Anda di halaman 1dari 14

KAFA’AH DALAM PERNIKAHAN

Diajukan untuk Tugas Mata Kuliah Fiqih


Dosen Pengampu : Deny Ahmad Jaelani, M.Pd.

Disusun Oleh :

Eka Handayani 1.2019.1.0523


Hilma Halimatusadiyah 1.2019.1.0527
Muhammad Fikri Al Hilali 1.2019.1.0542

FAKULTAS TARBIYAH
PRODI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM (STAI) SUKABUMI
2020
KATA PENGANTAR

Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh


Alhamdulillahirabbil 'alamin, segala puji syukur kehadirat Allah Swt karena
dengan limpahan rahmat dan karunia-Nya penyusun dapat menyelesaikan
makalah ini dengan baik. Sholawat serta salam semoga tercurahkan kepada Nabi
kita Muhammad Saw, keluarga, para sahabat, dan pengikut beliau hingga akhir
zaman.

Makalah yang berjudul “Kafa’ah dalam pernikahan” ini disusun dalam


rangka memenuhi tugas Mata Kuliah Fiqih. Pada kesempatan ini penyusun juga
mengucapkan terimakasih kepada Bapak Deny Ahmad Jaelani, M.Pd. selaku
dosen.

Penyusun sangat berharap makalah ini dapat berguna dalam menambah


wawasan serta pengetahuan bagi para pembaca. Penyusun menyadari bahwa
makalah ini jauh dari kesempurnaan, baik dari segi tata bahasa maupun dalam hal
pengkonsolidasian. Oleh karena itu, penyusun mengharapkan kritik dan saran
konstruktif (membina, memperbaiki, membangun, dan sebagainya) dari pembaca
demi kesempurnaan makalah ini di kemudian hari. Akhir kata, hanya kepada
Allah lah do’a disampaikan, semoga usaha penyusunan makalah ini menjadi amal
ibadah kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Aamiin…

Sukabumi, Oktober 2020


Penyusun

Kelompok 2

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR i
DAFTAR ISI ii
BAB I PENDAHULUAN 1
A. Latar Belakang Masalah 1
B. Rumusan Masalah 2
C. Tujuan 2
BAB II PEMBAHASAN 3
A. Pengertian Kafa’ah 3
B. Dasar hukum Kafa’ah
C. Kriteria Kafa’ah
D. Waktu berlakunya Kafa’ah

BAB III PENUTUP


A. Kesimpulan
DAFTAR PUSTAKA

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Pernikahan merupakan salah satu ketetapan Allah yang berlaku
untuk semua makhluk-Nya, termasuk manusia, hewan, dan tumbuhan.
Sebagaimana firman Allah SWT yang artinya : “Dan segala sesuatu kami
ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu mengigat kebesaran Allah”
(Q.S Ad-Dzariyat (51) : 49).
Pernikahan menjadi cara yang Allah ciptakan untuk manusia agar
dapat beranak dan berkembang biak serta melestarikan keturunan yang
akan menjadi penerus bagi umat manusia di muka bumi. Sebagaimana
firman Allah SWT yang artinya : “Allah menjadikan bagimu dari isteri-
isteri kamu itu, anak-anak dan cucu-cucu, dan memberimu rezeki dari
yang baik-baik. Maka mengapakah mereka beriman kepada yang bathil
dan mengingkari nikmat Allah” (Q.S An-Nahl (16) : 72).
Manusia merupakan makhluk yang paling mulia di muka bumi ini
karena Allah memberi akal kepada manusia agar mereka dapat berpikir
dan menjalani kehidupan secara teratur dengan aturan-aturan yang sudah
ditetapkan. Begitu pula dalam hal pernikahan, Allah telah menetapkan
hukum serta aturan yang sesuai agar manusia dapat menjaga harga diri dan
martabatnya. Sehingga hubungan antara laki-laki dan perempuan tidak
dilakukan secara anarki dan seenaknya.
Pernikahan artinya terkumpul atau menyatu. Menurut istilah lain
juga dapat berarti ijab qobul (akad nikah) yang mengharuskan
berhubungan antara sepasang manusia yang diucapkan dengan kata-kata
yang ditunjukan untuk melanjutkan pernikahan sesuai syarat dan rukun
nikah. Sebelum melangsungkan pernikahan ada baiknya kita tau kriteria
orang yang akan menjadi pasangan kita karena pernikahan dilakukan
untuk seumur hidup.

