Anda di halaman 1dari 21

KAJIAN KEARIFAN LOKAL MASYARAKAT TERDAMPAK BENCANA

GUNUNGAPI KELUD KECAMATAN NGLEGOK KABUPATEN BLITAR

PUBLIKASI ILMIAH

Disusun sebagai salah satu syarat menyelesaikan Program Studi Strata I


pada Jurusan Geografi Fakultas Geografi

Oleh:

YUSUF MOHAMAD IBRAHIM


E 100 140 046

Program Studi Gografi


FAKULTAS GEOGRAFI
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
2018
i
ii
Pg*"NYATAAN

ilengan ini sa_va lxenyatakan bahrva tlalam naskah publikasi ini tidak
terdapat karya )'ang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu
Peruunrarr Irnggr dan scpanjan$ pcr)gelahun sala .yuga litlak terdapat kan'a at;ru
pendapat vang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lajn" kecuaii ,vang se$itra

ter-tuiis diasu dalan': naskah ini dan dis*bulkan dalarx daltix'ptrst;rka.

Apabiia kerlak teriruisti ada ketidakbenaran eiaiarn p*myataan saya di atas,


ruaka akan sa3ra pertanggungj arvabkan sepenuhnya.

Surakana" l0 Agustus 2018

Penulis

iii
KAJIAN KEARIFAN LOKAL MASYARAKAT TERDAMPAK BENCANA
GUNUNGAPI KELUD KECAMATAN NGLEGOK KABUPATEN BLITAR

Intisari
Kebudayaan merupakan produk hasil pengetahuan manusia sebagai makhluk
sosial, oleh karenanya tidak diperoleh melalui warisan genetika yang ada di dalam
tubuh manusia. Melainkan diperoleh lewat kedudukan manusia sebagai makhluk
sosial yang merupakan pengalaman melalui proses belajar dari interaksi dengan
lingkungannya. Salah satu dari bentuk kebudayaan tercermin dalam suatu kearifan
lokal, terlebih di daerah terdampak bencana alam. Kearifan lokal ini sangatlah
berpengaruh terhadap tingkat kapasitas masyarakat. Tujuan penelitian ini
mengetahui kearifan lokal di lokasi penelitian yang berkaitan dalam menghadapi
bencana erupsi Gunungapi Kelud, dan mengkaji peran kearifan lokal terhadap
kapasitas masyarakat di wilayah tersebut. Metode yang digunakan adalah metode
kualitatif, dengan pengumpulan data melalui wawancara mendalam kepada
narasumber. Analisi yang digunakan untuk menjawab dari permasalahan yang ada
dengan etnografi dan kelingkungan. Hasil dari penelitian ini menunjukan kearifan
lokal yang ada, diantaranya berupa kerukunan, sistem pengetahuan, dan sistem
religi. Ketiga nilai-nilai luhur ini di peroleh dari beberapa tradisi, kelompok
masyarakat, dan aliran kepercayaan diantaranya adalah Pirukunan Purwo Ayu
Margi Utamo, Manungaling Kawulo Gusti, Sirep Kayon, Suwakarsa Lembu Suro,
Kalap, Larung Sesaji, kenduri, dan Suronan. Kontribusi nilai kearifan lokal yang
pertama dalam mitigasi bencana berupa sistem pengetahuan tentang peringatan
dini. Karena dengan peringatan dini ini menjadikan masyarakat sekitar terdampak
bencana bisa lebih antisipasi dalam menghadapi sebuah bencana yang akan terjadi.
Kedua sistem religi yang mana sifatnya memberikan ketenangan batin kepada para
pengikutnya, yang membuat masyarakat menjadi lebih berfikir dengan jernih dan
rasional dalam mengambil sebuah keputusan. Ketiga sistem kerukunan, yang
berperan aktif saat terjadinya bencana dan paska terjadinya bencana, pokok ajaran
ini salah satu bentuk pengaplikasiannya berupa saling bergotong royong dengan
sesama.

