberikan
pada anak-anak untuk meningkatkan sistem kekebalan tubuh agar tidak
terserang penyakit tersebut. Anak-anak yang tidak mendapatkan vaksin
difteri akan lebih rentan terhadap penyakit yang menyerang saluran
pernafasan ini.
Berdasarkan data yang diperoleh dari Bidang Pencegahan Penyakit
dan Penyehatan Lingkungan Dinas Kesehatan Kota Makassar, jumlah
penderita Difteri pada tahun 2010 sebanyak 3 orang penderita yang
tersebar di tiga kecamatan dan tiga kelurahan dan tidak ditemukan adanya
kematian akibat Difteri. Di tahun 2011 mengalami penurunan kasus
dimana terdapat 2 kasus difteri yang tersebar di dua kecamatan dan tidak
ditemukan adanya kematian dan mengalami peningkatan kasus di tahun
2012 sebanyak 7 kasus diantaranya terdapat 1 kematian.

1.2 Rumusan Masalah


1.      Bakteri apa yang menyebabkan penyakit dipteri?
2.      Bagaimana tingkat keparahan dan gejala klinis penyakit dipteri?
3.      Berapa lama masa inkubasi penyakit dipteri?
4.      Bagaimana cara pencegahan dan pengobatan penyakit dipteri?

1.3 Tujuan
Adapun  tujuan yang ingin dicapai adalah :
1.      Mengetahui penyebab penyakit Dipteri
2.      Mengetahui tingkat keparahan dan gejala klinis penyakit dipteri
3.      Mengetahui masa inkubasi penyakit difteri
4.      Mengetahui cara pencegahan dan pengobatan penyakit difteri.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

Definisi
Difteria adalah suatu penyakit bakteri akut terutama menyerang
tonsil, faring, laring, hidung, adakalanya menyerang selaput lendir atau
kulit serta kadang-kadang konjungtiva atau vagina. Timbulnya lesi yang
khas disebabkan oleh cytotoxin spesifik yang dilepas oleh bakteri. Lesi
nampak sebagai suatu membran asimetrik keabu-abuan yang dikelilingi
dengan daerah inflamasi. Tenggorokan terasa sakit, sekalipun pada
difteria faucial atau pada difteri faring otonsiler diikuti dengan kelenjar
limfa yang membesar dan melunak. Pada kasus-kasus yang berat dan
sedang ditandai dengan pembengkakan dan oedema dileher dengan
pembentukan membran pada trachea secara ektensif dan dapat terjadi
obstruksi jalan napas.

Patofisiologi
1.      Tahap Inkubasi
Kuman difteri masuk ke hidung atau mulut dimana baksil akan
menempel di mukosa saluran nafas bagian atas, kadang-kadang kulit,
mata atau mukosa genital dan biasanya bakteri berkembangbiak pada atau
di sekitar permukaan selaput lendir mulut atau tenggorokan dan
menyebabkan peradangan. Bila bakteri sampai ke hidung, hidung akan
meler. Peradangan bisa menyebar dari tenggorokan ke pita suara (laring)
dan menyebabkan pembengkakan sehingga saluran udara menyempit dan
terjadi gangguan pernafasan.
2.      Tahap Penyakit Dini
Toksin biasanya menyerang saraf tertentu, misalnya saraf di
tenggorokan. Penderita mengalami kesulitan menelan pada minggu
pertama kontaminasi toksin.Antara minggu ketiga sampai minggu
keenam, bisa terjadi peradangan pada saraf lengan dan tungkai, sehingga
terjadi kelemahan pada lengan dan tungkai.Kerusakan pada otot jantung
(miokarditis) bisa terjadi kapan saja selama minggupertama sampai
minggu keenam, bersifat ringan, tampak sebagai kelainan ringanpada
EKG. Namun, kerusakan bisa sangat berat, bahkan menyebabkan gagal
jantung dan kematian mendadak. Pemulihan jantung dan saraf
berlangsung secara perlahan selama berminggu-minggu. Pada penderita
dengan tingkat kebersihan buruk, tak jarang difteri juga menyerang kulit.

3.      Tahap Penyakit lanjut


Pada serangan difteri berat akan ditemukan pseudomembran, yaitu
lapisan selaputyang terdiri dari sel darah putih yang mati, bakteri dan
bahan lainnya, di dekat amandel dan bagian tenggorokan yang lain.
Membran ini tidak mudah robek dan berwarna abu-abu. Jika membran
dilepaskan secara paksa, maka lapisan lendir dibawahnya akan berdarah.
Membran inilah penyebab penyempitan saluran udara atau secara tiba-
tiba bisa terlepas dan menyumbat saluran udara, sehingga anak
mengalami kesulitan bernafas.

Tanda dan Gejala Penyakit


Gejala klinis penyakit difteri ini adalah :
1.      P a n a s l e b i h d a r i 3 8 ° C
2.      Ada  psedomembrane bisa di pharynx, larynx atau tonsil
3.      Sakit waktu menelan
4.      Leher membengkak seperti leher sapi (bullneck), disebabkan
karena pembengkakan kelenjar leher.

Tes Diagnostik
Pada penyakit difteri ini diagnosis dini sangat penting.
Keterlambatan pemberianantitoksin sangat mempengaruhi prognosa.
Diagnosa harus ditegakakkan berdasarkan gejala klinik.
Test yang digunakan untuk mendeteksi penyakit Difteri boleh meliputi:
a.       Gram Noda kultur kerongkongan atau selaput untuk
mengidentifikasi Corynebacterium diphtheriae.
b.      Untuk melihat ada tidaknya myocarditis (peradangan dinding
otot jantung) dapat di lakuka dengan Electrocardiogram (ECG).

Penatalakasanaan
Dapat ditegakkan berdasarkan klinis, sebagai berikut:
Anamnesis : Suara serak, nyeri tenggorok, nyeri menelan, demam tidak tinggi,
hingga adanya stridor, “ngences”, dan tanda lain dari obstruksi napas atas,
dengan riwayat imunisasi tidak lengkap, serta kontak erat dengan kasus difteri.
KontakKontak erat yang dimaksud adalah orang serumah dan teman bermain;
kontak dengan sekret nasofaring (a.l.: resusitasi tanpa alat pelindung diri);
individu seruang dengan penderita dalam waktu >4 jam selama 5 hari berturut-
turut atau >24 jam dalam seminggu (a.l.: teman sekelas, teman seruang tidur,
teman mengaji, les).

