Anda di halaman 1dari 13

Mata Kuliah : Keperawatan Kritis

MAKALAH PENYAKIT PARU OBSTRUKSI KRONIK (PPOK)

Oleh :
Kelas A2 2017
Kelompok 2

1. KURNIA IRJAYANTI P (NH0117062)


2. KLARA JELI TETIRAY (NH011760)
3. KEZIA YUNITASARI KUSUMA (NH0117059)
4. LIFIA NUR (NH0117066)
5. KRISDIANTY WEDLLEN (NH0117061)
6. NUR HABIBA FEBRIYANTI (NH01170108)
7. LAILA FITRI RUPO (NH0117063)

PROGRAM STUDI S1 ILMU KEPERAWATAN


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN
NANI HASANUDDIN MAKASSAR
2020
KATA PENGANTAR

Rasa syukur yang dalam kami sampaikan ke hadiran Tuhan Yang Maha
Pemurah karena berkat kemurahan-Nya makalah ini dapat kami selesaikan sesuai
yang diharapkan.

Kami menyadari, bahwa proses penulisan makalah ini masih jauh dari kata
sempurna baik materi maupun cara penulisannya. Namun demikian, kami telah
berupaya dengan segala kemampuan dan pengeta huan yang dimiliki sehingga
dapat selesai dengan baik dan oleh karenanya, kami dengan rendah hati dan
dengan tangan terbuka menerima masukan, saran dan usulan guna
penyempurnaan makalah ini di kemudian hari.

Kami sadari pula, bahwa dalam  pembuatan makalah ini  tidak lepas dari


bantuan berbagai  pihak. Untuk itu dalam kesempatan ini kami menghaturkan rasa
hormat dan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang
membantu dalam pembuatan makalah ini.

Makassar, 27 September 2020

Penyusun
DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL...........................................................................................i

KATA PENGANTAR...........................................................................................ii

DAFTAR ISI.........................................................................................................iii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang.............................................................................................1
B. Rumusan Masalah........................................................................................3
C. Tujuan............................................................................................................

BAB II PEMBAHASAN

A. Pengertian PPOK.........................................................................................4
B. Patofisiologi PPOK......................................................................................4
C. Farmakologi PPOK......................................................................................5
D. Terapi Diit Pasien PPOK.............................................................................6

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan...................................................................................................8
B. Saran..............................................................................................................8

DAFTAR PUSTAKA
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Rabe et al (2007) menyatakan bahwa PPOK adalah penyakit kronis saluran
napas yang ditandai dengan hambatan aliran udara khususnya udara ekspirasi
dan bersifat progresif lambat, disebabkan oleh pajanan faktor resiko seperti
merokok, polusi udara di dalam maupun di luar ruangan (Kemenkes RI, 2013).
Onset biasanya pada usia pertengahan dan tidak hilang dengan pengobatan
(Lestari, 2015). Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (2011) menyatakan bahwa
inflamasi dan air trapping adalah dasar dari PPOK yang menyebabkan
penurunan VEP1 dan penyempitan saluran napas periferal. Besarnya inflamasi,
fibrosis, dan eksudat pada saluran napas kecil berhubungan dengan penurunan
VEP1 dan rasio VEP1/FVC. Dikutip menurut (Huriah and Wulandari, 2017)
Diperkirakan 65 juta orang memiliki resiko untuk mengalami penyakit
PPOK yang parah. Lebih dari 3 juta orang meninggal karena PPOK pada tahun
2005 (5% dari semua kematian global). Hal ini diketahui bahwa hampir 90%
dari kematian PPOK terjadi pada negara menengah yang berpenghasilan
rendah. PPOK lebih umum pada laki-laki, tetapi karena peningkatan
penggunaan tembakau di kalangan perempuan di negara-negara berpenghasilan
tinggi dan risiko yang lebih tinggi dari paparan polusi udara dalam ruangan
(seperti bahan bakar biomassa yang digunakan untuk memasak dan pemanas)
di negara-negara berpenghasilan rendah, jumlah penyakit pada laki-laki dan
perempuan hampir sama (WHO, 2016). Dikutop Menurut (Ritianingsih, 2017)
World Health Organization (WHO) melaporkan diseluruh dunia terdapat
600 juta orang menderita PPOK dengan 65 juta orang menderita PPOK derajat
sedang sampai dengan derajat berat. Pada tahun 2002 PPOK adalah penyebab
utama kematian kelima di dunia dan akan diperkirakan menjadi penyebab
utama ketiga kematian di seluruh dunia tahun 2030. Pada tahun 2005 lebih dari
3 juta orang meninggal karena PPOK, yang setara dengan 5% dari semua kasus
kematian di dunia (WHO, 2015 dalam Azitha, 2015). Prevalensi kejadian
PPOK di dunia rata-rata berkisar antara 3 sampai 11 % (GOLD, 2015 dalam
Azitha, 2015). Dikutip menurut (Ain and Hurun, 2019)
B. Rumusan Masalah
1. Definisi PPOK ?
2. Patofisiologi PPOK ?
3. Farmakologi PPOK ?
4. Terapi Diit PPOK ?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui definisi PPOK
2. Untuk mengetahui Patofisiologi PPOK
3. Untuk mengetahui farmakologi PPOK
4. Untuk mengetahui terapi diit PPOK
BAB II
PEMBAHASAN

