Anda di halaman 1dari 24

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Berdasarkan data Kementerian Negara Lingkungan Hidup tahun 2006 bahwa

luas hutan mangrove Indonesia mencapai 4,3 juta hektar. Sedangkan menurut FAO

(2007) bahwa Indonesia mempunyai hutan mangrove seluas 3.062.300 juta hektar

pada tahun 2005, yang merupakan 19 % dari total luas hutan mangrove di seluruh

dunia.

Provinsi Gorontalo memiliki potensi sumberdaya pesisir di sebelah Utara

dan Selatan wilayahnya, khususnya sumberdaya hutan mangrove dengan total luas

hutan mangrove sekitar ± 12.074,74 ha. Salah satu kawasan pesisir Gorontalo di

sebelah utara yang memiliki potensi sumberdaya hutan mangrove yakni wilayah

pesisir kecamatan Anggrek, Kabupaten Gorontalo Utara dengan luas hutan mangrove

± 1.441,04 ha, atau 5,29% dari seluruh luasan wilayahnya 27.218,79 ha (Sumber,

tahun).

Kelangsungan fungsi ekosistem mangrove sangat ditentukan oleh kelestarian

semua komponen yang ada dalam ekosistem tersebut, baik komponen spesies

mangrove penyusunan komunitas hutannya, maupun yang terlibat dan berasosiasi

satu sama lain dalam komunitas sehingga membentuk stabilitas ekosistem mangrove.

Informasi kebergaman jenis mangrove dan kompleksitas struktur habitat mangrove di

sebelah Timur kawasan pesisir Gorontalo Utara oleh Kasim et al., (2017) meliputi

pesisir Kecamatan Atinggola hingga Tomilito, dan di bagian Tengah (Kasim dkk,

2018) meliputi kawasan Pulau Ponelo (kecamatan Kwandang) dan Pulau Dudepo

1
(Kecamatan Anggrek), secara umum menunjukkan bahwa kawasan pesisir Gorontalo

Utara memiliki kekyaan jenis mangrove yang relative tinggi, di samping juga

keberadaan spesies-spesies mangrove yang penting bagi konservasi global menurut

IUCN, seperti Avicennia lanata (status rentan), serta Aegiceras floridum dan Ceriops

decandara (status hampir rentan) di kedua wilayah. Berdasarkan uraian di atas,

keberadaan spesies mangrove langka di kawasan pesisir Gorontalo Utara dan

hubungan-hubungan ekologis yang berlangsung di dalam komunitas tersebut perlu

dikaji.

Pesisir Desa Iludulunga dan Langge adalah di antara kawasan tempat

sebaran mangrove di dalam wilayah Kecamatan Anggrek, dimana kawasan ini

memiliki kedudukan yang strategis karena terletak dalam zona pertumbuhan di

kawasan Barat Kabupaten Gorontalo Utara disebabkan kedekatan kawasan tersebut

dengan beberapa sarana vital, seperti transportasi laut (Pelabuhan Anggrek), dan

transportasi darat (Trans Suawesi), serta pertumbuhan kawasan lain seperti

permukiman dan industri (gudang) dan wisata. Kondisi ini akan menciptakan keadaan

sarat dengan berbagai kepentingan yang dikhawatrikan akan memperngaruhi

keberadaan sumberdaya pesisir di kawasan ini, termasuk keberadaan sumberdaya

mangrove.

Dalam rangka melengkapi basis data potensi sumberdaya mangrove di

pesisir Gorontalo Utara, penelitian tentang keberadaan spesies Avicennia lanata di

kedua ini diharapkan dapat menjadi bagian upaya konservasi yang bermanfaat bagi

usulan perlindungan kawasan dan pengelolaan sumberdaya bagi Pemerintah setempat

dan Pemerintah Provinsi Goorontalo.

2
Ekosistem apa? di perairan mengandung berbagai detritus, ratusan jenis

organisme termasuk bakteri, fitoplankton, zooplankton, ikan, mamalia, burung, dll.

Semua komponen ini terhubung dalam rantai makanan yang kompleks dengan

interaksi yang berkembang. Sampai saat ini pengelolaan makanan perikanan telah

banyak berdasarkan pendekatan spesies tunggal (Beverton, 1984). Namun,

pengelolaan ekosistem merupakan pergeseran paradigm, serta sikap baru terhadap

eksploitasi sumber daya laut terbarukan (Christensen, et al. 1996).