Pemeriksaan fisik : Umumnya (94%) menunjukkan tanda tonsilitis dan


faringitis dengan pseudomembran/selaput pada tempat infeksi berwarna putih
keabu-abuan, mudah berdarah bila diangkat. Pada keadaan berat dapat
ditemukan pembesaran leher (bull neck), tampak toksik dan sakit berat, padahal
demam tidak terlalu tinggi, muka pucat bahkan sampai sianosis, tanda-tanda
syok, serta kesulitan menelan.
Laboratorium : Kriteria konfirmasi laboratorium difteri adalah kultur atau PCR
positif. Untuk mengetahui toksigenisitas difteri, dilakukan pemeriksaan tes
Elek. Pengambilan sampel kultur dilakukanpada hari ke-1, ke-2, dan ke-7.
Media yang digunakan saat ini adalah Amies dan Stewart, dahulu Loeffler atau
telurit. Keberhasilan kultur hidung tenggorok di indonesia kurang dari 10%,
sehingga diupayakan untuk menggunakan PCR untuk diagnosis pasti. Sampel
diambil dari jaringan di bawah atau sekitar pseudomembran. Pemeriksaan
sediaan langsung dengan mikroskop atau pewarnaan Gram/Albert tidak dapat
dipercaya karena di rongga mulut banyak terdapat bakteri berbentuk mirip C.
diphtheriae (difteroid).

Program Pemerintah Terkait Penyakit Infeksi Endemis

Program pemberantasan penyakit


Program pemberantasan penyakit biasanya difokuskan untuk memberantas agen
penular penyakit dari suatu wilayah. Hal ini biasanya dapat dicapai melalui
pelaksanaan tindakan-tindakan untuk mengurangi prevalensi pada peternakan
yang tertular penyakit dan menghentikan penyebaran penyakit dari peternakan
yang tertular penyakit ke yang tidak tertular penyakit.
Program pengendalian
Sebagaimana yang telah didefinisikan, pengendalian terkait dengan setiap
program yang diarahkan untuk mengurangi tingkat morbiditas, mortalitas atau
kerugian produksi yang disebabkan oleh suatu penyakit.
Program-program yang diatur dengan undang-undang
Beberapa program pengendalian penyakit diatur dengan peraturan pemerintah
untuk memastikan bahwa pelaksanaannya sesuai dengan peraturan perundang-
undangan yang berlaku. Peraturan-peraturan ini berhubungan dengan kegiatan-
kegiatan pengendalian, perawatan hewan, pemusnahan hewan dan kompensasi.

Program sukarela berbasis industri


Di banyak negara, pemerintah terus berupaya mengurangi regulasi terkait
dengan industri-industri ternak, dan upaya ini biasanya diikuti dengan program
pengendalian penyakit secara sukarela yang dilakukan oleh industri. Program-
program ini bergantung pada peternak yang secara sukarela melaksanakan
praktek-praktek yang direkomendasikan untuk mengurangi resiko terhadap diri
mereka dan produsen-produsen ternak lainnya dan cara ini tidak menggunakan
regulasi untuk memastikan bahwa kegiatan itu dilaksanakan sesuai dengan
peraturan yang berlaku. Program sukarela ini sangat tergantung pada
komunikasi yang efektif serta program penyuluhan untuk merubah tingkah laku
dan sikap peternak serta penyuluh-penyuluh mereka. Selain itu juga
dimaksudkan untuk memastikan bahwa peternak akan menerapkan praktek-
praktek yang direkomendasikan tersebut.
Program-program berbasis jaminan mutu
Program-program berbasis jaminan mutu tergantung pada pelaksanaan
pendekatan penjaminan mutu pengelolaan dan produksi di beberapa peternakan
untuk memberikan sumber persediaan ternak yang terjamin mutunya bagi
produsen-produsen lainnya. Program berbasis penjaminan mutu memerlukan
partisipasi peternak dalam mengimplementasikan praktik-praktik yang
direkomendasikan untuk mencapai hasil yang terjamin mutunya serta didukung
oleh proses audit untuk memastikan kesesuaian dan integritas program. Stok
ternak dari peternakan yang sudah dijamin mutunya memiliki risiko rendah
terhadap penyakit tertentu atau residu kimia, tergantung pada program yang
dilaksanakan dan level yang sudah dicapai.
2.1 Definisi
Difteria adalah suatu penyakit bakteri akut terutama menyerang tonsil,
faring, laring, hidung, adakalanya menyerang selaput lendir atau kulit serta
kadang-kadang konjungtiva atau vagina. Timbulnya lesi yang khas disebabkan
oleh cytotoxin spesifik yang dilepas oleh bakteri. Lesi nampak sebagai suatu
membran asimetrik keabu-abuan yang dikelilingi dengan daerah inflamasi.
Tenggorokan terasa sakit, sekalipun pada difteria faucial atau pada difteri faring
otonsiler diikuti dengan kelenjar limfa yang membesar dan melunak. Pada
kasus-kasus yang berat dan sedang ditandai dengan pembengkakan dan oedema
dileher dengan pembentukan membran pada trachea secara ektensif dan dapat
terjadi obstruksi jalan napas.
Difteri hidung biasanya ringan dan kronis dengan satu rongga hidung
tersumbat dan terjadi ekskorisasi (ledes). Infeksi subklinis (atau kolonisasi )
merupakan kasus terbanyak. Toksin dapat menyebabkan kegagalan jantung
kongestif yang progresif, timbul satu minggu setelah gejala klinis difteri.
Bentuk lesi pada difteri kulit bermacam-macam dan tidak dapat dibedakan dari
lesi penyakit kulit yang lain, bisa seperti atau merupakan bagian dari impetigo
(Kadun, 2006)