1
2

Dalam memilih pasangan hidup haruslah dipikirkan secara baik


dan benar, kehidupan rumah tangga akan terasa lebih harmonis apabila
seseorang memiliki pasangan yang setara atau sekufu. Maksudnya
memiliki keseimbangan dan keserasian antara calon istri dan suami agar
keduanya tidak merasa keberatan untuk melangsungkan pernikahan.

B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian kafa’ah dalam pernikahan
2. Bagaimana hukum kafa’ah
3. Apa saja kriteria dalam kafa’ah

C. Tujuan
1. Menjelaskan pengertian kafa’ah dalam pernikahan
2. Menjelaskan hukum kafa’ah
3. Menjelaskan hal-hal yang menjadi kriteria dalam kafa’ah
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Kafa’ah

Kafa’ah menurut etimologi berasal dari bahasa arab yang artinya


kesamaan atau kesetaraan. Yang dimaksudkan kesamaa atau kesetaraan
dalam pernikahan disini dalam beberapa hal tertentu dan bukan untuk
membeda-bedakan kasta atau suatu golongan tetapi agar calon istri dan
calon suami tidak meraa keberatan dalam melangsungkan pernikahan. Dan
agar kedua belah pihak mengetahui kelebihan dan kekurangan calon
pasangan masing-masing sebelum menikah.

Sedangkan secara terminologi pengertian kafa’ah dalam


pernikahan memiliki beberapa perbedaan pendapat menurut ulama, berikut
beberapa pendapatnya :

1. Menurut imam Hanafi, kafa’ah yaitu kesetaraan kondisi suami


terhadap kondisi istri dalam beberapa perkara khusus yaitu, nasab,
islam, pekerjaan, merdeka, ketakwaan, dan harta.
2. Menurut imam Maliki, kafaah dalam pernikahan mencangkup dua
hal yaitu, dalam hal agama haruslah pasangannya itu muslim yang
tidak fasik dan selamat dari aib yang memperbolehkan seorang
perempuan melakukan khiyar terhadap suami.
3. Menurut imam Syafi’i, kafa’ah diartikan sebagai persamaan
seorang suami dan istri dengan kesempurnaan atau kekurangannya
(selain perkara yang selamat dari cacat). Dan hal yang harus
menjadi pertimbangan yaitu : nasab, agama, merdeka, dan
pekerjaan.
4. Menurut imam Hambali, kafa’ah adalah kesamaan atau kesetaraan
dalam lima hal : islam, pekerjaan, harta, merdeka, dan nasab.

3
4

Makna kafa’ah atau kufu dalam pernikahan lebih menegaskan


kepada keseimbangan dan kesetaraan dalam hal agama. Karena jika
disamakan dalam hal kekayaan atau keturunan maka akan lebih merujuk
kepada persamaan kasta. Hal ini tidak dibenarkan dalam islam karena
semua manusia status nya sama di hadapan Allah kecuai dalam hal
ketakwaan nya. Sebagaimana firman Allah dalam surat Al-Hujurat ayat 13
:

“Wahai manusia, sungguh Kami telah menciptakan kamu dari seorang


laki-laki dan seorang perempuan, kemudian kami jadikan kamu berbangsa-
bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sungguh, yang
paling mulia diantara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa.
Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Maha Teliti.” (QS. Al-Hujurat (49) :
13)

B. Dasar hukum Kafa’ah

1. Al – Qur’an
a. Al- Maidah (5) : 5

“Pada hari ini dihalalkan bagimu segala yang baik-baik.