A. Definisi PPOK
Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) adalah penyakit paru-paru yang
ditandai dengan penyumbatan terusmenerus aliran udara dari paru-paru. Ini
adalah penyakit paru-paru yang mengancam kehidupan didiagnosis yang
mengganggu pernapasan normal dan tidak sepenuhnya reversibel. Mencakup
bronkitis kronis dan emfisema (WHO, 2016). Dikutip menurut (Ritianingsih,
2017)
Penyakit Paru Obstruksi Kronik (PPOK) merupakan penyakit kronik yang
terjadi karena obstruksi serta hambatan aliran udara kronik yang dapat
disebabkan karena adanya bronchitis kronik, emfisema atau karena keduanya.
Manifestasi klinis yang paling sering muncul pada pasien PPOK adalah batuk,
produksi sputum yang berlebihan, sesak nafas dan aktifitas yang terbatas.
Menurut data pada Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan
Lingkungan (P2PL), terdapat enam kelompok penyakit tidak menular paling
banyak di seluruh rumah sakit di Indonesia, yaitu kanker, Diabetes Melitus
(DM), jantung, hipertensi, PPOK dan asma. Tahun 2009 kasus rawat inap
PPOK sebanyak 0,93% dari keseluruhan kasus penyakit di rawat inap, tahun
2010 meningkat menjadi 0,95%. Berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar
(Riskesdas) tahun 2013, prevalensi PPOK sebanyak 3,7% dengan jenis kelamin
yang paling banyak adalah laki-laki. Menurut (Ida Nur Imamah, 2017)
The Global Initiative for Chronic Obstructive Pulmonary Disease (GOLD)
tahun 2014 mendefinisikan Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK) sebagai
penyakit respirasi kronis yang dapat dicegah dan dapat diobati, ditandai adanya
hambatan aliran udara yang persisten dan biasanya bersifat progresif serta
berhubungan dengan peningkatan respons inflamasi kronis saluran napas yang
disebabkan oleh gas atau partikel iritan tertentu. Eksaserbasi dan komorbid
berperan pada keseluruhan beratnya penyakit pada seorang pasien. Pada
definisi ini tidak lagi dimasukan terminologi bronkhitis kronik dan emfisema
dan secara khusus dikemukakan pentingnya eksaserbasi dan komorbid pada
definis GOLD 2014 sehingga dipandang perlu untuk dicantumkan pada
definisi. Hambatan aliran napas kronik pada PPOK adalah merupakan
gabungan dari penyakit saluran napas kecil dan destruksi parenkhim dengan
kontribusi yang ebrbeda antar pasien ke pasien. Pada kenyataannya, PPOK
merupakan sebuah kelompok penyakit dengan gejala klinis yang hampir serupa
dengan bronkitis kronis, emfisema, asma, bronkiektasis, dan bronkiolitis.
Hambatan jalan napas yang terjadi pada penderita PPOK disebabkan oleh
penyakit pada saluran napas dan rusaknya parenkin paru. Dikutip menurut
(Soeroto and Suryadinata, 2014)
B. Patofisiologi PPOK
Beberapa faktor seperti lingkungan (asap rokok dan polusi), genetick
(defisiensi alpha -antitripsin, hipotesis elastase -antielastase), dan faktor lain
(olahraga, suhu) menjadi penyebab PPOK. Adanya faktor lingkungan seperti
partikel asap dan polusi yang terhirup dalam waktu yang lama akan mengiritasi
jalan napas. Unsur-unsur iritan ini menimbulkan inflamasi pada percabangan
trakheobronkial (Kowalak, 2012). Pada iritasi yang konstan akan merangsang
perubahan pada sel-sel penghasil mukus bronkus atau kelenjar yang
mensekresi mukus dan sel-sel goblet untuk meningkatkan mukus yang
dihasilkan (Padila, 2009 dan Rahmadi, 2015). Hipersekresi sel goblet akan
menghalangi kebebasan silia yang dalam keadaan normal dapat menyapu debu,
