Di Susun Oleh :
Kelompok 3
Tingkat II A Keperawatan
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan atas kehadirat rahmat Allah Yang Maha Kuasa,
yang telah memberikan kemudahan bagi kami sebagai penyusun untuk dapat
menyelesaikan tugas ini . Makalah ini merupakan tugas yang berjudul “Penyakit
Difteri “ yang mana dengan tugas ini kami kelompok 3 dapat mengetahui lebih
jauh tentang Difteri,yakni defisinisi, patofisiologi, tanda dan gejala, tes
diagnostik, penatalaksanaan serta program pemerintah terkait pengakit infeksi
endemis. Mengenai lebih lanjut kami akan memaparkan dalam bagian
pembahasan makalah ini.
Dengan harapan makalah ini dapat bermanfaat,maka kami sebagai
penyusun mengucapkan terima kasih kepada semua anggota kelompok yang
telah membantu meyelesaikan makalah ini.
Kelompok 3
DAFTAR ISI
Kata
pengantar................................................................................................................i
Daftar isi...............................................................................................................ii
BAB I
PENDAHULUAN................................................................................................1
1.1 Latar Belakang......................................................................................1
1.2 RumusanMasalah.................................................................................2
1.3 Tujuan...................................................................................................2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA.......................................................................................3
2.1Definisi..................................................................................................7
2.2 Patofisiologi..........................................................................................7
2.3 Tanda dan Gejala..................................................................................9
2.4 Tes Diagnostik....................................................................................10
2.5 Penatalaksanaan..................................................................................11
2.6Program Pemerintah Terkain Penyakit Infeksi Endemis ....................16
BAB III
PENUTUP..........................................................................................................21
3.1 Kesimpulan.........................................................................................21
Daftar pustaka......................................................................................................iii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang
Difteri merupakan salah satu penyakit yang sangat menular
(contagious disease). Penyakit ini disebabkan oleh infeksi
bakteri Corynebacterium diphtheriae, yaitu kuman yang menginfeksi
saluran pernafasan, terutama bagian tonsil, nasofaring (bagian antara
hidung dan faring/ tenggorokan) dan laring. Penularan difteri dapat
melalui kontak hubungan dekat, melalui udara yang tercemar oleh carier
atau penderita yang akan sembuh, juga melalui batuk dan bersin
penderita.
Difteri adalah suatu penyakit bakteria akut terutama menyerang
tonsil, faring, laring, hidung, adakalanya menyerang selaput lendir atau
kulit serta kadang-kadang konjungtiva atau vagina. Penyebab penyakit ini
adalah Corynebacterium diphteria. Penyakit ini muncul terutama pada
bulan-bulan dimana temperatur lebih dingin di negara subtropis dan pada
umumnya menyerang anak-anak usia 1-10 tahun.
Penderita difteri umumnya anak-anak, usia di bawah 15 tahun.
Dilaporkan 10 % kasus difteri dapat berakibat fatal, yaitu sampai
menimbulkan kematian. Selama permulaan pertama dari abad ke-20,
difteri merupakan penyebab umum dari kematian bayi dan anak – anak
muda. Penyakit ini juga dijumpai pada daerah padat penduduk dengan
tingkat sanitasi rendah. Oleh karena itu, menjaga kebersihan sangatlah
penting, karena berperan dalam menunjang kesehatan kita.
Penyakit yang Dapat Dicegah Dengan Imunisasi (PD3I) seperti
TBC, Diphteri, Pertusis, Campak, Tetanus, Polio, dan Hepatitis B
merupakan salah satu penyebab kematian anak di negara-negara
berkembang termasuk Indonesia. Diperkirakan1,7 juta kematian pada
anak atau 5% pada balita di Indonesia adalah akibat PD3I. Difteri
merupakan salah satu penyakit menular yang dapat dicegah dengan
imunisasi (PD3I). Sebelum era vaksinasi, racun yang dihasilkan oleh
kuman ini sering meyebabkan penyakit yang serius, bahkan dapat
menimbulkan kematian. Tapi sejak vaksin difteri ditemukan dan
imunisasi terhadap difteri digalakkan, jumlah kasus penyakit dan
kematian akibat kuman difteri menurun dengan drastis.