2.2 Patofisiologi
1.      Tahap Inkubasi
Kuman difteri masuk ke hidung atau mulut dimana baksil akan
menempel di mukosa saluran nafas bagian atas, kadang-kadang kulit,
mata atau mukosa genital dan biasanya bakteri berkembangbiak pada atau
di sekitar permukaan selaput lendir mulut atau tenggorokan dan
menyebabkan peradangan. Bila bakteri sampai ke hidung, hidung akan
meler. Peradangan bisa menyebar dari tenggorokan ke pita suara (laring)
dan menyebabkan pembengkakan sehingga saluran udara menyempit dan
terjadi gangguan pernafasan.
Bakteri ini ditularkan melalui percikan ludah dari batuk penderita
atau benda maupun makanan yang telah terkontaminasi oleh bakteri.
Ketika telah masuk dalam tubuh, bakteri melepaskan toksin atau racun.
Toksin ini akan menyebar melalui darah dan bisa menyebabkan
kerusakan jaringan di seluruh tubuh, terutama jantung dan saraf.
Masa inkubasi penyakit difteri dapat berlangsung antara 2-5 hari.
Sedangkan masa penularan beragam, dengan penderita bisa menularkan
antara dua minggu atau kurang bahkan kadangkala dapat lebih dari empat
minggu sejak masa inkubasi. Sedangkan stadium karier kronis dapat
menularkan penyakit sampai 6 bulan.
2.      Tahap Penyakit Dini
Toksin biasanya menyerang saraf tertentu, misalnya saraf di
tenggorokan. Penderita mengalami kesulitan menelan pada minggu
pertama kontaminasi toksin.Antara minggu ketiga sampai minggu
keenam, bisa terjadi peradangan pada saraf lengan dan tungkai, sehingga
terjadi kelemahan pada lengan dan tungkai.Kerusakan pada otot jantung
(miokarditis) bisa terjadi kapan saja selama minggupertama sampai
minggu keenam, bersifat ringan, tampak sebagai kelainan ringanpada
EKG. Namun, kerusakan bisa sangat berat, bahkan menyebabkan gagal
jantung dan kematian mendadak. Pemulihan jantung dan saraf
berlangsung secara perlahan selama berminggu-minggu. Pada penderita
dengan tingkat kebersihan buruk, tak jarang difteri juga menyerang kulit.
3.      Tahap Penyakit lanjut
Pada serangan difteri berat akan ditemukan pseudomembran, yaitu
lapisan selaputyang terdiri dari sel darah putih yang mati, bakteri dan
bahan lainnya, di dekat amandel dan bagian tenggorokan yang lain.
Membran ini tidak mudah robek dan berwarna abu-abu. Jika membran
dilepaskan secara paksa, maka lapisan lendir dibawahnya akan berdarah.
Membran inilah penyebab penyempitan saluran udara atau secara tiba-
tiba bisa terlepas dan menyumbat saluran udara, sehingga anak
mengalami kesulitan bernafas.

Corynebacterium diphtheriae adalah organisme yang minimal


melakukan invasive, secara umum jarang memasuki aliran darah, tetapi
berkembang lokal pada membrana mukosa atau pada jaringan yang rusak
dan menghasilkan exotoxin yang paten, yang tersebar keseluruh tubuh
melalui aliran darah dan sistem limpatik. Dengan sejumlah kecil toxin,
yaitu 0,06 ug, biasanya telah bisa menimbulkan kematian pada guinea
pig.
Pada saat bakteri berkembang biak, toxin merusak jaringan lokal,
yang menyebabkan timbulnya kematian dan kerusakan jaringan, lekosit
masuk kedaerah tersebut bersamaan dengan penumpukan fibrin dan
elemen darah yang lain, disertai dengan jaringan yang rusak membentuk
membrane. Akibat dari kerusakan jaringan, oedem dan pembengkakan
pada daerah sekitar membran sering terjadi, dan ini bertanggung jawab
terhadap terjadinya penyumbatan jalan nafas pada tracheo-bronchial atau
laryngeal difteri.
Warna dari membran difteri dapat bervariasi, mulai dari putih,
kuning, atau abu-abu, dan ini sering meragukan dengan "simple tonsillar
exudate". Karena membran terdiri dari jaringan yang mati, atau sel yang
rusak, dasar dari membran rapuh, dan mudah berdarah bila membran
yang lengket diangkat.
Kematian umumnya disebabkan oleh kekuatan dari exotoxin.
Exotoxin ditransportasikan melalui aliran darah ke jaringan lain, dimana
dia menggunakan efeknya pada metabolisme seluler. Toxin terlihat
terikat pada membran sel melalui porsi toxin yang disebut "B" fragment,
dan membantu dalam transportasi porsi toxin lainnya,"A" fragment
kedalam cytoplasma. Dalam beberapa jam saja setelah terexpose dengan
toxin difteri, sintesa protein berhenti dan sel segera mati.
Organ penting yang terlibat adalah otot jantung dan jaringan saraf.
Pada miokardium, toxin menyebabkan pembengkakan dan kerusakan
mitochondria, dengan fatty degeneration, oedem dan interstitial fibrosis.
Setelah terjadi kerusakan jaringan miokardium, peradangan setempat
akan terjadi, diikuti dengan perivascular dibalut dengan lekosit.
Kerusakan oleh toxin pada myelin sheath dari saraf perifer terjadi
pada keduanya, yaitu sensory dan saraf motorik. Begitupun saraf motorik
lebih sering terlibat dan lebih berat.

2.3 Tanda dan Gejala Penyakit


Gejala klinis penyakit difteri ini adalah :
1.      P a n a s l e b i h d a r i 3 8 ° C
2.      Ada  psedomembrane bisa di pharynx, larynx atau tonsil
3.      Sakit waktu menelan
4.      Leher membengkak seperti leher sapi (bullneck), disebabkan
karena pembengkakan kelenjar leher.

Tergantung  pada berbagai faktor, maka manifestasi  penyakit ini


bisa bervariasi dari tanpa gejala sampai  suatu keadaan/penyakit yang
hipertoksik serta fatal. Sebagai faktor primer adalah imunitas penderita
terhadap toksin  diphtheria, virulensi serta toksinogenesitas (kemampuan
membentuk toksin) Corynebacterium diphtheriae, dan lokasi penyakit
secara anatomis.  Faktor-faktor lain termasuk umur, penyakit sistemik
penyerta dan penyakit-penyakit  pada  daerah  nasofaring yang sudah ada
sebelumnya. Masa tunas 2-6 hari. Penderita pada umumnya datang untuk
berobat setelah beberapa hari menderita keluhan sistemik. Demam  jarang
melebihi 38,9o C dan keluhan serta gejala  lain tergantung pada lokasi
penyakit diphtheria.
a.       Diphtheria Hidung
Pada permulaan mirip common cold, yaitu pilek ringan  tanpa atau
disertai gejala sistemik ringan. Sekret hidung berangsur menjadi
serosanguinous dan kemudian mukopurulen  mengadakan lecet  pada 
nares dan bibir atas. Pada  pemeriksaan  tampak membran putih pada
daerah septum nasi.
b.      Diphtheria Tonsil-Faring
Gejala anoroksia, malaise, demam ringan, nyeri menelan. dalam 1-2  hari
timbul membran yang melekat, berwarna  putih-kelabu dapat  menutup
tonsil dan dinding faring, meluas ke uvula  dan palatum molle atau ke
distal ke laring dan trachea.
c.       Diphtheria Laring
Pada diphtheria laring primer gejala toksik kurang nyata, tetapi lebih
berupa gejala obstruksi saluran nafas atas. 
d.      Diphtheria Kulit, Konjungtiva, Telinga
Diphtheria kulit berupa tukak di kulit, tepi jelas dan terdapat membran
pada dasarnya. Kelainan cenderung menahun. Diphtheria pada mata
dengan lesi pada konjungtiva berupa kemerahan, edema dan membran
pada konjungtiva palpebra. Pada telinga berupa otitis eksterna dengan
sekret purulen dan berbau

