PUBLIKASI ILMIAH
Oleh:
ilengan ini sa_va lxenyatakan bahrva tlalam naskah publikasi ini tidak
terdapat karya )'ang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu
Peruunrarr Irnggr dan scpanjan$ pcr)gelahun sala .yuga litlak terdapat kan'a at;ru
pendapat vang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lajn" kecuaii ,vang se$itra
Penulis
iii
KAJIAN KEARIFAN LOKAL MASYARAKAT TERDAMPAK BENCANA
GUNUNGAPI KELUD KECAMATAN NGLEGOK KABUPATEN BLITAR
Intisari
Kebudayaan merupakan produk hasil pengetahuan manusia sebagai makhluk
sosial, oleh karenanya tidak diperoleh melalui warisan genetika yang ada di dalam
tubuh manusia. Melainkan diperoleh lewat kedudukan manusia sebagai makhluk
sosial yang merupakan pengalaman melalui proses belajar dari interaksi dengan
lingkungannya. Salah satu dari bentuk kebudayaan tercermin dalam suatu kearifan
lokal, terlebih di daerah terdampak bencana alam. Kearifan lokal ini sangatlah
berpengaruh terhadap tingkat kapasitas masyarakat. Tujuan penelitian ini
mengetahui kearifan lokal di lokasi penelitian yang berkaitan dalam menghadapi
bencana erupsi Gunungapi Kelud, dan mengkaji peran kearifan lokal terhadap
kapasitas masyarakat di wilayah tersebut. Metode yang digunakan adalah metode
kualitatif, dengan pengumpulan data melalui wawancara mendalam kepada
narasumber. Analisi yang digunakan untuk menjawab dari permasalahan yang ada
dengan etnografi dan kelingkungan. Hasil dari penelitian ini menunjukan kearifan
lokal yang ada, diantaranya berupa kerukunan, sistem pengetahuan, dan sistem
religi. Ketiga nilai-nilai luhur ini di peroleh dari beberapa tradisi, kelompok
masyarakat, dan aliran kepercayaan diantaranya adalah Pirukunan Purwo Ayu
Margi Utamo, Manungaling Kawulo Gusti, Sirep Kayon, Suwakarsa Lembu Suro,
Kalap, Larung Sesaji, kenduri, dan Suronan. Kontribusi nilai kearifan lokal yang
pertama dalam mitigasi bencana berupa sistem pengetahuan tentang peringatan
dini. Karena dengan peringatan dini ini menjadikan masyarakat sekitar terdampak
bencana bisa lebih antisipasi dalam menghadapi sebuah bencana yang akan terjadi.
Kedua sistem religi yang mana sifatnya memberikan ketenangan batin kepada para
pengikutnya, yang membuat masyarakat menjadi lebih berfikir dengan jernih dan
rasional dalam mengambil sebuah keputusan. Ketiga sistem kerukunan, yang
berperan aktif saat terjadinya bencana dan paska terjadinya bencana, pokok ajaran
ini salah satu bentuk pengaplikasiannya berupa saling bergotong royong dengan
sesama.
1
Abstract
Culture is a product of human knowledge as a social being, culture is not obtained
through genetic inheritance in the human body, but it is obtained through the
position of humans as social beings which are experiences through the process of
learning from interaction with their environment. One form of culture is reflected
in a local wisdom, especially in areas affected by natural disasters, this local
wisdom is very influential on the level of community capacity. The purpose of this
research is to find out the local wisdom in the location of the research related to the
eruption of Kelud Volcano eruption, and examine the role of local wisdom in the
research location on the capacity of the community in the face of the Kelud Volcano
eruption disaster. The method used is a qualitative method, by collecting data
through in-depth interviews with informants. The analysis used to answer the
existing problems is ethnographic and environmental analysis. The results of this
study show that the local wisdom in the research location includes harmony,
knowledge systems, religious systems, these three noble values, researchers obtain
from several traditions, community groups, and the expectations of trust include
Pirukunan Purwo Ayu Margi Utamo, Manungaling Kawulo Gusti, Sirep Kayon,
Suwakarsa Lembu Suro, Kalap, Larung Sesaji, kenduri, dan Suronan. The influence
of local wisdom on the capacity of the community in the research location that
played a role before the disaster took the form of a knowledge system, the
knowledge system that is implemented is an early warning, because with this early
warning, the affected communities can be more anticipated in the face of an
imminent disaster, the religious system in which its nature is to give inner peace to
its followers, which with inner peace makes the community, in the event of a
disaster can think more clearly and rationally in making a decision, and researchers
also found a local wisdom that plays an active role in the event of a disaster and
after the disaster, harmony, the subject of this teaching is about harmony, one form
of application of harmony is mutual cooperation with others.
