Anda di halaman 1dari 31

Laporan Kasus

RUPTUR LIEN DENGAN PERDARAHAN


INTRA ABDOMEN

Oleh :
Jhuvan Zulian Fernando, S. Ked
NIM: 71 2018 004

Pembimbing
dr. H. Gunawan Tohir, Sp.B., MM.

DEPARTEMEN ILMU BEDAH


RUMAH SAKIT UMUM DAERAH PALEMBANG BARI
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS
MUHAMMADIYAH PALEMBANG
2020
BAB I
ILUSTRASI KASUS

1.1 Identifikasi Pasien


Nama : Arman bin Huda
Jenis Kelamin : Laki-Laki
Tempat/Tanggal Lahir : Palembang, 15 Desember 1997
Pekerjaan : Mahasiswa
Pendidikan Terakhir : SMA
Alamat : Jl. Bungaran No 19, Kertapati , Palembang
Agama : Islam
Kebangsaan : Indonesia
Status : Belum Menikah
MRS : 07 September 2020
No. RM : 16.36.40
Pembiayaan : BPJS

1.2 Anamnesis ( Autoanamnesis dan Alloanamnesis tanggal 14 September


2020)
 Keluhan Utama
Nyeri seluruh perut sejak 12 jam sebelum masuk rumah sakit.

 Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien datang ke IGD RSUD Palembang BARI dengan keluhan
nyeri seluruh perut sejak 12 jam sebelum masuk rumah sakit. Nyeri
dirasakan semakin memberat setelah pasien mengalami kecelakaan
motor sekitar jam 11 malam tanggal 13 September 2020. Pasien
mengalami kecelakaan saat perjalanan pulang ke rumah saat cuaca hujan
mengendarai motor kemudian menabrak mobil pick up yang berhenti
tiba-tiba di depannya. Akibatnya pasien terjatuh ke arah depan sehingga
perut pasien mengenai stang motor dan dagu pasien terluka mengenai
bagian belakang mobil pick up tersebut. Setelah kejadian pasien

2
langsung dibawa ke klinik terdekat. Di klinik pasien diberikan infus dan
dagunya dijahit. Kemudian karena alasan fasilitas yang kurang memadai
pasien dirujuk ke RSUD Palembang BARI untuk dilakukan pemeriksaan
foto thoraks dan CT scan perut. Saat perjalanan ke RSUD Palembang
BARI pasien tetap sadar penuh. Tidak ada keluhan mual ataupun
muntah. BAK dan BAB pasien spontan.
 Riwayat Penyakit Dahulu
Sebelumnya pasien tidak pernah mengalami kejadian serupa.
Pasien tidak memiliki riwayat alergi maupun penyakit darah tinggi dan
diabetes. Pasien juga tidak pernah dirawat di RS sebelumnya.
 Riwayat Penyakit Keluarga
Pada keluarga pasien tidak ada riwayat penyakit darah tinggi,
diabetes, ataupun penyakit berat lainnya.
 Riwayat Personal dan Sosial
Pasien tinggal bersama dengan orang tua dan kakak pasien. Selama
ini pasien jarang berolahraga dan jarang makan sayur dan buah-buahan.
Pasien tidak pernah merokok maupun mengkonsumsi alkohol ataupun
obat-obatan terlarang.

1.3 Pemeriksaan Fisik


A. Primary Survey
Airway
- Jalan napas tidak ada sumbatan
- snoring (-), gargling (-)

Breathing
- Spontan
- RR: 36x/menit, stridor (-)
- pergerakan dinding dada simetris
- sonor pada kedua lapang paru
- vesikuler +/+, suara napas tambahan -/-

3
Circulation
- Nadi: 128 x/menit, teraba kuat, reguler
- TD : 116/71 mmHg
- CRT <3 detik

Disability
- GCS 15 (E4M6V5)
- Pemeriksaan mata : pupil bulat isokor, RCL +/+, RCTL +/+
- Tanda lateralisasi (-)

Exposure
- Tampak jejas pada perut kiri atas

B. Secondary Survey
Keadaan umum : tampak sakit sedang
Kesadaran : compos mentis, GCS E4M6V5

Tanda vital
- Tekanan darah : 133/64 mmHg
- Nadi : 142 kali / menit, teraba kuat, reguler
- Pernapasan : 22 kali / menit
- Suhu tubuh : 36,5oC

Status Gizi : BB: 54 kg, TB: 165 cm, IMT : 19,83 kg/m2

Skala Nyeri :5

Nyeri berdasarkan SOCRATES


Site (Lokasi) : Nyeri pada lseluruh lapang perut
Onset (Mulai timbul) : ± 12 jam sebelum masuk rumah sakit

4
Character (Sifat) : nyeri tajam
Radiation (Penjalaran) : nyeri tidak menjalar
Association (Hubungan) : kesulitan menggerakkan lengan
Timing (Saat terjadinya) :timbul setelah kejadian kecelakaan
motor
Exacerbating and relieving factor: nyeri bertambah berat jika
mengerakan tubuh