Tidak semua gejala-gejala klinik ini tampak jelas, maka setiap anak
panas yang sakit waktu menelan harus diperiksa pharynx dan tonsilnya
apakah ada psedomembrane. Jika pada tonsil tampak membran putih
kebau-abuan disekitarnya, walaupun tidak khas rupanya, sebaiknya
diambil sediaan (spesimen) berupa apusan tenggorokan (throat swab)
untuk pemeriksaan laboratorium.
Gejala diawali dengan nyeri tenggorokan ringan dan nyeri menelan.
Pada anak tak  jarang diikuti demam, mual, muntah, menggigil dan sakit
kepala. Pembengkakankelenjar getah bening di leher sering terjadi
(Ditjen P2PL Depkes,2003).

2.4 Tes Diagnostik


Penyakit difteri ini diagnosis dini sangat penting. Keterlambatan
pemberianantitoksin sangat mempengaruhi prognosa. Diagnosa harus
ditegakakkan berdasarkan gejala klinik.
Test yang digunakan untuk mendeteksi penyakit Difteri boleh meliputi:
a.       Gram Noda kultur kerongkongan atau selaput untuk
mengidentifikasi Corynebacterium diphtheriae.
b.      Untuk melihat ada tidaknya myocarditis (peradangan dinding
otot jantung) dapat di lakuka dengan Electrocardiogram (ECG).

Pengambilan smear dari membran dan bahan dibawah membran,


tetapi hasilnya kurang dapat dipercaya. Pemeriksaan darah dan urine,
tetapi tidak spesifik. Pemeriksaan Shick Test bisa dilakukan untuk
menentukan status imunitas penderita.
2.5 Penatalaksanaan

Diagnosis Difteri
Dapat ditegakkan berdasarkan klinis, sebagai berikut:
1. Anamnesis
Suara serak, nyeri tenggorok, nyeri menelan, demam tidak tinggi, hingga
adanya stridor, “ngences”, dan tanda lain dari obstruksi napas atas,
dengan riwayat imunisasi tidak lengkap, serta kontak erat dengan kasus
difteri. Kontak erat yang dimaksud adalah orang serumah dan teman
bermain; kontak dengan sekret nasofaring (a.l.: resusitasi tanpa alat
pelindung diri); individu seruang dengan penderita dalam waktu >4 jam
selama 5 hari berturut-turut atau >24 jam dalam seminggu (a.l.: teman
sekelas, teman seruang tidur, teman mengaji, les).
2. Pemeriksaan fisis
Umumnya (94%) menunjukkan tanda tonsilitis dan faringitis dengan
pseudomembran/selaput pada tempat infeksi berwarna putih keabu-
abuan, mudah berdarah bila diangkat. Pada keadaan berat dapat
ditemukan pembesaran leher (bull neck), tampak toksik dan sakit berat,
padahal demam tidak terlalu tinggi, muka pucat bahkan sampai sianosis,
tanda-tanda syok, serta kesulitan menelan.
3. Laboratorium
Kriteria konfirmasi laboratorium difteri adalah kultur atau PCR positif.
Untuk mengetahui toksigenisitas difteri, dilakukan pemeriksaan tes Elek.
Pengambilan sampel kultur dilakukan pada hari ke-1, ke-2, dan ke-7.
Media yang digunakan saat ini adalah Amies dan Stewart, dahulu
Loeffler atau telurit. Keberhasilan kultur hidung tenggorok di indonesia
kurang dari 10%, sehingga diupayakan untuk menggunakan PCR untuk
diagnosis pasti. Sampel diambil dari jaringan di bawah atau sekitar
pseudomembran. Pemeriksaan sediaan langsung dengan mikroskop atau
pewarnaan Gram/Albert tidak dapat dipercaya karena di rongga mulut
banyak terdapat bakteri berbentuk mirip C. diphtheriae (difteroid).
Klasifikasi difteri sebagai berikut:
1) Suspek difteri: adalah orang dengan gejala faringitis, tonsillitis, laryngitis,
trakeitis (atau kombinasi), tanpa demam atau kondisi subfebris disertai
adanya pseudomembran putih keabu-abuan/kehitaman pada salah satu
atau kedua tonsil yang berdarah bila terlepas atau dilakukan manipulasi.
Sebanyak 94% kasus difteri mengenai tonsil dan faring.

2) Kasus probable difteri : adalah orang dengan gejala laringitis,


nasofaringitis atau tonsilitis ditambah pseudomembran putih keabu-abuan
yang tak mudah lepas dan mudah berdarah di faring, laring, tonsil (suspek
difteri) ditambah salah satu dari :
 Pernah kontak dengan kasus (<2 minggu)
 Status imunisasi tidak lengkap, termasuk belum dilakukan booster
 Stridor, bullneck
 Pendarahan submukosa atau petekie pada kulit
 Gagal jantung toksik, gagal ginjal akut
 Miokarditis dan/atau kelumpuhan motorik 1 s/d 6 minggu setelah
onset
 Meninggal

3) Kasus konfirmasi laboratorium difteri: Didapatkan hasil kultur atau PCR


diphtheria positif dan tes Elek positif.

4) Tata Laksana: Semua kasus yang memenuhi kriteria di atas harus


diperlakukan sebagai difteri sampai terbukti bukan. Dokter memutuskan
diagnosis difteri berdasarkan tanda dan gejala.