Tarumingkeng (1994) dalam Paillin (2009) manyatakan bahwa asosiasi

merupakan ukuran kemampuan atau keeratan antara spesies. Pada hakekatnya mahluk

hidup di bumi ini tak sendirian atau hanya hidup bersama individu-individu dari

masyarakat kalangannya sendiri. Hal yang dijumpai di alam adalah campuran dari

berbagai spesies. Walaupun ada spesies yang tidak terpengaruh oleh hadirnya spesies

lain, tetapi pada umumnya terdapat dua atau lebih spesies berinteraksi, sehingga

keadaan populasi atau suatu spesies akan berbeda tanpa kehadiran dari spesies-

spesies lain yang berinteraksi dengannya.

Selama ini dipahami bahwa ekosistem di perairan memiliki tingkat

keterkaitan yang sangat tinggi (ekosistem mangrove, terumbu karang dan padang

lamun). Tingkat keterkaitannya dipengaruhi oleh berbagai hal diantaranya oleh faktor

fisik, biologi dan kimia. Salah satu dari berbagai hal yang dapat dijadikan indikator

kualitas ekositem yakni adanya asosiasi di antara organisme dengan mangrove.

Selaras dengan hal ini dalam rangka mengetahui kondisi tersebut maka penelitian

tentang asosiasi organisme antar mangrove A. lanata di kawasan desa Langge dan

Ilodulunga sangat perlu untuk dilakukan.

3
1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah dijabarkan di atas, maka dapat

dirumuskan masalah sebagai berikut:

1. Bagaimana kondisi keberadaan dan sebaran jenis mangrove A. lanata di

Desa Langge dan Ilodulunga Kecamatan Anggrek Kabupaten Gorontalo

Utara ?

2. Bagaimana assosiasi oragnisme yang ada antara dengan spesies A. lanata

dalam komunitas hutan mangrove di Desa Langge dan Iludulunga?

3. Apa Bagaimana jenis pemanfaatan jenis mangrove A. Lanata oleh

masyarakat di Desa Langge dan Ilodulunga Kecamatan Anggrek Kabupaten

Gorontalo Utara ?

1.3 Tujuan

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Mengetahui kondisi dan bentuk sebaran jenis angrove A. lanata pada

kawasan hutan mangrove di Desa Iludulunga dan Desa Langge berdasarkan

teknik pelacakan spesies.

2. Untuk Mengetahui jenis-jenis bagaimana organisme dalam komunitas hutan

mangrove yang berasosiasi organisme pada dengan spesies mangrove A.

lanat, di Desa Langge dan Desa Ilodulunga.

3. Untuk Mengetahui jenis-jenis pemanfaatan adanya asosiasi organisme pada

mangrove A. lanata oleh masyarakat di Desa Langge dan Desa Ilodulunga

Kecamatan Anggrek Kabupaten Gorontalo Utara.

4
1.4 Manfaat

Manfaat penelitian ini adalah:

1. Manfaat teoritis

Sebagai acuan dan perbandingan bagi penelitian selanjutnya yang ingin

melakukan penelitian dengan topic yang sama.

2. Manfaat praktis

Sebagai bahan masukkan bagi masyarakat maupun mahasiswa tentang

pentingnya meningkatkan pemahaman dan pengetahuan dalam menjaga dan

melestarikan hutan mangrove sebagai habitat bagi organisme yang

beraosiasi.

5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Ekosistem Mangrove

Mangrove (Bakau) merupakan komunitas tumbuhan yang hidup di dekat

area pasang surut dengan kadar tanah bersalinitas. Tumbuhan ini merupakan

tumbuhan tingkat tinggi, dimana sudah memiliki daun, batang, dan akar yang sudah

dapat dibedakan. Tumbuhan mangrove banyak ditemukan di pantai teluk dangkal,

estuary, delta, dan daerah pantai yang terlindung (Milantara, 2006).

Di kawasan pesisir, mangrove dapat hidup dengan baik dengan memiliki

banyak fungsi, baik secara ekologis maupun ekonomis, maka ekosistem mangrove

tersebut akan mendukung lingkungan pantai, menjadi tempat yang ideal bagi ikan-

ikan berkembang biak, rumah yang nyaman begi kepiting dan burung air (Fachrul,

2007). Salah satu fungsi ekologisnya yaitu merupakan habitat dari berbagai jenis

biota laut, termasuk biota penempel. Biote penempel terdapat pada berbagai (daun,

batang, akar, dll) dari vegetasi mangrove sebagian besar berasal dari golongan

krustasea, bivalvia dan gastropoda (Tapilatu & Pelasula, 2012).

Komunitas mangrove memiliki peran penting bagi pertumbuhan, reproduksi,

pemijahan, sumber pakan dan nutrisi bagi fauna-fauna yang umumnya merupakan

komoditas ekonomi bagi masyarakat sekitar daerah pantai. Biota perikanan tersebut

yang meliputi: ikan, udang, kepiting, kerang, dan biota perikanan lainnya yang

bersifat komorsia (Dirjen Rehabilitas Lahan dan Perhutanan Sosial, 2008).

