Anda di halaman 1dari 21

KOMPONEN REAKSI IMUNOLOGIK

Oleh
Kelompok V :

1. Arneta Syafridahlia
1810105047

Dosen Pengampuh :
Ns. Melti Surya, M.Kep

PRODI KEPERAWATAN
STIKes ALIFAH PADANG
2020/2021

1
KATA PENGANTAR

Segala puja dan puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan seluruh
rahmat dan nikmatnya kepada kita semua sehingga penulis dapat menyelesaikan pembuatan
makalah Karya Ilmiah yang berjudul “Asuhan Keperawatan Penyakit Appendisitis”. Penulis
sadar masih banyak kekurangan yang perlu diperbaiki dalam membuat makalah ini.

Walaupun demikian penulis sudah berusaha dengan maksimal demi kesempurnaan


penyusunan makalah ini baik dari hasil kegiatan diskusi dalam penyusunan makalah ini.
Kritik dan saran yang sifatnya membangun sangat diharapkan bagi penulis guna untuk
kesempurnaan penulisan makalah selanjutnya.

Dapat kesempatan ini, penulis haturkan terima kasih kepada seluruh pihak yang telah
membantu dalam penyusunan makalah ini.

1. Ns. Melti Surya, M.Kep, selaku Dosen Mata Kuliah Keperawatan HIV/AIDS .
2. Orang tua kami yang banyak memberikan dukungan baik moril maupun
materil.
3. Semua pihak yang tidak dapat kami rinci satu persatu yang telah membantu
dalam proses penyusunan makalah ini.
Dimana pihak yang telah mendukung penulis sehingga dapat menyelesaikan makalah
ini. Penulis berharap semoga laporan ini bisa bermanfaat serta dapat membantu bagi
perkembangan STIKes Alifah Padang.

Padang, 24 September 2020

Peyusun,

2
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL....................................................................................... i
KATA PENGANTAR.................................................................................... ii
DAFTAR ISI................................................................................................... iii
BAB I. PENDAHULUAN.............................................................................. 1
1.1 Latar Belakang.............................................................................. 1
1.2 Tujuan........................................................................................... 2
BAB II. TINJAUAN TEORITIS................................................................... 3
2.1 Komponen Reaksi Imunologik..................................................... 3
2.2 Jenis Imonologi............................................................................. 4
2.3 Respon Imun................................................................................. 5
2.4 Respon Imun Humoral ................................................................. 6
2.5 Interaksi Respon Imun.................................................................. 3
2.6 Cara Kerja Imun........................................................................... 4
2.7 Pengelompokan Antigen............................................................... 5
2.8 Faktor Pengubah Mekanisme Imun ............................................. 6
2.9 Penyimpanan Sistem Imun .......................................................... 6
BAB III. PENUTUP........................................................................................ 30
3.1 Kesimpulan................................................................................... 30
3.2 Saran............................................................................................. 30
DAFTAR PUSTAKA...................................................................................... 41

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar belakang

Sistem kekebalan tubuh sangat mendasar peranannya bagi kesehatan,

tentunya harus disertai dengan pola makan sehat, cukup berolahraga, dan

terhindar dari masuknya senyawa beracun ke dalam tubuh.

Pola hidup modern menuntut segala sesuatu dilakukan secara cepat dan instan.

3
Hal ini berdampak juga pada pola makan misalnya sarapan didalam kendaraan,

makan siang serba tergesah-gesah, dan malam karena kelelahan jadi tidak ada

nafsu makan. Belum lagi kualitas makanan yang dikonsumsi, polusi udara,

kurang berolahraga dan stres. Apabila terus berlanjut maka daya tahan tubuh

akan terus menurun, lesu, cepat lelah dan mudah terserang penyakit. Sehingga

saat ini banyak orang yang masih muda banyak yang mengidap penyakit

degeneratif. Kondisi stres dan pola hidup modern serta polusi, diet tidak

seimbang dan kelelahan menurunkan daya tahan tubuh sehingga menurunkan

kecukupan antibodi. Gejala menurunnya daya tahan tubuh seringkali terabaikan

sehingga timbul berbagai penyakit infeksi, penuaan dini pada usia dini.