Severity (Tingkat keparahan) : 5

Keadaan Spesifik
Kulit : warna sawo matang, turgor baik
Kepala : normochepali, jejas (-)
Rambut : warna hitam, distribusi merata
Wajah : simetris
Mata : pupil bulat isokor, konjungtiva pucat -/-, sklera ikterik -/-
Telinga : normotia, sekret -/-
Hidung : sekret -/-, hiperemis -/-
Leher : trakea lurus di tengah, KGB tidak membesar
Thoraks : simetris saat statis maupun dinamis
Paru : suara napas vesikuler di kedua lapang paru, rhonkii -/-,
wheezing -/-
Jantung : BJ I-II regular, murmur (-), gallop (-)
Abdomen : status lokalis
Ekstremitas : akral hangat (+), CRT <3 detik, edema -/-, sianosis -/-

Status Lokalis
Abdomen
Inspeksi : datar, terdapat jejas pada regio flank sinistra, Kehr’s
sign (+),
Palpasi : distensi (+), nyeri tekan (+) pada seluruh lapang abdomen,
teraba massa (-), defans muskular (+)
Perkusi : timpani (+) di seluruh lapang abdomen

5
Auskultasi : bising usus (+) menurun

1.4 Pemeriksaan Penunjang


Laboratorium (14-09-2020)
Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan

Hematologi    
Hemoglobin 10,9 g/dL 13,2-17,3
Hematokrit 33 33-45
Leukosit 7.200/uL 5,0-10,0
Trombosit 262.000/uL 150-440
Eritrosit 3,62 juta/uL 4,40-5,90

VER/HER/KHER/RDW  
VER 91,8 fl 80,0-100,0
HER 30,1 pg 26,0-34,0
KHER 32,8 g/dl 32,0-36,0
RDW 14,10% 11,5-14,5
Kimia Klinik    
Fungsi Hati    
SGOT 45 U/l 0-34

23 U/l 0-40
SGPT
Fungsi Ginjal    
Ureum darah 45 mg/dl 20-40
Kreatinin Darah 1,1 mg/dl 0,6-1,5
Diabetes    
Gula Darah Sewaktu 124 mg/dl 70-140
Jantung    
Asam Laktat 4,5 mmol/L 0,5-2,2
Analisa Gas Darah    
pH 7,46 7,37-7,44
PCO2 33,3 mmHg 35,0-45,0
PO2 189 mmHg 83,0-108,0
BP 747 mmHg  
HCO3 23,2 mmol/l 21,0 - 28,0
Saturasi 99,40% 95,0-99,0 %
BE (Base Excess) 0,1 mmol/L -2,5 – 2,5
Total CO2 24,2 mmol/L 19,0-24,0

6
Elektrolit Darah    
Natrium 136 mmol/l  
Kalium 4,98 mmol/l  
Klorida 109 mmol/l  
Sero-imunologi    
Golongan darah O / rhesus (+)  
CT kuantitatif 20,14 ng/mL 0,5 - < 2 : sepsis sistemik
2 - <10 : sepsis berat
 10 : syok sepsis

7
Foto Thoraks

Pemeriksaan radiografi thoraks proyeksi AP dengan hasil sebagai berikut:


 Jantung kesan tidak membesar.
 Aorta dan mediastinum superior tidak melebar.
 Trakea relatif ditengah. Kedua hilus tidak menebal.
 Corakan bronkovaskular kedua paru baik.
 Tidak tampak infiltrat maupun nodul di kedua paru.
 Hemidiafragma dan sinus kostofrenikus kanan-kiri baik.
 Tulang-tulang yang tervisualisasi optimal kesan intak.

Kesan:
Tidak tampak kelainan radiologis pada jantung dan paru.

8
CT scan abdomen

9
Pemeriksaan CT-scan abdomen potongan axial mulai dari diafragma-
pubis, tanpa kontras. Hasil sebagai berikut:
 Hepar : bentuk, ukuran, densitas parenkim normal. Tidak tampak lesi
hipo/hiperdens. Vaskuler dan bile duct intra/extrahepatic tidak
melebar.
 GB : bentuk dan ukuran normal. Dinding tidak menebal. Tidak tampak
batu/sludhe dalam GB. Tidak tampak fluid collection di sekitar GB.
 Lien : bentuk dan ukuran tak tervisualisasi utuh. Densitas inhomogen
dengan batas tak jelas dan tepi irreguler.

10
 Pankreas : densitas normal. Tidak tampak peradangan/SOL maupun
peripancreatic fluid.
 Kedua ginjal : letak, bentuk, ukuran normal. Densitas cortex dan
medulla baik. Pelvocalyceal system tidak dilatasi. Tidak tampak
batu/SOL.
 Vesica urinaria : bentuk normal. Tidak tampak penebalan
dinding/batu/SOL.
 Prostat dengan bentuk dan ukuran normal. Tidak tampak nodul.
 Tampak cairan bebas dalam rongga peritoneum.
 Lambung tampak normal. Tidak tampak penebalan mucosa dinding
maupun SOL.
 Loop-loop usus halus dan kolon tampak normal. Tidak jelas tampak
SOL.
 Tulang bertebra lumbal dan pelvis tampak normal dan intak.
Kesan :
Fluid collection intraperiotneal (terutama di abdomen atas) dengan ruptur
lien.