1. PENDAHULUAN
Secara geografis, Indonesia diapit dua samudra dan juga dua benua. Bagian barat
laut Indonesia berbatasan dengan Benua Asia, bagian tenggara Indonesia
berbatasan dengan Benua Australia, sebelah barat wilayah Indonesia berbatasan
dengan Samudra Hindia dan sebelah timur laut berbatasan dengan Samudra
Pasifik. Selain letak geografis Indonesia, penting juga untuk mengetahui letak
2
geologisnya, dari sudut pandang geologis, Indonesia dilihat berdasarkan jenis
bebatuan yang ada. Secara geologi, Indonesia dilalui oleh dua pegunungan yakni
Mediteranian pada sebelah barat dan pegunungan Sirkum di bagian Timur,
keberadaan dua pegunungan tersebut membuat Indonesia kaya akan gunung
berapi yang selalu aktif serta rawan akan gempa bumi (UU BNPB, 2007). Batas-
batas geografis ini memberi sejumlah pengaruh bagi Indonesia sebagai sebuah
negara dengan kebudayaan yang beragam yang terdiri dari berbagai suku,
agama, dan budaya, dimana setiap daerah memiliki ciri khas tersendiri walaupun
telah mengalami perkembangan. Kebudayaan yang dikembangkan di daerah-
daerah disebut dengan kebudayaan lokal. (Mulyadi, 2013) Kebudayaan umat
manusia memiliki tujuh unsur kebudayaan yang bersifat universal, diantaranya
sistem religi, sistem kemasyarakatan, sistem pengetahuan, sistem bahasa, sistem
kesenian, sistem mata pencaharian, dan sistem teknologi.
Ciri khas ini yang mendasari dari proses perkembangan masyarakat dan
ini menjadi hal yang unik dan menarik bagi masyarakat luar, masyarakat luar
bisa mengenal dan faham itu karena kebudayaan lokal yang ada di situ. Seperti
halnya di Pulau Jawa dimanapun dia berada baik di Jawa Barat, Jawa Tengah,
Jawa Timur semuanya mengenal yang namanya tradisi kejawen, tradisi kejawen
ini di tiap-tiap daerah di Jawa ini pastilah berbeda-beda tapi masih dalam lingkup
tradisi kejawen, contoh di Kota Surakarta Jawa Tengah setiap tanggal satu Suro
(Muharam) masyarakat Surakarta mengarak Kiai Slamet (Kebo Slamet), tapi
karena pesatnya perkembangan zaman dan masuknya budaya asing yang turut
dikembangkan di masyarakat maka sekarang ini banyak orang Jawa yang
meninggalkan tradisi jawa, apabila dilihat dari sejarah perkembangan tradisi
Jawa orang-orang terdahulu kita dengar Wong Jowo Ajo Ninggalke Jawane yang
berarti orang jawa tidak boleh meninggalkan jawanya. Ini karena kalau
meninggalkan tradisi jawa berarti melupakan sejarah jawa itu sendiri.
Blitar sendiri setiap pergantian tahun Jawa ada sebuah ritual larung sesaji
baik dilakukan di pantai laut selatan dan kawah Gunung Kelud yang mana
tradisi ini dilakukan sebagai simbol menyatunya alam semesta dengan manusia
dan juga ada harapan agar sing mbaurekso atau penguasa alam baik lautan atau
3
gunung tidak marah dan menggangu umat mausia. Mantan Bupati Blitar tahun
2005-2016 Herry Noegroho, menuturkan bahwa setiap awal pergantian tahun
jawa selalu mempersembahkan emas batangan dan bahkan intan untuk di
lemparkan ke dalam kawah Gunung Kelud itu juga sebagai persembahan untuk
penghuni gunung agar tidak mengganggu warga di sekitar Gunung Kelud.