iritan, serta mukus yang keluar dari jalan napas (Kowalak, 2012). Sehingga
silia yang melapisi bronkus akan mengalami kelumpuhan atau disfungsional
serta metaplasia. Perubahan pada sel-sel penghasil mukus dan silia ini
mengganggu sistem eskalator mukosiliaris dan menyebabkan penumpukan
mukus kental dalam jumlah besar dan sulit dikeluarkan dari saluran napas
(Padila, 2012 dan Rahmadi, 2015). Penumpukan mukus ini mengakibatkan
penyempitan atau penyumbatan jalan napas (Kowalak, 2012). Pada
penumpukan mukus yang terjadi dalam bronkiolus akan menyebabkan alveoli
rusak, hal ini karena letak alveoli yang berdekatan dengan bronkiolus. Alveoli
akan membentuk fibrosis dan mengakibatkan perubahan fungsi makrofag
alveolar yang berperan penting dalam menghancurkan partikel asing termasuk
bakteri. Pasien kemudian menjadi lebih rentan terhadap infeksi pernapasan.
Penyempitan bronkial lebih lanjut terjadi sebagai akibat perubahan fibrotik
yang terjadi dalam jalan napas. Pada waktunya mungkin terjadi perubahan
yang irreversible dan mengakibatkan PPOK (Padila, 2012). Dikutip Menurut
(Sholikhah, 2018)
C. Farmakologi PPOK
Terapi farmakologi, menurut (Soeroto and Suryadinata, 2014)
1. Terapi farmakologi
1) Bronkodilator
Bronkodilator adalah pengobatan yang berguna untuk meningkatkan
FEV1 atau mengubah variable spirometri dengan cara mempengaruhi
tonus otot polos jalan napas dengan menstimulasi reseptor
a. β2 Agonist (short-actingndan long-acting)
Prinsip kerja dari β2 agonis adalah relaksasi otot polos jalan napas
dengan menstimulasi reseptor β2 adrenergik dengan meningkatkan C-
AMP dan menghasilkan antagonisme fungsional terhadap
bronkokontriksi. Efek bronkodilator dari short acting β2 agonist
biasanya dalam waktu 4-6 jam. Penggunaan β2 agonis secara reguler
akan memperbaiki FEV1 dan gejala (Evidence B). Penggunaan dosis
tinggi short acting β2 agonist pro renata pada pasien yang telah
diterapi dengan long acting broncodilator tidak didukung bukti dan
tidak direkomendasikan.
Long acting β2 agonist inhalasi memiliki waktu kerja 12 jam atau
lebih. Formoterol dan salmeterol memperbaiki FEV1 dan volume
paru, sesak napas, health related quality of life dan frekuensi
eksaserbasi secara signifikan (Evidence A), tapi tidak mempunyai
efek dalam penurunan mortalitas dan fungsi paru. Salmeterol
mengurangi kemungkinan perawatan di rumah sakit (Evidence B).
Indacaterol merupakan Long acting β2 agonist baru dengan waktu
kerja 24 jam dan bekerja secara signifikan memperbaiki FEV1, sesak
dan kualitas hidup pasien (Evidence A). Efek samping adanya
stimulasi reseptor β2 adrenergic dapat menimbulkan sinus takikardia
saat istirahat dan mempunyai potensi untuk mencetuskan aritmia.
Tremor somatic merupakan masalah pada pasien lansia yang diobati
obat golongan ini.
b. Antikolinergik
Obat yang termasuk pada golongan ini adalah ipratropium,
oxitropium dan tiopropium bromide. Efek utamanya adalah
memblokade efek asetilkolin pada reseptor muskarinik. Efek
bronkodilator dari short acing anticholinergic inhalasi lebih lama
dibanding short acting β2 agonist. Tiopropium memiliki waktu kerja
lebih dari 24 jam. Aksi kerjanya dapat mengurangi eksaserbasi dan
hospitalisasi, memperbaiki gejala dan status kesehatan (Evidence A),
serta memperbaiki efektivitas rehabilitasi pulmonal (Evidence B).
Efek samping yang bisa timbul akibat penggunaan antikolinergik
adalah mulut kering. Meskipun bisa menimbulkan gejala pada prostat