Nilai fungsi mangrove berasosiasi dengan keberadaan sumberdaya perikanan

didekati dengan jumlah hasil tangkapan ikan disekitar hutan mangrove tersebut.

6
Seperti contoh hasil tangkapan dari Belerang pada tahun 1996 diperoleh sebanyak

7.396 ton. Dengan asumsi jumlah produksi tetap dan berkorelasi secara linear dengan

luas hutan mangrove, maka hasil tangkapan ikan di sekitar hutan mangrove tersebut

adalah 0,448 ton/ha/th. Bila harga ikan diasumsikan tetap sebesar US$ 1.163,04/ton

(Gellwyn dan Dahuri, 1999) dalam Kusumastanto (2004), maka nilai fungsi

ekonomis tersebut adalah sebesar US$ 521,25/ha/tahun.

2.2 Deskripsi dan Klasifikasi Api-api bulu (Avcennia lanata)

Api-api merupakan salah satu tumbuhan mangrove yang termasuk kedalam

Famili Avicenniaceae/Verbeceae. Api-api banyak ditemukan di ekosistem mangrove

yang terletak paling luar atau dekat dengan lautan. Hidup di tanah berlumpur agak

lembek atau dengkal, dengan substrat berpasir, sedikit bahan organik dan kadar

garam tinggi (Afzal dkk, 2011). Klasifikasi Avicennia lanata menurut Katimura

(1997) sebagai berikut:

Kingdom : Plantae

Divisi : Angiosperms

Kelas : Eudicots

Ordo : Lamiales

Family : Acthtaceae

Genus : Avicennia

Species : A. lanata

7
Gambar 1. Mangrove Avicennia lanata

Deskripsi umum : Belukar atau pohon yang tumbuh tegak atau menyebar,

dapat mencapai ketinggian hingga 8 meter. Memiliki akar nafas dan berbentuk pensil.

Kulit kayu seperti kulit ikan hiu berwarna gelap, coklat hingga hitam.

a) Daun memiliki kelenjar garam, bagian bawah daun putih kekuningan dan ada

rambut halus. Unit & Letak: sederhana & berlawanan. Bentuk: elips. Ujung:

membundar– agak meruncing. Ukuran: 9 x 5 cm.

b) Bunga bergerombol muncul di ujung tandan, bau menyengat. Letak: di ujung

atau ketiak tangkai/ tandan bunga. Formasi: bulir (8-14 bunga). Daun

Mahkota: 4, kuning pucat-jingga tua, 4-5 mm. Kelopak Bunga: 5. Benang

sari: 4.

c) Buah seperti hati, ujungnya berparuh pendek dan jelas, warna hijau-agak

kekuningan. Permukaan buah berambut halus (seperti ada tepungnya).

Ukuran: sekitar 1,5 x 2,5 cm.

d) Ekologi tumbuh pada dataran lumpur, tepi sungai, daerah yang kering dan

toleran terhadap kadar garam yang tinggi. Diketahui (di Bali dan Lombok)

8
berbunga pada bulan Juli - Februari dan berbuah antara bulan November

hingga Maret.;

e) Penyebaran : Kalimantan, Bali, Lombok, Semenanjung Malaysia, Singapura.;

Kelimpahan : Tidak diketahui.

2.3 Sebaran Avicennia lanata di Dunia

Spesies ini memiliki jajaran yang berbeda di Asia Tenggara dan terancam

oleh perusakan habitat mangrove yang berkelanjutan untuk pemukiman manusia di

dalam jajarannya, terutama pada bagian ekstremitasnya. Habitat mangrove dalam

rentang spesies ini telah menurun setidaknya 30% selama periode dua puluh lima

tahun (1980-2005). Tidak ada data untuk memperkirakan penurunan populasi selama

periode tiga generasi (120 tahun). Spesies ini terdaftar sebagai Rentan di bawah

kriteria A. Jika data tambahan pada penurunan populasi masa lalu dapat ditemukan,

spesies ini mungkin memerlukan penilaian ulang dan mungkin listing di kategori

ancaman yang lebih tinggi. Spesies ini memiliki jangkauan terpisah, dan ditemukan di

Pulau Natuna, Kepulauan Halmahera dan Irian Jaya, Indonesia, Malaysia, Filipina,

dan Papua Nugini (IUCN, 2010).