1.5 Diagnosis Kerja Pre Operasi


Ruptur lien ec trauma tumpul abdomen

1.6 Diagnosis Banding


- Ruptur lien ec trauma tumpul abdomen
- Ruptur hepar ec trauma tumpul abdomen
- Ruptur renal ec trauma tumpul abdomen

1.7 Penatalaksanaan
Non Medikamentosa:
 Bed rest
 Pasang NGT dialirkan
 Pasang kateter
 Observasi tanda vital per jam

11
12
Medikamentosa:
 IVFD RL 0,9% 500 cc/8 jam
 Metronidazole 3 x 500 mg
 Ceftriaxone 2 x 1 gr IV
 Ketorolac 3 x 30 mg IV
 Ranitidin 2 x 40 mg

Laporan operasi laparotomi eksplorasi:


1. Pasien supine dalam anestesi umum
2. A dan antisepsis
3. Drapping daerah operasi
4. Insisi mediana 4 jari bawah prosesus xyphoideus sampai dengan 4 jari
di atas simfisis pubis menembus kutis, subkutis, dan linea alba. Saat
peritoneum dibuka, keluar darah kurang lebih 1500 cc, disuction
5. Eksplorasi ke arah lien, tampak hilus compang-camping, perdarahan
aktif. Diputuskan untuk splenektomi.
6. Daerah hilus lien diligasi dan dipotong. Ligmentum gastrosplenika dan
ligamentum splenocolica diligasi dan dipotong. Kemudian perdarahan
dirawat.
7. Eksplorasi dilanjutkan, tampak hematom pada zona 2 retroperiotoneal
sinistra, tidak pulsatil. Tidak dilakukan tindakan apapun. Hepar intak.
8. Tidak tampak kelainan di ileum dan colon.
9. Rongga abdomen dicuci dengan NaCl 0,9% steril.
10. Luka operasi ditutup lapis demi lapis dengan meninggalkan 1 buah
drain pada flexura linealis.
11. Operasi selesai.

Instruksi post operasi:


 Awasi kesadaran dan TNSP
 IVFD RL : D5% = 2:2/24 jam
 Awasi produksi drain
 Cek DPL post operasi (transfusi PRC jika Hb <10 g/dL)
 Ceftriaxone 2 x.2 gr

13
 Metronidazole 1 x 1500 mg
 Paracetamol 3 x 500 mg
 Omeprazole 2 x 50 mg
 Asam traneksamat 3 x 500 mg
 Vitamin K 3 x 10 mg
 Puasa, NGT dialirkan

1.7 Diagnosis Post Operasi


Ruptur lien AAST grade V ec trauma tumpul abdomen

1.8 Prognosis
Ad vitam : bonam
Ad functionam : dubia ad bonam
Ad sanationam : bonam

14
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Anatomi dan Fisiologi Limpa


Secara anatomis, limpa merupakan organ kecil yang berada dibalik os
costae 9-11 dengan ukuran yang bervariasi tergantung usia dan jenis kelamin.
Perbedaan ukuran ini juga dapat ditemukan pada individu dengan kondisi tertentu.
Umumnya pada orang dewasa limpa memiliki ukuran panjang 9-14 cm, lebar 6-8
cm, dan ketebalan 3-5 cm dengan berat sekitar 80-300 gram.6,7
Limpa terletak pada kuadran kiri atas atau hipkondrium kiri abdomen.
Anterior dari limpa terdapat lambung sedangkan pada posterior dari limpa
terdapat diagragma kiri. Medial dari limpa terdapat ginjal kiri dan inferior dari
limpa terdapat fleksura kolik kiri.8
Posisi limpa dipertahankan oleh beberapa ligamen dan lipatan peritoneal ke
kolon (ligamen splenokolik), lambung (ligamen gastrosplenikus), diafgrama
(ligamen frenosplenikus), dan ginjal, kelenjar adrenal, dan cauda pankreas
ligamen splenorenal).1

Gambar 2.1. Letak Limpa di dalam Rongga Abdomen


Sumber : Moore K, Dalley A, Agur A. Moore Clinically Oriented Anatomy. 7 ed.
8
Philadelphia: Wolters Kluwer; 2014.

1
Permukaan limpa terbagi dua yaitu permukaan diafragmatik superolateral
dan permukaan inferomedial viseral. Permukaan diafragmatik limpa cembung
mengikuti bentuk diafragma yang cekung dan os costae sekitarnya. Sedangkan
permukaan viseral limpa irreguler menghadap inferomedial ke arah rongga
abdomen.7,8

Gambar 2.2. Permukaan dan Hilum Limpa


Sumber : Chaudhry S, Bhimji S. Anatomy, Abdomen and Pelvis, Spleen. Florida:
StatPearls Publishing; 2018.9