Dengan kemajuan imunologi yang telah dicapai sekarang ini, maka

konsep imunitas dapat diartikan sebagai suatu mekanisme yang bersifat faali

yang melengkapi manusia dan binatang dengan suatu kemampuan untuk

mengenal suatu zat sebagai asing terhadap dirinya, yang selanjutnya tubuh akan

mengadakan tindakan dalam bentuk netralisasi, melenyapkan atau memasukkan

dalam proses metabolisme yang dapat menguntungkan dirinya atau menimbulkan

kerusakan jaringan tubuh sendiri. Konsep imunitas tersebut, bahwa yang

pertama-tama menentukan ada tidaknya tindakan oleh

4
tubuh (respons imun), adalah kemampuan sistem limforetikuler untuk

mengenali bahan itu asing atau tidak (Bellanti,1985: Marchalonis, 1980;

Roitt,1993).

Rangsangan terhadap sel-sel tersebut terjadi apabila kedalam tubuh

terpapar suatu zat yang oleh sel atau jaringan tadi dianggap asing.

Konfigurasi asing ini dinamakan antigen atau imunogen dan proses serta

fenomena yang menyertainya disebut dengan respons imun yang

menghasilkan suatu zat yang disebut dengan antibodi. Jadi antigen atau

imunogen merupakan potensi dari zat-zat yang dapat menginduksi respons

imun tubuh yang dapat diamati baik secara seluler ataupun humoral. Dalam

keadaan tertentu (patologik), sistem imun tidak dapat membedakan zat asing

(non-self) dari zat yang berasal dari tubuhnya sendiri (self), sehingga sel-sel

dalam sistem imun membentuk zat anti terhadap jaringan tubuhnya sendiri.

Kejadian ini disebut dengan Autoantibodi (Abbas dkk., 1991; Roit dkk.,

1993).

Bila sistem imun terpapar oleh zat yang dianggap asing, maka akan

terjadi dua jenis respons imun, yaitu respons imun non spesifik dan respons

imun spesifik. Walaupun kedua respons imun ini prosesnya berbeda, namun

telah dibuktikan bahwa kedua jenis respons imun diatas saling meningkatkan

efektivitasnya. Respons imun yang terjadi sebenarnya merupakan interaksi

antara satu komponen dengan komponen lain yang terdapat didalam system

imun. Interaksi tersebut berlangsung bersama-sama sedemikian rupa sehingga

menghasilkan suatu aktivitas biologic yang seirama dan serasi (Grange, 1982;

Goodman, 1991; Roit dkk., 1993).

5
.2 Rumusan Masalah
1. Apa jenis imunologi?
2. Bagaimana respon imun ?
3. Apa saja respon imun humoral ?
4. Apa saja interaksi respon imun?
5. Bagaimana cara kerja imun ?
6. Bagaimana pengelompokkan antigen ?
7. Apa saja faktor pengubah mekanisme imun ?
8. Bagaimana penyimpanan sistem imun ?
.3 Tujuan Masalah
1. Untuk mengetahui Apa jenis imunologi.
2. Untuk mengetahui Bagaimana respon imun.
3. Untuk mengetahui Apa saja respon imun humoral.
4. Untuk mengetahui Apa saja interaksi respon imun.
5. Untuk mengetahui Bagaimana cara kerja imun.
6. Untuk mengetahui Bagaimana pengelompokkan antigen.
7. Untuk mengetahui Apa saja faktor pengubah mekanisme imun.
8. Untuk mengetahui Bagaimana penyimpanan sistem imun.
1.