Spesies ini ditemukan di wilayah intertidal tinggi yang sering bagian

pertama dari habitat mangrove untuk dihapus atau dipengaruhi oleh aktivitas

manusia, termasuk pembukaan lahan untuk budidaya, pertanian dan pembangunan

pesisir. Walaupun estimasi lokal tidak pasti karena perbedaan definisi legislatif apa

adalah bakau dan ke ketidaktepatan dalam menentukan kawasan mangrove, perkiraan

konsensus saat kehilangan mangrove di laporan seperempat abad lalu penurunan

sekitar 30% di kawasan mangrove di negara-negara dalam ini berbagai spesies sejak

9
tahun 1980 (FAO, 2007). Semua ekosistem bakau terjadi dalam permukaan laut dan

tinggi elevasi pasang surut, dan memiliki spesies yang berbeda zonasi yang

dikendalikan oleh ketinggian substrat relatif terhadap permukaan laut. Hal ini karena

variasi terkait di frekuensi elevasi, salinitas dan aksi gelombang (Duke, dkk, 1998).

2.4 Arti Penting Ekosistem

Hutan mangrove merupakan ekosistem yang kompleks terdiri atas floradan

fauna daerah pantai, hidup sekaligus di habitat daratan dan air laut, antara batas air

pasang dan surut, berperan dalam melindungi garis pantai dari erosi, gelombang laut

dan angin topan (Murdiyanto, 2003). Menurut Lubis (1999) diacu dalam (Santoso,

2005), hutan mangrove memiliki fungsi utama yaitu:

2.4.1 Fungsi Fisik


1) Menyerap CO2 melalui proses fotosintesis.

2) Mencegah intrusi air laut ke darat.

3) Melindungi pantai dari penggerusan ombak.

4) Menyaring dan menguraikan bahan-bahan organik yang datang dari darat di

bawah permukaan air hujan dan air sungai.

5) Pada pantai tempat sungai bermuara yang membawa endapan lumpurdalam

jumlah besar, hutan mangrove berfungsi mempercepat proses pembentukan

daratan.

2.4.2 Fungsi Biologis

1) Hutan mangrove merupakan subsistem yang memiliki tingkatan

produktivitas bahan pelapukan dan organik mati yang sangat tinggi. Bahan

10
pelapukan dan organik mati ini ternyata sumber makanan yang sangat baik

dan penting bagi hewan-hewan seperti udang, kepiting, dan kerang.

2) Berkaitan erat dengan poin di atas, hewan pemakan bahan pelapukan dan

organik mati tersebut kemudian menjadi makanan bagi hewan pemakan

daging termasuk ikan.

3) Sebagai tempat berpijah berbagai jenis biota

4) Sebagai habitat alami berbagai jenis burung, reptilian, dan kera

2.4.3 Fungsi Ekonomi

1) Sebagai sumber kayu untuk kayu bakar, arang, bahan bangunan, alat-alat

rumah tangga, dan bahan pertanian.

2) Sebagai bahan industry (makanan, obat-obatan, tekstil, penyamak kulit, pulp,

rayon dan kertas).

3) Sebagai tempat pertambakan udang dan ikan, tempat pembuatan garam dan

juga sebagai tempat rekreasi.

2.5 Manfaat Avicennia lanata

Menurut Giesen (1991), biji pohon mangrove ini direbus dan dimakan

dibeberapa tempat dijual di pasar sebagai sayuran. Bunga-bunga harum menghasilkan

beberapa madu terbaik saat dikumpulkan oleh lebah, kayu yang digunakan untuk

bangunan. Hal ini jarang digunakan untuk membuat arang dan digunakan sebagai

kayu bakar hanya untuk ikan asap atau karet. Pohon mangrove ini merupakan pohon

yang tumbuh dengan cepat diantara beberapa digunakan dalam penanaman kembali

bakau untuk melindungi garis pantai.

11
2.6 Asosoasi Organisme dengan Ekosistem Mangrove

Mangrove merupakan habitat bagi berbagai jenis satwa liar seperti primata,

reptilia dan burung. Selain sebagai tempat berlindung dan mencari makan, mangrove

juga merupakan tempat berkembang biak bagi burung air. Bagi berbagai jenis ikan

dan udang, perairan mangrove merupakan tempat ideal sebagai daerah asuhan, tempat

mencari makan dan tempat pembesaran anak ( Rusila, 2012).

Khouw (2008) dalam Pailin (2009) menyatakan bahwa asosiasi jenis

digunakan untuk melihat hubungan suatu jenis Mangrove dengan jenis lainnya pada

suatu habitat. Dimana ada dua tipe asosiasi jenis yaitu asosiasi yang bersifat positif

dan negative, yang dapat dilihat dari adanya interaksi spesies. Dimana interaksi antara

spesies disebut dengan asosiasi yang polanya ditentukan oleh apakah dua spesies

memilih pada suatu habitat yang sama, mempunyai daya penolakkan ataupun daya

tarik, atau bahkan tidak berinteraksi sama sekali. Dengan demikian suatu asosiasi

biasanya bersifat positif, negative atau tidak ada asosiasi. Asosiasi posostif diperoleh

jika kedua spesies lebih sering bersama dari pada sendiri-sendiri. Sedangkan asosiasi

negative diperoleh jika kedua spesies ditemukan sendiri-sendiri.