tapi tidak ada data yang dapat membuktikan hubungan kausatif antara
gejala prostat dan penggunaan obat tersebut.
2) Methylxanthine
Contoh obat yang tergolong methylxanthine adalah teofilin. Obat ini
dilaporkan berperan dalam perubahan otot-otot inspirasi. Namun obat ini
tidak direkomendasikan jika obat lain tersedia
3) Kortikosteroid
Kortikosteroid inhalasi yang diberikan secara regular dapat
memperbaiki gejala, fungsi paru, kualitas hidup serta mengurangi
frekuensi eksaserbasi pada pasien dengan FEV1<60% prediksi.
4) Phosphodiesterase-4 inhibitor
Mekanisme dari obat ini adalah untuk mengurangi inflamasi dengan
menghambat pemecahan intraselular C-AMP. Tetapi, penggunaan obat
ini memiliki efek samping seperti mual, menurunnya nafsu makan, sakit
perut, diare, gangguan tidur dan sakit kepala
2. Terapi Farmakologis lain :
1) Vaksin :vaksin pneumococcus direkomendasikan untuk pada pasien
PPOK usia > 65 tahun
2) Alpha-1 Augmentation therapy: Terapi ini ditujukan bagi pasien usia
muda dengan defisiensi alpha-1 antitripsin herediter berat. Terapi ini
sangat mahal, dan tidak tersedia di hampir semua negara dan tidak
direkomendasikan untuk pasien PPOK yang tidak ada hubungannya
dengan defisiensi alpha-1 antitripsin.
3) Antibiotik: Penggunaannya untuk mengobati infeksi bakterial yang
mencetuskan eksaserbasi
4) Mukolitik (mukokinetik, mukoregulator) dan antioksidan: Ambroksol,
erdostein, carbocysteine, ionated glycerol dan N-acetylcyste dapat
mengurangi gejala eksaserbasi.
5) Immunoregulators (immunostimulators, im- munomodulator)
6) Antitusif: Golongan obat ini tidak direkomen- dasikan.
7) Vasodilator
8) Narkotik (morfin)
9) Lain-lain:Terapi herbal dan metode lain seperti akupuntur dan hemopati)
juga tidak ada yang efektif bagi pengobatan PPOK
1. Terapi non farmakologis
1) Rehabilitasi
2) Konseling nutrisi
3) edukasi
2. Terapi lain
1) Terapi Oksigen
2) Ventilatory Support 2.
3) Surgical Treatment ( Lung Volume Reduction Surgery (LVRS),
Bronchoscopic Lung Volume Reduction (BLVR), Lung Transplantation,
Bullectomy
D. Terapi Diit PPOK
Pasien PPOK penting untuk mendapatkan nutrisi yang baik, karena terdapat
peningkatan kebutuhan akibat peningkatan kerja otot pernapasan. Diet yang
baik untuk pasien PPOK adalah tinggi lemak, rendah karbohidrat dan protein
normal. Metabolisme karbohidrat menghasilkan CO2 yang akan sulit untuk
dikeluarkan pada pasien PPOK karena gangguan ventilasinya. Sumber
makanan yang tinggi lemak jenuh dan gula, termasuk makanan olahan,
berefek buruk terhadap fungsi paru-paru. Sebaliknya, makanan nabati dan
lemak sehat dapat menjaga fungsi paru-paru dan mencegah perburukan PPOK.
Dukungan nutrisi dikombinasi dengan latihan fisik sebagai bagian dari
program rehabilitasi telah menunjukkan dampak yang baik pada peningkatan
berat badan, massa bebas lemak, dan kekuatan otot pernafasan pada pasien
PPOK stabil. Menurut (Samosir and Angriaini, 2020)
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Hambatan aliran napas kronik pada PPOK adalah merupakan gabungan dari
penyakit saluran napas kecil dan destruksi parenkhim dengan kontribusi yang
berbda antar pasien ke pasien. Pada kenyataannya, PPOK merupakan sebuah
kelompok penyakit dengan gejala klinis yang hampir serupa dengan bronkitis
kronis, emfisema, asma, bronkiektasis, dan bronkiolitis. Hambatan jalan napas
yang terjadi pada penderita PPOK disebabkan oleh penyakit pada saluran napas
dan rusaknya parenkin paru.

