Anda di halaman 1dari 30

10

BAB II
TINJAUAN KEPUSTAKAAN

2.1 Obesitas

2.1.1 Pengertian Obesitas

Obesitas (obesity) berasal dari bahasa latin yaitu ob yang berarti ‘akibat dari’

dan esamartinya ’makan’. Oleh karena itu, obesitas dapat didefinisikan sebagai

akibat dari pola makan yang berlebihan (Sudargo dkk., 2014).

Menurut Centers for Disease Control and Prevention (CDC) (2016) obesitas

adalah berat badan yang lebih tinggi dari berat badan yang dianggap sehat untuk

tinggi badan tertentu. Indeks Massa Tubuh atau BMI, digunakan sebagai alat

skrining untuk kelebihan berat badan atau obesitas. Sedangkan menurut WHO

dalam P2PTM Kemenkes RI (2018) obesitas merupakan penumpukan lemak yang

berlebihan akibat ketidakseimbangan asupan energi (energy intake) dengan energi

yang digunakan (energy expenditure) dalam waktu lama.

Kegemukan dan obesitas terjadi akibat asupan energi lebih tinggi daripada

energi yang dikeluarkan. Asupan energi tinggi disebabkan oleh konsumsi makanan

sumber energi dan lemak tinggi, sedangkan pengeluaran energi yang rendah

disebabkan karena kurangnya aktivitas fisik dan sedentary life style (kebiasaan

hidup kurang gerak) (Kemenkes RI, 2012).

Berdasarkan etiologinya Masjoer dalam Sudargo dkk. (2014) membagi

obesitas menjadi dua, diantaranya:


a. Obesitas Primer

Obesitas primer adalah obesitas yang disebbkan oleh faktor gizi dan berbagai

faktor yang mempengaruhi masukan makanan. Masukan makanan yang lebih

banyak daripada kebutuhan tubuh mengakibatkan obesitas jenis ini.

b. Obesitas Sekunder

Obesitas sekunder adalah obesitas yang disebabkan oleh adanya penyakit atau

kelainan congenital, endokrin (sindrom Mauriac, sindrom Freulich, dll), atau

kondisi lain (sindrom Turner, sindrom Down, dll).

2.1.2 Penilaian Status Gizi pada Obesitas

Diagnosis obesitas dapat ditegakkan melalui penilaian secara langsung

dengan menggunakan metode antropometri. Antropometri adalah ukuran tubuh

manusia. Antropometri berhubungan dengan berbagai macam pengukuran dimensi

dan komposisi tubuh dari berbagai tingkat umur dan tingkat gizi (Supariasa, 2014).

Metode antropometri yang dapat digunakan untuk mengukur obesitas diantaranya

Indeks Massa Tubuh (IMT), skinfold thickness (SKF), rasio lingkar pinggang pinggul

(RLPP), bioelectrical impedence analysis (BIA) (Sudargo dkk., 2014).

Obesitas pada orang dewasa diukur menggunakan IMT. IMT adalah

pengukuran antropometri untuk menilai apakah komponen tubuh sesuai dengan

standar normal atau ideal. Pengukuran IMT dengan cara membandingkan antara

berat badan (kg) dengan tinggi badan (m2). Berat badan diukur dengan timbangan

berat badan sedangkan tinggi badan diukur dengan microtoise. Rumus mencari IMT

sebagai berikut:

BB (kg)
IMT =
TB (m)

11
Kategori status gizi berdasarkan Indeks Massa Tubuh (IMT) dapat dilihat pada

tabel 2.1 dan 2.2 di bawah:

Tabel 2.1
Kategori Indeks Massa Tubuh (IMT) Menurut Kriteria Asia Pasifik
Klasifikasi IMT (Kg/m2)
Berat Badan Kurang (Underweight) <18.5
Normal 18.5-22.9
Berat Badan Lebih (Overweight) 23.0-24.9
Obese I 25.0-29.9
Obese II ≥30.0
Sumber: WHO, 2000

Tabel 2.2
Kategori Indeks Massa Tubuh (IMT) Menurut Kemenkes RI
Klasifikasi IMT (Kg/m2)
Berat Badan Kurang (Underweight) <18
Normal 18-25
Berat Badan Lebih (Overweight) (PreObes) >25.00-27.00
Obesitas >27
Sumber: Kemenkes RI, 2003

2.1.3 Penyebab Obesitas

Menurut P2PTM Kemenkes RI (2016) penyebab terjadinya obesitas antara

lain:

1. Pola Makan

Pola makan yang dapat menyebabkan obesitas seperti makan berlebihan (porsi

besar), sering makan dan tidak teratur, sering mengemil (kudapan), makan

dalam jumlah banyak dan dalam waktu singkat (terburu-buru), menghindari

makan pagi sehingga menambah porsi makan siang dan atau malam, banyak

12
mengonsumsi makanan gorengan, berlemak, dan manis-manis, kurang makan

sayur dan buah.

2. Pola aktivitas

Pola aktivitas yang dapat menyebabkan obesitas diantaranya sering menonton

televisi, bermain komputer, durasi tidur malam <7 jam, dan games tanpa

melakukan aktivitas lebih dari 2 jam per hari, kurang latihan fisik, aktivitas fisik

yang dilakukan secara terus menerus kurang dari 30 menit per hari, kurang

gerak (misalnya lebih senang menggunakan kendaraan bermotor daripada jalan

kaki, menggunakan lift daripada tangga, dsb).

3. Faktor lain

Faktor lain yang berpengaruh terhadap obesitas antara lain: genetik,

ketidakseimbangan hormonal, terapi obat tertentu seperti kortikosteroid,

kontrasepsi oral, gangguan psikologis (stres), dan kondisi medis lainnya.

2.1.4 Dampak Obesitas

CDC (2015) memaparkan bahwa orang yang mengalami obesitas memiliki

dampak kesehatan yang berbeda dibandingkan dengan orang yang memiliki berat

badan normal atau sehat. Obesitas berisiko lebih tinggi terhadap banyak penyakit

serius dan kondisi kesehatan, seperti berbagai macam penyebab kematian

(mortalitas).

Penyakit yang dapat diderita oleh penderita obesitas seperti tekanan darah

tinggi (hipertensi), kolesterol LDL tinggi, kolesterol HDL rendah, atau kadar

trigliserida yang tinggi (dyslipidemia), diabetes mellitus tipe 2, penyakit jantung

koroner, stroke, penyakit kantong empedu, osteoartritis (kerusakan tulang rawan

13
dan tulang dalam sendi), apnea tidur dan masalah pernapasan, beberapa kanker

(endometrium, payudara, usus besar, ginjal, kantong empedu, dan hati), kualitas

hidup yang rendah, penyakit mental seperti depresi klinis, kecemasan, dan

gangguan mental lainnya, nyeri tubuh dan kesulitan dengan fungsi fisik (CDC, 2015).