Muller dan Ellenberg (1974) dalam Wahyudi, dkk. (2010) menyatakan

bahwa asosiasi antar jenis diartikan sebagai interaksi antar dua jenis atau interaksi

antar beberapa spesies. Adanya interaksi antar jenis akan menghasilkan suatu asosiasi

yang polanya sangat ditentukan oleh apakan dua jenis memilih atau menghindari

habitat yang sama, mempunyai daya penolakan atau tarik, atau bahkan tidak

berinteraksi sama sekali. Lebih lanjut dijelaskan , bahwa asosiasi ada dua macam,

yaitu asosiasi positif dan asosiasi negative. Asosiasi positif berarti secara tidak

12
langsung beberapa jenis mahluk hidup berhubungan antara satu dengan yang lainnya.

Sedangkan asosiasi negative berarti tidak secara tidak langsung beberapa jenis

mempunyai kecendurungan untuk meniadakan atau mengeluarkan yang lainnya atau

juga berarti dua jenis mahluk hidup tersebut mempunyai pengaruh atau reaksi yang

berbeda dalam lingkungan.

13
BAB III
METODE PENELITIAN

3.1 Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilaksanakan terhitung mulai bulan Agustus 2018 yang diawali

dengan kegiatan survey awal lapangan dilanjukan pada bulan November 2018.

Analisis sampel dilakukan di Laboratorium. Lokasi penelitian bertempat di Desa

Ilodulunga dan di Desa Langge Kecamatan Anggrek Kabupaten Gorontalo Utara

Provinsi Gorontalo. Secara geogafis lokasi penelitian terletak pada posisi 122 0 49’

23.126’’ – 1220 50’ 40.127” BT dan 00 48’ 12.738” – 00 49’ 57, 529” LU.
0 ° 5 0 '3 0 " N

122°49'0"E 122°49'30"E 122°50'0"E 122°50'30"E 122°45'0"E 122°46'30"E 122°48 '0"E 122°49'30"E 122°51'0"E 122°52'30"E
MONANO
0 ° 4 8 ' 0 " N0 ° 4 9 ' 3 0 " 0N ° 5 1 ' 0 " N

0 ° 4 8 ' 0 " N0 ° 4 9 ' 3 0 " 0N ° 5 1 ' 0 " N


PO NE LO K EPULA UAN

.
0 ° 4 9 '3 0 " N 0 ° 5 0 '0 " N

0 ° 4 9 '3 0 " N 0 ° 5 0 '0 " N

0 0.3 0.6 1.2 1.8


Km ANG G REK

KW ANDA NG
0 ° 4 8 '3 0 " N 0 ° 4 9 '0 " N

0 ° 4 8 '3 0 " N 0 ° 4 9 '0 " N

122°45'0"E 122°46'30"E 122°48 '0"E 122°49'30"E 122°51'0"E 122°52'30"E


POPALO ILODULUNGA

SUMA LATA

BI AU SUM ALATA TI MUR


TO LI NG GU LA

ANG G RE K
M ONANO PO NELO K EPULA UAN TO MI LI TO
HIYALOOYILE GE NTUM ARAYA
LANGG E ANG GREK
AT ING GO LA
KWANDA NG

TOLONGIO
0 ° 4 8 '0 " N

0 ° 4 8 '0 " N

TUTUWOTO

122°49'0"E 122°49'30"E 122°50'0"E 122°50'30"E

Gambar 2. Lokasi penelitian

3.2 Alat dan Bahan

3.2.1 Alat

14
Secara umum alat yang digunakan mencakup instrument terkait

pengumpulan data mangrove, organisme dan kualitas lingkungan serta alat tulis

menulis. Secara lengkap daftar alat dan fungsinya masing-masing yang digunakan

dalam penelitian ini disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1. Alat yang digunakan dalam penelitian


No. Alat Fungsi
Untuk mengukur kualitas air (suhu, pH, dan
1. Handylap-pH
salinitas)
2. Kamera Dokumentasi
GPS (Global Positioning
3. Mengetahui titik posisi stasiun
Sistem)
Mengukur jarak stasiun dan jarak setiap garis
4. Roll meter
transek
5. Alat tulis menulis Untuk menctat data
Untuk memotong tali pada saat pembuatan
6. Kater
transek/plot
7. Alat tulis Untuk mencatat data hasil penelitian

3.2.2 Bahan

Bahan yang digunakan terdiri atas bahan untuk kebutuhan penggalian

informasi responden, bahan pelengkap peralatan, serta obyek dalam penelitian, secara

lengkap disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2. Bahan yang digunakan dalam penelitian