Limpa berasal dari sel-sel mesenkimal pada mesogastrium dorsal yang


berkembang pada minggu ke 5-6 embriogenesis. Pada trimester kedua kehamilan,
limpa sudah mampu menjalankan fungsinya sebagai organ hematopoiesis. Fungsi
tersebut didapatkan dari sel-sel yang berasal dari dinding yolk sac dan aorta
dorsal.9
Pada anak limpa memiliki ukuran yang lebih besar karena memiliki fungsi
retikuloendotelial dan memproduksi sel darah merah. Kemudian saat sumsum
tulang pada anak lebih matang maka limpa fungsinya menjadi lebih sedikit dan
ukurannya menjadi lebih kecil.9
Terdapat beberapa perbedaan pada limpa anak dan dewasa yaitu perbedaan
pada kapsul dan konsistensi dari limpa. Pada anak kapsulnya relatif lebih tebal
dan parenkimnya lebih keras dibandingkan limpa pada orang dewas. Sehingga

2
jika terjadi trauma, maka limpa akan lebih rentan mengalami cedera pada orang
dewasa.9
Limpa dikelilingi oleh kapsul yang dilindungi oleh peritoneum viseral kecuali
pada bagian hilum. Kapsul ini memiliki ketebalan 1-2 mm yang terdiri dari
banyak serat kolagen dan beberap serat elastis. Dibawah kapsul tersebut terdapat
parenkim limpa yang terbagi menjadi dua jenis yaitu pulpa merah dan pulpa putih.
Pulpa merah dan pulpa putih memiliki fungsi yang berbeda. Pulpa merah
jumlahnya bisa mencapai 90% sedangkan sisanya pulpa putih. Kedua pulpa
tersebut dipisahkan oleh zona marginal yang berfungsi sebagai penyaring patogen
dari darah.1,9
Pulpa putih terdari dari periarterioral lymphoid sheaths (PALS) dan nodul
limfatik. Pulpa putih berfungsi dalam maturasi sel darah putih terutama limfosit
dan juga berfungsi dalam memproduksi antibodi. Sedangkan pulpa merah terdiri
dari sinusoid splenikus (pembuluh darah lebar) dan kumpulan jaringan ikat.
Fungsi dari pulpa merah yaitu menghancurkan sel darah merah yang rusak, sudah
tua, dan/atau yang sudah tidak berfungsi dengan baik. Selain itu, pulpa merah juga
berfungsi sebagai tempat penyimpanan sel darah putih dan platelet.9

Gambar 2.3. Struktur Mikroskopis Limpa


Sumber : Brunicardi C, Andersen D, Billiar T. Schwartz’s Principles of Surgery.
10 ed. New York: McGraw Hill Education; 2015.1

3
4
2.2. Trauma Limpa
Trauma didefinisikan sebagai kerusakan seluler akibat perubahan energi dari
lingkungan yang melebihi daya resilien sehingga terjadi kematian sel yang
disebabkan keadaan iskemia atau reperfusi. Ruptur limpa merupakan kondisi
rusaknya limpa akibat suatu dampak penting kepada limpa dari beberapa
sumber.1,2

2.2.1. Epidemiologi
Trauma tetap menjadi penyebab kematian tersering pada semua individu
berusia 1-44 tahun dan merupakan penyebab kematian nomor tiga pada populasi
umum. Kecelakaan yang tidak disengaja menyebabkan kematian sebanyak
110.000 setiap tahun dengan 40% kecelakaan tersebut merupakaan kecelakaan
kendaraan bermotor.1
Organ-organ abdomen merupakan organ nomor tiga yang paling sering
mengalami cedera pada saat terjadi trauma. Trauma abdomen ini pada 25% kasus
membutuhkan tindakan operasi dan 85% penyebab trauma abdomen adalah
trauma tumpul. Pada sebuah studi yang dilakukan oleh Nikhil dkk, limpa
merupakan organ yang paling sering mengalami cedera (53%).3

2.2.2. Mekanisme Trauma


Mekanisme trauma pada limpa dibagi menjadi trauma tumpul, trauma
tajam, dan trauma iatrogenik. Trauma tumpul dan tajam dapat menyebabkan
cedera yang signifikan dan mengancam nyawa. Terkadang trauma tersebut tidak
menunjukkan tanda dan gejala yang khas sehingga sulit memprediksi tingkat
keparahan dari kerusakan organ.4,10

 Trauma Tumpul
Trauma tumpul bisa disebabkan oleh hantaman langsung misalnya saat
bagian bawah setir mobil, setang sepeda atau motor yang menyebabkan cedera
kompresi pada abdomen. Hantaman ini dapat menyebabkan deformitas organ
padat maupun berongga di dalam abdomen dan ruptur organ dengan

5
perdarahan sehingga menyebabkan terjadinya peritonitis. Selain itu, bentuk
trauma tumpul lain dapat berupa shearing injuries yang disebabkan
penggunaan sabuk pengaman yang tidak benar.11
Pada kecelakaan kendaraan bermotor, dapat juga terjadi trauma akibat
deselerasi. Gaya deselarasi tersebut menyebabkan gerakan yang berbeda
antara organ yang terfiksasi dan yang dapat bergerak. Salah satu contohnya
yaitu pada organ limpa yang dapat bergerak namun terfiksasi pada ligamen
disekitarnya.11