2.1.5 Faktor Risiko Obesitas

Faktor risiko obesitas bersifat multifaktorial terutama perubahan gaya hidup

seperti peningkatan konsumsi fast food, rendahnya aktivitas fisik, genetik, pengaruh

iklan, faktor psikologis, status sosial ekonomi, program diet, usia dan jenis kelamin

sehingga terjadi perubahan energi (Barasi, 2007). Berdasarkan banyak penelitian

yang telah dipublikasi, berikut beberapa faktor risiko yang dapat menyebabkan

obesitas diantaranya:

1. Faktor Sosial-Ekonomi

Pada tahun 2016 telah dilakukan penelitian obesitas pada orang dewasa

muda di Desa Kepuharjoini oleh Djala, hasil penelitian menunjukkan bahwa

terdapat hubungan antara status sosial ekonomi dengan kejadian obesitas p value=

0,029 dan OR= 2,770. Artinya, seseorang dengan status sosial ekonomi rendah dan

sedang berisiko untuk mengalami kejadian obesitas 2,770 kali lebih besar

dibandingkan status sosial ekonomi tinggi (Djala, 2016).

2. Umur

Hasil penelitian Ramadhaniah dkk. (2014) didapatkan hasil bahwa umur

risiko tinggi (≥ 36 tahun) berhubungan dengan kejadian obesitas (p value= 0,015)

dan 0,49 kali lebih berisiko untuk mengalami obesitas dibandingkan umur risiko

rendah (<36 tahun).

14
3. Jenis Kelamin

Jenis kelamin perempuan 3,43 kali lebih berisiko untuk mengalami obesitas

dibandingkan dengan laki-laki (Sudikno dkk., 2015). Begitupula dengan penelitian

yang telah dilakukan oleh Ramadhaniah dkk. (2014) bahwa perempuan lebih

berisiko untuk mengalami obesitas dibandingkan laki-laki (OR= 2,96).

4. Wilayah

Seseorang yang tinggal di perkotaan lebih berisiko untuk mengami obesitas

sebesar 1,96 kali dibandingkan orang yang tinggal di pedesaan (OR= 1) (Sudikno

dkk., 2015). Hasil penelitian orang dewasa yang tinngal di perkotaan (urban) 2,11

kali lebih berisiko mengalami obesitas dibandingkan dengan orang dewasa yang

tinggal di pedesaan (rural) (Nurzakiyah dkk., 2010).

5. Pendidikan

Pendidikan tinggi yaitu sampai Perguruan Tinggi (PT) lebih berisiko 1,82 kali

untuk mengalami obesitas dibandingkan dengan pendidikan SD ke bawah (OR=1)

(Sudikno dkk., 2015). Hasil penelitian mamarimbing dkk. (2016) juga membuktikan

bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang (PT) maka semakin meningkat

risiko seseorang untuk menderita obesitas sebesar 1,467 kali.

6. Status Kawin

Seseorang yang sudah menikah 2,37 kalilebih berisiko untuk mengalami

obesitas dibandingkan yang belum menikah (Sudikno dkk., 2015).

7. Pekerjaan

Pekerjaan PNS/TNI/POLRI berisiko 4,25 kaliuntuk mengalami obesitas.

Pekerjaan pegawai swasta dan wiraswasta berisiko 2,77 kali untuk mengalami

15
obesitas. Petani/buruh/nelayan berisiko 1 kali untuk mengalami obesitas. Dan orang

yang tidak bekerja 4,08 kali lebih berisiko untuk menderita obesitas (Sudikno dkk.,

2014).

8. Kelainan Genetik

Diperkirakan 40-70% fenotip yang terkait variasi genetik pada kejadian

obesitas dapat diwariskan (Sudikno dkk. (2014). Riwayat orang tua obesitas dapat

meningkatkan 2,016 kali risiko kejadian obesitas dibandingkan dengan seseorang

yang tidak memiliki riwayat orang tua obesitas (Ali dan Nuryani, 2018).

9. Durasi Tidur

Durasi tidur yang cukup dapat meminimalisir kejadian obesitas. Hasil

penelitian Ramadhaniah dkk. (2014) menunjukkan bahwa durasi tidur yang kurang

(<7 jam/hari) meningkatkan risiko 2,59 kali lebih besar untuk seseorang mengalami

obesitas dibandingkan dengan durasi tidur yang cukup (≥7 jam/hari).

10. Kebiasaan Sarapan

Hasil penelitian Arraniri dkk. (2017) didapatkan bahwa terdapat hubungan

antara kebiasaan sarapan dengan presentase lemak ditubuh dengan p value= 0,001.

11. Aktivitas Fisik

Peran aktivitas fisik terhadap masalah obesitas sudah terbukti secara

empiris. Tubuh manusia sudah didesain untuk bergerak sehingga membutuhkan

aktivitas fisik yang rutin. Aktivitas fisik seperti olahraga selama 30 menit perhari

sudah dikategorikan cukup untuk mencegah obesitas (Sudikno dkk., 2014). Hasil

penelitian Ramadhaniah dkk. (2014) pada petugas kesehatan puskesmas di

16
Puskesmas Pidie Jaya diketahui bahwa aktivitas fisik yang kurang aktif berisiko 2,47

kali lebih besar untuk menderita obesitas dibandingakn aktivitas fisik sangat aktif.

12. Faktor Pola Makan

Pola makan yang mencetus terjadinya obesitas adalah mengonsumsi

makanan dalam porsi besar (melebihi dari porsi kubutuhan), makan tinggi energi,

tinggi lemak, tinggi karbohidrat sederhana dan rendah serat. Kemudian hal tersebut

tidak diimbangi dengan aktivitas fisik yang cukup sehingga terjadi penumpukan

energi dan lemak di dalam tubuh. Hasil penelitian Evan dkk. (2017) telah

membuktikan bahwa pola makan berhubungan secara signifikan dengan kejadian

obesitas (p value= 0,002). Penelitian yang dilakukan pada mahasiswa Universitas

Thribuwana mendapatkan hasil bahwa pola makan yang berubah dari pola

tradisional ke pola makan ala barat meningkatkan risiko kejadian obesitas.

Hasil penelitian Ramadhaniah dkk. (2014) menunjukkan bahwa konsumsi

energi tinggi (≥110% AKG) berhubungan dengan kejadian obesitas dengan p

value=0,001 dan OR= 2,55. Artinya, seseorang dengan konsumsi energi tinggi lebih

berisiko sebesar 2,55 kali untuk mengalami obesitas dibandingkan dengan konsumsi

energi tidak tinggi (<110% AKG).