6
BAB II

TINJAUAN TEORITIS

2.1 Komponen Reaksi Imunologi

Sistem imun dilengkapi dengan kemampuan untuk memberikan


respons imun non spesifik, misalnya fagositosis, maupun kemampuan untuk
memberikan respons imun spesifik yang dilakukan oleh sel-sel dan jaringan
limfoid yang tergolong kedalam system limforetikuler (Oppenheim
dkk.,1987; Abbas dkk.,1991; Roit dkk.,1993). Sistem ini terdiri atas sejumlah
organ limfoid yaitu :

1. kelenjar timus
2. kelenjar limfe
3. limfa
4. tonsil

5. berbagai jenis sel serta jaringan diluar organ limfoid, seperti :

a. peyer,s patches yang terdapat pada dinding usus

b. jaringan limfoid yang membatasi saluran nafas dan saluran

urogenital

c. jaringan limfoid dalam sumsum tulang dan dalam darah

Sistem limforetikuler inilah yang merupakan system kendali dari

semua mekanisme respons imun. Disamping system limforetikuler diatas,

masih ada unsur-unsur lain yang berperan dalam mekanisme respons imun,

dan factor- faktor humoral lain diluar antibody yang berfungsi menunjang

mekanisme tersebut.

7
2.2 Jenis Imunologi
a. Protein

Protein merupakan sebuah antigen atau imunogen, apabila disuntikkan

kepada spesies yang bukan merupakan sumber protein tersebut. Apabila

imunogen tersebut merupakan imunogen yang dihasilkan oleh hewan

berdasarkan alele yang dimiliki oleh spesies bersangkutan, maka antigen

tersebut dinamakan alloantigen. Beberapa contoh dari alloantigen adalah :

antigen golongan darah yang terdapat pada permukaan eritrosit, antigen

system HLA yang terdapat pada permukaan leukosit, dan epitop yang

terdapat pada molekul immunoglobulin disebut dengan alotipe.

b. Polisakharida

Polisakharida dalam bentuk murni umumnya hanya dapat

menimbulkan respons imun pada spsies tertentu saja. Kelinci dan marmot

yang mempunyai respons imun sangat baik bila disuntik dengan protein, tidak

akan menimbulkan respons imun sama sekali apabila hewan tersebut disuntik

dengan polisakharida murni. Sebaliknya mencit dan manusia sangat baik

responnya terhadap polisakharida, sehingga sangat diperlukan dalam

penelitian imunokimiawi. Antigen polisakharida sederhana adalah dextran dan

levan. Dextran merupakan polimer yang hanya terdiri atas`glukosa, sedangkan

levan tersusun dari fructose. Jenis lain dari antigen polisakharida, yaitu yang

terdapat sebagai kapsel pnemokokus yang sangat penting sebagai bahan

vaksin terhadap mikroorganisme tersebut. Glikoprotein dan glikopeptida

merupakan protein yang mengandung karbohidrat yang dalam keadaan

8
tertentu spesifisitasnya ditentukan oleh gugus karbohidratnya. Contoh jenis ini

adalah antigen golongan darah yang larut dan antigen dari tumor

c. polipeptida sintetik

Bentuk dari polipeptida sintetik tergantung dari yang kita kehendaki.

Ada beberapa jenis polipeptida sintetik seperti :

1. Homopolimer, merupakan polimer yang hanya terdiri dari

satu jenis asam amino.

2. Kopolimer penggal, terdiri atas peptida pendek yang tersusun

dari beberapa asam amino yang dirangkai beberapa kali.

3. Kopolimer acak, terdiri dai asam amino yang dirangkaikan

secara acak.

4. Kopolimer rantai ganda, tersusun dari rantai utama, dengan

rantai cabang yang terdiri dari tiga jenis polimer lainnya.

5. Polimer dengan rantai-rantai yang merupakan peptida yang

berulang secara periodic.

d. Asam Nukleat

Asam nukleat murni, sangat sukar menginduksi respons imun,

kecuali dilakukan denaturasi terlebih dahulu. Pada manusia,

antibodi terhadap asam nukleat terbentuk secara spontan, pada

beberapa kejadian penyakit seperti pada Lupus Erythematosus.