Kata kunci : Kearifan Lokal, Kapsitas, Bencana

1
Abstract
Culture is a product of human knowledge as a social being, culture is not obtained
through genetic inheritance in the human body, but it is obtained through the
position of humans as social beings which are experiences through the process of
learning from interaction with their environment. One form of culture is reflected
in a local wisdom, especially in areas affected by natural disasters, this local
wisdom is very influential on the level of community capacity. The purpose of this
research is to find out the local wisdom in the location of the research related to the
eruption of Kelud Volcano eruption, and examine the role of local wisdom in the
research location on the capacity of the community in the face of the Kelud Volcano
eruption disaster. The method used is a qualitative method, by collecting data
through in-depth interviews with informants. The analysis used to answer the
existing problems is ethnographic and environmental analysis. The results of this
study show that the local wisdom in the research location includes harmony,
knowledge systems, religious systems, these three noble values, researchers obtain
from several traditions, community groups, and the expectations of trust include
Pirukunan Purwo Ayu Margi Utamo, Manungaling Kawulo Gusti, Sirep Kayon,
Suwakarsa Lembu Suro, Kalap, Larung Sesaji, kenduri, dan Suronan. The influence
of local wisdom on the capacity of the community in the research location that
played a role before the disaster took the form of a knowledge system, the
knowledge system that is implemented is an early warning, because with this early
warning, the affected communities can be more anticipated in the face of an
imminent disaster, the religious system in which its nature is to give inner peace to
its followers, which with inner peace makes the community, in the event of a
disaster can think more clearly and rationally in making a decision, and researchers
also found a local wisdom that plays an active role in the event of a disaster and
after the disaster, harmony, the subject of this teaching is about harmony, one form
of application of harmony is mutual cooperation with others.

Keywords: Local Wisdom, Capacity, Disaster

1. PENDAHULUAN
Secara geografis, Indonesia diapit dua samudra dan juga dua benua. Bagian barat
laut Indonesia berbatasan dengan Benua Asia, bagian tenggara Indonesia
berbatasan dengan Benua Australia, sebelah barat wilayah Indonesia berbatasan
dengan Samudra Hindia dan sebelah timur laut berbatasan dengan Samudra
Pasifik. Selain letak geografis Indonesia, penting juga untuk mengetahui letak

2
geologisnya, dari sudut pandang geologis, Indonesia dilihat berdasarkan jenis
bebatuan yang ada. Secara geologi, Indonesia dilalui oleh dua pegunungan yakni
Mediteranian pada sebelah barat dan pegunungan Sirkum di bagian Timur,
keberadaan dua pegunungan tersebut membuat Indonesia kaya akan gunung
berapi yang selalu aktif serta rawan akan gempa bumi (UU BNPB, 2007). Batas-
batas geografis ini memberi sejumlah pengaruh bagi Indonesia sebagai sebuah
negara dengan kebudayaan yang beragam yang terdiri dari berbagai suku,
agama, dan budaya, dimana setiap daerah memiliki ciri khas tersendiri walaupun
telah mengalami perkembangan. Kebudayaan yang dikembangkan di daerah-
daerah disebut dengan kebudayaan lokal. (Mulyadi, 2013) Kebudayaan umat
manusia memiliki tujuh unsur kebudayaan yang bersifat universal, diantaranya
sistem religi, sistem kemasyarakatan, sistem pengetahuan, sistem bahasa, sistem
kesenian, sistem mata pencaharian, dan sistem teknologi.
Ciri khas ini yang mendasari dari proses perkembangan masyarakat dan
ini menjadi hal yang unik dan menarik bagi masyarakat luar, masyarakat luar
bisa mengenal dan faham itu karena kebudayaan lokal yang ada di situ. Seperti
halnya di Pulau Jawa dimanapun dia berada baik di Jawa Barat, Jawa Tengah,
Jawa Timur semuanya mengenal yang namanya tradisi kejawen, tradisi kejawen
ini di tiap-tiap daerah di Jawa ini pastilah berbeda-beda tapi masih dalam lingkup
tradisi kejawen, contoh di Kota Surakarta Jawa Tengah setiap tanggal satu Suro
(Muharam) masyarakat Surakarta mengarak Kiai Slamet (Kebo Slamet), tapi
karena pesatnya perkembangan zaman dan masuknya budaya asing yang turut
dikembangkan di masyarakat maka sekarang ini banyak orang Jawa yang
meninggalkan tradisi jawa, apabila dilihat dari sejarah perkembangan tradisi
Jawa orang-orang terdahulu kita dengar Wong Jowo Ajo Ninggalke Jawane yang
berarti orang jawa tidak boleh meninggalkan jawanya. Ini karena kalau
meninggalkan tradisi jawa berarti melupakan sejarah jawa itu sendiri.

Blitar sendiri setiap pergantian tahun Jawa ada sebuah ritual larung sesaji
baik dilakukan di pantai laut selatan dan kawah Gunung Kelud yang mana
tradisi ini dilakukan sebagai simbol menyatunya alam semesta dengan manusia
dan juga ada harapan agar sing mbaurekso atau penguasa alam baik lautan atau

3
gunung tidak marah dan menggangu umat mausia. Mantan Bupati Blitar tahun
2005-2016 Herry Noegroho, menuturkan bahwa setiap awal pergantian tahun
jawa selalu mempersembahkan emas batangan dan bahkan intan untuk di
lemparkan ke dalam kawah Gunung Kelud itu juga sebagai persembahan untuk
penghuni gunung agar tidak mengganggu warga di sekitar Gunung Kelud.
Kearifan lokal seperti ini perlu untuk diungkap dan dipelajari agar tetap lestari.