 Trauma Tajam
Trauma tajam dapat menyebabkan kerusakan jaringan dengan laserasi dan
memotong. Luasnya kerusakan jaringan tergantung pada mekanisme
traumanya yaitu luka tusuk atau luka tembak. Pada luka tembak high energy
dapat menyebabkan kerusakan jaringan yang lebih parah karena ada
kemungkinan peluru mengalami fragmentasi.4,11

 Trauma Iatrogenik
Beberapa tindakan medis dapat menyebabkan trauma pada abdomen salah
satunya kesalahan meletakkan chest tube pada saat elevasi diafragma sehingga
menyebabkan trauma pada limpa.10

2.2.3. Diagnosis
Pada pasien dengan trauma sangat penting untuk mengidentifikasi dengan
cepat kondisi-kondisi yang membutuhkan tindakan operatif segera. Maka dari itu,
perlu dilakukan anamnesis serta pemeriksaan secara menyeluruh.12

 Anamnesis
Anamnesis yang lengkap harus dilakukan setelah semua keadaan yang
mengancam nyawa pasien sudah teratasi. Namun, terkadang riwayat pada
pasien sulit untuk diketahui terutama pada pasien dengan penurunan
kesadaran. Riwayat kejadian trauma pada pasien sangat penting untuk
diketahui untuk menentukan penanganan yang sesuai. Pasien dengan trauma

6
perlu ditanyakan juga riwayat AMPLE (Allergies, Medications, Past illness or
Pregnancy, Last meal, dan Events).1,10
Pada pasien yang cedera karena kecelakaan kendaraan bermotor perlu
diketahui riwayat terjadinya kecelakaan. Beberapa pertanyaan seperti
kecepatan kendaraan, tipe kendaraan, jenis tabrakan (dari depan, samping,
ataupun dari belakang). Selain itu, harus ditanyakan posisi pasien saat
kecelakaan terjadi dan keberadaan airbag.11
Anamnesis pasien trauma tajam dengan luka tusuk harus ditanyakan
ukuran dan tipe alat yang digunakan, berapa banyak luka tusuknya, posisi
relatif pasien saat kejadian, waktu terjadinya cedera, dan perkiraan
perdarahan. Sedangkan pada pasien dengan luka tembak harus diketahui jenis
senjata api yang digunakan, jarak antara pasien dengan penembak, serta
perkiraan jumlah tembakan.10
Selain itu, perlu diketahui riwayat operasi yang pernah dijalani oleh
pasien. Riwayat lain yang perlu ditanyakan yaitu riwayat penyakit yang
menyebabkan pembesaran limpa, adanya penyakit hepar, penggunaan obat-
obat antikoagulasi atau aspirin dan obat anti inflamasi nonsteroid.9

 Pemeriksaan Fisik
Pasien dengan trauma abdomen dapat menunjukan tanda yang tidak
signifikan. Secara keseluruhan akurasi pemeriksaan fisik pada pasien dengan
trauma abdomen tumpul hanya sekitar 55-65% karena pada pemeriksaan awal
dapat menunjukan hasil yang normal.10
Pada pemeriksaan fisik pasien dengan trauma limpa penting untuk menilai
adanya nyeri pada tulang iga kiri bawah. Sekitar 14% pasien dengan nyeri
seperti itu mengalami trauma trauma pada limpa. Sifat plastisitas dinding dada
anak menyebabkan trauma limpa berat tanpa adanya fraktur tulang iga.
Sedangkan pada pemeriksaan fisk pasien berusia lebih dari 55 tahun dengan
trauma berat pada dada dan cedera limpa bisa saja normal.9
Adanya Kehr’s sign dapat membantu dalam penegakkan diagnosis pasien
dengan trauma limpa. Kehr’s sign ini merupakan gejala nyeri pada bahu kiri
karena nyeri alih hemidifragma yang berasal dari akar servikal 3,4 dan 5 yang

7
juga menginervasi ujung bahu. Nyeri ini baru muncul saat pasien pada posisi
trendelberg. Biasanya nyeri minimal dan pasien tidak memiliki keluhan
gangguan gerakan pada bahu kecuali jika terdapat cedera muskuloskeletal.2,9

 Pemeriksaan Laboratorium
Tidak ada pemeriksaan laboratorium yang spesifik untuk pasien dengan
cedera pada limpa namun biasanya perlu dilakukan pemeriksaan hematokrit
berulang dan typing serta crossmatching darah.9

 Radiologi
1. Foto Thoraks
Pemeriksaan foto thoraks terkadang tidak memiliki nilai diagnostik
pada kasus trauma abdomen karena tergantung pada evaluasi awal pasien.
Pemeriksaan ini berguna untuk mengetahui penyebab hipotensi
ekstraperitoneal. Selain itu, jika pada foto thoraks awal terlihat adanya
ruptur hemidiafragma maka ada kemungkinan terjadi trauma limpa.5,10

2. Foto Polos Abdomen


Pada pasien trauma abdomen biasanya jarang dilakukan kecuali
pada trauma tajam abdomen, misalnya untuk mengetahui lokasi dan
identifikasi peluru yang masuk pada luka tembak.10