Makanan (sembelihan) Ahli kitab itu halal bagimu, dan
makananmu halal bagi mereka. Dan (dihalalkan bagimu
meikahi) perempuan-perempuan yang menjaga kehormatan
diantara perempuan-perempuan yang beriman dan
perempuan-perempuang yang menjaga kehormatan diantara
perempuan-perempuan yang diberi kitab sebelum kamu,
apabila kamu membayar maskawin mereka untuk
menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan bukan
untuk menjadikan perempuan piaraan. Barang siapa kafir
5

sebelum beriman, maka sungguh sia-sia amal mereka dan


di akhirat dia termasuk orang-orang yang rugi”

b. An-Nur (24) : 26

“Perempuan-perempuan yang keji untuk laki-laki yang keji


dan laki-laki yang keji untuk perempuan-perempuan yang
kei (pula), sedangkan perempuan-perempuan yang baik
untuk laki-laki yag baik dan laki-laki yang baik untuk
perempuan-perempuan yang baik (pula). Mereka itu bersih
dari apa yang dituduhkan orang. Mereka memperolah
ampunan dan rezeki yang mulia (surga)”

c. Al-Baqarah (2) : 221

“Dan janganlah kamu menikahi perempuan musyrik


sebelum mereka beriman. Sungguh, hamba sahaya
perempuan yang beriman lebih baik daripada perempuan
musyrik meskipun dia menarik hatimu. Dan janganlah
kamu nikahkan orang (laki-laki) musyrik (dengan
perempuan beriman) sebelum mereka beriman. Sungguh,
hmba sahaya laki-laki yang beriman lebih baik daripada
laki-laki musyrik meskipun dia menarik hatimu. Mereka
mengajak ke neraka, dan Allah mengajak ke surga dan
ampunan dengan izin-Nya. (Allah) menerangkan ayat-ayat-
Nya kepada manusia agar mereka mengambil pelajaran”

2. Al – Hadits
a. Riwayat Ali bin Abi Thalib ra, bahwasannya Rasulullah
saw bersabda kepadanya, “wahai Ali, janganlah engkau
6

mengakhirkan (menunda-nunda) tiga hal : sholat jika telah


tiba waktunya, jenazah jika telah hadir (untuk segera diurus
dan dikuburkan), dan anak perempuan yang siap menikah
jika telah engkau dapatkan sekufu dengannya”.

b. Rasulullah bersabda tentang ciri wanita yang harus


dinikahi: “Wanita itu dinikahi karena 4 hal : karena
hartanya, keturunannya, kecantikannya, dan agamanya.
Maka pilihlah karena agamanya, niscaya kamu akan
beruntung.” (HR. Bukhari)

Mengenai konsep Kafa’ah atau kufu dalam pernikahan ini tidak di


terangkan secara jelas dalam Al-Qur’an dan Hadits sehingga menimbulkan
beberapa perbedaan pendapat di kalangan ulama. Beberapa ulama
menganggap bahwa kafa’ah ini penting dalam pernikahan karna kafa’ah
menjadi faktor pendorong dalam keberlangsungan berumah tangga.
Sedangkan ulama lain mengaggap bahwa kafa’ah tidak terlalu penting,
yang terpenting hanya dalam hal agama dan tidak berzina.

Terlepas dari pendapat para ulama tentang apakah kafa’ah itu


penting atau tidak, kembali kepada diri kita masing-masing. Karena
kafa’ah bukan termasuk kedalam rukun-rukun pernikahan maka sebuah
pernikahan tetap akan sah hukumnya walaupun ada unsur tidak kafa’ah
dalam pernikahan tersebut. Asalkan dari kedua belah pihak masing-masing
merasa ridho dan tidak keberatan menjalankannya.