Konsumsi makanan yang tinggi kalori seperti fast food dan soft drink juga

meningkatkan risiko obesitas. Hasil penelitian Kurdanti dkk. (2015) menunjukkan

bahwa konsumsi fast food dengan kategori sering berisiko 2,469 kali lebih besar

untuk mengalami obesitas dibandingkan dengan konsumsi jarang. Konsumsi soft

drink dengan frekuensi sering (>5.4 kali/bulan) berisiko 1,12 kali untuk mengalami

17
obesitas dibandingkan dengan frekuensi jarang (≤5.4 kali/bulan) (Rafiony dkk.,

2015).

13. Konsumsi Air Putih

Konsumsi air putih <8 gelas/hari dapat meningkatkan risiko kejadian obesitas

sebesar 0,4 kali dibandingkan dengan konsumsi air putih ≥8 gelas/hari (Lakoro dkk.,

2013).

14. Frekuensi Makan Di Luar Rumah

Seseorang dengan frekuensi makan di luar rumah dengan kategori sering 3,5

kali lebih berisiko untuk mengalami gizi lebih dibandingkan dengan frekuensi

jarang/2-3 kali perminggu (Prabowo dkk., 2014).

2.1.6 Pencegahan Obesitas

WHO (2018) memaparkan bahwa lingkungan dan masyarakat yang

mendukung sangat mendasar dalam menentukan pilihan orang, seperti pemilihan

makanan yang lebih sehat dan mau melakukan aktivitas fisik sehingga dapat

mencegah kelebihan berat badan dan obesitas. Pencegahan obesitas dapat

dilakukan secara level individual (perorangan) dan juga dapat melalui level industri

makanan, seperti yang telah diungkapkan oleh sebagai berikut:

1. Pencegahan pada Tingkat Individual

Pencegahan individual ini dapat dilakukan dengan cara membatasi energi total

dari lemak dan gula, meningkatkan konsumsi buah dan sayuran, serta legum,

biji-bijian dan kacang-kacangan, dan melakukanaktivitas fisik secara rutin (60

menit sehari untuk anak-anak dan 150 menit per minggu untuk dewasa)

terutama praktik aktivitas fisik atau olahraga rutin di tempat kerja.

18
2. Pencegahan pada Tingkat Industri Makanan

Industri makanan dapat memainkan peran penting dalam mempromosikan diet

sehat denganmengurangi kandungan lemak, gula dan garam dari makanan

olahan, memastikan bahwa pilihan makanan yang sehat dan bergizi tersedia

dan terjangkau bagi semua konsumen, membatasi pemasaran makanan tinggi

gula, garam dan lemak, terutama makanan yang ditujukan untuk anak-anak dan

remaja, memastikan ketersediaan pilihan makanan sehat dan mendukung

ditempat kerja.

2.2 Metode Pengukuran Konsumsi Makanan

Berdasarkan jenis data yang diperoleh, metode pengukuran konsumsi

makanan dibagi atas 2 jenis, yaitu bersifat kuantitatif dan kualitatif. Metode

kuantitatif biasanya digunakan untuk mengetahui jumlah makanan yang dikonsumsi

sehingga dapat dihitung intake zat gizi dengan menggunakan Daftar Komposisi

Bahan Makanan (DKBM), daftar Ukuran Rumah Tangga (URT) dan daftar lainnya.

Metode kuantitatif terdiri atas metode recall 24 jam, perkiraan makanan (estimated

food records), penimbangan makanan (food weighing), food account, inventaris

(inventory method), dan pencatatan (household food records) (Supariasa, 2014).

Sedangkan metode kualitatif biasanya digunakan untuk mengetahui

frekuensi makan, frekuensi konsumsi menurut jenis bahan makanan dan menggali

informasi tentang kebiasaan makan (food habits). Metode kualitatif terdiri atas

frekuensi makanan (food frequency), dietary history, telepon dan pendaftaran

makanan (food list) (Supariasa, 2014).

19
Metode untuk memperoleh data tentang frekuensi makan dan kebiasaan

makan perorangan/individu yaitu menggunakan metode kualitatif dengan metode

food frequency. Dietery history juga dapat digunakan untuk mengukur konsumsi

makanan individu, akan tetapi metode ini memiliki banyak komponen ketika

pengumpulan data termasuk recall 24 jam, check listuntuk mengecek kebenaran

recall 24 jam, dan pencatatan konsumsi selama 2-3 hari sebagai cek ulang (kurang

efisien). Sedangkan metode kualitatif yang lain seperti food listdigunakan untuk

mengukur konsumsi makanan tingkat rumah tangga (Supariasa, 2014).Sehingga

metode yang tepat sesuai tujuan penelitian ini adalah metode food frequency.

2.2.1 Metode PengukuranFrekuensi Makanan (Food Fequency)

Metode frekuensi makanan adalah untuk memperoleh data tentang

frekuensi konsumsi sejumlah bahan makanan atau makanan jadi selama periode

tertentu seperti hari, minggu, bulan atau tahun. Frekuensi makanan juga dapat

memperoleh gambaran pola konsumsi bahan makanan secara kualitatif tetapi

karena periode pengamatannya lebih lama dan dapat membedakan individu

berdasarkan rangking tingkat konsumsi zat gizi, maka cara ini paling sering

digunakan dalam penelitian epidemiologi gizi (Supariasa, 2011).

Kuesioner frekuensi makanan memuat tentang daftar bahan makanan atau

makanan dan frekuensi penggunaan makanan pada periode tertentu. Bahan

makanan dan makanan yang ada dalam kuesioner tersebut adalah yang dikonsumsi

cukup sering oleh responden (Supariasa, 2011).

2.2.1Langkah-Langkah Metode Frekuensi Makanan (Food Fequency)

20
Langkah-langkah metode frekuensi makanan menurut Supariasa (2014)

sebagai berikut:

a. Responden diminta untuk memberi tanda pada daftar makanan yang tersedia

pada kuesioner mengenai frekuensi penggunaannya dan ukuran porsinya.

b. Melakukan rekapitulasi tentang frekuensi penggunaan jenis-jenis bahan

makanan terutama bahan makanan yang merupakan sumber-sumber zat gizi

tertentu selama periode tertentu pula.

2.2.2 Kelebihan Metode Frekuensi Makanan (Food Fequency)

Kelebihan metode frekuensi makanan yang dijelaskan oleh Supariasa (2014)

seperti di bawah ini:

a. Relatif murah dan sederhana

b. Dapat dilakukan sendiri oleh responden

c. Tidak membutuhkan latihan khusus

d. Dapat membantu untuk menjelaskan hubungan antara penyakit dan

kebiasaan makan

2.2.3 Kelemahan Metode Frekuensi Makanan (Food Fequency)

a. Tidak dapat untuk menghitung intake zat gizi sehari

b. Sulit mengembangkan kuesioner pengumpulan data

c. Cukup menjemukan bagi pewawancara

d. Perlu membuat percobaan pendahuluan untuk menentukan jenis bahan

makanan yang akan masuk dalam daftar kuesioner.

e. Responden harus jujur dan mempunyai motivasi tinggi.