Difteri termasuk penyakit menular yang jumlah kasusnya relatif
rendah. Lingkungan buruk merupakan sumber dan penularan penyakit.
Sejak diperkenalkan vaksin DPT (Dyphtheria, Pertusis dan Tetanus),
penyakit difteri mulai jarang dijumpai. Vaksin imunisasi difteri diberikan
pada anak-anak untuk meningkatkan sistem kekebalan tubuh agar tidak
terserang penyakit tersebut. Anak-anak yang tidak mendapatkan vaksin
difteri akan lebih rentan terhadap penyakit yang menyerang saluran
pernafasan ini.
Berdasarkan data yang diperoleh dari Bidang Pencegahan Penyakit
dan Penyehatan Lingkungan Dinas Kesehatan Kota Makassar, jumlah
penderita Difteri pada tahun 2010 sebanyak 3 orang penderita yang
tersebar di tiga kecamatan dan tiga kelurahan dan tidak ditemukan adanya
kematian akibat Difteri. Di tahun 2011 mengalami penurunan kasus
dimana terdapat 2 kasus difteri yang tersebar di dua kecamatan dan tidak
ditemukan adanya kematian dan mengalami peningkatan kasus di tahun
2012 sebanyak 7 kasus diantaranya terdapat 1 kematian.
1.3 Tujuan
Adapun tujuan yang ingin dicapai adalah :
1. Mengetahui penyebab penyakit Dipteri
2. Mengetahui tingkat keparahan dan gejala klinis penyakit dipteri
3. Mengetahui masa inkubasi penyakit difteri
4. Mengetahui cara pencegahan dan pengobatan penyakit difteri.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Definisi
Difteria adalah suatu penyakit bakteri akut terutama menyerang
tonsil, faring, laring, hidung, adakalanya menyerang selaput lendir atau
kulit serta kadang-kadang konjungtiva atau vagina. Timbulnya lesi yang
khas disebabkan oleh cytotoxin spesifik yang dilepas oleh bakteri. Lesi
nampak sebagai suatu membran asimetrik keabu-abuan yang dikelilingi
dengan daerah inflamasi. Tenggorokan terasa sakit, sekalipun pada
difteria faucial atau pada difteri faring otonsiler diikuti dengan kelenjar
limfa yang membesar dan melunak. Pada kasus-kasus yang berat dan
sedang ditandai dengan pembengkakan dan oedema dileher dengan
pembentukan membran pada trachea secara ektensif dan dapat terjadi
obstruksi jalan napas.
Patofisiologi
1. Tahap Inkubasi
Kuman difteri masuk ke hidung atau mulut dimana baksil akan
menempel di mukosa saluran nafas bagian atas, kadang-kadang kulit,
mata atau mukosa genital dan biasanya bakteri berkembangbiak pada atau
di sekitar permukaan selaput lendir mulut atau tenggorokan dan
menyebabkan peradangan. Bila bakteri sampai ke hidung, hidung akan
meler. Peradangan bisa menyebar dari tenggorokan ke pita suara (laring)
dan menyebabkan pembengkakan sehingga saluran udara menyempit dan
terjadi gangguan pernafasan.
2. Tahap Penyakit Dini
Toksin biasanya menyerang saraf tertentu, misalnya saraf di
tenggorokan. Penderita mengalami kesulitan menelan pada minggu
pertama kontaminasi toksin.Antara minggu ketiga sampai minggu
keenam, bisa terjadi peradangan pada saraf lengan dan tungkai, sehingga
terjadi kelemahan pada lengan dan tungkai.Kerusakan pada otot jantung
(miokarditis) bisa terjadi kapan saja selama minggupertama sampai
minggu keenam, bersifat ringan, tampak sebagai kelainan ringanpada
EKG. Namun, kerusakan bisa sangat berat, bahkan menyebabkan gagal
jantung dan kematian mendadak. Pemulihan jantung dan saraf
berlangsung secara perlahan selama berminggu-minggu. Pada penderita
dengan tingkat kebersihan buruk, tak jarang difteri juga menyerang kulit.
Tes Diagnostik
Pada penyakit difteri ini diagnosis dini sangat penting.