No. Bahan Fungsi
1. Aqudes Membersihkan alat
2. Kertas label Menandai sampel
3. Plastik sampel Menyimpan sampel
4. Tisu Membersihkan alat
5. Organisme Bahan yang diteliti
6. Tali rapiah Untuk membuat plot kuadran
Untuk mengawetkan sampel yang ditemukan saat
7. Alkohol 75 %
penelitian

15
3.3 Prosedur Penelitian

Penentuan
Penempatan
Persiapan lokasi
plot
pengamatan

Pengambilan
Analisi data Wawancara
data

Gambar 2. Prosedur Penelitian

3.4 Metode Pengumpulan Data

3.4.1 Pengukuran parameter lingkungan

Pengukuran parameter lingkungan dalam penelitian ini dilakukan untuk

mendapatkan data penunjang lingkungan. Adapun parameter lingkungan yag diukur

yaitu suhu, pH, salinitas, dan substrat. Pengambilan contoh air untuk analisis kualitas

fisik air dilakukan secara bersamaan dengan pengambilan data organisme.

Pengukuran kualitas air ini menggukana alat ukur handylap-pH meter yang mengukur

(suhu, pH, dan salinitas) sekaligus. Sedangkan pengukuran parameter untuk substrat

yaitu di analisis di laboratorium.

3.4.2 Penempatan plot dan pengambilan sampel

Metode penelitian yang dipakai dalam penelitian ini adalah metode kuadran

atau Point Centered Quarter Method dengan urutan sebagai berikut:

16
a. Melakukan survey awal di desa Langge dan di desa Ilodulunga untuk melihat

keberadaan komunitas jenis mangrove A. lanata untuk menentukan lokasi

pengambilan sampel.

b. Pada tiap-tiap jalur cabang yang dibuat kemudian ditentukan titik pengukuran,

titik pengukuran tersebut ditandai dengan tiap penemuan spesies mangrove A.

lanata. Interval jarak antara titik pengukuran satu dengan titik pengukuran

lainnya berjarak 30 meter.

c. Tiap titik pengukuran tersebut dibuat transek lingkaran dengan radius transek

(r) sejauh 5 meter dengan membentangkan tali rafia sambil berputar

mengelilingi pohon mangrove A. lanata yang ditemukan. Sehingga, dengan

demikian luas pengamatan tiap point kuadrannya adalah seluas (r2) 78.5 m2.

d. Pada tiap setiap pengukuran ditentukan empat garis kuadran (dalam

pelaksanaannya garis ini hanya dikhayalkan saja). Kemudian pada saat

kuadran ditentukan tiap jenis pohon yang terdapat dalam kuadran di catat

jenisnya, diukur diameter setinggi dada, dan jarak pohon tersebut terhadap

titik pengukuran. Pencatatan jenis pohon dilakukan dengan bantuan seorang

pengenal pohon setempat.

e. Kemudian dari setiap plot diamati semua jenis organisme yang ada pada

mangrove jenis A. lanata. Setiap penemuan spesies organisme yang ada dalam

plot masing-masing diambil dua individu untuk mewakili setiap jenis sampel

organisme. Kemudian disimpan dan dimasukkan kedalam kantong plastik

17
berisi air laut dan ditambahkan Alkohol 75 % secukupnya, diberi label untuk

diindentifikasi di laboratorium (Anonymus, 2002).

Keterangan Gambar

= posisi awal PIT (point intercept transect) pelacakan

= posisi berikut PIT (point intercept transect) pelacakan

= arah jalur pelacakan peletakkan PIT (point intercept transect)


20 m
30 m

30 m
20 m
20 m
30 m

Gambar 3. Bentuk Jalur lintasan, ukuran transek, dan jarak interval metode transek
PCQ (Point Centered Quarter) pelacakan jenis mangrove A. lanata

3.4.3 Penentuan informan masyarakat

1. Populasi

Populasi dalam penelitian ini adalah penduduk yang berdomisili di

Desa Langge dan di Desa Ilodulunga, Kecamatan Anggrek, Kabupaten

Gorontalo Utara.

2. Sampel Masyarakat Responden

Metode kuisioner pemanfaatan mangrove A. lanata oleh masyarakat

penentuan sampelnya menggunakan Purposive sampling, yaitu teknik

sampling yang digunakan peneliti jika memiliki petimbangan-pertimbangan

tertentu dalam pengambilan sampelnya (Idrus dalam Ariana 2011). Dalam

18
hal ini, yaitu masyarakat sekitar hutan mangrove yang berinteraksi langsung

dengan A. lanata. Di mana jumlah sampel dalam penelitian ini sebanyak 15

orang.