21
2.3 Hubungan Pengetahuan Dengan Kejadian Obesitas

Pengetahuan gizi mempunyai peranan penting dalam pembentukan

kebiasaan makan seseorang sebab hal ini akan mempengaruhi seseorang dalam

memilih jenis dan jumlah makanan yang dikonsumsi. Seseorang yang didasari

dengan pengetahuan gizi yang baik akanmemperhatikan keadaan gizi setiap

makanan yang dikonsumsinya. Makanan yang bergizi bukanlah suatu makanan yang

mahal dan enak rasanya. Akan tetapi makanan yang bergizi tersebut adalah

makanan yang mampu memenuhi gizi yang dibutuhkan. Dengan tujuan agar

makanan tersebut memberikan gizi yang sesuai dengan yang dibutuhkan oleh tubuh

atau sering disebut dengan gizi seimbang (Almatsier, 2010).

Jenis makanan tertentu dapat memberikan dampak negatif untuk kesehatan

apabila dikonsumsi secara berlebihan. Contohnya makanan siap saji yang

mengandung tinggi kalori namun tidak ada nutrisi dan rendah serat sehingga

meningkatkan asupan energi dan menyebabkan obesitas (Sukma, 2014). Makanan

seperti ini memiliki keunggulan yaitu murah, mudah, dan praktis penyajiannya,

serta memiliki cita rasa yang enak sehingga cocok dengan selera masyarakat (Setyo

dalam Sukma, 2014).

Minuman softdrink baik berkarbonasi (mengandung karbondioksida) seperti

minuman soda atau tidak berkarbonasi seperti minuman isotonik, minuman berasa

buah, minuman teh hijau, dan lain-lain sangat berbahaya untuk kesehatan terutama

dalam hal menaikkan berat badan. Minuman bersoda mengandung 25g gula per

botol 250 ml, sedangkan kebutuhan gulaharian tidak lebih dari 50g/orang/hari.

Mengonsumsi satu botol minuman bersoda saja sudah memenuhi setengah

22
kebutuhan gula harian belum diakumulasikan dengan sumber gula yang lain seperti

buah-buahan, nasi, teh manis, kopi, dll (P2PTM Kemenkes RI, 2017).

Makanan siap saji baik western fast food (fried chicken, pizza, hamburger,

dll)atau tradisional fast food (bakso, mie ayam, sate, ayam goreng dan bebek

goreng, siomay, dll)sangat berbahaya bagi kesehatan jika sering dikonsumsi. Studi

pada Mahasiswa Universitas Tribhuwana diketahui faktor utama yang

menyebabkan mahasiswa obesitas adalah fast food lokal seperti mie ayam, bakso,

mie instan, batagor, siomay, sosis, tempura, dan tela-tela (Evan dkk., 2017).

Hasil penelitian Isnaini dkk. (2012) diketahui bahwa semakin baik

pengetahuan tentang obesitas maka semakin rendah nilai rasio lingkar pinggang

panggul dibandingan dengan responden yang memiliki pengetahuan kurang dan

rendah. Pengetahuan tentang obesitas berpengaruh dengan rasio lingkar pinggang

panggul pada Ibu Rumah Tangga di Desa Pepe Krajan Kecamatan Tegowanu

Kabupaten Grobogan dengan p value=0,00 (<0,05). Hasil penelitian Sukma (2014)

diketahui bahwa tidak ada hubungan antara pengetahuan dalam memilih makanan

pada remaja di SMP N 2 Brebes dengan p value= 0,436.

Hasil penelitian Agustin dkk. (2018) diketahui bahwa pegawai Rumah Sakit

Penyakit Infeksi Sulianti Saroso Jakarta Utara dengan status gizi obesitas dan

overweight menjawab kurang tepat (lebih dari 70%) untuk pertanyaan tentang

tentang jumlah porsi yang dianjurkan untuk dikonsumsi dalam sehari berdasar

Pedoman Gizi Seimbang seperti makanan pokok, lauk pauk, sayur dan buah; jumlah

minyak dan gula yang sebaiknya dikonsumsi per hari; waktu yang baik untuk

sarapan; dan durasi atau frekuensi olah raga yang dianjurkan.

23
Menurut PGS Kemenkes RI (2014) cara makan yang baik agar tidak terjadi

masalah bagi kesehatan antara lain:

1. Makan beraneka ragam jenis zat gizi dan makan tidak tergesa-gesa. Dengan

demikian makanan dapat dikunyah, dicerna dan diserap oleh tubuh lebih baik.

2. Banyak makan sayuran dan cukup buah-buahan

Badan Kesehatan Dunia (WHO) secara umum menganjurkan konsumsi sayuran

dan buah-buahan untuk hidup sehat sejumlah 400 g perorang perhari, yang

terdiri dari 250 g sayur (setara dengan 21/2 porsi atau 21/2 gelas sayur setelah

dimasak dan ditiriskan) dan 150 g buah (setara dengan 3 buah pisang ambon

ukuran sedang atau 11/2 potong pepaya ukuran sedang atau 3 buah jeruk

ukuran sedang). Bagi orang dewasa Indonesia dianjurkan mengkonsumsi buah

dan dayur 400-600 g/orang/hari atau 3-4 porsi sayuran dan 2-3 porsi buah-

buahan.

3. Konsumsi 3-4 porsi makanan pokok seperti nasi atau penggantinya seperti

kentang, jagung, ubi dan lain-lain. Serta konsumsi 2-4 porsi lauk nabati (kacang-

kacangan, tahu, dantempe) dan hewani (telur, ikan, daging, susu dll).

4. Batasi konsumsi pangan manis, asin dan berlemak

Batas konsumsi gula 50 g (4 sendok makan), natrium 2000 mg (1 sendok teh)

dan lemak/minyak total 67 g (5 sendok makan) per orang per hari.

5. Biasakan Sarapan

Sarapan adalah kegiatan makan dan minum yang dilakukan antara bangun pagi

sampai jam 9 untuk memenuhi sebagian kebutuhan gizi harian (15-30%

kebutuhan gizi) dalam rangka mewujudkan hidup sehat, aktif, dan produktif.

24
6. Biasakan minum air putih yang cukup dan aman

Sebagian besar (dua-pertiga) air yg dibutuhkan tubuh dilakukan melalui

minuman yaitu sekitar dua liter atau delapan gelas sehari bagi remaja dan

dewasa yang melakukan kegiatan ringan pada kondisi temperatur harian di

kantor/rumah tropis untuk mencegah terjadinya obesitas.