Keterlambatan pemberianantitoksin sangat mempengaruhi prognosa.
Diagnosa harus ditegakakkan berdasarkan gejala klinik.
Test yang digunakan untuk mendeteksi penyakit Difteri boleh meliputi:
a. Gram Noda kultur kerongkongan atau selaput untuk
mengidentifikasi Corynebacterium diphtheriae.
b. Untuk melihat ada tidaknya myocarditis (peradangan dinding
otot jantung) dapat di lakuka dengan Electrocardiogram (ECG).
Penatalakasanaan
Dapat ditegakkan berdasarkan klinis, sebagai berikut:
Anamnesis : Suara serak, nyeri tenggorok, nyeri menelan, demam tidak tinggi,
hingga adanya stridor, “ngences”, dan tanda lain dari obstruksi napas atas,
dengan riwayat imunisasi tidak lengkap, serta kontak erat dengan kasus difteri.
KontakKontak erat yang dimaksud adalah orang serumah dan teman bermain;
kontak dengan sekret nasofaring (a.l.: resusitasi tanpa alat pelindung diri);
individu seruang dengan penderita dalam waktu >4 jam selama 5 hari berturut-
turut atau >24 jam dalam seminggu (a.l.: teman sekelas, teman seruang tidur,
teman mengaji, les).
2.2 Patofisiologi
1. Tahap Inkubasi
Kuman difteri masuk ke hidung atau mulut dimana baksil akan
menempel di mukosa saluran nafas bagian atas, kadang-kadang kulit,
mata atau mukosa genital dan biasanya bakteri berkembangbiak pada atau
di sekitar permukaan selaput lendir mulut atau tenggorokan dan
menyebabkan peradangan. Bila bakteri sampai ke hidung, hidung akan
meler. Peradangan bisa menyebar dari tenggorokan ke pita suara (laring)
dan menyebabkan pembengkakan sehingga saluran udara menyempit dan
terjadi gangguan pernafasan.
Bakteri ini ditularkan melalui percikan ludah dari batuk penderita
atau benda maupun makanan yang telah terkontaminasi oleh bakteri.
Ketika telah masuk dalam tubuh, bakteri melepaskan toksin atau racun.
Toksin ini akan menyebar melalui darah dan bisa menyebabkan
kerusakan jaringan di seluruh tubuh, terutama jantung dan saraf.
Masa inkubasi penyakit difteri dapat berlangsung antara 2-5 hari.
Sedangkan masa penularan beragam, dengan penderita bisa menularkan
antara dua minggu atau kurang bahkan kadangkala dapat lebih dari empat
minggu sejak masa inkubasi. Sedangkan stadium karier kronis dapat
menularkan penyakit sampai 6 bulan.
2. Tahap Penyakit Dini
Toksin biasanya menyerang saraf tertentu, misalnya saraf di
tenggorokan. Penderita mengalami kesulitan menelan pada minggu
pertama kontaminasi toksin.Antara minggu ketiga sampai minggu
keenam, bisa terjadi peradangan pada saraf lengan dan tungkai, sehingga
terjadi kelemahan pada lengan dan tungkai.Kerusakan pada otot jantung
(miokarditis) bisa terjadi kapan saja selama minggupertama sampai
minggu keenam, bersifat ringan, tampak sebagai kelainan ringanpada
EKG. Namun, kerusakan bisa sangat berat, bahkan menyebabkan gagal
jantung dan kematian mendadak. Pemulihan jantung dan saraf
berlangsung secara perlahan selama berminggu-minggu. Pada penderita
dengan tingkat kebersihan buruk, tak jarang difteri juga menyerang kulit.
3. Tahap Penyakit lanjut
Pada serangan difteri berat akan ditemukan pseudomembran, yaitu
lapisan selaputyang terdiri dari sel darah putih yang mati, bakteri dan
bahan lainnya, di dekat amandel dan bagian tenggorokan yang lain.
Membran ini tidak mudah robek dan berwarna abu-abu. Jika membran
dilepaskan secara paksa, maka lapisan lendir dibawahnya akan berdarah.
Membran inilah penyebab penyempitan saluran udara atau secara tiba-
tiba bisa terlepas dan menyumbat saluran udara, sehingga anak
mengalami kesulitan bernafas.