9
2.3 HAPTEN

Beberapa substansi dapat berikatan dengan antibodi spesifik,

walaupun substansi itu sendiri tidak mampu merangsang timbulnya

respons imun. Substansi itu umumnya merupakan molekul berukuran

kecil yang disebut dengan hapten. Hapten berasal dari kata yunani yang

berarti mempererat. Beberapa contoh hapten : Sulfonat, Arsonat dan

Carboxylate. Hapten baru akan bersifat imunogenik apabila ia berikatan

dengan protein carrier. Beberapa jenis hapten yang berasil

disenyawakan dengan protein sebagai pengemban sehingga dapat

diperoleh antibodi terhadapnya antara lain : gugusan yang berbentuk

cincin aromatik, gugus gula, steroid, peptide, purin, pirimidin,

nukleosid, nukleotida dan obat-obatan seperti penisilin dan zat-zat

fluoresens (Tizard 1987; Abbas, 1991; Roitt dkk., 1993).

Ciri terpenting dari suatu imunogen adalah kemampuan untuk

menyulut respons imun dengan bantuan dari limfosit T. berbagai

penelitian telah membuktikan bahwa imunogen sedikitnya harus

memiliki dua determinan untuk merangsang pembentukan antibody, dan

sedikitnya satu determinan harus mampu merangsang limfosit T. selain

itu ada indikasi bahwa dalam beberapa hal, determinan antigen yang

berbeda pada satu molekul protein dapat menyulut respons subpopulasi

limfosit T yang berlainan, misalnya salah satu determinan mungkin

menyulut respons limfosit T penolong, akan tetapi determinan yang lain

mungkin memicu respons limfosit T penekan (Bellanti, 1985; Subowo,

1993; Roitt dkk., 1993).

10
2.3 Respon Imun

a. Respons Imun Nonspesifik


Umumnya merupakan imunitas bawaan (innate immunity), dalam

artian bahwa respons terhadap zat asing dapat terjadi walaupun tubuh

sebelumnya tidak pernah terpapar oleh zat tersebut. Sebagai contoh dapat

dijelaskan sebagai berikut : salah satu upaya tubuh untuk mempertahankan

diri terhadap masuknya antigen misalnya, bakteri, adalah dengan cara

menghancurkan bakteri tersebut dengan cara nonspesifik melalui proses

fagositosis. Dalam hal ini makrofag, neutrofil dan monosit memegang

peranan yang sangat penting. Supaya dapat terjadi fagositosis, sel-sel

fagositosis tersebut harus berada dalam jarak yang dekat dengan partikel

bakteri, atau lebih tepat lagi bahwa partikel tersebut harus melekat pada

permukaan fagosit. Untuk mencapai hal ini maka fagosit harus bergerak

menuju sasaran. Hal ini dapat terjadi karena dilepaskannya zat atau mediator

tertentu yang disebut dengan factor leukotaktik atau kemotaktik yang berasal

dari bakteri maupun yang dilepaskan oleh neutrofil, makrofag atau

komplemen yang telah berada dilokasi bakteri (Kresno, 1991; Roitt, 1993).

Selain factor kemotaktik yang berfungsi untuk menarik fagosit

menuju antigen sasaran, untuk proses fagositosis selanjutnya, bakteri

perlu mengalami opsonisasi terlebih dahulu. Ini berarti bahwa bakteri terlebih

dahulu dilapisi oleh immunoglobulin atau komplemen (C3b), supaya lebih

mudah ditangkap oleh fagosit. Selanjutnya partikel bakteri masuk kedalam sel

dengan cara endositosis dan oleh proses pembentukan fagosum, ia


11
terperangkap dalam kantong fagosum, seolah-olah ditelan dan kemudian

dihancurkan baik dengan proses oksidasi-reduksi maupun oleh derajat

keasaman yang ada dalam fagosit atau penghancuran oleh lisozim dan

gangguan metabolisme bakteri (Bellanti, 1985; Subowo, 1993).