Etnografi adalah salah satu dari cabang Antropologi yang berfokus untuk
mendeskripsikan sekaligus melukiskan tentang suku-suku dan kebudayaan
yang ada di suatu wilayah tertentu, metode ini yang akan digunakan untuk
mengungkapkan dan menggambarkan kebudayaan yang ada di lokasi
penelitian, pada kesempatan ini peneliti mengambil lokasi penelitian di
Kecamatan Nglegok, Kabupaten Blitar, Provinsi Jawa Timur. Kecamata
Nglegok, Kabupaten Blitar adalah lingkup kecil gambaran tradisi Jawa yang
begitu beragam, penelitian ini bertujuan untuk mengungkapkan dan
menggambarkan tentang kebudayaan lokal yang pada kesempatan ini kami
memilih lokasi Kecamatan Nglegok, Kabupaten Blitar yang mana lokasi ini
juga berada di kawasan Gunungapi Kelud dan pasti akan terkena dampak dari
aktivitas Gunungapi Kelud.

Penelitian ini secara umum bertujuan untuk pengetahuan dan pemberian


informasi detail tentang nilai-nilai luhur yang ada dan berkembang di
masyarakat terlebih keterkaitan antara nilai-nilai yang berkembang di
masyarakat dengan aktivitas Gunungapi Kelud dan secara khusus tujuan yang
ingin dicapai dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui kearifan lokal di
lokasi penelitian dalam menghadapi bencana erupsi Gunungapi Kelud, dan
untuk mengetahui bagaimana pengaruh kearifan lokal di lokasi penelitian
terhadap kapasitas masyarakat dalam menghadapi bencana erupsi Gunungapi
Kelud. Peneliti memiliki harapan, hasil dari penelitian ini dapat di jadikan
sebagi reverensi bagi penelitian-penelitian selnjutnya, dan bisa memberikan
gambaran denagn detail kepada pemerintah Kabupaten Blitar maupun Badan
Penaggulangan Bencana Daerah (BPBD Blitar) bahwasanya Kecamatan

4
Nglegok memiliki kearufan local yang ada pengaruhnya terhadap kapasitas
masyarakat dalam menghadappi erupsi Gunungapi Kelud

2. METODE
Penelitian ini dilakukan di Kecamatan Nglegok, Kabupaten Blitar, pada
penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif yang bersifat deskriptif
karena dalam proses penelitian ini peneliti melakukan penggambaran secara
lebih rinci dan mendalam mengenai kearifan lokal yang berhubungan dengan
mitigasi bencana dan kapasitas masyarakat dalam menanggapi bencana erupsi
Gunungapi Kelud.

2.1 Populasi/ Obyek Penelitian


Populasi dari penelitian ini adalah seluruh masyarakat beserta
kebudayaan yang ada di Kecamatan Nglegok, Kabupaten Blitar, objek yang
akan dikaji dalam penelitian ini adalah bentuk-bentuk dari kebudayaan
lokal dan kaitannya dengan aktivitas Gunungapi Kelud.

2.2 Metode Pengumpulan Data


Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer yang
langsung didapatkan di lapangan melalui wawancara mendalam kepada
informan dengan panduan guide wawancara mendalam. Data wawancara
kemudian dikompilasi dalam bentuk verbaltin wawancara dan dilakukan
pemilihan berdasarkan kategori tema dan kemudian dilakukan koding.

2.3 Instrumen dan Bahan Penelitian


Penelitian ini dapat berjalah dengan lancar apabila dilengkapi
dengan alat dan bahan sebain berikur, Untuk instrumen yang di gunakan
adalah guide wawancara mendalam, handphone, dan alat tulis. Sedangkan
bahan-bahan yang di butuhkan adalah peta administrasi kecamatan nglegok
kabupaten blitar, peta kawasan rawan bencana gunungapi kelud.

2.4 Teknik Pengolahan Data


Untuk memudahkan dalam analisi data, data terlebih dahulu akan
di olah, adapun tahapan-tahapan dalam pengolahan data adalah yang
pertama editing, data asli hasil lapangan perlu diteliti kembali untuk

5
meningkatkan mutu dari jawaban yang diberikan oleh responden sehingga
bebas dari kesalahan-kesalahan, yang kedua pemberian koding, dari semu
data yang sudah di-editing kemudian diberikan kode di semua jawaban
responden, mengkode berarti membuat klasifikasi jawaban responden.