5) Terpenting: mulai tata laksana antitoksin dan antibiotik apabila dokter


mendiagnosis suspek difteri tanpa perlu konfirmasi laboratorium.
6) Pengobatan: Tujuan pengobatan penderita difteri adalah menginaktivasi
toksin yang belum terikat secepatnya, mencegah dan mengusahakan agar
penyulit yang terjadi minimal, mengeliminasi C. diphtheriae untuk
mencegah penularan serta mengobati infeksi penyerta dan penyulit
difteri.
7) Umum
Pasien diisolasi sampai masa akut terlampaui dan biakan hapusan
tenggorok negatif 2 kali berturut-turut dengan jarak 24 jam. Pada
umumnya pasien tetap diisolasi selama 2 minggu. Istirahat tirah baring
selama kurang lebih 2-3 minggu bila terjadi komplikasi miokarditis,
pemberian cairan serta diet yang adekuat. Dilakukan pemeriksaan jantung
(EKG) dan neurologis untuk mengetahui ada/tidaknya komplikasi.
8) Khusus : Antitoksin: Anti Diphtheria Serum (ADS). Antitoksin diberikan
segera setelah ditegakkan diagnosis difteri. Dengan pemberian antitoksin
pada hari pertama, angka kematian pada penderita kurang dari 1%,
namun dengan penundaan lebih dari hari ke-6, angka kematian ini bisa
meningkat sampai 30%.
Tabel 1. Dosis ADS Menurut Lokasi Membran (tipe difteri) dan Lama
Sakit
Tipe Difteri Dosis ADS (KI) Cara Pemberian

Difteri kulit 20.000 Intravena


Difteri hidung 20.000 Intravena

Difteri tonsil 40.000 Intravena


Difteri faring 40.000 Intravena
Difteri laring 40.000 Intravena
40.000 Intravena
Difteri 60 000 Intravena
nasofaringeal
Kombinasi lokasi 80.000 Intravena
di atas, tanpa
melibatkan
hidung/nasal
Difteri + penyulit 80.000-100.000 Intravena
dan/atau
ditemukan
bullnekck
Terlambat 80.000-100.000 Intravena
berobat (> 72
jam), lokasi
dimana saja

Sebelum pemberian ADS harus dilakukan uji kulit terlebih dahulu,


oleh karena pada pemberian ADS dapat terjadi reaksi anafilaktik,
sehingga harus disediakan larutan adrenalin 1:1000 dalam semprit. Uji
kulit dilakukan dengan penyuntikkan 0,1 ml ADS dalam larutan
garafisiologis 1:1.000 secara intrakutan. Hasil positif bila dalam 20 menit
terjadi indurasi >10 mm. Bila uji kulit positif, ADS diberikan dengan cara
desensitisasi (Besredka). Bila uji hipersensitivitas tersebut diatas negatif,
ADS harus diberikan sekaligus secara intravena.
Dosis ADS ditentukan secara empiris berdasarkan berat penyakit dan
lama sakit, tidak tergantung pada berat badan pasien, berkisar antara
20.000-100.000 seperti tertera pada tabel 5. Pemberian ADS intravena
dalam larutan garam fisiologis atau 100 ml glukosa 5% dalam 1-2 jam.
Pengamatan terhadap kemungkinan efek samping obat dilakukan selama
pemberian antitoksin dan selama 2 jam berikutnya. Demikian pula perlu
dimonitor terjadinya reaksi hipersensitivitas lambat (serum sickness).
Kemungkinan terjadi reaksi anafilaksis sekitar 0,6% yang terjadi
beberapa menit setelah pemberian ADS. Reaksi demam (4%) setelah 20
menit-1 jam, serum sickness (8,8%) 7-10 hari kemudian.
9) Antibiotik: Antibiotik diberikan untuk membunuh bakteri dan
menghentikan produksi toksin. Penisilin prokain 25.000 - 50.000
U/kgBB/hari (maksimum 1,2 juta U/hari) diberikan secara intramuskular
(IM) selama 14 hari. Bila terdapat riwayat hipersensitivitas penisilin
diberikan eritromisin 40 mg/kgBB/hari (maksimum 2 g/hari) dibagi 4
dosis, interval 6 jam selama 14 hari.

10) Kortikosteroid: Kortikosteroid diberikan untuk kasus difteri yang


disertai dengan gejala obstruksi saluran napas bagian atas (dapat disertai
atau tidak bullneck) dan bila terdapat penyulit miokarditis. Prednison 2
mg/kgBB/hari selama 2 minggu kemudian diturunkan bertahap.

11) Trakeostomi: Ditemukannya obstruksi saluran napas karena


membran dan edema perifaringeal, bahkan apabila telah tampak
kegelisahan, iritabilitas serta gangguan pernafasan yang progresif
merupakan indikasi tindakan trakeostomi.
12) Pengobatan kontak: Kontak erat adalah orang serumah atau orang
lain yang memiliki kontak erat satu rumah, guru, petugas kesehatan yang
terpapar dengan sekret nasofaring, orang-orang yang menggunakan
perangkat masak atau makan minum yang sama dan pengasuh anak yang
terinfeksi.
Pada orang yang mengalami kontak tanpa memandang status imunisasi
seyogyanya diimunisasi sampai hal-hal berikut dilakukan yaitu
(a) Biakan hidung dan tenggorok
(b) Gejala klinis diikuti setiap hari sampai masa tunas terlewati
(c) Anak yang telah mendapat imunisasi dasar diberikan booster toksoid
difteri, yang belum diimunisasi segera melengkapi imuniimunisasi

13) Pengobatan karier: Karier adalah mereka yang tidak menunjukkan


keluhan tanda dan gejala difteri, tetapi pada kultur swab tenggorok
ditemukan basil difteri dalam nasofaringnya. Pengobatan untuk karier
adalah eritromisin 40-50 mg/kgBB/hari dibagi 4 dosis selama 7 hari,
maksimum (1 gram/hari). Eritromisin lebih superior daripada penisilin
untuk eradikasi karier difteri nasofaring. Pemantauan dilakukan sampai
ada hasil kultur, jika masih positif, antibiotik diberikan lebih lama.