C. Kriteria Kafa’ah
1. Agama
Agama menjadi hal yang paling pokok dan paling penting. Semua
ulama sepakat bahwa perlu adanya kafa’ah dalam hal agama.
Sebagaimana firman Allah dalam surat As-sajdah ayat 18 :
7

“Orang-orang yang beriman tidaklah sama dengan orang-orang yang


fasik, mereka tidaklah sama” (QS.As-Sajdah(32) : 18)
Dari ayat tersebut sudah dijelaskan bahwa seorang muslim yang
sholeh sama dengan seorang muslimah yang sholehah dan mereka
semua tidak sama dengan orang yang fasik. Dalam surat Al-Hujurat
ayat 49 dijelaskan yang membedakan seorang muslim dengan muslim
yang lainnya hanyalah ketakwaannya.

2. Nasab (keturunan)
Nasab merupakan salah satu hal yang penting yang termasuk
dalam kafa’ah. Setiap manusia pasti memiliki silsilah keturunan
masing-masing sebagaimana yang Allah telah jelaskan dalam Al-
Qur’an:

“Dan dia (pula) yang menciptakan manusia dari air, lalu Dia jadikan
manusia itu (mempunyai) keturunan dan musaharah dan Tuhanmu
adalah Maha Kuasa” (QS. Al-Furqan (25) : 54)
Ayat ini merupakan ayat dalam bab kafa’ah. Yang dimaksudkan
nasab disini adalah keturunan dan hubungan dalam kekeluargaan yang
berasal dari perkawinan.

3. Merdeka
Merdeka yang dimaksudkan disini adalah orang yang bukan
termasuk hamba sahaya atau budak. Hal ini berpacu kepada firman
Allah yang berbunyi:

“Allah membuat perumpamaan seorang hamb sahaya di bawah


kekuasaan orang lain, yang tidak berdaya berbuat sesuatu, dan seorang
yang kami beri rezeki yang baik, lalu dia menginfakkan sebagian
rezeki itu secara sembunyi-sembunyi dan secara terang-terangan.
8

Samakah mereka itu? Segala puji bagi Allah, tetapi kebanyakan


mereka tidak mengetahui” (QS. An-Nahl (16) : 75)
Dari ayat ini dapat disimpulkn bahwa seorang hamba sahaya tidak
dapat melalukan apapun kecuali atas perintah dan kehendak tuannya.

4. Harta
5. Pekerjaan
6. Ketakwaan
(QS. An-Nur (24) : 3)
7. Tidak cacat
a. Gila
b. Kusta
c. Penyakit kelamin
d.
e. impotensi

D. Waktu berlakunya Kafa’ah


Waktu yang ditentukan mengenai berlakunya kafa’ah atau tidak
seorang suami terhadap seorang istri dapat dilakukan sebelum akad
pernikahan. Dan apabila ada hal yang tidak kafa’ah yang diketahui setelah
akad dan sebelum terjadinya perkawinan maka akadnya boleh dibatalkan.

‫ق لِ ْل َمرْ أَ ِة‬
ٌّ ‫ص َّحتِ ِه بَلْ أِل َنَّهَا َح‬ ِ ‫ فِي ْال َكفَا َء ِة ْال ُم ْعتَبَ َر ِة فِي النِّ َك‬:ٌ‫فَصْ ل‬
ِ ِ‫اح اَل ل‬
‫َو ْال َولِ ِّي فَلَهُ َما إ ْسقَاطُهَا‬
“Pasal tentang kafa`ah yang menjadi pertimbangan dalam nikah, bukan
pada soal keabsahannya, namun hal tersebut merupakan hak calon istri dan
wali, maka mereka berdua berhak menggugurkannya.”
Dari pasal diatas dijelaskan bahwa orang yang berhak memberikan
ukuran kafa’ah atau tidak adalah pihak perempuan dan walinya. Hal ini
karena para ulama berpendapat bahwa apabila terjadi ketidak setaraan
9

antara pihak suami dan pihak istri maka akan lebih berpengaruh kepada
pihak istri. Karena jika seorang lelaki menikah dengan perempuan yang
status sosialnya lebih rendah darinya maka hal ini tidak akan menurunkan
derajat laki-laki tersebut. Berbeda hal nya jika itu terjadi pada perempuan.
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

10
DAFTAR PUSTAKA

Al-Qur’an Al-Karim

11

Anda mungkin juga menyukai