B. Saran
Dalam pembuatan makalah ini terdapat banyak sekali kesalahan sehingga
kami dari pembuat makalah berharap agar pembaca memberikan saran yan
membangun agar makalah kami selanjutnya bisa lebi bagus lagi.

C.
DAFTAR PUSTAKA

Ain and Hurun, R. A. dan M. F. N. F. (2019) ‘PERNAFASAN DIAFRAGMA


MENINGKATKAN SATURASI OKSIGEN PADA PASIEN PPOK DI RSUD
SOEDARSONO PASURUAN’, PROSIDING SEMINAR NASIONAL HASIL
PENELITIAN DAN PENGABDIAN MASYARAKAT SERI KE-3 TAHUN 2019, pp.
53–61.

Huriah, T. dan and Wulandari, D. (2017) ‘Pengaruh Active Cycle Of Breathing


Technique Terhadap Peningkatan Nilai VEP1 , Jumlah Sputum , dan Mobilisasi
Sangkar Thoraks Pasien PPOK’, INDONESIAN JOURNAL OF NURSING
PRACTICES, 1(2), pp. 44–54.

Ida Nur Imamah, M. A. . S. and A. J. (2017) ‘REHABILITASI PARU


TERHADAP PERUBAHAN SESAK NAFAS DAN FATIGUE PADA PASIEN
PENYAKIT PARU OBSTRUKSI KRONIK ( PPOK )’, Adi Husada Nursing
Journal, 3(1), pp. 1–5.

Ritianingsih, N. (2017) ‘LAMA SAKIT BERHUBUNGAN DENGAN


KUALITAS HIDUP PASIEN PENYAKIT PARU OBSTRUKSI KRONIS
( PPOK )’, Kesehatan Bakti Husada, 17, pp. 133–134.

Samosir, R. K. and Angriaini, D. I. (2020) ‘Penatalaksanaan Holistik pada Pasien


Laki-Laki Dewasa dengan Penyakit Paru Obstruktif Kronik melalui Pendekatan
Kedokteran Keluarga’, 9, pp. 1–9.

Sholikhah, R. I. (2018) Digital Digital Repository Repository Universitas


Universitas Jember Jember Digital Digital Repository Repository Universitas
Universitas Jember Jember.

Soeroto, A. Y. and Suryadinata, H. (2014) ‘Penyakit Paru Obstruktif Kronik’, 1,


No.2, pp. 83–88.

Anda mungkin juga menyukai