Tidak semua gejala-gejala klinik ini tampak jelas, maka setiap anak
panas yang sakit waktu menelan harus diperiksa pharynx dan tonsilnya
apakah ada psedomembrane. Jika pada tonsil tampak membran putih
kebau-abuan disekitarnya, walaupun tidak khas rupanya, sebaiknya
diambil sediaan (spesimen) berupa apusan tenggorokan (throat swab)
untuk pemeriksaan laboratorium.
Gejala diawali dengan nyeri tenggorokan ringan dan nyeri menelan.
Pada anak tak jarang diikuti demam, mual, muntah, menggigil dan sakit
kepala. Pembengkakankelenjar getah bening di leher sering terjadi
(Ditjen P2PL Depkes,2003).
Diagnosis Difteri
Dapat ditegakkan berdasarkan klinis, sebagai berikut:
1. Anamnesis
Suara serak, nyeri tenggorok, nyeri menelan, demam tidak tinggi, hingga
adanya stridor, “ngences”, dan tanda lain dari obstruksi napas atas,
dengan riwayat imunisasi tidak lengkap, serta kontak erat dengan kasus
difteri. Kontak erat yang dimaksud adalah orang serumah dan teman
bermain; kontak dengan sekret nasofaring (a.l.: resusitasi tanpa alat
pelindung diri); individu seruang dengan penderita dalam waktu >4 jam
selama 5 hari berturut-turut atau >24 jam dalam seminggu (a.l.: teman
sekelas, teman seruang tidur, teman mengaji, les).
2. Pemeriksaan fisis
Umumnya (94%) menunjukkan tanda tonsilitis dan faringitis dengan
pseudomembran/selaput pada tempat infeksi berwarna putih keabu-
abuan, mudah berdarah bila diangkat. Pada keadaan berat dapat
ditemukan pembesaran leher (bull neck), tampak toksik dan sakit berat,
padahal demam tidak terlalu tinggi, muka pucat bahkan sampai sianosis,
tanda-tanda syok, serta kesulitan menelan.
3. Laboratorium
Kriteria konfirmasi laboratorium difteri adalah kultur atau PCR positif.
Untuk mengetahui toksigenisitas difteri, dilakukan pemeriksaan tes Elek.
Pengambilan sampel kultur dilakukan pada hari ke-1, ke-2, dan ke-7.
Media yang digunakan saat ini adalah Amies dan Stewart, dahulu
Loeffler atau telurit. Keberhasilan kultur hidung tenggorok di indonesia
kurang dari 10%, sehingga diupayakan untuk menggunakan PCR untuk
diagnosis pasti. Sampel diambil dari jaringan di bawah atau sekitar
pseudomembran. Pemeriksaan sediaan langsung dengan mikroskop atau
pewarnaan Gram/Albert tidak dapat dipercaya karena di rongga mulut
banyak terdapat bakteri berbentuk mirip C. diphtheriae (difteroid).
Klasifikasi difteri sebagai berikut:
1) Suspek difteri: adalah orang dengan gejala faringitis, tonsillitis, laryngitis,
trakeitis (atau kombinasi), tanpa demam atau kondisi subfebris disertai
adanya pseudomembran putih keabu-abuan/kehitaman pada salah satu
atau kedua tonsil yang berdarah bila terlepas atau dilakukan manipulasi.
Sebanyak 94% kasus difteri mengenai tonsil dan faring.
14) Prognosis
Virulensi organisme
Tempat pada tubuh terjadinya infeksi. Pada difteri faring umumnya
berat dan toksik
Usia <5 tahun
Status imunisasi: belum/tidak lengkap
Kecepatan pemberian antitoksin
Obstruksi mekanik laring atau difteri bull-neck
Walaupun dilakukan pengobatan, 1 dari 10 pasien difteri kemungkinan
meninggal. Tanpa pengobatan 1 dari 2 pasien difteri meninggal.