Selain fagositosis diatas, manifestasi lain dari respons imun

nonspesifik adalah reaksi inflamasi. Reaksi ini terjadi akibat dilepaskannya

mediator-mediator tertentu oleh beberapa jenis sel, misalnya histamine yang

dilepaskan oleh basofil dan mastosit, Vasoactive amine yang dilepaskan oleh

trombosit, serta anafilatoksin yang berasal dari komponen – komponen

komplemen, sebagai reaksi umpan balik dari mastosit dan basofil. Mediator-

mediator ini akan merangsang bergeraknya sel-sel polymorfonuklear (PMN)

menuju lokasi masuknya antigen serta meningkatkan permiabilitas dinding

vaskuler yang mengakibatkan eksudasi protein plasma dan cairan. Gejala

inilah yang disebut dengan respons inflamasi akut (Abbas, 1991; Stite; 1991;

Kresno, 1991).

b. Respon Imun Spesifik


Merupakan respon imun yang didapat (acquired), yang timbul akibat

dari rangsangan antigen tertentu, sebagai akibat tubuh pernah terpapar

sebelumnya. Respons imun spesifik dimulai dengan adanya aktifitas

makrofag atau antigen precenting cell (APC) yang memproses antigen

sedemikian rupa sehingga dapat menimbulkan interaksi dengan sel-sel imun.

Dengan rangsangan antigen yang telah diproses tadi, sel-sel system imun

berploriferasi dan berdiferensiasi sehingga menjadi sel yang memiliki

kompetensi imunologik dan mampu bereaksi dengan antigen (Bellanti, 1985;

Roitt,1993; Kresno, 1991).


12
Walaupun antigen pada kontak pertama (respons primer) dapat

dimusnahkan dan kemudian sel-sel system imun mengadakan involusi,

namun respons imun primer tersebut sempat mengakibatkan terbentuknya

klon atau kelompok sel yang disebut dengan memory cells yang dapat

mengenali antigen bersangkutan. Apabila dikemudian hari antigen yang sama

masuk kedalam tubuh, maka klon tersebut akan berproliferasi dan

menimbulkan respons sekunder spesifik yang berlangsung lebih cepat dan

lebih intensif dibandingkan dengan respons imun primer.

C. Respons imun seluler


Telah banyak diketahui bahwa mikroorganisme yang hidup dan

berkembang biak secara intra seluler, antara lain didalam makrofag sehingga

sulit untuk dijangkau oleh antibody. Untuk melawan mikroorganisme

intraseluler tersebut diperlukan respons imun seluler, yang diperankan oleh

limfosit T. Subpopulasi sel T yang disebut dengan sel T penolong (T-helper)

akan mengenali mikroorganisme atau antigen bersangkutan melalui major

histocompatibility complex (MHC) kelas II yang terdapat pada permukaan sel

makrofag. Sinyal ini menyulut limfosit untuk memproduksi berbagai jenis

limfokin, termasuk diantaranya interferon, yang dapat membantu makrofag

untuk menghancurkan mikroorganisme tersebut. Sub populasi limfosit T lain

yang disebut dengan sel T-sitotoksik (T-cytotoxic), juga berfungsi untuk

menghancurkan mikroorganisme intraseluler yang disajikan melalui MHC kelas

I secara langsung (cell to cell). Selain menghancurkan mikroorganisme secara

langsung, sel T-sitotoksik, juga menghasilkan gamma interferon yang mencegah

penyebaran mikroorganisme kedalam sel lainnya.

13
2.4 Respons Imun Humoral
Respons imun humoral, diawali dengan deferensiasi limfosit B

menjadi satu populasi (klon) sel plasma yang melepaskan antibody spesifik ke

dalam darah. Pada respons imun humoral juga berlaku respons imun primer

yang membentuk klon sel B memory. Setiap klon limfosit diprogramkan untuk

membentuk satu jenis antibody spesifik terhadap antigen tertentu (Clonal

slection). Antibodi ini akan berikatan dengan antigen membentuk kompleks

antigen – antibodi yang dapat mengaktivasi komplemen dan mengakibatkan

hancurnya antigen tersebut. Supaya limfosit B berdiferensiasi dan membentuk

antibody diperlukan bantuan limfosit T-penolong (T-helper), yang atas sinyal-

sinyal tertentu baik melalui MHC maupun sinyal yang dilepaskan oleh

makrofag, merangsang produksi antibody. Selain oleh sel T- penolong,

produksi antibody juga diatur oleh sel T penekan (T-supresor), sehingga

produksi antibody seimbang dan sesuai dengan yang dibutuhkan.