3. DPL
Pemeriksaan diagnostic peritoneal lavage (DPL) sudah jarang
digunakan sekarag dan hanya dipilih ketika USG dan CT scan tidak
tersedia. Pemeriksaan ini tidak spesifik untuk trauma limpa namun dapat
mendeteksi adanya perdarahan aktif. Pemeriksaan ini bisa saja negatif jika
terdapat cedera pada diafragma karena cairan terkumpul pada rongga
pleura.9
Indikasi DPL pada pasien dengan trauma tumpul yaitu pasien
hemodinamik tidak stabil yang membutuhkan pemeriksaan CT scan dan

8
pasien dengan hipotensi yang tidak dapat dijelaskan darimana asalnya
dengan pemeriksaan fisik yang samar.12
Kontraindikasi absolut DPL adalah ketika pasien diindikasi untuk
tata laksana operatif karena pemeriksaan ini dapat menghambat transpor
pasien untuk ke ruang operasi. Sedangkan kontraindikasi relatif DPL yaitu
disfungsi hepatik berat, koagulopati berat, riwayat operasi pada abdomen,
dan hamil.12
Hasil pemeriksaan DPL positif jika pada saat aspirasi terdapat
darah lebih dari 10 mL, eritrosit lebih dari 100.000 sel/mm 3, leukosit lebih
dari 500 sel/mm3, atau jika terdapat sisa makanan dan garam empedu.13

4. FAST
Pemeriksaan focused assesment with sonography for trauma
(FAST) diindikasikan untuk semua pasien dengan trauma multipel dan
semua pasien yang diduga mengalami trauma abdomen. Pemeriksaan ini
dilakukan untuk mengetahui adanya cairan bebas intraperitoneal. Cairan
bebas ini berkumpul dibeberapa tempat yaitu kantung Douglas, fossa
splenorenal, kantung Morrison, dan perikardium.10,13
Kemampuan pemeriksaan FAST untuk mengetahui organ mana
yang mengalami perdarahan sangat terbatas. Cedera kecil dan hematom
subkapsular limpa dapat luput pada pemeriksaan FAST jika tidak
menimbulkan hemoperitoneum yang signifikan.9

5. CT scan
CT scan merupakan modalitas radiologi utama untuk pasien
dengan trauma. Pemeriksaan ini dapat menilai organ yang mengalami
trauma serta luasnya trauma tersebut. Selain itu, CT sangat akurat dalam
memprediksi perdarahan intraperitoneal
Ketika melihat CT scan pasien dengan trauma limpa, perlu dilihat
juga organ disekitarnya yaitu ginjal kiri dan distal pankreas.9
Beberapa komplikasi yang terjadi pada pemberian kontras
intravena yaitu contrast-induce nephropathy. Perlu diperhatikan bahwa

9
pemeriksaan CT scan ini membutuhkan transpor pasien sehingga dapat
terjadi perburukan pada keadaan klinis pasien.10
Tabel 2.1. Perbandingan DPL, FAST, dan CT pada Trauma Abdomen11
  DPL FAST CT Scan
Keuntungan  Deteksi dini  Deteksi dini  Dapat mendiagnosis
 Dapat dilakukan  Tidak invasif organ spesifik
dengan cepat  Dapat dilakukan dengan  Tidak invasif
 Dapat mengetahui cepat  Dapat diulang
cedera pada usus  Dapat diulang  Dapat menilai struktur
 Tidak membutuhkan  Tidak membutuhkan retroperitoneal
transpor dari area transpor dari area  Menilai struktur jaringan
resusitasi resusitasi lunak dan tulang
 Dapat menggambarkan
adanya udara ekstralumen
Kerugian  Invasif  Hasil bergantung  Mahal dan butuh waktu
 Spesifisitas rendah operator lebih lama
 Risiko cedera  Distorsi karena udara  Paparan radiasi dan
 Dapat mengganggu usus kontras IV
interpretasi CT scan  Trauma pada  Trauma pada diafragma,
dan FAST diafragma, usus, dan usus, dan pankreas luput
 Membutuhkan pankreas luput  Membutuhkan transpor
dekompresi  Tidak dapat menilai
 Trauma pada struktur retroperitoneal
diafragma luput secara keseluruhan
 Dipengaruhi oleh
habitus pasien
Indikasi  Pasien dengan  Pasien dengan  Pasien dengan
hemodinamik tidak hemodinamik tidak hemodinamik stabil pada
stabil pada trauma stabil pada trauma trauma abdomen tumpul
tumpul abdomen tumpul abdomen atau tajam
 Trauma tajam  Trauma tajam abdomen  Trauma tajam pada
abdomen tanpa tanpa indikasi punggung/flank tanpa
indikasi laparotomi laparotomi segera indikasi segera
segera laparotomi

10
2.2.4. Derajat Trauma Limpa
Terdapat berbagai macam sistem penilaian derajat trauma limpa
berdasarkan gambaran pada CT scan dan temuan saat intraoperatif. Berdasarkan
American Association for the Surgery of Trauma (AAST), kerusakan limpa dibagi
menjadi derajat 1-5.9