14) Prognosis
 Virulensi organisme
 Tempat pada tubuh terjadinya infeksi. Pada difteri faring umumnya
berat dan toksik
 Usia <5 tahun
 Status imunisasi: belum/tidak lengkap
 Kecepatan pemberian antitoksin
 Obstruksi mekanik laring atau difteri bull-neck
Walaupun dilakukan pengobatan, 1 dari 10 pasien difteri kemungkinan
meninggal. Tanpa pengobatan 1 dari 2 pasien difteri meninggal.
15) Konsultasi:
Apabila terdapat keraguan mengenai diagnosis dan tata laksana, anggota
IDAI dapat menghubungi perwakilan UKK Infeksi dan Penyakit Tropis
di wilayah masing-masing
2.6 Program Pemerintah Terkait Penyakit Infeksi Endemis
Upaya pencegahan Penyakit yang Depot Dicegah Dengan Imunisasi
(PD3I) yang salah satunya adalah Difteri. Tujuan Umum dari upaya PD3I difteri
yaitu untuk menurunkan angka kesakitan, kecacatan dan kematian akibat
penyakit difteri yang dapat dicegah dengan Imunisasi (PD3I).
Strategi-strategi yang dilakukan dalam upaya PD3I difteri yaitu antara
lain :
1.      Memberikan akses (pelayanan) kepada masyarakat dan swasta
2.      Membangun kemitraan dan jejaring kerja
3.      Menjamin ketersediaaan dan kecukupan vaksin, peralatan rantai vaksin
dan alat suntik
4.      Menerapkan sistem pemantauan wilayah setempat (PWS) untuk
menentukan prioritas kegiatan serta tindakan perbaikan
5.      Pelayanan imunisasi dilaksanakan oleh tenaga profesional/terlatih
6.      Pelaksanaan sesuai dengan standard
7.      Memanfaatkan perkembangan methoda dan tekhnologi yang lebih efektif
berkualitas dan efisien
8.      Meningkatkan advokasi, fasilitasi dan pembinaan

Seiring dengan ditetapkannya KLB Difteri di berbagai daerah, maka


pemerintah melakukan serangkaian kegiatan penanggulangan. Salah satu
konsentrasi kegiatan difokuskan pada imunisasi tambahan dan imunisasi dalam
penanggulangan KLB. Terjadinya suatu KLB Difteri dapat mengindikasikan
bahwa Imunisasi yang telah diperoleh pada waktu bayi belum cukup untuk
melindungi terhadap penyakit PD3I (Penyakit Yang Dapat Dicegah Dengan
Imunisasi) sampai usia anak sekolah. Hal ini disebabkan karena sejak anak
mulai memasuki usia sekolah dasar terjadi penurunan terhadap tingkat
kekebalan yang diperoleh saat imunisasi ketika bayi. Sehingga perlu diberikan
imunisasi tambahan untuk menangani KLB Difteri yaitu dengan program BLF
(Backlog Fighting) dan ORI (Outbreak Response Imunization).
1.      BLF (Back Log Fighting)
BLF (Penyulaman) adalah upaya aktif melengkapi imunisasi dasar pada anak
yang berumur 1 – 3 tahun. Sasaran prioritas adalah desa/kelurahan yang
selama 2 tahun berturut turut tidak mencapai desa UCI (Universal Child
Immunization). BLF tergolong dalam imunisasi tambahan diamana
definisinya adalah kegiatan imunisasi yang dilakukan atas dasar
ditemukannya masalah dari hasil pemantauan atau evaluasi. Kegiatan ini
sifatnya tidak rutin, membutuhkan biaya khusus dan kegiatannya
dilaksanakan pada suatu periode tertentu.