Kearifan lokal seperti ini perlu untuk diungkap dan dipelajari agar tetap lestari.
Etnografi adalah salah satu dari cabang Antropologi yang berfokus untuk
mendeskripsikan sekaligus melukiskan tentang suku-suku dan kebudayaan
yang ada di suatu wilayah tertentu, metode ini yang akan digunakan untuk
mengungkapkan dan menggambarkan kebudayaan yang ada di lokasi
penelitian, pada kesempatan ini peneliti mengambil lokasi penelitian di
Kecamatan Nglegok, Kabupaten Blitar, Provinsi Jawa Timur. Kecamata
Nglegok, Kabupaten Blitar adalah lingkup kecil gambaran tradisi Jawa yang
begitu beragam, penelitian ini bertujuan untuk mengungkapkan dan
menggambarkan tentang kebudayaan lokal yang pada kesempatan ini kami
memilih lokasi Kecamatan Nglegok, Kabupaten Blitar yang mana lokasi ini
juga berada di kawasan Gunungapi Kelud dan pasti akan terkena dampak dari
aktivitas Gunungapi Kelud.
4
Nglegok memiliki kearufan local yang ada pengaruhnya terhadap kapasitas
masyarakat dalam menghadappi erupsi Gunungapi Kelud
2. METODE
Penelitian ini dilakukan di Kecamatan Nglegok, Kabupaten Blitar, pada
penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif yang bersifat deskriptif
karena dalam proses penelitian ini peneliti melakukan penggambaran secara
lebih rinci dan mendalam mengenai kearifan lokal yang berhubungan dengan
mitigasi bencana dan kapasitas masyarakat dalam menanggapi bencana erupsi
Gunungapi Kelud.
5
meningkatkan mutu dari jawaban yang diberikan oleh responden sehingga
bebas dari kesalahan-kesalahan, yang kedua pemberian koding, dari semu
data yang sudah di-editing kemudian diberikan kode di semua jawaban
responden, mengkode berarti membuat klasifikasi jawaban responden.
6
berbeda antara daerah yang satu dengan daerah yang lainya, perbedaan ini
terjadi karena adanya perbedaan kebutuhan dalam pengelolaan lingkungan
hidup dan sumberdaya alamnya. Hal inilah yang sedang peneliti gali dan
teliti di lokasi penelitian, lokasi penelitian ini berada di Kecamataan
Nglegok, Kabupaten Blitar. Penelitian ini tidak mengambil keseluruhan
kearifan lokal, melainkan hanya mengambil kearifan lokal yang ada
hubunganya dengan aktivitas Gunungapi Kelud.
Pada penelitian kali ini, peneliti menemukan beberapa kearifan lokal
yang ada hubunganya dengan aktifitas Gunungapi Kelud, kearifaan yang
dimasksud disini adalah sebuah nilai-nilai luhur yang di miliki oleh
masyarakat dan di gunakan untuk melindungi dan mengelola lingkungan
hidup dan sumber daya alam secara lestari. Peneliti menemukan tiga nilai-
nilai luhur yang berkembang di masyarakat, diantaranya adalah Kerukunan,
Sistem Pengetahuan, Sistem Religi. Data tentang ketiga nilai-nilai luhur ini
peneliti peroleh dari beberapa kelompok masyarakat, diantara kelompok-
kelompok masyarakat yang menjunjung tinggi nilai-nilai luhur diatas yang
ada di Kecamatan Nglegok antara lain Pirukunan Purwo Ayu Margi Utamo,
Manungaling Kawulo Gusti, Sirep Kayon, Suwakarsa Lembu Suro, Kalap,
Larung Sesaji, Kenduri. dan Suronan.