2.5 Interaksi Antara Respons Imun Seluler dengan Humoral

Interaksi ini disebut dengan antibody dependent cell mediated

cytotoxicity (ADCC), karena sitolisis baru terjadi bila dibantu oleh antibodi.

Dalam hal ini antibodi berfunsi melapisi antigen sasaran, sehingga sel natural

killer (NK), yang mempunyai reseptor terhadap fragmen Fc antibodi, dapat

melekat erat pada sel atau antigen sasaran. Perlekatan sel NK pada kompleks

antigen antibody tersebut mengakibatkan sel NK dapat menghancurkan sel

sasaran.

Respons imun spesifik (adaptif) dapat dibedakan dari respons imun

bawaan, karena adanya cirri-ciri umum yang dimilikinya yaitu; bersifat

spesifik, heterogen dan memiliki daya ingat atau memory. Adanya sifat
14
spesifik akan membutuhkan berbagai populasi sel atau zat yang dihasilkan

(antibodi) yang berbeda satu sama lain, sehingga menimbulkan sifat

heterogenitas tadi. Kemampuan mengingat, akan menghasilkan kualitas

respons imun yang sama terhadap konfigurasi yang sama pada pemaparan

berikutnya.

2.6 Cara Kerja Imun

Adakalanya suatu imunogen merangsang respons imun tanpa

melibatkan limfosit T tetapi langsung merangsang limfosit B. Imunogen-

imunogen itu disebut dengan antigen T-independent. Antigen semacam ini

mungkin terdiri atas beberapa unit, yang masing-masing mempunyai susunan

molekul yang sama. Misalnya ; polisakharida pada pneumokokus, beberapa

jenis polimer protein dan PVP. Respons imun yang ditimbulkan oleh antigen

T-independent, terutama antibody Ig M atau mungkin hanya Ig M saja

(Abbas,1991; Kresno, 1991).

2.7 Pengelompokkan Antigen

Secara umum antigen dapat digolongkan menjadi antigen eksogen dan

antigen endogen. Antigen eksogen adalah antigen yang berasal dari luar tubuh

individu, misalnya berbagai jenis bakteri, virus dan obat-obatan. Sedangkan

antigen endogen adalah antigen yang berasal dari dalam tubuh sendiri, misalnya;

antigen xenogenic atau heterolog yang terdapat dalam spesies yang berlainan.

Antigen autolog atau idiotipik yang merupakan komponen dari tubuh sendiri,

dan antigen allogenic atau homolog yang membedakan satu individu dari

individu yang lain dalam satu spesies. Contoh determinant antigen homolog

adalah antigen yang terdapat pada eritrosit, leukosit, trombosit, protein serum dan

15
major histocompatibility complex (MHC) (Kresno, 1991; Abbas, 1991; Roitt

dkk., 1993).

2.8 Faktor Pengubah Mekanisme Imun

Selain faktor genetik, terdapat sejumlah factor yang dapat

mempengaruhi mekanisme imun seperti: faktor metabolik, lingkungan, gizi,

anatomi, fisiologi, umur dan mikroba (Bellanti, 1985; Subowo 1993; Roitt

dkk.,1993). Beberapa hormon dapat mempengaruhi respons imun tubuh,

misalnya pada keadaan hipoadrenal dan hipotiroidisme akan mengakibatkan

menurunnya daya tahan terhadap infeksi. Demikian juga pada orang-orang

yang mendapat pengobatan dengan sediaan steroid sangat mudah mendapat

infeksi bakteri maupun virus. Steroid akan menghambat fagositosis, produksi

antibodi dan menghambat proses radang. Hormon kelamin yang termasuk

kedalam golongan hormone steroid, seperti androgen, estrogen dan

progesterone diduga sebagai faktor pengubah terhadap respons imun. Hal ini

tercermin dari adanya perbedaan jumlah penderita antara laki-laki dan

perempuan yang mengidap penyakit imun tertentu.