Contoh Koding: W1/KL/NKL/1

Informan Wawancara/Tema/Sub Tema/Nomer Informan

2.5 Metode Analisis Data


Data yang telah diolah selanjutnya di analisisnya untuk dapat
menjawab dari tujuan-tujuan penelitian ini, analisis data yang digunakan
adalah analisis etnografi dengan analisis ini dimungkinkan untuk
menganalisis fenomena apa pun dengan lebih dari satu cara dan yang paling
penting dalam analisis ini adalah informan telah mempelajari serangkaian
kategori budaya mereka, pengetahuan budaya seorang informan secara
sistematik semuanya berhubungan dengan kebudayaan secara keseluruhan
(Spradley, 2007). Analisis etnografi ini memungkinkan peneliti untuk
menggunakan lebih dari satu analisis maka peneliti juga akan menggunakan
analisis geografi yakni analisis kelingkungan, Analisis dilakukan dengan
menjabarkan fakta-fakta yang ditemukan di lapangan dan kemudian
pendeskripsian untuk mengkaitkan bagaimana kearifan lokal dalam
menghadapi bencana alam Gunungapi Kelud dan peranya terhadap
kapasitas masyarakat di lokasi penelitian.

3. HASIL DAN PEMBAHASAN


3.1 Kearifan Lokal dalam Menghadapi Bencana Erupsi Gunungapi Kelud
Manusia dikaruniai oleh sang pencipta sebuah akal, akal ini akan
berkembang sesuai dengan apa yang pernah dilaluinya dan ini digunakan
oleh manusia untuk menyesuaikan diri dengan kondisi di sekitarnya. Proses
penyesuian ini akan ada suatu hal yang sifatnya berulang-ulang dan akan
diwariskan kepada generasi-generasi selanjutnya. Kearifan lokal ini akan

6
berbeda antara daerah yang satu dengan daerah yang lainya, perbedaan ini
terjadi karena adanya perbedaan kebutuhan dalam pengelolaan lingkungan
hidup dan sumberdaya alamnya. Hal inilah yang sedang peneliti gali dan
teliti di lokasi penelitian, lokasi penelitian ini berada di Kecamataan
Nglegok, Kabupaten Blitar. Penelitian ini tidak mengambil keseluruhan
kearifan lokal, melainkan hanya mengambil kearifan lokal yang ada
hubunganya dengan aktivitas Gunungapi Kelud.
Pada penelitian kali ini, peneliti menemukan beberapa kearifan lokal
yang ada hubunganya dengan aktifitas Gunungapi Kelud, kearifaan yang
dimasksud disini adalah sebuah nilai-nilai luhur yang di miliki oleh
masyarakat dan di gunakan untuk melindungi dan mengelola lingkungan
hidup dan sumber daya alam secara lestari. Peneliti menemukan tiga nilai-
nilai luhur yang berkembang di masyarakat, diantaranya adalah Kerukunan,
Sistem Pengetahuan, Sistem Religi. Data tentang ketiga nilai-nilai luhur ini
peneliti peroleh dari beberapa kelompok masyarakat, diantara kelompok-
kelompok masyarakat yang menjunjung tinggi nilai-nilai luhur diatas yang
ada di Kecamatan Nglegok antara lain Pirukunan Purwo Ayu Margi Utamo,
Manungaling Kawulo Gusti, Sirep Kayon, Suwakarsa Lembu Suro, Kalap,
Larung Sesaji, Kenduri. dan Suronan.

3.1.1. Kerukunan
Pada nilai luhur yang satu ini bisa dibilan sudah menjadi tradisi
orang Indonesia pada umumnya tapi karena sebuah pergeseran zaman
tradisi ini sudah mulai luntur di masyarakat Indonesia. Salah satu bentuk
dari kerukunan ini adalah kebersamaan, gotong royong, saling
membantu, dan merasa saling memiliki satu dengan yang lainya. Di
Kecamatan Nglegok sendiri ada sebuah aliran kepercayaan yang mana
inti dari ajaran mereka adalah kerukunan, yakni mulai dari rukun
keluarga, kerabat, tetangga, bahkan sampai rukun bernegara, mereka
menamai aliran kepercayaan ini dengan nama Pirukunan Purwo Ayu
Margi Utamo. Aliran kepercayaan Pirukunan Purwo Ayu Margi Utamo