2.      ORI (Outbreak Response Imunization)


ORI adalah Imunisasi yang dilakukan dalam penanganan KLB.
Dilaksanakan pada daerah yang terdapat kasus penyakit PD3I, dalam hal ini
adalah Difteri. Sasarannya adalah anak usia 12 bulan s/d 15 tahun,
melakukan ORI terbatas di wilayah sekitar KLB, sesaat setalah KLB terjadi.
Mengingat Penyakit Difteri ini muncul terutama pada bulan-bulan dimana
temperatur lebih dingin di negara subtropis dan terutama menyerang anak-anak
berumur di bawah 15 tahun yang belum diimunisasi. Maka tindakan preventif
untuk mencegah penyakit melalui pemberian kekebalan tubuh (Imunisasi) harus
dilaksanakan secara terus menerus, menyeluruh, dan dilaksanakan sesuai
standar sehingga mampu memberikan perlindungan kesehatan dan memutus
mata rantai penularan.
Setiap orang dapat terinfeksi oleh difteri, tetapi kerentanan terhadap infeksi
tergantung dari pernah tidaknya ia terinfeksi oleh difteri dan juga pada
kekebalannya. Bayi yang dilahirkan oleh ibu yang kebal akan mendapat
kekebalan pasif, tetapi taka akan lebih dari 6 bulan dan pada umur 1 tahun
kekebalannya habis sama sekali. Seseorang yang sembuh dari penyakit difteri
tidak selalu mempunyai kekebalan abadi. Paling baik adalah kekebalan yang
didapat secara aktif dengan imunisasi.
Pencegahan infeksi bakteri ini dapat dilakukan dengan menjaga kebersihan
diri dan tidak melakukan kontak langsung dengan pasien terinfeksi. Selain itu,
imunisasi aktif juga perlu dilakukan. Imunisasi pertama dilakukan pada bayi
berusia 2-3 bulan dengan pemberian 2 dosis APT (Alum Precipitated Toxoid)
dikombinasikan dengan toksoid tetanus dan vaksin pertusis. Dosis kedua
diberikan pada saat anak akan bersekolah. Imunisasi pasif dilakukan dengan
menggunakan antitoksin berkekuatan 1000-3000 unit pada orang tidak kebal
yang sering berhubungan dengan kuman yang virulen, namun penggunaannya
harus dibatasai pada keadaan yang memang sangat gawat. Tingkat kekebalan
seseorang terhadap penyakit difteri juga dapat diketahui dengan melakukan
reaksi Schick.
Berdasarkan penelitian Basuki Kartono bahwa anak dengan status
imunisasi DPTdan DT yang tidak lengkap beresiko menderita difteri 46.403 kali
lebih besar dari pada anak yang status imunisasi DPT dan DT lengkap.
Keberadaan sumber  penularan beresiko penularan difteri 20.821 kali lebih
besar daripada tidak ada sumber penularan. Anak dengan ibu yang
bepengetahuan rendah tentang imunisasi dan difteri beresiko difteri pada anak-
anak mereka sebanyak 9.826 kali dibandingkan dengan ibu yang mempunyai
pengetahuan tinggi tentang imunisasi dan difteri. Status imunisasi DPT dan DT
anak adalah faktor yang paling dominan dalam mempengaruhi terjadinya difteri
(Kartono, 2008).
Pencegahan paling efektif adalah dengan imunisasi bersamaan dengan
tetanus dan pertusis (DPT) sebanyak tiga kali sejak bayi berumur dua bulan
dengan selang penyuntikan satu-dua bulan. Pemberian imunisasi ini akan
memberikan kekebalan aktif terhadap penyakit difteri, pertusis dan tetanus
dalam waktu bersamaan. Efek samping yang mungkin akan timbul adalah
demam, nyeri dan bengkak pada permukaan kulit, cara mengatasinya cukup
diberikan obat penurun panas. Berdasarkan program dari Departemen
Kesehatan RI imunisasi perlu diulang pada saat usia sekolah dasar yaitu
bersamaan dengan tetanus yaitu DT sebanyak 1 kali. Sayangnya kekebalan
hanya diiperoleh selama 10 tahun setelah imunisasi, sehingga orang dewasa
sebaiknya menjalani vaksinasi booster (DT) setiap 10 tahun sekali.
Bagi anak-anak dan orang dewasa yang mempunyai masalah dengan
system kekebalan mereka atau mereka yang terinfeksi HIV diberikan imunisasi
dengan vaksin difteria dengan jadwal yang sama.
Selain pemberian imunisasi perlu juga diberikan penyuluhan kepada
masyarakat terutama kepada orang tua tentang bahaya dari difteria dan perlunya
imunisasi aktif diberikan kepada bayi dan anak-anak. Dan perlu juga untuk
menjaga kebersihan badan, pakaian dan lingkungan. Penyakit menular seperti
difteri mudah menular dalam lingkungan yang buruk dengan tingkat sanitasi
rendah. Oleh karena itulah, selain menjaga kebersihan diri, kita juga harus
menjaga kebersihan lingkungan sekitar. Disamping itu juga perlu diperhatikan
makanan yang kita konsumsi harus bersih. Jika kita harus membeli makanan di
luar, pilihlah warung yang bersih. Jika telah terserang difteri, penderita
sebaiknya dirawat dengan baik untuk mempercepat kesembuhan dan agar tidak
menjadi sumber penularan bagi yang lain. Pengobatan difteri difokuskan
untuk menetralkan toksin (racun) difteri dan untuk membunuh
kuman Corynebacterium diphtheriae penyebab difteri. Setelah terserang difteri
satu kali, biasanya penderita tidak akan terserang lagi seumur hidup.
Perawatan bagi penyakit ini termasuk antitoksin difteri, yang
melemahkan toksin dan antibiotik. Eritromisin dan penisilin membantu
menghilangkan bakteri difteri dan menghentikan pengeluaran toksin. Selama
sakit, penderita harus tiduran di tempat tidur. Umumnya difteri dapat dicegah
melalui vaksinasi dengan vaksin DPT (vaksin Difteri, Pertusis, dan Tetanus)
sejak bayi berumur 3 bulan. Untuk pemberian kekebalan dasar perlu diberi 3
kali berturut-turut dengan jarak 1 – 1,5 bulan, lalu 2 tahun kemudian diulang
kembali. Umumnya diberi Penisilin atau antibiotik lain seperti Tetrasiklin atau
Eritromisin yang bermaksud untuk mencegah infeksi sekunder (Streptococcus)
dan pengobatan bagi carrier penyakit ini. Pengobatan dengan eritromisin secara
oral atau melalui suntikan (40 mg / kg / hari, maksimum, 2 gram / hari) selama
14 hari, atau penisilin prokain G harian, intramuskular (300.000 U / hari untuk
orang dengan berat 10 kg atau kurang dan 600.000 U / sehari bagi mereka yang
berat lebih dari 10 kg) selama 14 hari.
Melihat bahayanya, penyakit ini maka bila ada anak yang sakit dan
ditemukan gejala diatas maka harus segera dibawa ke dokter atau rumah sakit
untuk segera mendapatkan penanganan. Pasien biasanya akan masuk rumah
sakit untuk di opname dan diisolasi dari orang lain guna mencegah penularan.
Di rumah sakit akan dilakukan pengawasan yang ketat terhadap fungsi fungsi
vital penderit auntuk mencegah terjadinya komplikasi. Mengenai obat, penderita
umumnya akan diberikan antibiotika, steroid, dan ADS (Anti Diphteria Serum).
Perawatan umum penyakit difteri yaitu dengan melakukan isolasi, bed
rest : 2-3 minggu, makanan yang harus dikonsumsi adalah makanan lunak,
mudah dicerna, protein dan kalori cukup, kebersihan jalan nafas, pengisapan
lendir.
Dengan pengobatan yang cepat dan tepat maka komplikasi yang berat
dapat dihindari, namun keadaan bisa makin buruk bila pasien dengan usia yang
lebih muda, perjalanan penyakit yang lama, gizi kurang dan pemberian anti
toksin yang terlambat.
Walaupun sangat berbahaya dan sulit diobati, penyakit ini sebenarnya bias
dicegah dengan cara menghindari kontak dengan pasien difteri yang hasil lab-
nya masih positif dan imunisasi.
Pengobatan khusus penyakit difteri bertujuan untuk menetralisir toksin dan
membunuh basil dengan antibiotika (Penicilin procain, Eritromisin, Ertromysin,
Amoksisilin, Rifampicin, Klindamisin, Tetrasiklin).
Pengobatan penderita difteria ini yaitu dengan pemberian Anti Difteria
Serum (ADS) 20.000 unit intra muskuler bila membrannya hanya terbatas tonsil
saja, tetapi jika membrannya sudah meluas diberikan ADS 80.000-100.000 unit.
Sebelum pemberian serum dilakukan sensitif test.
Antibiotik pilihan adalah penicilin 50.000 unit/kgBB/hari diberikan samapi
3 hari setelah panas turun. Antibiotik alternatif lainnya adalah erythromicyn 30-
40mg/KgBB/hari selama 14 hari.
Penanggulangan melalui pemberian imunisasi DPT (Dipteri Pertusis
Tetanus) dimana vakisin DPT adalah vaksin yang terdiri dari toxoid difteri dan
tetanus yang dimurnikan serta bakteri pertusis yang telah diinaktifkan.
Imunisasi DPT diberikan untuk pemberian kekebalan secara simultan terhadap
difteri, pertusis dan tetanus, diberikan pertama pada bayi umur 2 bulan, dosis
selanjutnya diberikan dengan interval paling cepat 4 (empat) minggun (1
bulan ). DPT pada bayi diberikan tiga kali yaitu DPT1, DPT2 dan DPT 3.
Imunisasi lainnya yaitu DT (Dipteri Pertusis ) merupakan imunisasi ulangan
yang biasanya diberikan pada anak Sekolah Dasar kelas 1  (Pedoman Teknis
Imunisasi Tingkat Puskesmas, 2005).
Seorang karier (hasil biakan positif, tetapi tidak menunjukkan gejala) dapat
menularkan difteri, karena itu diberikan antibiotik dan dilakukan
pembiakanulang pada apus tenggorokannya. Kekebalan hanya diperoleh selama
10 tahun setelah mendapatkan imunisasi, karena itu orang dewasa sebaiknya
menjalani vaksinasi booster setiap 10 tahun.
Pengobatan difteri harus segera dilakukan untuk mencegah penyebaran
sekaligus komplikasi yang serius, terutama pada penderita anak-anak.
Diperkirakan hampir satu dari lima penderita difteri balita dan berusia di atas 40
tahun yang meninggal dunia diakibatkan oleh komplikasi.
Jika tidak diobati dengan cepat dan tepat, toksin dari bakteri difteri dapat
memicu beberapa komplikasi yang berpotensi mengancam jiwa. Beberapa di
antaranya meliputi:
a.      Masalah pernapasan.
Sel-sel yang mati akibat toksin yang diproduksi bakteri difteri akan membentuk
membran abu-abu yang dapat menghambat pernapasan. Partikel-partikel
membran juga dapat luruh dan masuk ke paru-paru. Hal ini berpotensi memicu
inflamasi pada paru-paru sehingga fungsinya akan menurun secara drastis dan
menyebabkan gagal napas.
b.      Kerusakan jantung.
Selain paru-paru, toksin difteri berpotensi masuk ke jantung dan menyebabkan
inflamasi otot jantung atau miokarditis. Komplikasi ini dapat menyebabkan
masalah, seperti detak jantung yang tidak teratur, gagal jantung dan kematian
mendadak.
c.       Kerusakan saraf.
Toksin dapat menyebabkan penderita mengalami masalah sulit menelan,
masalah saluran kemih, paralisis atau kelumpuhan pada diafragma, serta
pembengkakan saraf tangan dan kaki. Masalah saluran kemih dapat menjadi
indikasi awal dari kelumpuhan saraf yang akan memengaruhi diagfragma.
Paralisis ini akan membuat pasien tidak bisa bernapas sehingga membutuhkan
alat bantu pernapasan atau respirator. Paralisis diagfragma dapat terjadi secara
tiba-tiba pada awal muncul gejala atau berminggu-minggu setelah infeksi
sembuh. Karena itu, penderita difteri anak-anak yang mengalami komplikasi
apa pun umumnya dianjurkan untuk tetap di rumah sakit hingga 1,5 bulan.
d.      Difteri hipertoksik.
Komplikasi ini adalah bentuk difteria yang sangat parah. Selain gejala yang
sama dengan difteri biasa, difteri hipertoksik akan memicu pendarahan yang
parah dan gagal ginjal. Sebagian besar komplikasi ini disebabkan oleh
bakteri Corynebacterium diphtheriae.
BAB III
PENUTUP