1. Faktor lingkungan
Kenaikan angka kesakitan penyakit infeksi, sering terjadi pada

masyarakat yang taraf hidupnya kurang mampu. Kenaikan angka infeksi

tersebut, mungkin disebabkan oleh karena lebih banyak menghadapi

bibit penyakit atau hilangnya daya tahan tubuh yang disebabkan oleh

jeleknya keadaan gizi.

16
2. Faktor Gizi

Keadaan gizi seseorang sangat berpengaruh terhadap status imun

seseorang. Tubuh membutuhkan enam komponen dasar bahan makanan

yang dimanfaatkan untuk pertumbuhan dan pemeliharaan kesehatan

tubuh. Keenam komponen tersebut yaitu : protein, karbohidrat, lemak,

vitamin, mineral dan air. Gizi yang cukup dan sesuai sangat penting

untuk berfungsinya system imun secara normal. Kekurangan gizi

merupakan penyebab utama timbulnya imunodefisiensi

3. Faktor Anatomi
Garis pertahanan pertama dalam menghadapi invasi mikroba

biasanya terdapat pada kulit dan selaput lender yang melapisi bagian

permukaan dalam tubuh. Struktur jaringan tersebut, bertindak sebagai

imunitas alamiah dengan menyediakan suatu rintangan fisik yang efektif.

Dalam hal ini kulit lebih efektif dari pada selaput lender. Adanya

kerusakan pada permukaan kulit, atau pada selaput lender, akan lebih

memudahkan timbulnya suatu penyakit.

4. Faktor Fisiologis
Getah lambung pada umumnya menyebabkan suatu lingkungan

yang kurang menguntungkan untuk sebagian besar bakteri pathogen.

Demikian pula dengan air kemih yang normal akan membilas saluran

kemih sehingga menurunkan kemungkinan infeksi oleh bakteri. Pada

kulit juga dihasilkan zat- zat yang bersifat bakterisida. Didalam darah

terdapat sejumlah zat protektif yang bereaksi secara non spesifik.

Faktor humoral lainnya adalah properdin dan interferon yang selalu

siap untuk menanggulangi masuknya zat-zat asing.


17
5. Faktor Umur
Berhubung dengan perkembangan sistem imun sudah dimulai semasa

dalam kandungan, maka efektifitasnya juga diawali dari keadaan yang

lemah dan meningkat sesuai dengan bertambahnya umur. Walaupun

demikian tidak berarti bahwa pada umur lanjut, sistem imun akan bekerja

secara maksimal. Malah sebaliknya fungsi sistem imun pada usia lanjut

akan mulai menurun dibandingkan dengan orang yang lebih muda,

walaupun tidak mengalami gangguan pada sistem imunnya. Hal tersebut,

selain disebabkan karena pengaruh kemunduran biologik, secara umum

juga jelas berkaitan dengan menyusutnya kelenjar timus. Keadaan

tersebut akan mengakibatkan perubahan-perubahan respons imun seluler

dan humoral. Pada usia lanjut resiko akan timbulnya berbagai kelainan

yang melibatkan sistem imun akan bertambah, misalnya resiko menderita

penyakit autoimun, penyakit keganasan, sehinggaakan mempermudah

terinfeksi oleh suatu penyakit.

6. Faktor Mikroba
Berkembangnya koloni mikroba yang tidak pathogen pada

permukaan tubuh,baik diluar maupun didalam tubuh, akan

mempengaruhi sistem imun. Misalnya dibutuhkan untuk membantu

produksi natural antibody. Flora normal yang tumbuh pada tubuh dapat

pula membantu menghambat pertumbuhan kuman pathogen. Pengobatan

dengan antibiotika tanpa prosedur yang benar, dapat mematikan

pertumbuhan flora normal, dan sebaliknya dapat menyuburkan

pertumbuhan bakteri pathogen.