7
ini tidak hanya ada di desa ini saja melainkan sudah tersebar di 20
privinsi se-Indonesia
3.1.2. Sistem Pengetahuan
Sistem Pengetahuan yang didalami masyarakat berupa
peringatan dini akan adanya bencana. Sebuah bencana alam pasti akan
di awali dengan adanya sebuah pertanda atau sebuah isyarat akan
datangnya sebuah bencana, dalam pewarisanya peringatan dini ini
biasanya oleh masyarakat lokal telah diubah dan di sesuaikan dengan
kebiasaan masyarakat, ada yang sudah diubah menjadi nyanyian, cerita
dongeng, pepatah, unen-unen dan lain lain. Dalam penelitian ini peneliti
mendapatkan beberapa contoh dari peringatan dini yang sama
masyarakat lokal sudah diubah agar tetap bisa lestari.
a. Sirep Kayon
Sirep Kayon ini merupakan pertanda atau peringatan akan
adanya sebuah bencana alam, akan tetapi oleh masyarakat sudah di
rubah menjadi sebuah unen-unen, bunyi dari unen-unen ini adalah
Sidhem Premanem Tan Ono Sebawane Kutu-Kutu, Walang
Ategoto intisari unen-unen ini adalah pada malam mejelang letusan
Gunung Kelud, di malam itu suasana menjadi sunyi dan sepi tidak
ada satu hewanpun yang bersuara. Walupun banyak yang sudah
tidak mempercayai Sirep Kayon ini karena di beberapa letusan
kemarin itu tidak ada tanda-tanda Sirep Kayo, tapi bagi sebagian
orang yang masih memepercayai ini mereka mejadikan ini sebagai
pertanda akan datangnya sebuah bencana alam yakni erupsi
Gunung Kelud, mereka meyakini bahwasanya ketika mendekati
hari H terjadinya erupsi semua binatang itu pada takut dan pergi
menjauh dari gunung, maka dari itu tidak ada hewan yang bersuara.
b. Kalap
Kalap ini adalah sebuah cerita rakyat, mereka meyakini
bahwasanya ada beberaapa dari sanak keluarganya ini ada yang di
jadikan abdi dalem atau pelayan di Gunung Kelud, dan ketika nanti

8
mendekati erupsi gunung orang yang Kalap tersebut akan pilang
kerumah dan memberikaan sebuah informansi bahwasanya gunung
akaan meletus jadi harpa lebih waspada. Masyarakat sekitar yang
mempercayai akan kebenaran dari Kalap ini mereka gunakan sebagi
pertanda dengan apa yang akan terjadi dengan Gunung Kelud ini,
karena apa yang di infokan dari orang yang Kalap ini pasti terjadinya
kalupun tidak terjadi tepat di hari yang di infokan biasanya hanya
terpaut beberapa hari saja.

c. Swakarsa Lembu Suro


Suwakarsa Lembu Suro ini adalah sebuah organisasi
kemasyarakatan yang mana mereka berperan penuh dalam
membantu prosesi evakuasi bencana, akan tetaapi mereka dalam
bertindak dan mengambil sebuah kebijakan mereka cenderung
menggukan pengetahuan lokal seperti Kalap dan juga Sirep Kayon
tetapi disini mereka juga menggunakan sebuah teknologi terbarukan
untuk memantau dari aktifitas Gunung Kelud ini, karena sejatinya
mereka ini adalah perpanjangn tangan dari Vulkanologi yang juga
tergabung di organisasi Jangkar Kelud.
3.1.3. Sistem Religi
Adat istiadat atau tradisi yang ada pada lingkup masyaraka
Jawa pada umumnya atau sering di sebut dengan tradisi kejawen akan
memberikan sebuah ketenangan batin kepada para pengikutnya,
mereka akan merasa damai, nyaman, dan tentram ketika mereka telah
selesai melakukan ritual-ritual dalam tradisi yang mereka percayai,
mereka menyakini bahwasanya sang penguasa alam semesta tidak
akan murka kepadanya, pada penelitian kali ini peneliti menemukan
beberapa tradisi lokal yang dilakukan oleh warga sekitar yang ada
hubunganya dengaan aktifitas Gunungapi Kelud, diantaranya adalah:

9
a. Manunggaling Kawulo Gusti
Masyarakat sekitar yang mempercayai dan mengikuti aliran
Manungaling Kawulo Gusti ini, mereka percaya bahwa Gunung
Kelud itu dapat diprediksi melalui hitungan dan komunikasi batin,
Mbah Suroso sebagai ketua kelompok aliran ini beliau yang paling
mampu dan dapat memperkirakan akan apa yang akan terjadi
dengan Gunung Kelud, jadi ketika ada tanda-tanda akan adanya
mara bahaya mereka akan meminta petunjuk kepada mbah suroso.
Salah satu bentuk dari kegiatan yang ada di kelompok ini adalah
Ruwatan, akan tetapi kebanyakan adalah Ruwatan Bocah Mongso
Kolo yang mana apabila tidak dilakukan Ruwatan kepada anak-
anak yang masuk dalam kategori bocah mongso kolo maka mereka
akan meninggal sebelum waktunya. Disini Manungaling Kawulo
Gusti juga memiliki sebuah acara rutin yakni Ruwatan desa acara
ini juga dilakukaan saat tanggal satu suro (peneggalan Jawa).
Ruwatan desa ini bertujuan untuk menghindarkan dari bencana
yang akan mengancam di desa ini. Maka dari itu ketika kelompok
ini telah melakukan ruwatan desa maka akan memberikan
ketenangan batin kepada para pengikutnya, mereka yakin
bahwasanya tidak akan terjadi bencana yang akan menimpanya
maupun menimpa pada desanya.
b. Kenduri
Biasanya Dukuh Kampung Anyar ketika melihat tanda-tanda
akan adanya erupsi gunung mereka biasanya melakukan kenduri.
Kenduri ini bertujuan untuk meminta perlindungan kepada sang
penguasa gunung agar tidak menimpakan mara bahaya kepada
desa ini. Dari data yang peneliti peroleh didukuh sini tidak lagi
mempunyai sesepuh, maka untuk hal-hal yang berkaitan dengan
mistis sudah banyak menghilang dan mulai ditinggalkan oleh para
generasi sekarang ini. Masyarakat di dukuh sini kebanyakan lebih
cenderung kepada teknologi, tapi tidak menutup kemungkinan

10
tentang adanya kearifan lokal tapi pada jaman sekarang ini
masyarakat lebih menempatkan kearifan lokal hanya bersifat
menenangkan saja, jadi kearifan lokal ini kita tidak boleh hanya
diambil secara mentah, harus dipadukan dengan teknologi yang
terbarukan.
c. Suronan
Suronan merupakan tradisi kejawen dan Mbah Gito sebagai
sesepuh yang dituakan untuk memimpin doa pada acara ini, tapi
satu bulan sebelum Mbah Gito memimpin doa beliau terlebih
dahulu melakukan ritual puasa ngrowot (hanya makan-makanan
yang tertimbun di dalam tanah), dan pada tanggal satu suro Mbah
Gito melakukan doa dengan suguhan berupa menyan dan
memanggil semua danyang atau penunggu desa ini, didesa ini
sendiri ada beberapa penunggu Mbah Truno Menggolo, Mbah
Mbeji, Mbah Gedhemukti, dari doa ini nanti akan mendapatkan
jawaban langsung dari sang penunggu Gunung Kelud yakni Lembu
Suro dan Joto Suro, jawaban inilah yang paling ditunggu oleh
Mbah Gito dan warga sekitar bahwa Gunung Kelud ini akan
meletus atau tidak dan apakah jika meletus akan mengenai dusun
ini atau tidak. Masyarakat disini percaya bahwa tidak ada musibah
atau bencana yang dapat ditolak akan tetapi musibah atau bencana
itu dapat untuk ditanggulangi, salah satunya dengan berdoa
meminta perlindungan kepada penguasa gunung. Sehingga inti dari
doa ini bukan doa untuk tolak bala tapi doa untuk menyisihkan
mara bahaya yang mungkin akan mengenai desa. Masyarakat yang
mempercarai ini mereka akan mersa aman dan tenang.
d. Larung Sesaji
Larung Sesaji ini berupa sebwah ritual yang di lakukan di
kawah Gunung Kelud dengan sesaji berupa kepala kerbau atau sapi
untuk dipersembahkan kepada penguasa gunung. Larung sesaji ini
dipercayai oleh mastyarakat dapat menangkal akan terjadinya