Sampel masyarakat setempat diambil untuk memperoleh informasi

mengenai keadaan ekosistem mangrove itu sendiri. Sampel yang diambil

adalah masyarakat yang bertempat tinggal di kawasan Desa Langge dan di

Desa Iloduluga. Sampel tersebut peneliti tetapkan karena di anggap mampu

memberikan informasi yang dibutuhkan.

3. Instrument penelitian

Instrument penelitian ini adalah angket atau kuesioner. Angket tersebut

berisi beberapa pernyataan untuk memperoleh data tentang persepsi

masyarakat pesisir desa Langge dan desa Ilodulunga kecamatan anggrek

Tabel 3. Jumlah pertanyaan Instrument kuisioner Penelitian


Variable Indicator Jumlah item
 Persepsi  Pengetahuan terhadap fungsi
5
masyarakat ekosistem mangrove
pesisir desa  Pemahaman terhadap fungsi
6
Langge dan desa ekosistem mangrove
Ilodulunga  Keadaan lingkungan
3
ekosistem mangrove
 Kebutuhan akan fungsi dari
2
ekosistem mangrove
Jumlah 16

Persepsi masyarakat pesisir yang dimaksud dalam penelitian ini adalah

pengetahuan, pemahaman, keadaan lingkungan dan kebutuhan terhadap

funsi ekosistem mangrove.

19
- Pengetahuan terhadap fungsi ekosistem mangrove

- Pemahaman terhadap fungsi ekosistem mangrove

- Keadaan lingkungan ekosistem mangrove

Kebutuhan akan fungsi dari ekosistem mangrove

Dari masing-masing indicator terdiri atas 4 pilihan jawaban yakni, pilihan

sangat setuju (SS) dengan di beri skor 4, pilihan setuju (S) di beri skor 3, pilihan tidak

setuju (TS) di beri skor 2, dan pilihan sangat tidak setuju (STS) di beri skor 1.

Selanjutnya diberi kategori pada pernyataan yang di bagi menjadi empat kategori

kurang baik, cukup baik, baik dan sangat baik (Hamzah, 2008:95).

1) 1,00-1,99 Tidak Baik

2) 2,00-2,99 Kurang Baik

3) 3,00-3,99 Cukup Baik

4) 3,50-4,00 Baik

3.5 Analisis Data

Data yang diperoleh dari lapangan dianalisis menggunakan rumus sebagai

berikut:

3.5.1 Analisis vegetasi mangrove

Setelah data dari lapangan dikumpulkan maka dihitung besaran-besaran

sebagai berikut:

a. Kehadiran, merupakan penyebaran suatu jenis yang dinyatakan sebagai

prosentase terdapatnya jenis tersebut dalam titik pengukuran terhadap jumlah

titik pengukuran seluruhnya.

20
b. Kehadiran Relatif (FR), merupakan nilai kehadiran dari suatu jenis dibagi

dengan jumlah nilai kehadiran seluruh jenis dikalikan dengan 100 %.

c. Kerapatan Relatif (KR), merupakan jumlah individu dari suatu jenis dibagi

dengan jumlah individu seluruhnya (total individu) dikalikan dengan 100 %

d. Dominansi, merupakan penguasaan suatu jenis dalam suatu vegetasi atau

komunitas terhadap jenis yang lain. Dalam penelitian ini dominansi

ditentukan dengan jalan menghitung luas bidang dasar masing-masing jenis.

e. Dominansi Relatif (DR), merupakan dominansi dari suatu jenis dibagi dengan

dominansi dari seluruh jenis dikalikan dengan 100 %.

f. Indeks Nilai Penting (INP), merupakan hasil penjumlahan dari Kehadiran

Relati, Kerapatan Relatif, dan Dominansi Relatif (Mueller-Dombois dan

Ellenberg, 1974)

Analisis data untuk mengetahui adanya asosiasi jenis-jenis pohon dibuat

dengan menggunakan metode 2 x 2 Contingency Table (Greig-Smith, 1964 ;

Kershaw, 1964 ). Dalam penelitian ini hanya jenis-jenis pohon utama (INP > 10 %)

saja yang diikutkan dalam analisis. Bentuk kontingensi tabel untuk asosiasi antara

dua jenis adalah sebagai berikut :

Spesies A
+ - Jumlah
+ a b a+b
Spesies B - c d c+d
Jumlah a+c b+d a+b+c+d
Keterangan :

21
a = Pengamatan jumlah ttk pengukuran yg mengandung species A dan

species B

b = Pengamatan jumlah titik pengukuran yg mengandung sp B saja

c = Pengamatan jumlah titik pengukuran yg mengandung sp A saja

d = Pengamatan jumlah ttk pengukuran yg tdk mengandung spesies A

maupun spesies B

Sedangkan untuk mengukur besarnya penyimpangan antara nilai

pengamatan dengan nilai harapan digunakan “Chi-square test” , yang rumusnya

seperti di bawah ini

( ad – bc )2 n
Chi-square (X2) hitung = ------------------------------------
(a + b) (a + c) (c + d) (b + d)

Nilai ini diperbandingkan dengan nilai chi-square (X2) tabel pada derajad

bebas sama dengan satu pada taraf uji 10% dan 5%. Berdasarkan kedua nilai

chisquare tersebut, dapat diambil suatu kesimpulan :

1. Apabila nilai chi-square hitung lebih besar dari nilai chi-square tabel, maka

kedua jenis yang berasosiasi mengadakan asosiasi nyata pada taraf uji

tersebut.