Tabel 2.2. Derajat kerusakan limpa AAST 1994 revisi9


Derajat Tipe Cedera Deskripsi Cedera
I Hematom Subkapsular, <10% luas permukaan
Laserasi Robeknya kapsul dengan kedalaman parenkim <1 cm
II Hematom Subkapsular, 10-50% luas permukaan
Laserasi  Kedalaman parenkim 1-3 cm tanpa melibatkan pembuluh
darah trabekular
III Hematom Subkapsula, >50% luas permukaan atau melebar; ruptur
subkapsular atau hematom parenkim; hematom
intraparenkim >5cm atau melebar
Laserasi > 3 cm kedalaman parenkim atau melibatkan pembuluh
trabekular
IV Laserasi Laserasi melibatkan pembuluh segemental atau hilum
sehingga menyebabkan devaskularisasi berat (>25%
limpa)
V Laserasi Limpa hancur
Vaskular Cedera vaskular hilum dengan devaskularsasi limpa

Gambaran trauma limpa pada saat pemeriksaan CT scan dan intraoperatif


bisa saja berbeda. Perbedaan ini terjadi disebabkan evolusi dari trauma limpa
karena adanya perbedaan waktu dari pemeriksaan CT scan dengan operasi.
Biasanya trauma limpa yang ditemukan pada saat intraoperatif lebih berat
dibandingkan perkiraan dari pemeriksaan CT scan maupun sistem penilaian lain.9

11
Gambar 2.4. Derajat Trauma Limpa
Sumber : Moore E, Feliciano D, Mattox K. Trauma. 8 ed. New York: McGraw
Hill Education; 2017.5

2.2.5. Tata Laksana


Secara umum tata laksana pasien dengan trauma limpa dibagi dua yaitu
tata laksana nonoperatif dan tata laksana operatif. Ada beberapa hal yang harus
dipertimbangkan untuk menentukan tata laksana yang sesuai untuk pasien yaitu

12
status hemodinamik, usia, derajat keparahan trauma limpa, jumlah
hemoperitoneum, dan cedera lain yang terkait.9
Faktor yang paling penting dalam pemilihan pasien adalah hemodinamik
pasien. Pasien dengan tekanan darah sistolik kurang dari 110 mmHg memiliki
kecenderungan mengalami perburukan. Biasanya pasien yang hemodinamik nya
tidak stabil pada fase prehospital dan tetap tidak stabil saat di ruang resusitasi
akan langsung dibawa ke ruang operasi atau akan dilakukan pemeriksaan USG.9
Selain status hemodinamik pasien, hal lain yang harus dipertimbangkan
adalah pemeriksaan abdomen. Sangat penting untuk menentukan adanya
peritonitis difus pada pasien yang sadar penuh dan kooperatif saat pemeriksaan.
Jika ternyata terdapat peritonitis difus maka hal tersebut merupakan tanda adanya
trauma intestinal dan perlu dilakukan eksplorasi abdomen.9
Pertimbangan lain yang penting yaitu fasilitas yang tersedia dan
karakteristik pasien. Biasanya pasien anak merupakan kandidat untuk tata laksana
nonoperatif karena angka kejadian perdarahan yang tertunda lebih sedikit. Selain
itu, pasien dengan cedera berat lain misalnya cedera kepala merupakan
kontraindikasi relatif untuk dilakukan tata laksana nonoperatif.9

 Nonoperatif
Penatalaksanaan pasien trauma limpa dengan nonoperatif saat ini lebih
sering dipilih. Sebuah studi menunjukkan tingkat kesuksesan tata laksana
nonoperatif pada pasien anak lebih dari 95% dan pasien dewasa sekitar 80-
94%. Namun, tata laksana nonoperatif juga harus mempertimbangkan fasilitas
yang tersedia.9
Setelah pasien dipilih untuk tata laksana nonoperatif, resusitasi awal harus
dilanjutkan dengan prosedur terapi dan diagnostik lainnya. Umumnya pasien
harus dirawat di ruang perawatan intensif (ICU) jika trauma limpa lebih dari
derajat dua dan pasien dengan cedera lainnya yang membuat pemeriksaan
fisik serta pemeriksaan hematokrit menjadi sulit. Pasien dengan trauma limpa
derajat 1 juga bisa dirawat di ICU jika tidak memungkinkan pemantauan
ketat.9

13
Pada tata laksana awal pasien harus tetap dalam keadaan puasa karena
dikhawatirkan akan membutuhkan intervensi operasi. Tanda vital dan
pengeluaran cairan pasien harus dipantau ketat. Selain itu, perlu dilakukan
pemeriksaan fisik dan hematokrit berulang untuk mengetahui perdarahan.
Perlu juga dipertimbangkan pemberian vaksin terhadap infeksi yang
disebabkan oleh organisme seperti Streptococcus sp, meningokokus, dan
Hemophilus influenzae.9
Jika tata laksana nonoperatif berhasil dalam 24-48 jam perlu
dipertimbangkan pemberian profilaksis terhadap deep venous thrombosis
(DVT). Setelah pasien diperbolehkan pulang, edukasi yang harus diberikan
kepada pasien yaitu harus menghindari olahraga atau aktivitas tertentu yang
dapat menyebabkan hantaman langsung pada perut pasien selama 2-6 bulan.9