7. Lakukan aktivitas fisik yang cukup dan pertahankan berat badan normal

Aktivitas fisik adalah setiap gerakan tubuh yang meningkatkan pengeluaran

tenaga/energi dan pembakaran energi. Aktivitas fisik dikategorikan cukup

apabila seseorang melakukan latihan fisik atau olah raga selama 30 menit

setiap hari atau minimal 3-5 hari dalam seminggu. Beberapa aktivitas fisik yang

dapat dilakukan antara lain aktivitas fisik sehari-hari seperti berjalan kaki,

berkebun, menyapu, mencuci, mengepel, naik turun tangga dan lain-lain.

2.4 Hubungan Konsumsi Soft Drinkdengan Kejadian Obesitas

Konsumsi gula yang kurang maupun berlebih dapat mempengaruhi

kesehatan. Konsumsi gula yang berlebih dapat mengakibatkan resistensi insulin

sehingga gula tidak dapat dimetabolisme oleh tubuh untuk menjadi energi dan

terjadi penumpukan gula di dalam darah. Tingginya kadar gula di dalam darah dapat

meningkatkan risiko obesitas dan diabetes mellitus, kemudian dapat mempengaruhi

fungsi organ tubuh yang lain sepeti jantung, ginjal, dan lain-lain (P2PTM Kemenkes

RI, 2018).

Anjuran Kemenkes RI melalui Direktorat Pencegahan dan Pengendalian

Penyakit Tidak Menular (P2PTM), konsumsi gula tidak lebih dari 10% kebutuhan

energi harian. Pada kebutuhan sekitar 2.200 kalori konsumsi gula tidak lebih dari 50

25
gr (4 sendok makan peresper orang/hari).Sedangkan dalam 1 kaleng minuman

bersoda ukuran 250 ml mengandung 25 gram gula dan artinya telah melebihi

setengah kebutuhan gula harian. Di dalam buah-buahan segar sudah terdapat gula

alami, sehingga sebenarnya tambahan gula seperti soft drink tidak dibutuhkan lagi

(Kemenkes RI, 2017).

Pernyataan di atas sudah dibuktikan oleh Murti dalam penelitiannya tahun

2016, pada pasien yang memeriksakan kadar gula darah di Puskesmas Leyangan,

Unggaran Timur. Didapatkan hasil bahwa kejadian DM lebih tinggi terjadi pada

pasien yang memiliki kebiasaan mengonsumsi gula >4 sendok makan/hari,

dibandingkan dengan pasien yang mengonsumsi ≤4 sendok/hari dengan

pvalue=0,013 dan OR=3,9.

Minuman ringan atau soft drink dengan tambahan pemanis gula biasa

disebut dengan Sugar Sweetened Beverages (SSB)bukan hanya dalam bentuk

minuman bersoda. Soft drinkmeliputi minuman bersoda, minuman isotonik,

minuman berenergi, minuman kotak, minuman berperasa, teh dan kopi kemasan,

dan minuman ringan lainnya (Anjangsari, 2015).

Menurut Global Nutrition Report tahun 2018 konsumsi minuman yang

dengan pemanis usia ≥25 tahun mencapai lebih dari 200% tingkat paparan risiko

minimum secara teoritis atau sebesar 8,2 gram perhari penduduk Indonesia

mengonsumsi sugar-sweetened beverages lebih tinggi dibandingkan singapura

hanya 3,0 gram. Konsumsi di Asia Tenggara sebesar 8,8 gram lebih tinggi

dibandingkan Asia sebesar 8,4 gram, akan tetapi konsumsi secara global telah

mencapai 9,5 gram.

26
Minuman berkarbonasi digagas akan dikenakan BKC (Barang Kena Cukai).

Hal tersebut sesuai dengan definisi cukai “Cukai sebagai pungutan negara yang

dikenakan terhadap barang-barang tertentu yang memiliki sifat atau karakteristik

konsumsinya perlu dikendalikan, peredarannya perlu diawasi, pemakaiannya dapat

menimbulkan dampak negatif bagi masyarakat atau lingkungan hidup sehingga

pemakaiannya perlu pembebanan pungutan negara demi keadilan dan

keseimbangan”. Gagasan ini keluar seiring dengan banyaknya penelitian yang telah

dilakukan bahwa kadar gula yang terkandung dalam minuman berkarbonasi cukup

tinggi dan membahayakan bagi kesehatan (Haryanto, 2017).

Minuman soft drink merupakan minuman yang mengandung tinggi pemanis

dalam bentuk High Fructose CornSyrup (HFCS). HFCS mengandungfruktosa dan

glukosa dengan berbagaikonsentrasi,padaumumnyaperbandingan antara fruktosa

danglukosa yang digunakan adalah 55% :45%. Fruktosa jarang dikonsumsi dalam

bentuk bebas melainkan dikonsumsi dalam bentuk sukrosa. Di dalamusus, sukrosa

dihidrolisis oleh enzimsukrase menjadi fruktosa dan glukosa.Setelah diabsorpsi oleh

usus, fruktosadiangkut melalui vena porta menujuhepar untuk dimetabolisme

menjadilipid (Prahastusti, 2011). Rasa manis dan gula yang terdapat pada soft drink

akan cepat menaikkan berat badan karena dalam satu botol minuman bersoda 350

cc akan menambah 550 kalori kosong (zat gizi hanya berasal dari gula yang bersifat

cair saja tanpa zat gizi yang lainnya) sehingga mudah menyebabkan lapar dan ingin

terus menerus mengonsumsinya (Jacobson dalam Saputri, 2013).

Penelitian yang dilakukan oleh Nikos-Rose dkk. pada tahun 2018 di Fransisco

terhadap remaja obesitas yang memiliki kebiasaan mengonsumsi SSB, kemudian

27
responden diberi perlakuan agar hanya meminum air putihatau susu biasa selama 3

hari, dari penelitian ini diketahui bahwa SSB dapat berpotensi membuat kecanduan

karena timbul gejala setelah penghentian minuman manis diantaranya peningkatan

sakit kepala, penurunan motivasi untuk bekerja, kurang berkonsentrasi, mengidam

minuman manis, dan rendahnya tingkat kesejahteraan secara keseluruhan didalam

diri responden (Nikos-Rose dkk., 2018).