11
sebuah bencana alam di Gunung Kelud, mereka percaya bila dalam
beberapa waktu itu penunggu Gunung Kelud akan meminta sesaji
atau makan sebagai imbalan apabila masyarakat yang tinggal di
kaki gunung telah banyak mengambil hasil alam dari Gunung
Kelud. Ketika sesaji ini tidak di penuhi atau apa yang disajikan
kepada sang penguasa gunung tidak sesuai dengan apa yang di
inginkan oleh sang penguasa gunung maka penguasa gunung akan
murka dan marah, bentuk dari amaraahnya adalah akan terjadi
sebuah bencana yang beruntun dan menimpa masyarakat di sekitar
gunung. Tapi ketika sesaji ini telah di penuhi dan diterima oleh
sang penguasa gunung mereka akan merasa aman dan nyaman
dalam beraktifitas sehari-hari karena mereka akan merasa aman
dari mara bahaya.
3.2 Peran Kearifan Lokal Terhadap Kapasitas Masyarakat dalam
Menghadapi Erupsi Gunungapi Kelud
Kapasitas masyarakat dapat diartikan sebagian kemampuan untuk
memeberikan tanggapan terhadap situasi tertentu, salah satu bentuk dari
kapasitas adalah kearifan lokal yang telah turun-temurun diwariskan dari
generasi ke generasi, kapasitas dalam bentuk kearifan lokal inilah yang akan
di ungkapkan oleh peneliti. Dalam prinsip mitigasi bencana ada tiga tahapan
dalam mitigasi bencana yakni sebelum terjadinya bencana, saat terjadi
bencana dan paska terjadinya bencana.
Kearifan lokal yang ada di lokasi penelitian yang berperan sebelum
terjadinya bencana berupa peringatan dini, karena dengan peringatan dini
ini menjadikan masyarakat sekitar terdampak bencana bisa lebih antisipasi
dalam menghadapi sebuah bencana yang akan terjadi, seperti menyimpan
barang baraang yang berharga di tempat yang aman, agar ketika terjadi
bencana tidak terjadi erugian yang besar. Selain peringatan dini sebelum
terjadinya bencana ada juga kearifan lokal yang sifatnya memberikan
ketenangan batin kepada para pengikutnya, yang mana dengan ketenangan

12
batin ini menjadikan masyarakat, apabila terjadi bencana dapat lebih
berfikir dengan jernih dan rasional dalam mengambil sebuah keputusan.

Disini peneliti juga menemukan sebuah kearifan lokal yang berperan


aktif saat terjadinya bencana dan paska terjadinya bencana yakni kerukunan,
pokok ajaran ini adah tentang kerukunan, salah satu bentuk pengaplikasian
kerukunan adalah saling bergotong royong dengan sesama. Ketika terjadi
bencana seperti di tahun 2014 kemarin aliran kepercayaan ini turut serta
bergotongroyong bersama-sama membantu jalanya evakuasi bencana, dan
juga ikut serta memberikan sumbangan tenaga dan untuk para korban
bencana.

Tabel 1. Peran Kearifan Lokal terhadap Kapasitas Masyarakat


Sumber Peran terhadap Kapasitas
Nilai-Nilai
No Kearifan Masyarakat dalam Menghadapi
Luhur
Lokal Bencana Gunungapi Kelud
1 Pirukunan Kerukunan Pokok ajaran ini adah tentang
Purwo Ayu kerukunan, salah satu bentuk
Margi Utomo pengaplikasian kerukunan adalah
saling bergotong royong dengan
sesama. Ketika terjadi bencana
seperti di tahun 2014 kemarin
aliran kepercayaan ini turut serta
bergotongroyong bersama-sama
membantu jalanya evakuasi
bencana, dan juga ikut serta
memberikan sumbangan tenaga
dan untuk para korban bencana.

2 Manunggaling Sistem Sebuah tradisi lokal pada intinya


Kawulo Gusti, Religi akan memberikan sebuah
Kenduri, ketenangan batin kepada

13
Suronan, masyarakat, yang mana dengan
Larung Sesaji, ketenangan batin ini menjadikan
masyarakat apabila terjadi
bencana dapat lebih berfikir
dengan jernih dan rasional.

3 Sirep Kayon, Sistem Sistem Pengetahuan dalam hal ini


Kalap, Pengetahuan adalah peringatan dini ini
Swakarsa menjadikan masyarakat sekitar
Lembu Suro terdampak bencana bisa lebih
antisipasi dalam menghadapi
sebuah bencana yang akan terjadi.
Seperti menyimpan barang
baraang yang berharga di tempat
yang aman, agar ketika terjadi
bencana tidak terjadi erugian yang
besar.

Sumber : Penulis 2018

Pola persebaran dari kearifan lokal yang di lokasi penelitian bisa


dilihat pada (Gambar 2) bahwasanya kearifan lokal yang ada kaitanya
dengan aktifitas Gunung Kelud ini tidaklah tersebar merata di semua desa
yang ada di Kecamatan Nglegok melainkan hanya ada dan tersebar di tiga
desa yaakni Desa Sumberasri, Desa Modangan, dan Desa Penataran, hal ini
bisa terjadi katerna dari seluruh desa dan kelurahan yang ada di Kecamaatan
Nglegok tidaklah berada dizona rawan bencana melainkan banyak yang
berada dizona aman.