2. Apabila nilai chi-square hitung lebih kecil dari nilai chi-square tabel, maka

kedua jenis yang berasosiasi mengadakan asosiasi tidak nyata pada taraf uji

tersebut.

22
DAFTAR PUSTAKA

Beverton, R.J.H. 1984. Dynamics of single species. Exploitation of Marine


Communities. Springer Verlag. Berlin.

Christensen, N.L. 1996. The report of the ecological society of America committee
on the scientific basis for ecosystem management. Ecological Applications,
Vol. 6(3): 665-691.

Direktorat Jendral Rehabilitas Lahan Dan Perhutanan Sosial. (2008). Inventarisasi


Dan Identifikasi Pemanfaatan Sumberdaya Hutan Mangrove.

Duke , N.C. dkk. 1998. Factors Influ Encing Biodiversity and Distribusional
Gradients In Mangrove. Global Ecology And Biogeography Vol 7 (1): 27-
47.

Fachrul, Melati, F. 2007. Metode Sampling Bioekologi. Bumi Aksara. Jakarta.

FAO. (2007). The World’s Mangroves 1980–2005. Forest Resources Assessment


Working Paper No. 153. Food and Agriculture Organization of The United
Nations. Rome

Ghufran, M. dan Kordi, K.M. 2012. Ekosistem Mangrove: potensi, fungsi, dan
pengelolaan. Rineka Cipta. Jakarta.

Giesen. 1991. Integrating Conservation with Land-use Development in Wetlands of


South Sulawesi. Publikasi PHPA/AWB. Bogor. Hal 240.

[IUCN] International Union for Conservation of Nature and Natural Resources.


2016. For Lifes Sake; How Protected Areas Enrich Our Lives and Secure
The Web of Live. IUCN Word Commisions on Protected Areas, Gland
Switzerland.

_____2010. 50 Years of Working for Protected Areas. IUCN Word Commisions on


Protected Areas. Gland Switzerland.

23
Kitamura, S. Anwar, C. Chainago, A & Baba. S. 1997. Buku Panduan Mangrove di
Indonesia Bali dan Lombok. Jaya Abadi. Denpasar.

Kusumastanto, T. 2004. Laut Masa depan Bangsa. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir
dan Lautan, IPB.

Milantara, Noril. 2006. Tumbuhan Mangrove. Pengenalan Ragam Tanaman Lanskap.


Tanaman Air: Mangrove.

Murdiyanto, B. 2003. Mengenal, Memelihara, dan Melestarikan Ekosisitem Bakau.


Jakarta: Direktotat Jenderal Perikanan Tangkap Departemen Kelautan dan
Perikanan.

Paillin, J.B 2009. Asosiasi Interpesies Lamun di Perairan Ketapang Kabupaten Seram
Bagian Barat. Jurnal. Universitas Patimura Ambon. Vol 5. No 2.

Rusila, N. Y. 1987. Studi Populasi Burung Air Kaitannya dengan Usaha Konservasi
di Daerah Pantai Indramayu dan Cirebon. Skripsi, Jurusan Biologi -
UNPAD, Bandung.

Santoso, 2005. Metodologi Penelitian Kuantitatf dan Kualitatif. Prestasi Pustaka.


Jakarta.

Tapilatu, Y. Pelasula, D. 2012. Biota Penempel Yang Berasosiasi Dengan Mangrove


Di Teluk Ambon Bagian Dalam. Jurnal Ilmu Dan Teknologi Kelautan
Tropis. Vol. 4 (2): 267-279.

Terados, J. Williams, S.L. 1997. Leaf Versus Root Nitrogen Uptake By The Surfgrass
Phyllospadix Torreyi. Marine Ecology Progres Series. 149:267-277.

Tomlinson, C.B. 1986. The Botani of Mangrove. Cambridge University Press.


Cambridge.

Wahyudi, S.Hut. A., Ir. Saridan, MP. A., dan Rombe, R, 2010. Sebaran dan Asosiasi
Jenis Pohon Penghasil Tengkawang (Shorea spp). Di Kalimantan Barat.
Tesis. Kementrian Kehutanan Balai Besar Penelitian Dipterokarpa.

24

Anda mungkin juga menyukai