Percobaan terbaru yang ditugaskan oleh Channel NewsAsia kepada

mahasiswa Program Diploma Ilmu Makanan Dan Nutrisi Terapan Temasek

Politeknik Singapura (2019) terhadap 6 produk Bubble Tea terkenal. Percobaan

dilakukan menggunakan alat refraktometer dengan mengambil sampel minuman

untuk melihat tingkat kemanisan dan kadar gula yang terkandung dalam minuman

tersebut (hanya cairan tidak termasuk topingminuman). Kemudian, didapatkan hasil

dari salah satu produk yaitu Bubble Milk Tea (cup 500ml) di dalamnya terkandung

102.5 gram gula (201/2 sendok teh), artinya kandungan gula tersebut sudah

melebihi 2 kali lipat ambang batas kebutuhan gula harian(50gram/orang/hari)

bahkan lebih manis dari minuman soda.

Penelitian yang dilakukan di SMA N 2 Kota Banda Aceh menemukan bahwa

siswa yang sering mengonsumsi minuman berkarbonasi (≥ 4 kali seminggu)

berhubungan dengan kejadian obesitas dibandingkan dengan konsumsi <4 kali

seminggu dengan p value= 0,015. Begitupula dengan konsumsi minuman

nonkarbonasi memiliki hubungan yang bermakna dengan kejadian obesitas (≥ 4 kali

seminggu) dibandingkan dengan konsumsi jarang (<4 kali dalam seminggu) dengan

p value= 0,036 (Asrin dkk., 2013).

28
2.5 Hubungan Konsumsi Fast Food dengan Kejadian Obesitas

Fast food/makanan cepat saji atau sering juga disebut junk foodadalah

makanan yang dapat disajikan dan disiapkan dengan cepat. Makanan yang disajikan

ditoko maupun direstoran yang memerlukan waktu yang singkat untuk dibawa

pulang (Merriam-Webster dalam Alamsyah, 2009).

Jenis fast food ada 2 yaitu western fast food dan tradisional fast food.

Western fast foodterdiri dari fried chicken dengan berbagai varian, hamburger,

pizza, sandwich, cream soup, sphagetti, French fries, donut, dll. Tradisional fast food

terdiri dari nasi goreng, ayam & bebek goreng, bakso, mie ayam, soto, siomay, sate,

cilok, mie aceh, dll (Bonita, 2016).

Banyak bahaya yang ditimbulkan jika terlalu sering mengonsumsi fast food

terutama bagi kesehatan tubuh. Hal tersebut didukung oleh Direktorat Promkes

Kemenkes RI (2018) yang mengungkapkan bahwa makanan ini tidak memiliki nilai

atau kandungan gizi, hanya mengandung kalori yang cukup tinggi, sehingga

membuat kolesterol meningkat. Tidak hanya karena mengonsumsi gula,

mengonsumsi fast food terlalu sering dapat menyebabkan obesitas dan pada

akhirnya diabetes karena dapat mempengaruhi metabolisme tubuh. Sehingga

makanan yang masuk tidak terserap oleh tubuh dengan baik dan menyebabkan

insulin tidak bekerja dengan sempurna. Bahaya lain yang ditimbulkan adalah

penyakit jantung, gangguan ginjal dan kerusakan hati.

Fast food dapat menyebabkan obesitas karena tingginya kalori, lemak,

natrium dan rendahnya nutrisi yang terkandung di dalamnya dan masyarakat ketika

makan makanan cepat saji tidak dapat mengatur porsi makan. Contohnya 100 gram

29
serving size Humberger mengandung 267 kalori, 10 gram lemak total, 4 gram lemak

jenuh (telah memenuhi 19% kebutuhan lemak harian) serta 7 gram gula. Jika

dikonsumsi bersamaan dengan float atau minuman soda maka total kalori yang

masuk kedalam tubuh berlipat ganda. Akhirnya, lemak akan menumpuk di dalam

tubuh (Sari dkk., 2008).

Tersedianya restoran dan tempat makan fast food baik western maupun

tradisional membuat pola makan masyarakat berubah, terutama pada masyarakat

perkotaan. Hal tersebut juga dijumpai oleh Sudaryanto dkk. pada penelitiannya

tahun 2014, “Beberapa responden mengatakan dengan banyaknyatempat-tempat

makanan siap saji yang terus menjamur mengakibatkan keinginan untuk

mengkonsumsi makanan tersebut lebih tinggi dan dirasa lebih efisien ketika

istirahat pada waktu jam kerja”.

Hasil penelitian Evan dkk. (2017) juga menunjukkan bahwa faktor utama

yang menyebabkan obesitas pada mahasiswa Universitas Tribhuwana karena

berubahnya pola makan dari pola tradisional ke pola makan ala barat seperti fast

food yang mengandung banyak lemak dan kalori sehingga meningkatkan risiko

obesitas. Didapatkan hasil penelitian dengan p value= 0,002, artinya terdapat

hubungan yang bermakna antara pola makan dengan kejadian obesitas. Hal

tersebut juga sejalan dengan penelitian Kurdanti dkk. (2015) diketahui bahwa

remaja yang obesitas lebih sering mengonsumsi fast food terutama buatan lokal

seperti mie ayam, bakso, mi instan, batagor, siomay, sosis,tempura, dan tela-tela.

Hasil analisis menunjukkan ada hubungan yang bermakna antara frekuensi fast food

30
dengan kategori sering dengan kejadian obesitas dibandingkan dengan konsumsi

jarang (p value= 0,008 dan OR= 2,469).

Hasil penelitian Arlinda (2015) pada remaja di SMP Muhammadiyah 10

Yogyakarta diketahui bahwa konsumsi fast food dengan kategori sering

(>3x/minggu) berhubungan dengan kejadian obesitas dengan p value= 0,000 dan

OR= 6,00. Artinya bahwa remaja yang sering mengonsumsi fast food 6,00 kali lebih

berisiko untuk mengalami obesitas dibandingkan dengan konsumsi jarang

≤3x/minggu.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Dewi dan Mahmudiono pada

tahun 2013 pada pegawai negeri sipil kantor Dinkes Provinsi Jawa Timur, diketahui

bahwa konsumsi bakso dengan frekuensi 1 kali perminggu berhubungan dengan

kejadian obesitas. Konsumsi bakso 1 kali perminggu berhubungan dengan obesitas

dengan p value= 0,05.

2.6 Hubungan Konsumsi Air Putih dengan Kejadian Obesitas

Air putih sangat dibutuhkan oleh tubuh manusia karena 60-70% dari berat

tubuh manusia terdiri dari air. Indonesian Hydration Working Group

(IHWG)membuat gerakan ayo minum air, tujuan gerakan ini untuk mencegah

penyakit noninfeksi atau penyakit degeneratif dimasa yang akan datang terutama

gagal ginjal kronik, diabetes, dan hipertensi. Anjuran minum air putih tersebut

sebanyak 8 gelas berukuran 230 ml atau sekitar 2 liter sehari (Kemenkes RI, 2017).