2.9. Penyimpanan Sistem Imun

18
Sebagaimana sistem-sistem yang lain dalam tubuh, sistem imun mungkin

pula dapat mengalami penyimpangan pada seluruh jaringan komunikasi

baik berbentuk morfologis ataupun gangguan fungsional. Gangguan

morfologis, misalnya tidak berkembangnya secara normal kelenjar timus

sehingga mengakibatkan defisiensi pada limfosit T. Sedangkan

gangguan fungsional yang bermanifestasi sebagai toleransi imunologik

disebabkan karena lumpuhnya mekanisme respons imun terhadap suatu

antigen tertentu. Penyimpangan lain dalam mekanisme respons imun

dapat berbentuk sebagai reaksi alergi, anafilaksis ataupun

hipersensitifitas tipe lambat, dimana semua ini kadang-kadang

menimbulkan kerugian pada jaringan tubuh. Keadaan ini disebabkan

karena gangguan fungsi pertahanan system imun (Kresno, 1991; Abbas

dkk.,1991; Roitt dkk.,1993).

Gangguan fungsi homeostatik pada system imun dapat

menimbulkan kelainan yang dinamakan penyakit autoimun. Hal ini

disebabkan oleh karena system imun melihat konfigurasi dari tubuh

sendiri (self), sebagai benda asing, akibatnya respons imun ditujukan

kepada jaringan tubuh sendiri sehingga dapat membawa kerugian.

Apabila fungsi ketiga yang bertugas sebagai surveillance

mengalami gangguan, akan mengakibatkan tidak bekerjanya system

pemantauan terhadap perubahan-perubahan pada sel tubuh, sehingga

akhirnya sel-sel abnormal tersebut berkembang biak diluar kendali yang

menimbulkan penyakit yang bersifat pertumbuhan ganas.

19
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Sistem imun merupakan sistem yang sangat komplek dengan berbagai

peran ganda dalam usaha menjaga keseimbangan tubuh. Seperti halnya sistem

indokrin, sistem imun yang bertugas mengatur keseimbangan, menggunakan

komponennya yang beredar diseluruh tubuh, supaya dapat mencapai sasaran

yang jauh dari pusat. Untuk melaksanakan fungsi imunitas, didalam tubuh

terdapat suatu sistem yang disebut dengan sistem limforetikuler.

Sistem ini merupakan jaringan atau kumpulan sel yang letaknya tersebar

diseluruh tubuh, misalnya didalam sumsum tulang, kelenjar limfe, limfa,

timus, sistem saluran napas, saluran cerna dan beberapa organ lainnya.

Jaringan ini terdiri atas bermacam-macam sel yang dapat menunjukkan

respons terhadap suatu rangsangan sesuai dengan sifat dan fungsinya masing-

masing (Roitt dkk., 1993; Subowo, 1993; Kresno, 1991).

3.2.  Saran
Kepada seluruh pembaca baik mahasiswa maupun dosen pembimbing untuk

melakukan kebiasaan hidup sehat, karena pola hidup tidak sehat tentu tidak benar

dan harus dihindari, pengetahuan tentang penyakit dan makanan menjadi prioritas.

20
DAFTAR PUSTAKA

1. Abbas, A.K. and Lichtman, A.H. 2007. Cellular and Molecular

Immunology. 6th ed. WB Saunders Company Saunders, Philadelphia.

2. Baratawidjaja, K.G., Rengganis I. 2010. Imunologi Dasar ed. 9.

Jakarta. BP.FKUI.

3. Roitt. 1997. Pokok Pokok Ilmu Kekebalan.

4. Kresno. 1991. Imunologi Diagnosis dan Prosedur Laboratorium.

5. Tizard. 2004. Veterinary Immunology. An Introduction. 6th ed. WB

Saundres Company. Philadelpia

. Sivia, Mega.2013. Makalah Imunologi Beserta Penyakit Penyakit Yang Mengganggu


Sistem Imun.http://megasilviasitepu. blogspot.com/2013/06/
imunologi_4746.html.diakses tanggal 08 Oktober 2014
6.

21

Anda mungkin juga menyukai