15) Konsultasi:
Apabila terdapat keraguan mengenai diagnosis dan tata laksana, anggota
IDAI dapat menghubungi perwakilan UKK Infeksi dan Penyakit Tropis
di wilayah masing-masing
2.6 Program Pemerintah Terkait Penyakit Infeksi Endemis
Upaya pencegahan Penyakit yang Depot Dicegah Dengan Imunisasi
(PD3I) yang salah satunya adalah Difteri. Tujuan Umum dari upaya PD3I difteri
yaitu untuk menurunkan angka kesakitan, kecacatan dan kematian akibat
penyakit difteri yang dapat dicegah dengan Imunisasi (PD3I).
Strategi-strategi yang dilakukan dalam upaya PD3I difteri yaitu antara
lain :
1. Memberikan akses (pelayanan) kepada masyarakat dan swasta
2. Membangun kemitraan dan jejaring kerja
3. Menjamin ketersediaaan dan kecukupan vaksin, peralatan rantai vaksin
dan alat suntik
4. Menerapkan sistem pemantauan wilayah setempat (PWS) untuk
menentukan prioritas kegiatan serta tindakan perbaikan
5. Pelayanan imunisasi dilaksanakan oleh tenaga profesional/terlatih
6. Pelaksanaan sesuai dengan standard
7. Memanfaatkan perkembangan methoda dan tekhnologi yang lebih efektif
berkualitas dan efisien
8. Meningkatkan advokasi, fasilitasi dan pembinaan
3.1 Keimpulan
1. Difteri adalah penyakit yang disebabkan oleh kuman Corynebacterium
diphtheriae, oleh karena itu penyakitnya diberi nama serupa dengan kuman
penyebabnya.
2. Menurut tingkat keparahannya, penyakit ini dibagi menjadi 3 tingkat yaitu:
Infeksi ringan, Infeksi sedang dan Infeksi berat.
3. Menurut lokasi gejala difteria dibagi menjadi : Difteri hidung, difteri faring,
difteri laring dan difteri kutaneus dan vaginal.
4. Gejala klinis penyakit difteri ini adalah :
a. Panas lebih dari 38 °C
b. Ada psedomembrane bisa di pharynx, larynx atau tonsilc .
c. Sakit waktu menelan
d. Leher membengkak seperti leher sapi (bullneck), disebabkan
karena pembengkakan kelenjar leher
5. Sumber penularan penyakit difteri ini adalah manusia, baik sebagai penderita
maupun sebagai carier. Cara penularannya yaitu melalui kontak dengan
penderita pada masa inkubasi atau kontak dengan carier. Caranya melalui
pernafasan dan difteri kulit yang mencemari tanah sekitarnya.
6. Masa inkubasi penyakit difteri ini 2 – 5 hari, masa penularan penderita 2-4
minggu sejak masa inkubasi, sedangkan masa penularan carier bisa sampai 6
bulan.
7. Pencegahan penyakit difteri ini dilakukan dengan pemberian
imunisasi DPT 1, DPT2 dan DPT 3 pada bayi mulai umur 2 bulan dan
dilanjutkan dengan imunisasi DPT berikutnya dengan jarak waktu 4 paling
sedikit 4 minggu (1 bulan ). Kemudian diulang lagi pada saat usia sekolah
dasar yaitu kelas 1 dengan imunisasi DT. Selain itu juga dilakukan dengan cara
menjaga kebersihan lingkungan sehingga terhindar dari kuman difteri ini.
8. Pengobatan pada difteri terbagi menjadi dua yaitu Perawatan
umumyaitu dengan isolasi , bed rest 2-3 hari, intake makan : makanan lunak,
mudah dicerna, protein dan kalori cukup, dan pengobatan khusus
yang bertujuan menentralisir toksin dan membunuh basil dengan antibiotika
( Penicilin procain, Eritromisin, Ertromysin, Amoksisilin,
Rifampicin,Klindamisin, Tetrasiklin).
9. Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya KLB difteri adalah :
- Cakupan imunisasi
- Kualitas vaksin
- Lingkungan
- Rendahnya tingkat pengetahuan ibu dan keluarga
- Akses pelayanan kesehatan yang rendah
DAFTAR PUSTAKA
http://firstudin90.blogspot.com/2015/02/v-behaviorurldefaultvmlo.html?m=1
( di akses pada tanggal 23 Oktober 2020 , Pada pukul 11.50 WIT)