3.1.1. Kerukunan
Pada nilai luhur yang satu ini bisa dibilan sudah menjadi tradisi
orang Indonesia pada umumnya tapi karena sebuah pergeseran zaman
tradisi ini sudah mulai luntur di masyarakat Indonesia. Salah satu bentuk
dari kerukunan ini adalah kebersamaan, gotong royong, saling
membantu, dan merasa saling memiliki satu dengan yang lainya. Di
Kecamatan Nglegok sendiri ada sebuah aliran kepercayaan yang mana
inti dari ajaran mereka adalah kerukunan, yakni mulai dari rukun
keluarga, kerabat, tetangga, bahkan sampai rukun bernegara, mereka
menamai aliran kepercayaan ini dengan nama Pirukunan Purwo Ayu
Margi Utamo. Aliran kepercayaan Pirukunan Purwo Ayu Margi Utamo
7
ini tidak hanya ada di desa ini saja melainkan sudah tersebar di 20
privinsi se-Indonesia
3.1.2. Sistem Pengetahuan
Sistem Pengetahuan yang didalami masyarakat berupa
peringatan dini akan adanya bencana. Sebuah bencana alam pasti akan
di awali dengan adanya sebuah pertanda atau sebuah isyarat akan
datangnya sebuah bencana, dalam pewarisanya peringatan dini ini
biasanya oleh masyarakat lokal telah diubah dan di sesuaikan dengan
kebiasaan masyarakat, ada yang sudah diubah menjadi nyanyian, cerita
dongeng, pepatah, unen-unen dan lain lain. Dalam penelitian ini peneliti
mendapatkan beberapa contoh dari peringatan dini yang sama
masyarakat lokal sudah diubah agar tetap bisa lestari.
a. Sirep Kayon
Sirep Kayon ini merupakan pertanda atau peringatan akan
adanya sebuah bencana alam, akan tetapi oleh masyarakat sudah di
rubah menjadi sebuah unen-unen, bunyi dari unen-unen ini adalah
Sidhem Premanem Tan Ono Sebawane Kutu-Kutu, Walang
Ategoto intisari unen-unen ini adalah pada malam mejelang letusan
Gunung Kelud, di malam itu suasana menjadi sunyi dan sepi tidak
ada satu hewanpun yang bersuara. Walupun banyak yang sudah
tidak mempercayai Sirep Kayon ini karena di beberapa letusan
kemarin itu tidak ada tanda-tanda Sirep Kayo, tapi bagi sebagian
orang yang masih memepercayai ini mereka mejadikan ini sebagai
pertanda akan datangnya sebuah bencana alam yakni erupsi
Gunung Kelud, mereka meyakini bahwasanya ketika mendekati
hari H terjadinya erupsi semua binatang itu pada takut dan pergi
menjauh dari gunung, maka dari itu tidak ada hewan yang bersuara.
b. Kalap
Kalap ini adalah sebuah cerita rakyat, mereka meyakini
bahwasanya ada beberaapa dari sanak keluarganya ini ada yang di
jadikan abdi dalem atau pelayan di Gunung Kelud, dan ketika nanti
8
mendekati erupsi gunung orang yang Kalap tersebut akan pilang
kerumah dan memberikaan sebuah informansi bahwasanya gunung
akaan meletus jadi harpa lebih waspada. Masyarakat sekitar yang
mempercayai akan kebenaran dari Kalap ini mereka gunakan sebagi
pertanda dengan apa yang akan terjadi dengan Gunung Kelud ini,
karena apa yang di infokan dari orang yang Kalap ini pasti terjadinya
kalupun tidak terjadi tepat di hari yang di infokan biasanya hanya
terpaut beberapa hari saja.
9
a. Manunggaling Kawulo Gusti
Masyarakat sekitar yang mempercayai dan mengikuti aliran
Manungaling Kawulo Gusti ini, mereka percaya bahwa Gunung
Kelud itu dapat diprediksi melalui hitungan dan komunikasi batin,
Mbah Suroso sebagai ketua kelompok aliran ini beliau yang paling
mampu dan dapat memperkirakan akan apa yang akan terjadi
dengan Gunung Kelud, jadi ketika ada tanda-tanda akan adanya
mara bahaya mereka akan meminta petunjuk kepada mbah suroso.
Salah satu bentuk dari kegiatan yang ada di kelompok ini adalah
Ruwatan, akan tetapi kebanyakan adalah Ruwatan Bocah Mongso
Kolo yang mana apabila tidak dilakukan Ruwatan kepada anak-
anak yang masuk dalam kategori bocah mongso kolo maka mereka
akan meninggal sebelum waktunya. Disini Manungaling Kawulo
Gusti juga memiliki sebuah acara rutin yakni Ruwatan desa acara
ini juga dilakukaan saat tanggal satu suro (peneggalan Jawa).