14
Gambar 1. Peta Tingkat Kapsitas Masyarakat Dalam Menghadapi
Erupsi Gunung Kelud
Sumber: Tim Peneliti Kelud 2017

Gambar 2. Peta Persebaran Kearifan Lokal di Kecamatan Nglegok


Sumber: Penulis 2018
Dari kedua gambar diatas (Gambar 1) dan (Gambar 2) dapat
diketahui dengan jelas bahwasanya semua kearifan lokal yang ada
hubunganya dengan erupsi Gunung Kelud semuanya berada di daerah yang
memiliki tingkat kapasitas masyarakatnya tinggi, hal ini menunjukkan
bahwasanya kearifan lokal ini sangatlah berpengaruh terhadap tingkat
kapasitas masyarakat. Kearifan lokal ini lebih banyak berperan di

15
masyarakat dari pada peran lembaga-lembaga sosial kemayarakatan yang
lainya. Dalam sejarah pekembanganya banyak dari para aktivis Gunung
Kelud yang tergabung dalam lembaga Jangkar Kelud mereka berpendapat
bahwasanya Gunung Kelud ini adalah gunung yang sangatlah unik dan
susah diprediksi dengan teknologi, maka dari itu untuk mengantisipasi akan
bahaya yang akan menimpa masyarakat, maka oleh para aktifis Jangkar
Kelud digabungkanlah antara kearifan lokal yang berkembang di
masyarakat dengan pemantauan melalui teknologi.

4. PENUTUP
Kearifan lokal yang ada di Kecamatan Nglegok diantaranya adalah
kerukunan, Sistem religi, dan sistem pengetahuan, kearifan lokal ini peneliti
temukan pada beberapa tradisi, organisasi maupun aliran kepercayaan yang
ada di lokasi penelitian. Seperti kearifan lokal kerukunan, kerukunan ini
peneliti temukan pada sebuah aliran kepercayaan Pirukunan Purwo Ayu
Margi Utamo, kearifan lokal yang sifatnya memberikan ketenangan batin
ini peneliti temuai pada kelompok-kelompok masyarakat maupun tradisi
lokal diantaranya adalah Manungaling Kawulo Gusti, Kenduri, Suronan
dan, Larung Sesaji, kearifan lokal yang sifatnya sebagai perinfgatan dini ini
peneliti temukan pada organisasi masyrakat maupun pada ditradisi lokal
seperti Sirep Kayon, Suwakarsa Lembu Suro, dan Kalap. Pengaruh dari
kearifan lokal dalam membangun kapasitas masyarakat di Kecamatan
Nglegok dalam menghadapi erupsi Gunung Kelud sangatlah berpengaruh,
ini terlihat pada lokasi persebarn kearifan lokal ini hanya ada di tiga desa
yang ada di Kecanatan Nglegok dan desa ini pada peta kapasitas menempati
posisi desa dengan tingkaat kapasitas masyarakat yang tinggi.

16
DAFTAR PUSTAKA
Agus Mulyadi. 2013. “Unsur-Unsur Kebudayaan Berserta Penjelasanya”.
dapat di akses secara online
di.http://mbahkarno.blogspot.com/2013/09/unsur-unsur-
kebudayaan-beserta.html. diakses pada Kamis 23 November 2017,
Pukul: 21:50

Budiati, Wahyu. 2018. “Kajian Kapasitas Masyarakat dan Coping Strategies


dalam Menghadapi Ancaman Bencana Gunungapi Kelud di Desa
Modangan Kecamatan Nglegok Kabupaten Blitar”. Skripsi. Fakultas
Geografi: Universitas Muhammadiyah Surakarta.
Erianjoni, 2017. Pengembangan Materi Ajar Sosiologi Tentang Mitigasi
Bencana Berbasis Kearifan Lokal Di Kota Padang. Jurnal. Padang.
Universitas Negri Padang.
Pemerintah Indonesia, 2017. Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Dan
Kehutanan Republik Indonesia Nomor
P.34/Menlhk/Setjen/Kum.1/5/2017 Tentang Pengakuan Dan
Perlindungan Kearifan Lokal Dalam Pengelolaan Sumber Daya Alam
Dan Lingkungan Hidup. Lembaran Negara RI Tahun 2017.
Sekertariat Negara. Jakarta.
Pemerintah Indonesia, 2007. Undang-Undang Republik Indonesia Tahun 2007
Tentang Penanggulangan Bencana. Lembaran Negara RI Tahun 2007.
Sekertariat Negara. Jakarta.
Raco, J.R. 2010. Metode Penelitian Kualitatif: Jenis, Karakter, dan
Keunggulannya. Jakarta: Grasindo.
Spradley, James, P. 2007. Metode Etnografi. Buku Kuliah. Yogyakarta: Tirta
Wacana.

17

Anda mungkin juga menyukai