3.1 Keimpulan
1.      Difteri adalah penyakit yang disebabkan oleh kuman Corynebacterium
diphtheriae, oleh karena itu penyakitnya diberi nama serupa dengan kuman
penyebabnya.
2.      Menurut tingkat keparahannya, penyakit ini dibagi menjadi 3 tingkat yaitu:
Infeksi ringan, Infeksi sedang dan Infeksi berat.
3.      Menurut lokasi gejala difteria dibagi menjadi : Difteri hidung, difteri faring,
difteri laring dan difteri kutaneus dan vaginal.
4.      Gejala klinis penyakit difteri ini adalah :
a.       Panas lebih dari 38 °C
b.      Ada psedomembrane bisa di pharynx, larynx atau tonsilc .
c.       Sakit waktu menelan
d.      Leher membengkak seperti leher sapi (bullneck), disebabkan
karena pembengkakan kelenjar leher
5.      Sumber penularan penyakit difteri ini adalah manusia, baik sebagai penderita
maupun sebagai carier. Cara penularannya yaitu melalui kontak dengan
penderita pada masa inkubasi atau kontak dengan carier. Caranya melalui
pernafasan dan difteri kulit yang mencemari tanah sekitarnya.
6.      Masa inkubasi penyakit difteri ini 2 – 5 hari, masa penularan penderita 2-4
minggu sejak masa inkubasi, sedangkan masa penularan carier bisa sampai 6
bulan.
7.      Pencegahan penyakit difteri ini dilakukan dengan pemberian
imunisasi DPT 1, DPT2 dan DPT 3 pada bayi mulai umur 2 bulan dan
dilanjutkan dengan imunisasi DPT berikutnya dengan jarak waktu 4 paling
sedikit 4 minggu (1 bulan ). Kemudian diulang lagi pada saat usia sekolah
dasar yaitu kelas 1 dengan imunisasi DT. Selain itu juga dilakukan dengan cara
menjaga kebersihan lingkungan sehingga terhindar dari kuman difteri ini.
8.      Pengobatan pada difteri terbagi menjadi dua yaitu Perawatan
umumyaitu dengan isolasi , bed rest 2-3 hari, intake makan : makanan lunak,
mudah dicerna, protein dan kalori cukup, dan pengobatan khusus
yang bertujuan menentralisir toksin dan membunuh basil dengan antibiotika
( Penicilin procain, Eritromisin, Ertromysin, Amoksisilin,
Rifampicin,Klindamisin, Tetrasiklin).
9.      Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya  KLB difteri adalah :
-        Cakupan imunisasi
-        Kualitas vaksin
-        Lingkungan
-        Rendahnya tingkat pengetahuan ibu dan keluarga
-        Akses pelayanan kesehatan yang rendah
DAFTAR PUSTAKA

http://firstudin90.blogspot.com/2015/02/v-behaviorurldefaultvmlo.html?m=1
( di akses pada tanggal 23 Oktober 2020 , Pada pukul 11.50 WIT)

Anda mungkin juga menyukai