 Operatif
Sekitar 40% pasien dengan trauma limpa membutuhkan tata laksana
operatif segera. Secara umum, antibitoik harus diberikan sebelum dilakukan
operasi. Selain itum perlu juga dipasang nagostric tube (NGT) untuk
mengurangi volume lambung dan untuk memudahkan visualisasi dan
mobilisasi dari limpa saat operasi.9
Insisi midline merupakan insisi pilhan pada operasi abdomen karena dapat
dilakukan dengan cepat serta mudah untuk dilebarkan secara superior dan
inferior. Pada operasi trauma limpa mungkin perlu melebarkan insisi ke
superior kiri agar kuadran kiri atas lebih terlihat.9
Setelah mobilisasi limpa selanjutnya akan ditentukan tindakan yang harus
dikerjakan berdasarkan derajat trauma limpa, kondisi pasien secara
keseluruhan, dan adanya trauma organ abdomen lainnya. Jika limpa tidak
mengalami cedera atau cedera ringan tanpa perdarahan, limpa dikembalikan
ke kuadran kiri atas.9
Jika trauma limpa derajat 2-3 dan keadaan pasien stabil perlu
dipertimbangkan untuk dilakukan splenorrhapi. Namun, saat ini splenorrhapi
sudah jarang dikerjakan karena tata laksana non operatif biasanya lebih
dipilih. Splenorrhapi adalah operasi yang bertujuan mempertahankan limpa

14
yang fungsional. Tindakan bedah ini terdiri dari membuang jaringan non vital,
mengikat pembuluh darah yang terbuka, dan menjahit kapsul lien yang
terluka.2,9
Splenektomi harus dilakukan pada pasien yang tidak stabil, ada trauma
berat lain, atau trauma limpa derajat 4-5. Splenektomi total dilakukan jika
terdapat kerusakan parenkim limpa yang luas, avulsi limpa, kerusaan
pembuluh darah hilum, dan kegagalan splenorrhapi. Sedangkan bila keadaan
dan ruptur limpa tidak total sedapat mungkin limpa tetap dipertahankan.
Komplikasi yang dapat terjadi setelah splenektomi yaitu komplikasi pada
paru-paru, pankreas, perdarahan, dan tromboemboli.1,2,9

Gambar 2.5. Algoritma Diagnosis dan Tata Laksana Trauma Limpa

15
Sumber : Moore E, Feliciano D, Mattox K. Trauma. 8 ed. New York: McGraw
Hill Education; 2017.5
2.2.6. Komplikasi
Beberapa komplikasi yang dapat terjadi ketika trauma limpa antara lain:6
1. Syok hemoragik;
2. Disseminated inravascular coagulation (DIC) karena perdarahan masif
dan transfusi darah;
3. Cedera kauda (ekor) pankreas;
4. Splenic artery pseudoaneurysm;
5. Splenic arteriovenous fistula.

16
DAFTAR PUSTAKA

1. Brunicardi C, Andersen D, Billiar T. Schwartz’s Principles of Surgery. 10


ed. New York: McGraw Hill Education; 2015.
2. Sander M. Kasus Serial Ruptur Lien Akibat Trauma Abdomen : Bagaimana
Pendekatan Diagnosis dan Penatalaksanaannya. J Keperawatan Fak Kedokt
Univ Muhammadiyah Malang. Januari 2013;14(1):18–28.
3. Mehta N, Babu S, Venugopal K. An Experience with Blunt Abdominal
Trauma: Evaluation, Management and Outcome. Clin Pract. 18 Juni
2014;4(2):34–7.
4. Clinical Practice Guidelines: Trauma/Abdominal Trauma [Internet].
Queensland Government; 2016. Tersedia pada:
https://www.ambulance.qld.gov.au/docs/clinical/cpg/CPG_Abdominal
%20trauma.pdf
5. Moore E, Feliciano D, Mattox K. Trauma. 8 ed. New York: McGraw Hill
Education; 2017.
6. Shenoy K, Shenoy A. Manipal Manual of Surgery. 4 ed. New Delhi: CBS
Publishers & Distributors; 2014.
7. Standring S. Gray’s Anatomy. 41 ed. Philadelphia: Elsevier; 2016.
8. Moore K, Dalley A, Agur A. Moore Clinically Oriented Anatomy. 7 ed.
Philadelphia: Wolters Kluwer; 2014.
9. Chaudhry S, Bhimji S. Anatomy, Abdomen and Pelvis, Spleen. Florida:
StatPearls Publishing; 2018.
10. Walls R, Hockberger R, Gausche-Hill M. Rosen’s Emergency Medicine
Concepts and Clinical Practice. Vol. 2. Philadelphia: Elsevier; 2018.
11. Merrick C, Haskin D, Peterson N. Advance Trauma Life Support Student
Course Manual. 10 ed. Chicago: American College of Surgeons; 2018. 474
hlm.
12. Cydulka R, Cline D, Ma J. Tintinalli’s Emergency Medicine Manual. 8 ed.
New York: McGraw Hill Education; 2018.
13. Wyatt J, Illingworth R, Graham C, Hogg K. Oxford Handbook of
Emergency Medicine. 4 ed. Oxford: Oxford University Press; 2012.

17

Anda mungkin juga menyukai