Ruwatan desa ini bertujuan untuk menghindarkan dari bencana
yang akan mengancam di desa ini. Maka dari itu ketika kelompok
ini telah melakukan ruwatan desa maka akan memberikan
ketenangan batin kepada para pengikutnya, mereka yakin
bahwasanya tidak akan terjadi bencana yang akan menimpanya
maupun menimpa pada desanya.
b. Kenduri
Biasanya Dukuh Kampung Anyar ketika melihat tanda-tanda
akan adanya erupsi gunung mereka biasanya melakukan kenduri.
Kenduri ini bertujuan untuk meminta perlindungan kepada sang
penguasa gunung agar tidak menimpakan mara bahaya kepada
desa ini. Dari data yang peneliti peroleh didukuh sini tidak lagi
mempunyai sesepuh, maka untuk hal-hal yang berkaitan dengan
mistis sudah banyak menghilang dan mulai ditinggalkan oleh para
generasi sekarang ini. Masyarakat di dukuh sini kebanyakan lebih
cenderung kepada teknologi, tapi tidak menutup kemungkinan
10
tentang adanya kearifan lokal tapi pada jaman sekarang ini
masyarakat lebih menempatkan kearifan lokal hanya bersifat
menenangkan saja, jadi kearifan lokal ini kita tidak boleh hanya
diambil secara mentah, harus dipadukan dengan teknologi yang
terbarukan.
c. Suronan
Suronan merupakan tradisi kejawen dan Mbah Gito sebagai
sesepuh yang dituakan untuk memimpin doa pada acara ini, tapi
satu bulan sebelum Mbah Gito memimpin doa beliau terlebih
dahulu melakukan ritual puasa ngrowot (hanya makan-makanan
yang tertimbun di dalam tanah), dan pada tanggal satu suro Mbah
Gito melakukan doa dengan suguhan berupa menyan dan
memanggil semua danyang atau penunggu desa ini, didesa ini
sendiri ada beberapa penunggu Mbah Truno Menggolo, Mbah
Mbeji, Mbah Gedhemukti, dari doa ini nanti akan mendapatkan
jawaban langsung dari sang penunggu Gunung Kelud yakni Lembu
Suro dan Joto Suro, jawaban inilah yang paling ditunggu oleh
Mbah Gito dan warga sekitar bahwa Gunung Kelud ini akan
meletus atau tidak dan apakah jika meletus akan mengenai dusun
ini atau tidak. Masyarakat disini percaya bahwa tidak ada musibah
atau bencana yang dapat ditolak akan tetapi musibah atau bencana
itu dapat untuk ditanggulangi, salah satunya dengan berdoa
meminta perlindungan kepada penguasa gunung. Sehingga inti dari
doa ini bukan doa untuk tolak bala tapi doa untuk menyisihkan
mara bahaya yang mungkin akan mengenai desa. Masyarakat yang
mempercarai ini mereka akan mersa aman dan tenang.
d. Larung Sesaji
Larung Sesaji ini berupa sebwah ritual yang di lakukan di
kawah Gunung Kelud dengan sesaji berupa kepala kerbau atau sapi
untuk dipersembahkan kepada penguasa gunung. Larung sesaji ini
dipercayai oleh mastyarakat dapat menangkal akan terjadinya
11
sebuah bencana alam di Gunung Kelud, mereka percaya bila dalam
beberapa waktu itu penunggu Gunung Kelud akan meminta sesaji
atau makan sebagai imbalan apabila masyarakat yang tinggal di
kaki gunung telah banyak mengambil hasil alam dari Gunung
Kelud. Ketika sesaji ini tidak di penuhi atau apa yang disajikan
kepada sang penguasa gunung tidak sesuai dengan apa yang di
inginkan oleh sang penguasa gunung maka penguasa gunung akan
murka dan marah, bentuk dari amaraahnya adalah akan terjadi
sebuah bencana yang beruntun dan menimpa masyarakat di sekitar
gunung. Tapi ketika sesaji ini telah di penuhi dan diterima oleh
sang penguasa gunung mereka akan merasa aman dan nyaman
dalam beraktifitas sehari-hari karena mereka akan merasa aman
dari mara bahaya.