Air putih merupakan minuman yang paling sehat dan tidak berbahaya

karena dibutuhkan oleh tubuh kita untuk menjaga kesehatan. Air minum adalah air

31
yang melalui proses pengolahan ataupun tanpa proses pengolahan yang memenuhi

syarat kesehatan dan dapat langsung di minum (Kepmenkes RI No. 907, 2002).

Kebutuhan air putih dalam sehari juga perlu diperhatikan beberapa kondisi

dan aktivitas khusus yang membuat tubuh menjadi membutuhkan lebih banyak

asupan air dibandingkan biasanya, antara lain berolahraga atau aktivitas secara fisik

(menambah 350 ml setiap stengah jam setelah olahraga), mengalami demam, diare,

atau muntah-muntah dan cuaca yang sangat panas. Wanita hamil disarankan

mengonsumsi air sekitar 2,4 liter sehari, sedangkan wanita yang menyusui

disarankan mengonsumsi air sekitar 3,1 liter per hari atau 12-13 gelas (Kemenkes RI,

2017).

Gejala yang timbul akibat kekurangan cairan mudah untuk diketahui, tanda

awal yang umumnya dirasakan ketika seseorang kekurangan cairan adalah merasa

haus dan urine berwarna lebih gelap dari biasanya. Gejala lain yang juga dirasakan

ketika tubuh dehidrasi yaitu merasa pusing, sakit kepala, mulut, bibir, dan mata

terasa kering, buang air kecil dengan jumlah dan intensitas yang jarang, kurang

energi, dan kelelahan (Kemenkes RI, 2017).

Menurut P2PTM Kemenkes RI (2018) manfaat minum air 8 gelas sehari

dapat memelihara fungsi ginjal, menghindari dehidrasi, mengurangi risiko kanker

kandung kemih, memperlancar pencernaan, perawatan kulit dan dapat mengontrol

kalori. Terdapat perbedaan kebutuhan air putih berdasarkan berat badan yang

dimiliki seseorang, seperti gambar 2.1.

32
Gambar 2.1 Kebutuhan Air Putih Berdasarkan Berat Badan
(Source: P2PTM Kemenkes RI, 2018)

Air di dalam tubuh berfungsi menjaga kesegaran, membantu perncernaan,

dan mengeluarkan racun. Air putih juga bermanfaat sebagai terapi terutama

menjaga berat badan tetap normal serta dapat menurunkan berat badan. Air

merupakan elemen penting dalam proses metabolisme (pembakaran kalori) dalam

tubuh. Proses metabolisme yaitu merubah makanan menjadi energi, jika tidak

cukup minum air putih maka tubuh tidak dapat melakukan metabolisme dengan

baik. Saat zat gizi tidak dibakar dengan baik maka terjadi penumpukan kalori di

dalam tubuh dan disimpan menjadi otot/daging dan lemak (Hamidin, 2010).

Ketika dehidrasi, tubuh akan mengirim sinyal dengan merespons pada

makanan sehingga dianjurkan minum terlebih dahulu sebelum makan agar tubuh

merespons apakah benar-benar lapar atau hanya dehidrasi. Kebiasaan

mengonsumsi air putih dapat membuat kita merasa kenyang dan terhindar dari

33
jenis minuman lainnya seperti soda, teh, kopi, dan lain-lain. Bahkan diberbagai

negara seperti di Amerika, Eropa, dan Jepang masyarakatnya telah melakukan diet

dengan air putih tetapi di Indonesia masih perlu sosialisasi dengan diet jenis ini

(Hamidin, 2010).

Penelitian yang dilakukan oleh Lakoro dkk. (2013) menunjukkan bahwa

konsumsi air putih <8 gelas/hari dapat meningkatkan risiko obesitas, sedangkan

konsumsi ≥8 gelas/hari merupakan faktor proteksi terhadap kejadian obesitas

dengan OR=0,4. Hasil penelitian Buanasita dkk. (2015) menunjukkan bahwa

mahasiswa obesitas cenderung memiliki kebiasaan kurang meminum air putih

dibandingkan dengan mahasiswa normal. Mahasiswa obesitas lebih banyak

mengalami dehidrasi dibandingkan dengan mahasiswa normal dengan p value =

0,00.

2.7 Hubungan Frekuensi Makan Di Luar Rumahdengan Kejadian Obesitas

Di era modern ini, masyarakat kecenderungan untuk makan di luar rumah.

Kebiasaan makan di luar rumahdisebabkankesibukan dan pekerjaan, sehingga

makanan yang mudah di dapat, siap saji, dan biaya yang relatif murah menjadi

alternatif untuk bisa memenuhi kebutuhan. Sekarang ini makanan yang tersedia

semakin beragam dan diolah sedemikian rupa, sehingga beberapa menjelma

menjadi makanan tidak sehat. Makanan ini sering disebutjunk food, atau makanan

siap saji atau makanan sampah, yang tinggi kalori serta tinggi lemak, gula, dan

garam (Kemenkes RI, 2018).

Junk food juga miskin zat gizi dan tinggi akan zat tambahan makanan,

pewarna, serta penguat rasa. Contohnya beef burger, french fries, potato chips,

34
makanan kaleng, makanan olahan serta minuman soda, minuman kemasan, dan

lain-lain. Makanan-makanan jenis ini apabila dikonsumsi jangka panjang akan

sangat berdampak buruk bagi kesehatan. Konsumsi junk food jangka panjang akan

berdampak buruk bagi kesehatan, baik pada anak, remaja, maupun dewasa. Makan

junk food dapat meningkatkan risiko kegemukan atau obesitas, diabetes, hipertensi,

gangguan lemak darah (dislipidemia), seperti peningkatan kadar kolesterol dan

trigliserida darah, serta penyakit jantung koroner dan stroke (Kemenkes RI, 2018).

Hasil penelitian Prabowo dkk. (2014) diketahui bahwa frekuensi makan di

luar rumah berhubungan nyata dengan kejadian gizi lebih pada

mahasiswidiSurakarta (p= 0,025) dan memiliki nilai OR=3,5.Artinya, semakin sering

atau hampir setiap hari seseorang makan di luar rumah 3,5 kali lebih besar untuk

mengalami gizi lebih dibandingkan dengan seseorang makan di luar rumah 2-3 kali

per minggu atau jarang.

2.8 Hubungan Kebiasaan Sarapan Pagi dengan Kejadian Obesitas

Sarapan adalah kegiatan makan dan minum yang dilakukan antara bangun

pagi sampai jam 9 untuk memenuhi sebagian kebutuhan gizi harian(15-30%

kebutuhan gizi) dalam rangka mewujudkan hidup sehat, aktif, dan produktif.Bagi

remaja dan orang dewasa sarapan yang cukup terbukti dapat mencegah

kegemukan. Membiasakan sarapan juga berarti membiasakan disiplin bangun pagi

dan beraktifitas pagi dan tercegah dari makan berlebihan dikala makan kudapan

atau makan siang (Kemenkes RI, 2014).