3.2 Peran Kearifan Lokal Terhadap Kapasitas Masyarakat dalam
Menghadapi Erupsi Gunungapi Kelud
Kapasitas masyarakat dapat diartikan sebagian kemampuan untuk
memeberikan tanggapan terhadap situasi tertentu, salah satu bentuk dari
kapasitas adalah kearifan lokal yang telah turun-temurun diwariskan dari
generasi ke generasi, kapasitas dalam bentuk kearifan lokal inilah yang akan
di ungkapkan oleh peneliti. Dalam prinsip mitigasi bencana ada tiga tahapan
dalam mitigasi bencana yakni sebelum terjadinya bencana, saat terjadi
bencana dan paska terjadinya bencana.
Kearifan lokal yang ada di lokasi penelitian yang berperan sebelum
terjadinya bencana berupa peringatan dini, karena dengan peringatan dini
ini menjadikan masyarakat sekitar terdampak bencana bisa lebih antisipasi
dalam menghadapi sebuah bencana yang akan terjadi, seperti menyimpan
barang baraang yang berharga di tempat yang aman, agar ketika terjadi
bencana tidak terjadi erugian yang besar. Selain peringatan dini sebelum
terjadinya bencana ada juga kearifan lokal yang sifatnya memberikan
ketenangan batin kepada para pengikutnya, yang mana dengan ketenangan
12
batin ini menjadikan masyarakat, apabila terjadi bencana dapat lebih
berfikir dengan jernih dan rasional dalam mengambil sebuah keputusan.
13
Suronan, masyarakat, yang mana dengan
Larung Sesaji, ketenangan batin ini menjadikan
masyarakat apabila terjadi
bencana dapat lebih berfikir
dengan jernih dan rasional.
14
Gambar 1. Peta Tingkat Kapsitas Masyarakat Dalam Menghadapi
Erupsi Gunung Kelud
Sumber: Tim Peneliti Kelud 2017
15
masyarakat dari pada peran lembaga-lembaga sosial kemayarakatan yang
lainya. Dalam sejarah pekembanganya banyak dari para aktivis Gunung
Kelud yang tergabung dalam lembaga Jangkar Kelud mereka berpendapat
bahwasanya Gunung Kelud ini adalah gunung yang sangatlah unik dan
susah diprediksi dengan teknologi, maka dari itu untuk mengantisipasi akan
bahaya yang akan menimpa masyarakat, maka oleh para aktifis Jangkar
Kelud digabungkanlah antara kearifan lokal yang berkembang di
masyarakat dengan pemantauan melalui teknologi.
4. PENUTUP
Kearifan lokal yang ada di Kecamatan Nglegok diantaranya adalah
kerukunan, Sistem religi, dan sistem pengetahuan, kearifan lokal ini peneliti
temukan pada beberapa tradisi, organisasi maupun aliran kepercayaan yang
ada di lokasi penelitian. Seperti kearifan lokal kerukunan, kerukunan ini
peneliti temukan pada sebuah aliran kepercayaan Pirukunan Purwo Ayu
Margi Utamo, kearifan lokal yang sifatnya memberikan ketenangan batin
ini peneliti temuai pada kelompok-kelompok masyarakat maupun tradisi
lokal diantaranya adalah Manungaling Kawulo Gusti, Kenduri, Suronan
dan, Larung Sesaji, kearifan lokal yang sifatnya sebagai perinfgatan dini ini
peneliti temukan pada organisasi masyrakat maupun pada ditradisi lokal
seperti Sirep Kayon, Suwakarsa Lembu Suro, dan Kalap. Pengaruh dari
kearifan lokal dalam membangun kapasitas masyarakat di Kecamatan
Nglegok dalam menghadapi erupsi Gunung Kelud sangatlah berpengaruh,
ini terlihat pada lokasi persebarn kearifan lokal ini hanya ada di tiga desa
yang ada di Kecanatan Nglegok dan desa ini pada peta kapasitas menempati
posisi desa dengan tingkaat kapasitas masyarakat yang tinggi.
16
DAFTAR PUSTAKA
Agus Mulyadi. 2013. “Unsur-Unsur Kebudayaan Berserta Penjelasanya”.
dapat di akses secara online
di.http://mbahkarno.blogspot.com/2013/09/unsur-unsur-
kebudayaan-beserta.html. diakses pada Kamis 23 November 2017,
Pukul: 21:50
17