Sarapan pagi sangat baik bagi kesehatan, jika tidak sarapan tubuh manusia

diibaratkan seperti kendaraan yang kehabisan bahan bakar. Ahli nutrisi

35
menyarankan agar sarapan setidaknya dua jam setelah bangun pagi. Jika sedang

berusaha menurunkan berat badan, melewatkan sarapan demi mengurangi kalori

bukan hal yang benar. Sebaliknya, sarapan justru membantu menurunkan berat

badan. Saat tidak sarapan tubuh akan menginginkan makanan yang manis dan

menambah porsi makan ketika makan siang (P2PTM Kemenkes RI, 2016).

Masih banyak masyarakat yang salah dalam memaknai sarapan. Masyarakat

menganggap hanya minum air/kopi/teh, hanya makan sepotong kue kecil, dan

makan jam 10 pagi sudah termasuk sarapan. Menu sarapan pagi yang baik adalah

menu sehat seimbang seperti makan siang dan malam (Hardinsyah, 2013).

Berdasarkan penelitian Mariza dan Kusumastuti (2013) diketahui bahwa

kebiasaan tidak sarapan pagi meningkatkan risiko seseorang untuk biasa jajan di

luar dengan p value= 0,000 dan OR=1,5. Dampak selanjutnya akan membuat

seseorang mengalami gizi lebih dengan p value= 0,001 dan OR= 7,012.

Hasil penelitian Arraniri dkk. (2017)juga menunjukkan bahwa terdapat

hubungan yang bermakna antara kebiasaan sarapan dengan persentase lemak

tubuh 0,001 (p<0,05), artinya semakin tidak teratur sarapan makan semakin besar

persentase lemak tubuh. Penelitian tersebut sejalan dengan Rosida dan Adi (2017)

bahwa orang yang tidak biasa sarapan bila melakukakn sarapan <4 kali seminggu

mengalami status gizi tidak normal dibandingkan orang yang biasa sarapan bila ≥4

kali seminggu dengan p value= 0,005.

36
2.9 Hubungan Durasi Tidur dengan Kejadian Obesitas

Seseorang dengan usia antara 18-60 tahunmembutuhkan waktu tidur 7-8

jam setiap malam, sedangkan lansia >60 tahun waktu tidur cukup 6 jam setiap

malam. Para dokter memberikan saran bagi seseorang yang ingin hidup sehat untuk

menerapkan aturan ini pada kehidupan sehari-hari. Jika terjaga terus-menerus

sepanjang malam maka akan terjadi peningkatan rasa lapar. Hasrat atau nafsu

makan yang selalu ingin tersalurkan akan memicu obesitas atau kegemukan dengan

berat badan yang melebihi ukuran ideal. Hal tersebut akan memperburuk kondisi

kesehatan tubuh, berbagai penyakit akan menghampiri seperti penyakit jantung,

tekanan darah tinggi, stroke bahkan diabetes (P2PTM Kemenkes RI, 2016).

Sebuah penelitian baru di Duke University Medical Center di Durham, North

Carolina, Amerika Serikat, telah menemukan bahwa manfaat tidur teratur tidak

hanya untuk anak-anak, tetapi juga untuk orang dewasa.Para peneliti mempelajari

pola tidur dari hampir 2.000 orang dewasa yang mengenakan alat pelacak tidur

selama tujuh hari dan juga harus mengisi jurnal tidur.Hasilnya menunjukkan bahwa

waktu tidur yang teratur membuat jantung dan metabolisme responden tetap

sehat. Sedangkan pada responden dengan waktu tidur tidak teratur lebih berisiko

mengalami kelebihan berat badan, memiliki gula darah tinggi, dan tekanan darah

tinggi (P2PTM Kemenkes RI, 2018)

Hasil penelitian Kurniawati dkk. pada polisi tentang durasi tidur didaptkan

hasil bahwa terdapat hubungan antara durasi tidur dengan kejadian obesitas pada

polisip-value = 0,009(<0,05) dan diperoleh nilai OR = 3,864 dengan 95% (CI) = 1,487-

10,037. Artinya responden dengan durasi tidur kurang mempunyai kecenderungan

37
terhadap kejadian obesitas sebesar 3,864 kali dibandingkan dengan responden

dengan durasi tidur cukup (Kurniawati dkk., 2016).

Hasil penelitian Ramadhaniah dkk. (2014) didapatkan hasil bahwa durasi

tidur <7 jam berhubungan dengan kejadian obesitas pada tenaga kesehatan

puskesmas dengan p value= 0,001 dan OR= 2,59. Artinya seseorang dengan durasi

tidur<7 jam berisiko 2,59 kali lebih besar untuk mengalami obesitas daripada

seseorang dengan durasi tidur ≥7 jam.

Rusmini pada tahun 2016 telah meneliti tentang durasi tidur pada penderita

obesitas di wilayah Sidotopo Wetan Surabaya diketahui sebagian besar responden

berpendidikan terakhir SMA dan bekerja swasta. Didapatkan hasil bahwa penderita

obesitas I sebanyak 20 orang mengalami obese I dan 12 diantaranya memiliki durasi

tidur yang lebih pendek yaitu antara 3-5 jam, dan terbukti ada hubungan antara

durasi tidur dengan obesitas dengan p=0.02 (α=0.05).

38
2.10 Kerangka Teoritis

Berdasarkan teori yang telah diuraikan di atas mengenai faktor risiko

kejadian obesitas maka secara teoritis dapat digambarkan sebagai berikut:

Arlinda, 2015:
1. Konsumsi Fast Food

Lakoro dkk., 2013:


1. Konsumsi air
2. Konsumsi susu dan produk susu
3. Konsumsi minuman manis

Agustin dkk., 2018:


1. Pengetahuan Gizi Seimbang
2. Sikap Gizi Seimbang
3. Perilaku Gizi Seimbang

Asrin dkk., 2013:


1. Konsumsi Soft Drink Berkarbonasi Kejadian Obesitas
2. Konsumsi Soft Drink Nonkarbonasi

Prabowo dkk., 2014:


1. Frekuensi Makan Di Luar Rumah
2. Jumlah Uang Jajan

Rosida dan Adi, 2017:


1. Kebiasaan Sarapan
2. Tingkat Kecukupan Energi,
Karbohidrat, Protein dan Lemak

Ramadhaniah dkk., 2014:


1. Durasi Tidur
2. Asupan Energi
3. Aktivitas Fisik

Gambar 2.2 Kerangka Teoritis

39

Anda mungkin juga menyukai